THE LAST KHONGHUCU IN BUTTA TOA-BANTAENG
Oleh Sulhan Yusuf
Gong Xi Fa Chae, selamat tahun baru Imlek, buat
saudara-saudaraku etnik Tionghoa, khususnya yang berdomisili di Butta Toa-
Bantaeng, sebuah daerah yang hingga kini dapat dikatakan sebagai daerah yang amat
toleran dan pluralistik. Saya amat tertarik untuk menulis catatan di hari Imlek
ini, karena bagi saya, pertama etnik Tionghoa yang ada di Butta toa-Bantaeng,
adalah sekelompok etnik yang cukup eksis secara sosial, budaya, agama dan
ekonomi dalam kehidupan bermasyarakat.
Kedua, di lingkungan keluarga saya, ada kakak yang
beristerikan etnik Tionghoa kelahiran Surabaya, dan ponakanku sudah dua orang,
dan mereka sudah menjadi muslim semua, yang sekarang lagi domisili di
Banjarmasin karena tuntutan pekerjaan, dan suatu waktu akan balik ke Bantaeng.
Dengan begitu, tulisan ini saya dedikasikan buat mereka, kakak ipar dan
ponakanku.
Sejak kecil, saya sudah
merasakan hubungan yang harmonis dengan kawan-kawan etnik Tionghoa – teringat
akan teman-teman sekolah di SMP Neg. 1 Bantaeng dan waktu di SMA Neg. 1
Bantaeng-- , meski terkadang juga ada stigma-stigma dalam ungkapan peyoratif,
meski hal tersebut tidaklah menyebabkan hubungan itu menjadi retak, mungkin
sudah demikianlah dinamika kemasyarakatannya.
Lalu kemudian, saya teringat dengan beberapa bulan
yang lalu, ketika menemani seorang kawan, Sabbara Nuruddin seorang peneliti
dari Litbang Depag Makassar, yang meneliti tentang keberadaan penganut agama
Khonghucu di Bantaeng. Maka menjadi penting bagi saya untuk berbagi hasil
penelitian, yang hasil penelitian tersebut di beri judul : KHONGHUCU DI BUTTA
TOWA (Pandar Lampion Yang tinggal Setitik), sudah dibukukan dalam buku Spirit
Khonghucu Modal Sosial Dalam Merenda Kebangsaan, Jakarta 2011, Orbit, hal.
183-203, yang berikut ini saya coba ringkaskan.
Sekilas Cerita tentang Etnis Tionghoa di Bantaeng
Bantaeng, dapat dikatakan sebagai satu-satunya
kabupaten yang memiliki kawasan Pecinaan di Sulsel. Populasi etnik Tionghoa di
kabupaten ini pun cukup signifikan jika dibandingkan dengan populasi etnik
Tionghoa di kabupaten lain yang ada di Sulsel. Terkhusus untuk etnik Tionghoa,
hampir semuanya bermukim di kecamatan Bantaeng, khususnya di sekitar jalan
Mangga, jalan Manggis, dan jalan Nenas yang merupakan kawasan perdagangan
sekaligus daerah pecinaan (China town) yang dimiliki oleh kabupaten
Bantaeng. Menurut Bapak Effendi Sinyo (Baba’ Cangkeng, pemilik Rumah Makan
Sederhana-pen), seorang sesepuh masyarakat Tionghoa yang ada di
Bantaeng, bahwa kedatangan warga etnik Tionghoa di Banteng sudah sejak lima
sampai enam generasi yang lalu atau sekitar akhir abad 18 dan awal abad 17.
bahkan menurut berbagai sumber, Bantaeng yang kerap disebut sebagai Butta
Toa ini telah menjalin hubungan dengan orang-orang China sejak abad 12 atau
sejak zaman dinasti Sung, bahkan ada suatu daerah yang terletak di pegunungan
Bantaeng yang disebut “Cinayya”, diyakini memiliki kaitan dengan hubungan
antara kerajaan Bantaeng waktu itu dan para pendatang atau pelancong dari
negeri China.
Berdasarkan penelusuran peneliti pada beberapa
informan, peneliti mengkategorisasi kedatangan etnik Tionghoa di Bantaeng
terdiri atas tiga tahapan. Tahap pertama, diidentifikasi sekitar abad 12
masehi, yaitu terjalinnya kerjssama perdagangan antara kerajaan Bantaeng pada
waktu itu dengan dinasti Ming yang saat itu berkuasa di Tiongkok. Asumsi ini
dibuktikan pada sekitar tahun 1967 dilakukan penggalian dan ditemukan banyak
sekali guci dan barang keramik Tiongkok masa dinasti Ming di Bantaeng. Tahap
kedua adalah masa penjajahan Belanda sekitar abad 18 dan 19 hingga awal abad ke
20, terlebih lagi ketika Bantaeng menjadi ibukota afdeling Bonthain yang
meliputi beberapa kabupaten di wilayah selatan Sulawesi Selatan kala itu. Bukti
bahwa migrasi etnik Tionghoa di daerah ini pada masa itu adalah keberadaan
kuburan China yang telah ada semenjak abad 18. Tahap ketiga adalah pasca
kemerdekaan, banyak orang-orang dari tanah Tiongkok datang ke Bantaeng dengan
tujuan membuka usaha.
Awalnya pemukiman kaum Tionghoa terletak di
sekitar pesisir pantai, namun sejak dekade 1950-an berangsur-angsur mereka
pindah dan membentuk pemukiman di sekitar kawasan 3 jalan yang telah
disebutkan, yaitu jalan Mangga, jalan Manggis, dan jalan Nenas, dan membangun
tempat tersebut sebagai daerah perdagangan. Tidak ada data yang pasti mengenai
jumlah populasi etnik Tionghoa yanga ada di Bantaeng, namun menurut Notaris
Eddy Tunggeleng, SH yang merupakan ketua Bakom PKB –sebuah organisasi yang
berorientasi pada pembauran etnik Tionghoa, populasi etnik Tionghoa di Bantaeng
berjumlah lebih dari 100 KK. Umumnya mereka berprofesi sebagai pedagang, dan
sebagian diantaranya berprofesi sebagai tenaga profesional seperti dokter,
dokter gigi, notaris, dan lainnya. Warga etnik Tionghoa di Bantaeng umumnya
telah berbaur dengan warga setempat bahkan tak jarang yang melakukan
kawin-mawin dengan penduduk asli. Dalam rangka pembauran tersebut, maka
komunitas Tionghoa di Bantaeng mengrganisasikan diri dalam sebuah wadah yang
bernama Bakom PKB (Badan Komunikasi Persatuan dan Kesatuan Bangsa) yang
diketuai oleh notaris Edy Tunggeleng, SH.
Sepanjang sejarah sosial di Bantaeng Hanya satu
kali terjadi ketegangan dalam interaksi antara penduduk etnik Tionghoa dengan
warga pribumi Bantaeng, itu pun karena bias perpolitikan nasional. Yaitu, pasca
peristiwa G-30 S/PKI, di mana sentimen anti China cukup menguat. Namun, setelah
itu interaksi antara etnik Tionghoa dengan penduduk setempat pun berlangsung
kembali harmonis. Bahkan pemerintah Kabupaten Bantaeng pun memberikan perhatian
dan apresiasi yang baik kepada warga etnik Tionghoa, yaitu dengan mengadakan
peringatan Imlek dan acara kesenian Barongsai yang telah dilakukan dua tahun
berturut-turut. Bahkan bupati Prof. Dr. Nurdin Abdullah, M. Agr, hendak
menjadikan kawasan jalan Mangga, Jalan, Nenas, dan Jalan Manggis sebagai
kawasan pecinaan dan menjadi program pemerintah kabupaten Bantaeng, namun hal
ini ditolak oleh mereka dengan alasan jangan sampai timbul kesenjangan dan
kecemburuan sosial warga pribumi.
Umat Khonghuchu di Bantaeng:
Jejak yang Nyaris Hilang
Secara statistik, peneliti tidak menemukan
penganut agama Khonghucu baik yang tercatat di BPS Kabupaten Bantaeng maupun di
data yang terdapat pada Kantor Kementerian Agama Kabuoaten Bantaeng. Warga
etnik Tionghoa yang selama ini dikenal sebagai penganut agama Khonghuchu
ternyata umumnya beragama Kristen, Katolik, Buddha, dan ada sebagian yang telah
menganut Islam. Namun berdasarkan penelusuran peneliti menemui beberapa warga
etnik Tionghoa serta melakukan wawancara mendalam dengan mereka terkuak
informasi bahwa banyak warga etnik Tionghoa yang ada di Bantaeng, meskipun
secara formal menganut agama Kristen, Katolik, atau Buddha, pada praktek
keseharian masih sering melaksanakan ritus sembahyang ala agama Khonghuchu
meskipun menurut umunya mereka hal tersebut adalah tradisi leluhur mereka dan
tidak ada sangkut pautnya dengan agama.
Dari beberapa orang yang peneliti temui tidak
menampik jika mereka dikatakan sebagai penganut Khonghuchu, meskipun secara
formal mereka mencatumkan Buddha atau Kristen dan Katolik sebagai agama resmi
mereka. Bapak Effendi Sinyo, pemilik warung makan Sederhana di Jalan Manggis
mengatakan bahwa secara pribadi dia dan keluarganya adalah penganut agama
Khonghuchu sejak nenek moyang mereka, namun di KTP dan kartu identitas mereka
mencantumkan Buddha, Kristen, dan katolik di kolom agama lebih didasarkan pada
peraturan yang mereka ketahui bahwa tidak boleh mencantumkan Khonghuchu sebagai
agama di kartu identitas. Setelah peneliti tanya, “apakah akan mengganti agama
mereka di kartu identitas (KTP) karena mencantumkan Khonghuchu di kartu
identiats sebagai agama telah diperbolehkan?”. Pak Effendi hanya menjawab;
“boleh, jika memang itu diizinkan.”. Hal senada juga diungkapkan oleh Ci Heng
(pemilik toko 33 di kawasan Pasar Baru Bantaeng), yang sekeluarga merupakan
penganut Khonghuchu namun mencantumkan Buddha sebagai agama resminya di kartu
identitas.
Jumlah pasti populasi penganut Khonghuchu di
Bantaeng tidak diketahui secara pasti dikarenakan tidak adanya organisasi yang
mengorganisir penganut Khonghuchu di Bantaeng serta mereka secara formal tidak
mengaku sebagai Khonghuchu melainkan mengaku sebagai Buddha atau Kristen dan
Katolik. Selain itu, mereka kebanyakan cenderung tertutup jika ditanya
persoalan agama, sehingga banyak penduduk etnik Tionghoa yang peneliti datangi
lebih memilih bungkam dan menyatakan tidak tahu-menahu soal Khonghuchu,
meskipun dari rekomendasi informan yang lain menyatakan bahwa mereka secara
praktek keseharian masih melaksanakan ritus-ritus Khonghuchu, namun, apakah
sebagai tradisi atau memang dijalankan sebagai agama ini yang tidak diketahui
dan mereka juga tertutup untuk mengutarakannya.
Berdasarkan penelusuran peneliti, setidaknya
penganut Khonghuchu di Bantaeng, terkategori atas 2 kelompok. Yang pertama,
adalah mereka yang secara total menjadikan Khonghuchu sebagai agama dan anutan
hidup dalam pemahaman maupun praktek ritual keagamaan, meskipun secara formal
mereka mencantumkan buddha sebagai agama resmi mereka di kartu identitas. Dan
ketika mereka ditanya; “apakah menurut anda, Khonghuchu adalah agama?”, mereka
menjawab; “ya, menurut saya Khonghuchu adalah agama”. Yang kedua, adalah mereka
yang tetap menjalankan ritus Khonghuchu dan menerima ajaran Khonghuchu sebagai
filosofi hidup, namun secara praksis mereka juga menganut dan menjalankan agama
resmi yang lain, seperti buddha, Kristen, atau Katolik. Menurut mereka
Khonghuchu adalah tradisi nenek moyang mereka dari Tiongkok yang tidak bisa
ditinggalkan begitu saja, bahkan menurut mereka harus dilestarikan dan mereka
mempercayainya, dan meyakini bahwa mereka akan mendapatkan reward jika
melaksanakan dan akan mendapatkan punishment (bala) jika mereka
meninggalkan.
Untuk kategori pertama, yakni yang menjadikan
Khonghuchu sebagai agama dan anutan hidup, dalam pengamatan peneliti secara
populasi sangatlah kecil, meskipun tidak diketahui secara pasti jumlahnya.
Karena Bapak Effendi Sinyo dan Ci Heng selaku sesepuh masyarakat Tionghoa yang
mengaku amsih beragama Khonghuchu tidak bisa menjelaskan secara pasti,
siapa-siapa saja diantara komunitas Tionghoa di Bantaeng yang masuk kategori
ini. Namun, menurut Effendi Sinyo, hal ini hanya ditemui di kalangan
orang-orang tua atau sesepuh saja, dan biasanya di kalangan generasi di bawah
mereka sudah tidak terlalu ketat lagi menjalankan khonghuchu sebagai agama, dan
umumnya sudah memeluk agama lain, yakni Buddha, Kristen, dan Katolik, bahkan
Islam, meski secara praktek keseharian, mereka masih menjalankan ritus Khonghuchu
sebagai tradisi saja.
Untuk kategori yang kedua, dalam pemahaman mereka,
Khonghuchu adalah tradisi nenek moyang dari Tiongkok dan bukan agama. Secara
praksis, mereka mensinkretikkan pelaksanaan agama formal yang mereka anut,
apakah Buddha, Kristen, atau Katolik dan ajaran serta ritual Khonghuchu yang
mereka jalankan sebagai tradisi. Untuk kategori ini, menurut notaris Eddy
Tunggeleng, SH bahwa hampir semua warga etnik Tionghoa, terlebih yang
mencantumkan Buddha sebagai agama resmi mereka dalam praktek keseharian masih
sering melaksanakan ritus sembahyang ala Khonghuchu. Bahkan beberapa orang yang
peneliti temui dan secara formal menganut agama Buddha, bagi mereka Buddha dan
khonghuchu tidak ada bedanya, sehingga mereka menjalankan keduanya, meskipun ketika
ditanya sebenarnya agama apa mereka, mereka menjawab bahwa mereka beragama
Buddha. Menurut Effendi Sinyo, anak-anak dan keponakan beliau yang telah
menganut agama Kristen, dan Katolik, bahkan ada diantara keponakannya yang
menganut Islam, kerap ikut di belakang dia ketika melaksanakan sembahyang ala
Khonghuchu.
Dengan demikian, berdasarkan penelusuran peneliti,
eksistensi Khonghuchu di Bantaeng menuai enam problem besar, yaitu lost
generation, liminal identity, problema traumatik, apatisme, dan
ketiadaan rohaniawan Khonghuchu. Serta ketiadaan komunikasi intensif antar
sesama penganut Khonghuchu. Eksistensi umat Khonghuchu di Bantaeng mengalami lost
generation dikarenakan yang masih menganut Khonghuchu sebagai agama dan
anutan hidup secara ketat adalah kalangan orang tua yang sudah sepuh. Hal ini
merupakan sebuah ancaman bagi eksistensi penganut Khonghuchu ke depannya,
karena selang satu generasi lagi, penganut Khonghuchu di Bantaeng tak akan ada
lagi.
Problem kedua adalah liminal identity,
yaitu kekaburan atau “keremangan” identitas sebagai Khonghuchu, karena secara
prasis identitas sebagai Khonghuchu sudah kabur disebabkan pencantuman agama
formal yang berbeda dan sinkretisme pelaksanaan ritus antara Khonghuchu dan
agama formal yang lain, terlebih sebagian besar hanya menganggap bahwa
Khonghuchu tak lebih dari sekedar tradisi saja. Problem ketiga adalah masih
tersisa trauma sejarah pelarangan Khonghuchu sebagai agama yang secara
konstitusional di tetapkan lewat Inpres yang terkait UU No 14 tahun 1967 dan SE
Mendagri No 477/74054 tahun 1978 yang poin pokoknya tidak mencantumkan
Khonghuchu sebagai agama resmi. Ditambah lagi pasca peristiwa G-30S/PKI yang
berefek pada timbulnya sikap antipati dan kecurigaan terhadap segala hal yang
berbau Tionghoa dan hal ini pun pernah memicu gejolak sosial yang luar biasa di
Bantaeng pada kisaran tahun 1966-1967 membuat masyarakat Tionghoa di Bantaeng
yang nota bene adalah keturunan Khonghuchu menjadi trauma untuk
memunculkan kembali Khonghuchu sebagai identiats keagamaannya. Meskipun telah
ada Kepres No 6 tahun 2000 tentang pengakuan Khonghuchu sebagai agama resmi,
hal itu belum menghapus trauma mereka, karena jangan sampai ke depannya muncul
masalah yang sama lagi. Trauma sejarah ini masih berbias pada ketakutan mereka
jika ditanya persoalan agama, dan hal ini yang peneliti temui di lapangan.
Menurut Effendi Sinyo, sebenarnya ada beberapa orang yang menurutnya adalah
penganut Khonghuchu, namun, beliau sendiri tak berani memastikan apakah yang
bersangkutan adalah Khonghuchu atau bukan, karena yang bersangkutan lebih
cenderung tertutup pada persoalan agama.
Problem berikutnya adalah sikap apatisme yang
banyak menjangkiti masyarakat Tionghoa dikarenakan kesibukan pada aktivitas
bisnis sehingga persoalan identitas keagamaan cenderung kurang diperhatikan,
“mau beragama apa, atau mengaku agama apa, itu tidak penting, karena yang
terpenting bagi kami adalah mengurus usaha”, demikian papar seorang informan
kami. Yang kelima adalah ketiadaan rohaniawan Khonghuchu, atau setidaknya orang
yang cukup memahami tentang ajaran dan praktek agama Khonghuchu secara mendalam
yang dapat menjelaskan tentang Khonghuchu atau menjadi pendakwah agama
Khonghuchu. Akibatnya, informasi tentang Khonghuchu tak dapat diakses oleh
mereka secara langsung di Bantaeng dan penganut Khonghuchu yang meskipun
menganut dan melaksanakan ajaran agama Khonghuchu tapi secara pemahaman mereka
adalah awam dan tidak memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan mendakwahkan
agama Khonghuchu kepada komunitas Tionghoa yang ada di Bantaeng. Dan yang
terakhir adalah ketiadaan komunikasi antar sesama penganut Khonghuchu di
Bantaeng. Ketiadaan komunikasi ini membuat Khonghuchu sebagai anutan hidup
lebih menjadi keyakinan personal dan tidak terorganisir secara komunal.
Meskipun keberadaan
komunitas Tionghoa di Bantaeng telah berlangsung lama, sejak ratusan tahun yang
lalu mereka menetap dan berinteraksi dengan penduduk pribumi Bantaeng, namun
eksistensi keyakinan Khonghuchu sebagai anutan agama masyarakat Tionghoa kurang
dikenal oleh masyarakat Bantaeng. Umumnya, mereka hanya mengenal bahwa
komunitas Tionghoa yang ada di bantaeng umumnya masih melaksanakan tradisi
mereka meski secara personal, mengenai apakah tradisi tersebut terkait dengan
ajaran agama Khonghuchu, masyarakat Bantaeng yang peneliti temui umumnya
menjawab tidak tahu. Bahkan sebagian masyarakat Bantaeng yang peneliti temui,
dan mereka adalah tokoh-tokoh masyarakat mengatakan bahwa Khonghuchu di
Bantaeng dapat dikatakan sudah tidak ada lagi. Hal yang senada juga diungkapkan
oleh beberapa warga etnik Tionghoa yang peneliti temui dan telah menganut agama
Kristen dan Katolik menyatakan bahwa di Bantaeng sudah tidak ada lagi penganut
agama Khonghuchu.
Posisi agama Khonghuchu
sebagai minoritas di Bantaeng benar-benar tak dikenal sebagai agama yang masih
punya pengikut. Bahkan pihak pemerintah termasuk pihak Kementerian Agama
Kabupaten Bantaeng pun berpandangan bahwa untuk komunitas Tionghoa yang
ada di Bantaeng sudah tidak ada lagi yang menganut Khonghuchu meskipun sebagian
besar dari mereka masih melaksanakan tradisi Tionghoa yang identik dengan
ajaran khonghuchu, namun sebagai agama mereka tidak lagi menganut Khonghuchu,
karena mereka telah menganut Kristen, Katolik, Buddha, bahkan Islam.
Tidak dikenalnya
Khonghuchu sebagai sebuah agama yang masih memiliki pengikut di Bantaeng
menurut pengamatan peneliti disebabkan, komunitas Tionghoa yang ada di Bantaeng
telah melakukan konversi agama, setidaknya secara formal mereka tidak ada yang
mencantumkan Khonghuchu sebagai agama mereka. Sehingga dalam pendekatan
struktural atau statistik, Khonghuchu di Bantaeng dianggap tidak ada. Tidak
adanya jumlah penganut Khonghuchu di Bantaeng secara statistik, sebenarnya
tidak bisa dijadikan acuan untuk menyatakan bahwa di kabupaten Khonghuchu sudah
tidak ada lagi. Karena hal tersebut lebih dikarenakan pelarangan Khonghuchu
sebagai agama resmi, sehingga tidak bisa dicantumkan di kartu dientitas serta
ketidaktahuan mereka akan pencabutan larangan tersebut. Di samping itu
ketakutan yang tersisa akibat bias trauma sejarah pelarangan Khonghuchu membuat
persoalan agama menjadi hal yang sensitif bagi mereka, sehingga mereka tidak
menyatakan secara jelas bahwa mereka adalah penganut Khonghuchu dan akhirnya
mereka tidak dikenal dan tidak teridentifikasi sebagai penganut Khonghuchu.
Semisal bapak Effendi Sinyo pemilik rumah Makan Sederhana di Jalan Manggis
Bantaeng, kebanyakan orang yang mengenal beliau adalah sebagai penganut Buddha,
sangat jarang yang mengetahui beliau sebagai penganut Khonghuchu taat, hal ini
disebabkan yang bersangkutan tidak mempublikasikan dirinya sebagai penganut
Khonghuchu ditambah secara formal beliau ber KTP kan Buddha.
Selain tidak adanya
angka statistik mengenai penganut Khonghuchu, keberadaan Khonghuchu di Bantaeng
yang dianggap tidak ada di Bantaeng baik oleh masyarakat maupun pemerintah juga
disebabkan persepsi mereka umumnya tentang Khonghuchu bukan sebagai agama
formal lainnya seperti Islam, Kristen, maupun Buddha. Umumnya mereka
berpandangan bahwa Khonghuchu tak lebih dari tradisi China dan bukan agama.
Selain itu, tidak adanya aktiviats kegiatan keagamaan penganut Khonghuchu di
Bantaeng juga semakin memperkuat anggapan bahwa di Bantaeng tidak ada penganut
agama Khonghuchu.
Meskipun dari nenek moyang mereka yang datang adalah umumnya penganut
Khonghuchu, namun pada perkembangannya, perkembangan penganut Khonghuchu di
Bantaeng, baik secara kuantitas dan kualitas mengalami gerak regresif yang
cukup tajam, khususnya pasca pelarangan Khonghuchu sebagai agama resmi dan
sentimen anti China yang cukup menguat semenjak paruh kedua dekade 1960-an.
Secara kuantitas, eksistensi umat Khonghuchu mengalami penurunan secara
drastis, bahkan dalam angka statistik berada pada angka nol. Yang tersisa dari
penganut Khonghuchu adalah beberapa orang tua atau sesepuh masyarakat Tionghoa
yang telah berusia lanjut dan tidak mengalami regenerasi di kalangan generasi
di bawahnya.
Secara pemahaman mengenai agama Khonghuchu pun
mereka masih sangat awam, hal ini dikarenakan tidak adanya lagi aktivitas
dakwah dan pelaksanaan ritual kolektif yang dilakukan. Praktis, aktivitas
keagamaan Khonghuchu dapat dikatakan tidak ada, setidaknya secara kolektif,
kalau pun masih ada yang melaksanakan aktivitas keagamaan Khonghuchu, hal
tersebut tak lebih sekedar aktivitas yang dilaksanakan secara personal.
Sebelumnya, menurut penuturan bapak Effendi Sinyo yang merupakan informan kunci
kami, bahwa dulu di era sebelum tahun 1960-an pertemuan rutin mereka kerap
dilakukan, khususnya untuk melaksanakan ibadah bersama atau peringatan keagamaan
yang dilaksanakan secara kolektif. Namun, hal ini mengalami penurunan hingga
tidak ada sama sekali semenjak pelarangan khonghuchu sebagai agama resmi dan
banyak diantara mereka yang menganut Khonghuchu telah meninggal dunia dan
pindah ke daerah lain. Dengan demikian, praktis dapat dikatakan, kegiatan
keagamaan Khonghuchu berupa dakwah, pertemuan, maupun ibadah bersama tak pernah
dilaksanakan lagi di Bantaeng.
Pengorganisasian umat Khonghuchu di Bantaeng,
meskipun secara nasional telah ada Majelis Tinggi Agama Khonghuchu Indonesia
(MATAKIN) yang berdiri secara resmi pada tahun 1955 di Solo, belum pernah
terbentuk. Upaya pengorganisasian ini pernah hampir dilakukan, menurut Eddy
Tunggeleng, bahwa dr. Ferdy Sutono (yang kini ketua Majelis Khonghuchu [MAKIN]
Kota Makasssar) pernah meminta beliau untuk mendirikan organisasi MAKIN di
Bantaeng, namun hingga hari ini belum mendapatkan orang yang bisa ditunjuk
untuk mengurus MAKIN di Bantaeng dan hingga hari ini organisasi MAKIN belum
terbentuk di Bantaeng, dan menurut Eddy Tunggeleng dia akan siap membantu
terbentuknya MAKIN di Bantaeng meskipun dia secara formal akan tetap menganut
Buddha sebagai agamanya walau dia juga tidak menampik jika dia juga disebut
sebagai penganut Khonghuchu, meski tidak secara formal. Ketiadaan organisasi
Khonghuchu ini menjadi problem bagi perkembangan agama Khonghuchu di Bantaeng.
Agama Khonghuchu di Bantaeng kalaupun memiliki pengikut, akhirnya hanya
bersifat keyakinan personal yang tak memiliki perwujudan sosial dan sangat
sulit diharapkan untuk dapat memberikan kontribusi sosial bagi masyarakat
sekitar, terlebih untuk mewujudkan kehidupan keagamaan yang harmonis dan
komunikasi antar umat beragama.
Mengenai pelaksanaan tata peribadatan Khonghuchu,
peneliti melakukan kategorisasi berdasarkan fakta yang peneliti dapatkan di
lapangan, bahwa pola pelaksanaan ajaran khonghuchu yang dilakukan oleh warga
etnik Tionghoa di Bantaeng terdiri atas dua kategori, yaitu mereka yang meski
secara formal tidak mencantumkan agama Khonghuchu dalam kartu identitas mereka
tapi dalam praktek keseharian mereka adalah seorang Khonghuchu Tulen. Untuk
kategori ini peneliti hanya menemukan beberapa orang dari kalangan sesepuh
masyarakat Tionghoa di Bantaeng, diantaranya Bapak Effendi Sinyo beserta
istrinya di Jalan Manggis Bantaeng dan Bapak Ci Heng di kawasan Pasar Baru
Bantaeng.
Kategori kedua adalah mereka yang secara formal
tidak menganut Khonghuchu sebagai agama tapi dalam praktek kesehariannya masih
aktif menjalankan ritus dan tata sembahyang ala agama Khonghuchu. Umumnya
mereka yang peneliti temui masuk dalam kategori kedua ini. Dalam praktek
peribadatan mereka melakukan sinkretisasi antara ajaran Khonghuchu dan agama
resmi mereka (khususnya yang beragama Buddha), seperti dalam altar sembahyang
mereka selain terdapat patung dan gambar Dewi Kwan Im dan Dewa Kwan Khong,
serta simbol-simbol agama Khonghuchu lainnya (seperti foto-foto leluhur) namun
di altar tersebut juga mereka memasang patung Budddha. Mereka yang secara
formal beragama Buddha melaksanakan sembahyang ala agama Khonghuchu tersebut
secara rutin setiap hari, sedangkan untuk mereka yang beragama Kristen dan
katolik umumnya menjalankan acara sembahyang tersebut hanya sekali-sekali saja
ketika ada acara-acara tertentu seperti Imlek atau momen-momen tertentu saja
dan tidak menjadi laku keseharian mereka sebagaimana mereka yang secara formal
menganut agama Buddha.
Di Bantaeng tidak ada Klenteng atau Liteng yang
merupakan tempat ibadah penganut agama Khonghuchu. Mereka melaksanakan ibadah
di rumah-rumah atau di tempat usaha/kerja mereka, di mana mereka memasang altar
sembahyang. Pada momen tertentu mereka melaksanakan ibadah di Klenteng yang ada
di Jalan Sulawesi Makassar. Namun, menurut Bapak Effendi Sinyo, mereka kerap
kumpul jika ada rohaniawan Khonghuchu dari Makassar di rumah Bapak Ci Heng,
yaitu di toko 33 di kawasan Pasar Baru Bantaeng. Namun setelah peneliti
mengkonfirmasi kepada bapak Ci Heng, kegiatan kumpul-kumpul tersebut sudah lama
tak dilaksanakan lagi, dan ketika acara tersebut dilaksanakan yang datang pun
tidak semuanya adalah penganut Khonghuchu tulen.
Kutipan hasil penelitian tersebut, bagi saya
itulah realitasnya, apalagi saya terlibat langsung dalam proses penelitian
tersebut. Ada pikiran yang berkecamuk, sekaligus saya membatin, bahwa betapa
sebuah pergolakan politik, bisa saja menghilangkan sesuatu yang paling hakiki,
paling asasi pada diri seseorang. Betapa tidak, sebuah anutan hidup, petunjuk
hidup yang begitu sakral, luhur dan mulia dari seorang ‘nabi’ Khonghucu,
tercerabut begitu saja sebagai akibat dari keserakahan kekuasaan politik. Bapak
Efendi Sinyo (Baba’ Cangkeng) dan Ci Heng, adakah mereka sebagai The Last
Khonghucu di Bantaeng? Wallahu a’lam bissawab. Lalu saya teringat dengan sebuah
filem yang cukup dramatis, yang berjudul The Last Mochikhan, yang sudah beredar
beberapa waktu yang lalu.***