Selasa, 31 Maret 2015

MIMPI


anak kecil itu tertidur pulas
usianya dua belas tahun
seumur dengan pohon jambu di halaman rumah
daku yakin ia bermimpi


daku pun mengintip mimpinya
lewat lubang kecil pikirannya yang jernih
daku julurkan bola mata batinku
benar, benarlah ia bermimpi
mimpinya tentang daku
yang mengintipnya kala bermimpi

ternyata daku bermimpi
tentang mimpi anak kecil
yang tak jauh dari selasar ruhaninya
tentang keceriaan, kegembiraan seorang anak
yang saban waktu dirampas oleh pekarangan sekitar
yang tak ada lagi

PEMBERIAN


Sore yang rintik, diiringi air yang jatuh satu persatu di pucuk atap, sekawanan sahabat terlibat obrolan ringan. Tiba-tiba saja datanglah sosok anak kecil, belia sekali, meminta-minta uang, sebagaimana kebiasaannya. Rupanya ia belum beranjak dari kebiasaan mengemisnya. Salah seorang dari sahabat sahaya memberikan uang receh, namun sahabat lain mengomentarinya, itu bukanlah apa-apa. Guru Han yang hadir di kawanan itu langsung menyambar perkataan itu dengan sejumput tutur: " Sebentuk pemberian tidak boleh diukur oleh pemberi, tapi ukurannya terletak pada yang menerima. Jikalau yang menerima itu sudah menerimanya, maka itulah puncak akad dari sebuah transaksi si pemberi dan penerima. Dalam konteks ini, tidaklah mengenal kata bukan apa-apa dan ada apa-apa."

DION-MONOLOG



NASKAH MONOLOG AIR MATA DARAH
Penulis Naskah       : Dion Syaif Saen
Pemeran                 : Atte Shernylia Maladevi
Sutradara              : Yudhi Asman Pasauri
Musik Pengiring      : Ashok Komplen, Irsan Komplen

SIN I
(Sambil menatap slide, dia menahan sesak akan kejadian – kejadian yang seolah memaksanya untuk bicara agar semua orang tahu tentang apa yang sedang berkecamuk dalam dirinya)
(Sesaat setelah proses penayangan slide)
Ini hari apa?
Ini pertanda apa? (bertanya ke penonton) apakah aku masih ingat akan kejadian memilukan di masa lalu?(mencoba bertanya pada dirinya sendiri)
Sepertinya………sepertinya, aku sudah mulai lupa semuanya. Yang tersisa hanya sepenggal tubuh leluhur…itupun hanyalah simbol belaka. Beserta sedikit ukiran – ukiran zaman yang sudah semakin dipudarkan pula. 
Apa nama peradaban ini?
Tolong bantu aku untuk mengingatnya, agar aku bisa mengabarkan pada kisanak yang juga sudah lupa akan tanah bertuah ini.
Apa nama hari ini? untuk apa kita sama – sama berada di hari ini?
Cukupkah hanya dengan melagukan dan mendentingkan lagu gugur bunga, lalu kita menangis haru bersama?
Tolong ingatkan aku, bantu aku untuk menyelesaikan kebuntuan ini. kebuntuan akan nama dan jargon yang semakin disuburkan sementara mengaburkan sesuatu yang lain.
(Duduk, sambil menggosok kedua matanya seolah ada yang menghalangi pandangannya)
Ada apa dengan mataku ini? ada apa dengan kedua bola mataku ini? bukankah aku telah banyak menyaksikan kejadian – kejadian di masa lalu, dan kemudian tiba – tiba aku hadir di sini tanpa tahu - menahu tentang hari ini.
Ini yang membuatku sangsi pada diriku sendiri, dan juga membuatku sedikit gengsi untuk mengakuinya.
Ada apa dengan mataku ini? kenapa pujian – pujian itu sulit untuk aku cerna, mengapa pujian – pujian itu sulit untuk aku tatap?
Sementara telah lebih dari sewindu lamanya aku menyaksikan sekumpulan ilalang mematung sepi, mereka hadir hanya sebagai pembeda yang selalu dibedakan.
Apakah harus aku manjakan pula kedua bola mataku ini? sementara ribuan mata memandangku nanar, ribuan mata memandangku tanpa mengerling sedikitpun seolah menelanjangiku.
Mereka menatapku dengan penuh kecemasan akan keterbatasannya yang kemudian akan menjadi petaka hidupnya.
Ada yang hilang mimpinya, ada yang dijamah kemudian dilupakan begutu saja. Seolah diberikan ruang kemudian dipuja. Itupun dengan pemujaan yang jauh dari kesan pemujaan keramat.
(Mencoba memperkuat pernyataannya )
Atau mungkin mending kita sama – sama menangis, agar kalian tahu betapa pahitnya air mata dan perihnya luka yang berdarah dan mengangah
(Berjalan dan kemudian menemukan kertas penuh darah)
Ini apa? Ini darah milik siapa?
Untukmu? Bukan… tentu saja bukan untukmu, karena ini untukku yang telah lama kering dengan air mata.
Ini darah yang sama dengan darahmu, darah ini adalah darah yang sama dengan darah yang mengalir di setiap lintasan nadi kehidupan. Kejujurannya sama dengan kejujuran nilai – nilai luhur para pendahulu kita.
Lalu mengapa yang tertinggal saat ini hanyalah nalar dan logika  kelas tinggi, nalar dan logika kelas elite yang suka pamer.
Hahahaha..
Ini hari apa? Ini zaman apa? (sambil tertawa sinis)

SIN II
(Berdiri dengan tegak sambil bertanya dengan penuh rasa khawatir)
Pantaskah kita tumbuh bagai ilalang yang mematung sepi? Tanpa kejelasan, tanpa komitmen yang bisa dijadikan penyanggah kehidupan yang sudah mulai kerontang ini, tanpa sepoi angina…… dan tanpa kau tengoooookkkkk lagiiiiiii.
Dan kemudian kisahmu akan terbit dalam halaman koran ternama, dalam artikel – artikel hebat, namaku kau tulis saja di sudut paling bawah dengan hururf – huruf kecil, lalu kubiarkan namamu yang terpampang jelas dan nyata dengan tulisan HURUF – HURUF KAPITAL yang TEBAL.
Dan dunia akan bersorak memujamu, lalu kami dis sini akan ditindih beban berat akan nama besarmu beserta ko..lo..ni..mu..
Atau mending begini saja, sejak kecil… semenjak kami kanak – kanak, kau giring kami ke tempat sunatan massal, lalu kau sunat kami beramai – ramai. Setelah itu kau suruhlah kami ikut lomba lari dan menunggui kami di garis finish. Dan kau berikan kami sebuah tepukan beserta sebiji permen untuk bersama. (sambil tertawa miris)
Hufftttttt… tenanglah diri..tenanglah (mencoba menenangkan diri)
Biarkan hari bergeser melipat rapi kebuasan, biarkan mereka memenjarakan pengetahuan, biarkan mereka mengerdilkan nilai, biarkan…biarkanlah..
Sebab kenapa? Sebab bagiku mereka hanyalah akan terbang mengepak bagaikan balon sabun, yang sebentar lagi akan hancur oleh RE TO RI KA dan TE O RI besar yang mereka buat sendiri

SIN III
(tiba – tiba menatap tajam ke penonton dan bertanya)
Apa ? apa katamu? Coba ulangi lagi ! (memasang telinganya dengan baik seolah ingin mendengar apa yang dikatakan penonton)
Kalian masih saja bertanya ini hari apa.. kalian masih saja bertanya ini pertanda apa?
Dengan lantang kukatakan bahwa hari ini adalah hari berkabung akan runtuhnya PENGETAHUAN.
(sambil menunjuk slide) lihat ini…. lihat ini pertandanya.
Masihkah kalian punya mata ? masihkan kalian punya rasa ?
Masihkah kalian punya sedikit rasa khawatir ? jika tidak, maka akulah orang yang pertama kali akan mengatakan bahwa KETIDAKWARASAN  ini sudah menjadi virus.
Virus yang telah membuat kita lupa akan kebiasaan – kebiasaan bersinergi dengan alam. Kebiasaan – kebiasaan bercengkrama dengan cakrawala, bersinergi dengan alam, dan kebiasaan – kebiasaan memunguti ranting demi ranting pengetahuan.
Bukan dengan memilih diam dan sama – sama menangis dengan mengeluarkan AIR MATA DARAH.

SIN IV
(dengan nada yang mempertegas)
Ya … AIR MATA DARAH, karena air mata bening sudah tidak ada, air mata bening sudah kering, air mata bening sudah habis (dengan penuh haru dan menangis menatap kedua tangannya)
Yang tersisa hanyalah kekuasaan yang berhamba, pertanda KE PU CA TAN SEJARAH.
Lalu apa pilihan kita?
Aku memilih menghiasi kepucatan itu dengan manik – manik ide dan cerita dalam setiap tegukan kopi yang kuminum di beranda literasi.
Seberapa dekatkah kita dengan dunia baca ? seberapa sukakah kita dengan dunia sastra ? dunia menulis ?
Apa yang kelak akan kita wariskan pada anak cucu kita?
Jangan hanya membangun raga yang indah dengan fisik yang tinggi menjulang, sementara bangunan jiwa kita lupakan. Bangunan jiwa anak cucu kita tidak terpinggirkan. Alangkah eloknya jika jiwa mereka dibangun dengan nilai – nilai luhur para leluhur yang harus dilestarikan dan dipertahankan di tanah bertuah ini.
Peradaban ini sudah lama, peradaban ini sudah tua dan hampir punah. Seiring dengan runtuhnya ingatan kita tentang pau – pau turiolo yang termuat dalam kitab LONTARA BILANG.
(sambil diiringi pukulan gendang TUNRUNG TALLU)
Dikisahkan percakapan To Manurunga dengan tujuh Kare yang pada saat itu tengah melamar To Manurunga menjadi Karaeng Bantaeng
To Manurunga berkata : “Ero’ja nuangka’ anjari KARAENG, mingka I nakke pa anging na I kau leko’ kayu, I nakke pa je’ne’ massolong na I kau sampara mamanyu’”
Ni ta’goki kananna To Manurunga ri Kare Bissampole, na na paumi : “Kutarima Pa’pala’nu, mingka kualleko pammajiki tangkualleko pangngodi, kualleko tambara’ tangkualleko racung.
Lalu tersungkurlah Kare Bissampole sambil berlutut ke tanah, di tariknya SELE’ nya sambil berkata “ inne kanangku lanjari sabbi riallo ri boko, I nai ampilari kananna I nakke ka iareka I kau. Na punna I kau inne cappa’na sele’ ku a’ribbaki mange ri kau, na punna I nakke, inne cappa’na sele’ku a’ribbaki antama’ mange ri nakke”

Tamat ………………….

Senin, 30 Maret 2015

MAINAN


Sekelompok anak-anak kecil riang gembira bermain. di halaman gedung tua Kecerian pastilah menjadi rukunnya, walakin di antara mereka tetaplah berbeda-beda tingkahnya. Sahaya memerhatikan dengan suntuk, gerangan apa yang bakal dipetik sebagai hikmah dari permainan mereka? Tentulah Guru Han yang ikut menikmati pertunjukan tak terhalang untuk bertutur: " Cobalah perhatikan dengan seksama akan anak kecil itu, mereka kita bisa terka seperti apa sosoknya bertolak pada kecendurungan mainannya. Sosoknya identik dengan apa mainan yang paling disukainya. Akan halnya orang dewasa, pun dapat kita mengerti akan sosoknya berdasarkan apa yang dikumpulkannya buat memuaskan dirinya. Sejenis mainanlah pada anak kecil. Koleksimu, sebagai mainanmu sesungguhnya adalah cermin dirimu."

Minggu, 29 Maret 2015

MATANG


Di beranda rumah tua, sisa peninggalan negeri yang makin menua, sahaya menatap tajam pada sepohon mangga yang usianya lebih tua darinya. Bebera biji buah mulai menguning kemerahan, penanda kematangan akan kualitas buah yang matang di pohon. Guru Han menyalip dalam khusyuk yang mendalam dengan sebongkah tutur: " Buah yang matang di pohon mengalamatkan puncak kedewasaan nasib sebiji buah. Pohon akan rela ditinggal buah, aneka burung pemakan buah bersantap ceria karena kenikmatan tiada tara. Dan, dikau pun akan merasakan kemudahan kala menikmati sang buah, sebab tidaklah perlu dikarbit guna mematangkannya. Kedewasaan seorang insan, ibarat buah yang matang di pohon akan mengenakkan segala yang membutuhkannya."

Kamaruddin

Sulhan , Puisi, dan Butta Toa
Hari ini, 27 Maret 2015, buku kiriman kak Sulhan Yusuf tiba di rumahku. Buku ini terbang beribu-ribu kilometer dari makassar ke Pulau Biak di Papua. Aku pantas mengucap syukur karena tiga hal.
Pertama, buku ini sedikit mengobati kerinduanku pada kak Sul, demikian ia akrab disapa. Lelaki berkepala plontos ini adalah mentor terbaikku dulu ketika masih menjadi aktifis mahasiswa. Dari tutur dan teladannya aku dulu belajar berorganisasi, bernegoisasi, dan berakulturasi. Bergabung dalam kafilahnya saat itu sukses melejitkan rasa percaya diriku sebagai mahasiswa miskin dari kampung dan kesulitan mencapai IPK tinggi. Meski, disatu titik, perbedaan pemahaman politik diantara kami membuat kami harus berpisah di persimpangan jalan, hingga saat ini, kak Sul tetaplah mentor terbaikku.
Kedua, buku ini mengembalikan ketertarikanku pada puisi. Selama bertahun-tahun terakhir ini, aku malas membaca apalagi menciptakan puisi. Padahal, tanpa bermaksud sombong, sejak masih mahasiswa dulu aku cukup akrab dengan puisi dan karya sastra lainnya. Aku cukup akrab dan bisa menikmati karya-karya Abdul Hadi WM, Danarto, Sutardji Chalzum Bachri, juga terjemahan karya Jalaluddin Rumi, Ali Syariati. Bukan hanya itu, aku juga pernah mengkritik para penulis puisi yang menurutku hanya pandai memainkan kata tapi puisinya tak mampu memantik kesadaran pembacanya untuk menemukan hakekat penciptaannya. Kritik itu dimuat di harian Fajar tanggal 14 Pebruari 1993 dalam bentuk esei berjudul Puisi dan "Puisi". Tulisan itu sebenarnya buah dari kebencianku saat itu pada beberapa teman dari komunitas kesenian di makassar yang jago membuat puisi atau syair yg religius tapi setelah itu asyik masyuk dengan kemaksiatan dan meninggalkan shalat. Selanjutnya,aku tak seberuntung kak Sul dan teman-teman lain yang bisa tetap hidup dalam semangat literasi dan komunitas yg mendukung. Sementara aku harus merantau jauh ke tanah terjauh di timur negeri ini. Sebuah negeri yang masih tertatih mengecilkan angka buta aksara penduduknya. Membaca buku air mata darah ini membuncahkan gairah yang lama terpendam. Diriku ibarat biji yang menyudahi masa dormansinya karena menemukan miliu yang cocok. Meski tak serta merta puisi menjadi menarik,tapi aku sadar betapa banyak ayat-ayat Tuhan yang luput aku renungkan. Begitu banyak pertanda ilahi yang enggan aku tafakkuri. Begitu keringnya sujudku selama ini karena hanya fokus pada kaifiyat dan bacaannya. Alhasil, buku ini menyadarkan bahwa kata bukan sekedar alat komunikasi, tapi juga sarana berkontemplasi.
Ketiga, buku ini menjadi asbab aku bisa beramal karena menurut kak Sul seluruh hasil pembelian buku ini akan didedikasikan untuk aktifitas literasi di bantaeng. Bantaeng adalah tanah kelahiranku, tanah kelahiran ibu, kakek, buyut dan generasi awalnya. Meski jauh dan tak pernah tinggal di bantaeng, pesona tanah ini selalu terasa memanggilku pulang. Pantai, sawah, dan gunungnya tetap jadi pantai, sawah, dan gunung terbaik yg pernah aku lihat dan rasakan. Mungkin sudah saatnya aku berpikir untuk pulang ke Butta Toa, tempat dimana para "antoaku" lahir, hidup, berbakti, dan mati. ( biak, 27 Maret 2015 )

Senin, 23 Maret 2015

Idham Malik

IRONI POLITIK DALAM AIRMATADARAH
 
Pada sadarnya, sebuah puisi adalah sebuah penemuan. Atau kalau diartikan dalam bahasa latin menjadi poetic, suatu kebaruan. Walau pun mungkin hanya bersifat minimal atau semacam pengulangan-pengulangan yang kreatif. Pada sadarnya pula tak ada yang asli di dunia ini, kita selalu meniru, kita selalu menculik, kita selalu meminjam apa-apa yang sudah ada. Tapi, penemuan kita adalah ketika kata-kata yang lazim itu kita formulasi dan membuatnya menjadi bermakna. Tentang makna itu sendiri, dalam puisi tidak ada yang dapat mengklaim makna general, tapi setiap pembaca dapat memaknai sesukanya atau arbiter.
Sebuah puisi dapat memperkaya wawasan atau nurani kita akan makna, yang sumbernya berasal dari hubungan kata dengan kata, kalimat dengan kalimat. Ketika kata dengan kata itu menimbulkan efek makna, tanpa kita menghiraukan konteks, di situlah kekuatan sebuah puisi. Yaitu pada interteksnya.
Membaca puisi-puisi dalam buku mungil “air mata darah”, membuat kita untuk mengerti banyak hal. Paham tentang nilai-nilai, yang tampaknya dengan sengaja diselipkan oleh penulis pada sebagian besar sajaknya. Saya menduganya, karena penulis mengawali karirnya sebagai aktivis, lalu menjadi pedagang, kemudian menjadi sastrawan. Jadi, level-level itu, kadang-kadang menyetir pesan yang ingin disampaikan. Ia ingin mengutarakan sesuatu yang kritis, namun dengan cara puitis, begitulah kira-kira.
Coba kita simak puisi di bawah ini :

Bantaeng
Butta Toa julukanmu
Dimasa silam
Adamu sudah 759 tahun
Tapi kemanakah
Kami melacak ketuaanmu?
Sebagai alamat kematangan jiwa?
The New Bantaeng jargonmu
Bantaeng baru sloganmu
Di waktu kiwari
Banyak yang baru
Tapi apa guna kemasan baru
Jikalau insan kerdil yang melata di atasnya?
Saya mencoba membayangkan rasa dari puisi ini, dan saya menemukan rasa prihatin penulis, yang tidak lain adalah warga Bantaeng yang aktif. Pembaca yang bukan warga Bantaeng pun dapat merasakan paradoks-paradoks dari rententan teks puisi itu, yang maknanya dapat ditangkap secara general, bahwa sesuatu yang baru di Bantaeng belum tentu berguna bagi masyarakat kecil. Dan bertambahnya sebuah umur belum tentu membuat sebuah kota menjadi lebih dewasa. Kota diandaikan seperti tubuh yang punya umur, atau seperti kesadaran yang senantiasa berkembang. Selain itu, orang kecil selalu menjadi perhatian penulis, yang dimana mewakili jiwa aktivisnya. Orang kecil diandaikan melata di atasnya, orang kecil seperti semut-semut yang dengan mudah disingkirkan, baik oleh pembangunan atau atas nama perbaikan suatu kota. 
Contoh lainnya ada pada puisi berjudul "Baru" : Apa yang baru di tahun baru, jikalau masih mukim di rumah yang reot? ....... Lalu apa arti rumah, bagi perumah yang tak bahagia di rumahnya, di tahun baru yang selayaknya punya rumah baru? Tidak butuh petuah dari yang berkutat pada kuasa, jikalau pencoleng, pencopet, perampok, pencuri, dan pembakar rumah masih mengintai dengan selaksa ancaman....... Pada puisi ini, kita dihantar untuk mengerti persoalan pada sebuah kota, yang sedang berpesta tahun baru, namun di tahun baru itu, rumah dipersoalkan. Saya tak tahu, apakah rumah ini adalah rumah dalam artian harfiah, ataukah rumah jiwa, ataukah gabungan antara rumah harfiah dan rumah jiwa?  
Hal itu juga terasa dalam puisi "Ironi", meski awalnya kita mengira tentang pelajaran-pelajaran tentang alam, yang dimana peristiwa alam yang menggetarkan dan kita tak tahu lagi bagaimana hubungan sebab akibat di alam karena kian kompleksnya, juga tercium aroma politik. “Benar-benar ironi. Hanya karena engkau melempar sebiji garam ke laut, engkau sudah merasa menggarami laut. Sehingga rasa asin dari laut itu, seakan hasil jerih payahmu. Padahal, sebiji garam itu adalah hasil memungut di ladang petambak garam.” Saya tidak tahu, apakah yang disinggung ini manusia pada umumnya, ataukah manusia khusus, yang punya kuasa di daerahnya, yang mungkin merasa hebat telah berbuat banyak di daerah kekuasaannya.
Puisi-puisi ini menyentil kekuasaan, saya tiba-tiba teringat pada sosok Rendra, yang juga berkeinginan untuk memberi warna baru pada seni, pada kebudayaan, sebuah kesadaran yang lebih progressif. Rendra juga berbicara politik. Dalam puisi-puisi politik Rendra, dan begitu juga ditemukan dalam puisi Sulhan, kesadaran politik diungkapkan dengan plastis dan estetis, meski dengan pengandaian-pengandaian atau metafora. Besar harapan, bahwa puisi-puisi ini mengguliti jiwa untuk sadar akan hak-hak, akan ketimpangan-ketimpangan, akan bagaimana sebuah negeri dikelola, sebuah kota dikelola, sebuah budaya dikelola.  
Penulis dalam hal ini Kak Sulhan adalah seorang aktivis yang menempuh segala cara untuk mewujudkan keinginan-keinginan idealnya. Beliau menginginkan sebuah komunitas masyarakat yang adil, yang damai, yang beradab. Begitulah memang keinginan-keinginan manusia-manusia humanis, yang selalu mendambakan kebebasan plus keadilan. Hal itu dilakukannya dengan membentuk komunitas-komunitas literasi, mendukung para penulis muda untuk terus berkarya, menjadi sosok bijak tempat orang berteduh dan meminta pendapat. Dalam perjalanannya, beliau membangun rumah jiwa itu, sebuah pabrik untuk menghasilkan menu-menu bagi jiwa, agar warga kota jadi seimbang hidupnya, dan dalam perkembangannya, Kak Sulhan justru ikut asyik di dalamnya, bersama anak muda anak muda kreatif. Untuk itu, Kak Sulhan bukan hanya tokoh dibalik membangun rumah, tapi juga berkontribusi membangun nuansa, aroma, keindahan-keindahan dalam rumah itu.
Catatan terakhir, bahwa puisi dapat dimanfaatkan untuk tujuan apa saja, bisa untuk menggoda kaum hawa, bisa untuk mengingatkan manusia, bisa untuk menyentuh sesuatu yang tak mudah disentuh (dalam hal ini jiwa), bisa sebagai refleksi tentang alam dan tuhan atau yang tak dikenali, dan bisa pula untuk menyadarkan pembacanya tentang ketimpangan dalam dunia sosial. Dan puisi-puisi Sulhan mewakili beragam lapisan dunianya, baik itu dunia rohani, dunia sosial, dunia pribadinya, dunia tentang alam, dan dunia politik.
Dan membaca puisinya, kita dapat mengambil apa saja dari dunianya yang begitu kaya.
 Makassar, 23 Maret 2015
Idham Malik

(Terimakasih atas bukunya)

Minggu, 22 Maret 2015

TENGGANGRASA


pohon srikaya depan rumah berbuah
tinggal sebiji saja
nampaknya mulai ranum

tiga ekor burung jalak mengencaninya
mematuk-matuk kulitnya yang petakpetak
sambil bercengkrama sesekali saling cumbu

dari balik bening kaca jendela daku intip
membatin dan jujur kunyatakan
daku menginginkan pula buah itu

tapi daku urungkan maksud
kubiarkan para jalak berpesta
melihatnya saja daku sudah bahagia

kalaupun daku butuh sebiji
cukuplah uang seribu rupiah daku siapkan
di pasar dekat rumah banyak tersedia
sebab jalak tak bisa beli buah
apalagi menyeruduk gerombolan manusia

karena semua pohon adalah tanah tumpah darahnya
merdekalah jalak berbuat di atasnya

daku begitu khawatir kala jalak terusik
bakal dipatuknya kepalaku
pada botaknya yang tak berpetak

Sabtu, 21 Maret 2015

Bahrul Amsal

21 Maret 2015

Airmatadarah dalam Tekad


Saya sebenarnya tak mengerti betul sastra, apalagi puisi. Puisi, yang kental dengan simbolisme itu seringkali membuat saya bingung. Sebab, dengan material katakatanya yang simbolis juga metafor tak pernah stabil merujuk pada satu pengertian yang pasti. Puisi, dengan gaya penuturan yang demikian, akhirnya hanya menjadi katakata yang pias makna dihadapan saya.

Puisi, dengan katakatanya yang metafor, sepengetahuan saya adalah cara untuk menangkap kenyataan yang tanpa tirai. Dengan kata, puisi ingin merekam apaapa yang murni. Puisi, jika disebut sebagai potret kemurnian, adalah media yang mengungkapkan katakata menjadi baitbait yang gamit.

Tapi justru kata tanpa tirai bisa bikin kenyataan jadi asing. Sastrawan menurut saya adalah orang yang punya semacam kemampuan membuat bahasa jadi lain. Katakata di tangan sastrawan menjadi bahan yang dilucuti dari penggunaan yang sudah umum. Di tangan sastrawan, katakata dibersihkan dari ruang tuturan umum yang sering membuat kata jadi banal. Katakata, di tangan sastrawan, seperti ditasbihkan kembali untuk dipakai seperti pertama kali dipergunakan menjadi kata yang perawan, kata yang binal.

Dengan kemampuan itulah sastrawan jadi orangorang yang punya kekuatan seperti al khemist, yakni orangorang yang punya kemampuan khusus untuk merubah sampah jadi emas. Melalui kemampuan khusus itulah, katakata yang sudah digunakan di tengah umum, yang kerap dipakai berulangulang hingga rombeng, jadi kata yang murni dan baru.


Sebab itu barangkali, katakata puitis seorang sastrawan bisa membikin sesuatu nampak jernih. Dengannya, kita dihadapan teks jadi orang baru yang lahir kembali. Di dalam filsafat, terutama fenomenologi, kita disebut menjadi seorang pemula.

Dengan menjadi seorang pemulalah kenyataan jadi nampak baru. Dunia jadi bendabenda yang tak ternamai dan transparan sehingga tak ada yang lain selain ketakjuban. Dari ketakjuban itulah lewat kata puitik sisi primordial disentuh.

Lewat katakata puisi, seorang sastrawan punya misi yang subtil, misi yang primordial. Dengan katakata, sisi afeksi setiap kita disepur dan dimurnikan kembali. Ini seperti mirip kata Lenin, yakni sastrawan memiliki tugas mengarsitekturi untuk membangun jiwa.

Kamis kemarin saya diberikan hadiah buku sehimpun puisi. Lengkap dengan tandatangan penulisnya. Buku yang tak sepenuhnya saya mengerti itu diberi judul airmatadarah. Saya tak tahu apa takdir buku itu diberi judul yang menurut saya tragedik. Yang mana airmata jika umum dipahami adalah serangkaian dari tindak kejiwaan yang misterium: sedih, bahagia, rindu, benci, marah, gundah dsb, adalah sisi dunia yang tak tembus. Airmata, dari takdir judul buku ini, adalah frasa misterius yang sulit saya tembus untuk menangkap maksud yang dikandungnya.

Dan di judul itu, darahlah yang jadi sisi paling sulit saya tebak. Dengan satu kata airmatadarah, saya menjadi orang yang nampak asing dihadapan kata itu. Darah, yang biologis dari tubuh kita, justru jadi sesuatu yang lain di judul itu. Darah yang identik dengan warna merah gelap itu, barangkali bisa jadi lambang suatu arti: pengorbanan.

Tapi sudah saya katakan airmatadarah adalah kata puitis yang jadi asing, makanya ia jadi frasa yang tragedik bagi saya. Juga kata itu menurut saya sudah dilucuti jadi suatu yang baru, maka itulah ia memang seperti kata yang baru pertama kali digunakan untuk merujuk kepada suatu pengertian, tetapi apa?

Dan biarlah itu jadi ruang kosong yang tak bertuan. Dengan begitu makna judul airmatadarah bebas untuk diberikan maksud oleh sesiapa pun. Bahkan sang penulis tak punya kuasa untuk membangun jalur rel makna di situ. Makna, ataupun maksud, dengan begitu jadi bebas tak bertuan. Dengan iman seperti ini, sang penulis memang sudah mati seperti didaku Roland Barthes. 

Dari tulisan ini jika saya diberikan pilihan untuk menunjuk satu pusi yang saya senangi, maka saya akan memilih Tekad sebagai puisi pilihan saya. Di puisi itu, seperti ada sebuah pertaruhan tentang sebuah akhir dari masa kini yang jadi titik permulaan. Ini seperti dua orang yang terlibat perjanjian untuk sebuah bukti di masa depan. Ini persis hukum kontradiksi Gramsci, bersamasama sekaligus menentang. Ini seperti dua anak manusia yang membusung dada di mana mereka saling menentang di saat kebersamaan kian mengental, tentang suatu akhir yang disebut masa depan.

Kutunggu wartamu di masa datang

Joloklah bulan
Genggamlah surya
Lukisilah pelangi
Cungkillah gunung

Barulah kau tergolong:
Pemahat masa depan

Di puisi ini, jika ini sebuah tafsir, ada sebuah kabar yang bermakna penantian untuk dapat dibuktikan. Tapi di hamparan waktu yang panjang, ketika suatu ruang pertaruhan di mulai, ada beberapa hal yang mesti dapat diatasi. Bulan, surya, pelangi dan gunung, adalah diksi yang dipilih untuk menunjuk suatu hal yang mesti ditaklukkan, yang sekaligus menunjuk pada bendabenda yang tinggi dan besar. Dan sebelum diksi itu diletakkan, katakata joloklah, genggamlah, lukisilah, cungkillah, adalah pilihan kata yang menunjuk kepada suatu sikap yang mencerminkan kehendak penaklukkan bendabenda yang tinggi dan besar itu.
Joloklah, genggamlah, lukisilah, cungkillah, sebenarnya adalah katakata yang akrab ditelinga kita seharihari. Banyak pekerjaan seharihari yang menggunakan katakata itu untuk mencerminkan usaha dari setiap pekerjaan yang dilakukan. Dari katakata kerja itu, kita bisa mengerti bahwa dari pekerjaan yang dinamai dengan kata itu, manusia membutuhkan suatu modalitas untuk memulai usahanya. Dan barangkali judul puisi itu; tekad, adalah modalitas yang dimaksudkan itu.

Dari sinilah saya menyenangi puisi ini. Tekad, tanpa menyebut kehendak, adalah unsur awal dari terciptanya sesuatu yang lahir dari cipta manusia. Dengan tekad, manusia merealisasikan dirinya untuk hidup kongkrit. Dengan tekad, jika meminjam Hegel ataupun Marx adalah awal dari perealisasian diri atas kerja.
Tekad, seperti mengajak sesiapa untuk berjudi dengan waktu. Di puisi itu, waktu jadi satusatunya yang tetap, yang tak berubah dari nasib yang dipertaruhkan. Di ujung puisi itu, dengan tekad, dengan usaha yang telah menaklukkan bendabenda yang tinggi dan besar, barulah seseorang disebut pemahat masa depan. Di sini kata pemahat, adalah cermin yang mengamit makna kerja, suatu tindak yang sama dengan jolok, genggam, lukis dan cungkil. Artinya, jika ini layak disebut tafsir, adalah suatu usaha yang tak pernah selesai. Yakni tindakan terus menerus untuk memahat masa yang akan datang.

Sehimpun airmatadarah adalah buku sekumpulan puisi pertama dari Sulhan Yusuf. Tapi di dalamnya, seratus tiga puisi adalah puisipuisi yang bukan pertama kali ditulisnya. Jika bisa dibilang, dari kumpulan puisi yang sebanyak itu, adalah juga cermin yang memantulkan gejolak kejiwaan yang sedang dihadapi dari peristiwaperistiwa sehariharinya. Saya tak tahu puisi apa yang ditulis pertama kali oleh Sulhan Yusuf yang mencerminkan pergulatan batin yang sangat. Tapi kita berharap puisipuisinya akan terus lahir seiring banyaknya pengalaman hidup yang dilaluinya

Dengan maksud yang tragedik, jika masa yang datang dalam Tekad itu dihadapkan kembali kepada Sulhan Yusuf, maka orang yang seharihari dinisbahkan sebagai mentor oleh saya itu, telah dikutuk untuk dapat terus menulis. Dan kutukan menjadi seorang penulis yang akrab dengan aksara, adalah pekerjaan yang getir sekaligus murung. Melalui dua hal inilah, masa depan diukir dan diabadikan. Namun mudahmudahan, getir dan kemurungan itu hanyalah hal yang nampak di dalam tulisantulisannya.

Syahdan, airmatadarah adalah buku puisi yang layak untuk dimiliki. Setidaknya dengan puisi, lewat buku ini kita diantar untuk menjadi seorang pemula. Orangorang yang kembali menengok dunia keseharian dengan cara yang berbeda.

Makassar, 25 Maret 2015
Bahrul Amsal

Rabu, 18 Maret 2015

Asran Salam

Dalam AirMataDarah Ada Pelajaran Diri
Beberapa hari yang lalu, kala hujan turun sekali deras. Makassar-Tamalanrea, di Toko Buku Papirus, Saya sengaja berkunjung ke sana. Lama rasanya tak melihat tempat itu. Tempat yang banyak menyimpan kenangan; perjumpaan dengan orang-orang baru, pemikiran baru. Tempat yang sederhana, namun memiliki sejuta semangat perihal peradaban literasi tetap abadi. Papirus, lama rasanya saya tak mencium aroma tumpuk buku-bukunya. Papirus, di situ saya beberapa tahun pernah menggantungkan hidup secara ekonomi. Papirus, pemiliknya Sulhan Yusuf adalah bos yang tak berlagak bos, karena lebih banyak menjadi guru, sahabat dan inspirasi hidup bagi saya.
Pada beberapa hari yang lalu itu, saya berkunjung ke sana dengan membawa kelipatan rindu. Yang pertama, rindu sebagimana kenangan-kenangannya. Yang kedua, rindu segera mendapatkan buku yang ditulis oleh sang pemilik Papirus; Sulhan Yusuf, bos yang tak berlagak bos itu. Dari Samata—Gowa, setelah menulusuri jalan-jalan yang padat dan bising deru mesin. Sekitar pukul 14.30 Wita, saya tiba di Papirus. Kak Sul (begitulah kami memanggilnya) menyambutku dengan senyum khasnya—tulus tanpa pretensi. Sebelum saya duduk, karena rindu ingin cepat melihat dan membaca bukunya, lalu saya meminta ke kak Sul untuk memberikan secepatnya—seperti orang yang memaksa—ke saya.
AirMataDarah begitulah judulnya, seketika sudah berada ditangan saya. AirMataDarah adalah sekumpulan puisi kak Sul. Jika ada yang bertanya mengapa AirMataDarah? Dalam buku itu, tak ada petunjuk yang jelas perihal tersebut. Satu-satunya petunjuk tentang judul AirMataDarah bahwa ia adalah salah satu puisi dalam buku tersebut. Buku AirMataDarah tidak hanya sekadar sekumpulan puisi, tapi bagi saya—jika tak terburu-buru menyimpulkan—adalah sekumpulan rekaman hidup; intelektual, spirirtual, sosial, budaya, politik dalam pelampauan ruang waktu.
AirMataDarah, dengan jumlah seratus tiga puisi, mengingatkanku pada sekumpulan puisi Muhammad Iqbal yang berjudul Asrar-i-Khudi. Dalam Asrar-I-Khudi, Muhammad Iqbal menjelaskan pandangan filsafatnya tentang diri pribadi dengan segala dimensinya. Apakah ada kesamaan AirMataDarah dan Asrar-I-Khudi? Entahlah, tapi AirMataDarah juga banyak bercerita tentang diri pribadi dengan segala dimensinya. Untuk satu contoh puisi pada AirMataDarah yang berjudul “DIRI” (hlm;61) di sana kita bisa menemukan bait-bait tentang pelajaran diri yang tertemukan:
“Usaikan dulu tentang pelajaran diri, kemudian
mulai belajar tentang yang lainnya. Sebab, insan
yang telah selesai belajar tentang dirinya, akan lebih
mudah mempelajari sesuatu yang beredar di luar diri”
Pada bait ini, sepertinya kak Sul memberikan kompas tentang diri bahwa tak ada pengenalan pada makrokosmos (alam semesta) tanpa sejak awal tak menyelesaikan pelajaran mikrokosmos (diri). Lalu di mana kita semestinya belajar menyelesaikan diri, Pada bait ke dua di situ kak Sul menjawab di sana; di sekolah kehidupan.
“Aku baru saja menyaksikan insan yang telah
menempu perjalanan,berproses untuk
menyelesaikan satu mata pelajaran tentang diri
di sekolah kehidupan”
Lalu sekolah kehidupan itu di mana? Kak Sul kemudian memberikan jawabanya pada bait berikutnya;
“Mata pelajaran diri, sumbernya boleh dari mana
Saja. Pola tingkah laku sosial, budaya, politik di
sekitar, bisa menjadi literaturnya. Sinar matahari,
cahaya rembulan, hembusan angin, desiran ombak,
aneka ragam tumbuhan dan binatang, akan dapat
mendukung proses itu”
Kemudian, kak Sul memberikan penanda kepada kita seperti apakah insan itu yang telah menyelesaikan pelajaran diri itu pada bait selanjutnya;
“Penanda insan yang telah selesai belajar tentang
Dirinya, insan akan selalu melihat dirinya pada
cermin diri makhluk lain. Tidak lagi bicara tentang
dirinya sendiri, tetapi selalu membincang keagunan
diri lain”
Pada bait terakhir, di sini sebuah konklusi perihal pelajaran diri yang telaj “selesai”. Saya seperti menemukan konklusi diri yang sama dengan apa yang pernah diutarakan oleh Muhammad Iqbal pada puisinya yang berjudul “Alam Semesta dan Kekuatan Diri”;
“Bila ke-pribadi-an bangkit mengatasi kesadaran
Diwujudkannya dunia ide dan pikiran sejati
Ratusan alam akan melingkup dalam intisarinya
Mewujudkan dirimu melahirkan yang bukan pribadimu”
Pada akhirnya, inilah pembacaan saya. Mungkin saja bagi pembaca yang lain menemukan yang lain pula. Ada teori yang pernah berbilang bahwa memang kita tidak pernah benar-benar bisa menangkap maksud pengarang seutuhnya. Kita tidak bisa menemukan makna sejati dalam artian makna pengarang pada teks yang tulisnya. Sebenarnya, apa yang saya tulis di atas yang mencoba mengurai salah satu puisi kak Sulhan Yusuf hanya sebatas penghampiran makna—kalau tak mau menyebutnya memproduksi makna sendiri....
Samata;
Dini hari, setelah pada senja hujan turun
Dingin tak terhindarkan
Untuk sang guru
Sang Inspirator
Sulhan Yusuf.

Makassar, 16 Maret 2015
Asran Salam

Atte Shernylia Maladevi

AIR MATA DARAH.
awal mendengar kabar tentang kelahirannya, bahagia tak terhingga.
Seolah menantikan kelahiran anak seorang karib, ya ..anak ruhani yg sudah sekian lama kami nantikan kelahirannya.
Setelah bertemu sang penulis, dengan senyum yg indah dan rasa bahagianya dia menyodorkannya padaku buah hatinya itu, sebuah buku berjudul AIR MATA DARAH.
Dengan mata berbinar karena haru, kuterima dengan penuh kebahagiaan dan rasa bangga. Apalagi langsung mendapatkan tanda tangan penulisnya beserta bonus doa di dalamnya.
Kami di komunitas Boetta Ilmoe merencanakan perhelatan buat si anak baru. Agar kelak kami bisa ingat masa - masa kelahirannya dan sebagai sebuah kebiasaan kami untuk merayakan setiap kelahiran anak ruhani dgn sebuah acara sederhana yang dibalut dengan rasa syukur yang luar biasa kepada Sang Pencipta.
Keberkahan demi keberkahan mengalir dari kelahirannya,
Aku yang dulunya mengalami kemunduran semangat dalam menulis akhirnya terpacu untuk menyelesaikan penulisan sebuah novel yg sdh setahun terbengkalai.
Tidak hanya itu,
Kesempatan pertama untuk membacakannya dalam sebuah perhelatan indah pun akhirnya diberikan padaku.
Ya, pagi itu aku membacakan 2 buah puisi dalam buku AIR MATA DARAH di dalam indahnya kedamaian hutan di Bantaeng.
Puisi berjudul Sampah dan Bumi.
Jelas terbaca maksud sang penulis, dia merunut kejadian demi kejadian yang terjadi dalam waktu yang berbeda.
Kalimat - kalimat yang diramu dalam pengalaman ruhaninya membuat pembaca seolah larut dan tidak jarang membawa akal dan rasa kita mencari tahu akan sosok siapa dan kejadian apa yang bersinggungan dengan kalimat dalam puisi - puisi itu.
Terlihat jelas kepandaian sang penulis dalam meramu katanya. Tidak membosankan dan berselera tinggi.
Kritikan - kritikan nya masuk akal, tidak berlebihan namun tepat pada sasarannya.
Di antara deretan puisi itu, ada 1 puisi yang sangat kuyakini itu untukku. Karena judulnya "titisan cinta leluhur" seperti judul novel pertamaku.
Ya, itulah pribadi sang penulis.. Selalu menghargai karya orang - orang terdekatnya. Selalu punya apresiasi untuk kami yang baru belajar menulis.
Hampir semua puisi bagaikan penanda akan kejadian dan hal - hal yang dialami dalam keseharian.
Dan puisi yang paling aku sukai adalah puisi yang berjudul PENDEKAR.
Disana sang penulis mengurai sosok seorang pendekar yang dibandingkan dengannya yang sangatlah jauh dari sosok pendekar yang di elu- elu kan banyak orang.
Aku mencium kritikan pedas penulisnya namun masih saja kalimatnya penuh etika dan sangat indah dimata dan telinga namun menusuk ke hati yang paling dalam.
Ya, sederhana namun luar biasa
Itulah AIR MATA DARAH
Seperti sosok penulisnya yang sangat jauh dari kesan WAH.
Namun memiliki kepribadian yang Megah buat kami.
Kanda Sulhan Yusuf,
Kami menanti karya - karya selanjutnya.
Salam hangat buat Sang Guru.
Barakallah.
Bantaeng, 17 Maret 2015
Atte Shernylia Maladevi


Jack Kashbie

Assalamualaikum Bung Sulhan Yusuf. Apa kabar? Semoga tetap sehat dan selalu sukses dalam karya cipta.
Terima kasih telah sudi mengirimkan buku "Air mata darah" buat saya. Semoga Allah membalas kebaikan hati anda. Amin.
Sungguh indah karyamu
Untaian kata nan indah bak mutu manikam
Liku-liku kehidupan tersurat dan tersirat didalamnya
Hanya pikir jernih dan bening hati yang dapat merangkai kata dengan indah
Allah taqdirkan seorang hambaNya jadi pencatat isi kepala dan isi hati manusia
Namun jangan cepat puas, cerita masih panjang, kata-kata masih tercecer di jalanan kehidupan. Ayo pungut, ayo rangkai, jadikan kalimat penuh makna dan sarat guna buat sesama insan Tuhan.
Tangerang, 18 Maret 2015.
Salam dari sahabat, Jack Kashbie.

Ismail Ridha

Rasa kantuk sungguh tak tertahankan. Apalagi sejak semalam, tak sedikit pun ada waktu buatku untuk sekedar berbaring. Pasalnya, sepulang dari Bedah Buku, "Dalam Pejaman Mata" yang telah dilaksanakan selepas Isya hingga pukul 23.30, saya langsung masuk kerja dan bertugas hingga pagi.
Tak jauh dari tempat kerja, sekitar pukul 09 pagi, saya menyempatkan singgah di kantor pos Pettarani untuk mengirim pesanan buku seorang kawan asal Kalimantan Timur. Transaksi berlangsung cepat tanpa antri. Sebab memang masih sepi. Lalu, pintu utama yang sepenuhnya terbuat dari kaca itu kembali terbuka. Saya menoleh. Kaget. Ada seorang lelaki masuk.

"Kak Sul?" Begitu saya menyapanya, terperanjat.
"Oh, antum di sini rupanya!" Sahutnya seolah sudah tahu akan bertemu.
"Iye' ustadz. Saya lagi mengirim buku juga!"
Tanpa basa-basi, beliau langsung mengeluarkan sebuah buku dari saku jaket hitamnya, berjudul "AirMataDarah". Sebuah buku yang telah lama saya tunggu-tunggu. Tapi tak pernah sempat menemui beliau. Tiap buka FB dan mendapati buku itu, kaki rasanya tak ingin berhenti terayun untuk segera melangkah ke toko bukunya.

Karenanya, ketika beliau menyodorkan bukunya kepadaku, tak kusiakan. Segera kugeledah tas ranselku berwarna hitam pekat. Mencari pulpen. Minta tanda tangan langsung dan berfoto bareng dengannya. Pertemuan ini, tentu bukanlah suatu kebetulan. Sebab, kuyakin, tak ada akibat yang berasal dari kebetulan-kebetulan itu.
Kami pun berpisah.

Di jalan, tak henti-hentinya senyumku bermekaran. Bahagia, tentu. Tak ingin rasanya saya melewatkan bacaan hasil buah tangan dari seorang yang kharismatik ini. Apalagi rasa kantukku telah terusir. Setiba di rumah, saya langsung mengutak-atik tebaran puisi/sajak yang penuh dengan petuah-petuah hikmah.
Disusun berdasarkan abjad. Di mulai dari huruf A sampai W. Sehingga tak sulit menemukan awalan huruf pada nama Anda ketika mencarinya. Misal, nama saya Ismail Ridha. Saya akan mengambil sajak dengan judul yang berawalan I dan R. Maka kutemukanlah untaian hikmah ini:


#‎Ironi‬
... Hanya karena engkau melempar sebiji garam ke laut, engkau sudah merasa menggarami laut. Sehingga semua rasa asin dari laut itu, seakan hasil jerih payahmu. ... (Hal. 79)
Seharusnya, malulah pada petambak garam, yang telah menghasilkan bermilyar biji garam, tapi tidak pernah merasa menggarami laut. (Hal. 80)


#‎Rintisan‬
... Berangkatlah ke tanah seberang
Jajallah segalanya ...
Bawalah kapak
Tebaslah yang layak
Buatlah tanda ...
Biar orang berikut menambatkan harapan
Pada jalan rintisanmu (hal. 141)

Di sini, saya kok merasa ditelanjangi ya? Tak ada jalan (kebaikan) yang dirintis, malah tak kutahu membawa kapak Haidar, tapi kemudian merasa diri orang yang paling tahu segalanya lalu berpikir sebagai hasil jerih payahnya, sepenuhnya.

Tapi, jangan-jangan nama-nama Anda juga akan dicatutkan dalam judul-judul alfabetis itu yang tak menutup kemungkinan ikut menelanjangi watak Anda. Atau justru, seperti kata kak Alto dalam "Sekapur Sirih"-nya, menjadi kutukan buat Anda. Sebuah kutukan yang lebih angker, lebih ngeri dari kutukan ibu Malin Kundang sekalipun. Sungguh, sebuah bacaan yang layak dijejali. Setidaknya, agar terbebas dari kutukannya, karena tahu diri!
Ismail Ridha
Makassar, 18 Maret 2015

Senin, 16 Maret 2015

UTUSAN


Di penghujung akhir pekan, sepulang dari perhelatan, mobil yang sahaya tumpangi bersama kawan-kawan bersenggolan dengan pengendara motor, yang sementara mengojek penumpangnya. Terjatuhlah mereka, tersungkur di aspal, luka lecet membekas memerah di siku dan kakinya. Namun ada reaksi yang berbeda di antara keduanya. Yang diojek -- menurut pengojek -- adalah seorang lelaki yang kurang normal, menolak ke puskesmas dan memilih pergi begitu saja. Sementara si pengojek ke puskesmas untuk perawatan, sembari bernegosiasi biaya pengobatan dan kendaraan. Ada yang kurang elok dari keluarga pengojek ini, sebab kelihatannya ia ingin menjadikan peristiwa ini sebagai upaya mengambil keuntungan, meski kesepakatan tercapai. Setiba di mukim, sahaya mencoba merebahkan badan, namun Guru Han mencegat dengan sepenggal tutur: " Dikau boleh mengatakan bahwa yang diojek itu adalah sosok yang kurang normal, tapi justeru dialah yang paling bijak. Sebab, ia telah menolak untuk diongkosi bahkan ia berlalu begitu saja. Belajarlah pada sosok itu, karena tidak menutup kemungkinan sosok itu adalah seorang utusan yang dihadirkan untuk menormalkan kehidupan yang tidak normal lagi, memanfaatkan musibah untuk mencari keuntungan."

Kamis, 12 Maret 2015

Para Pembakar Buku



Para Pembakar Buku
( Koran Tempo, 12 Maret 2015)

Sulhan Yusuf
Pegiat Literasi

Apa jadinya kemelataan hidup di bumi ini, jikalau saja umat manusia tidak memiliki buku? Buku adalah sebentuk benda yang paling berjasa dalam mengabadikan kumpulan pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia inilah yang membentuk peradaban. Maka jelaslah sudah, buku menjadi pilar penyangga peradaban. Tidak sedikit suatu peradaban bangkit dan runtuh karena pengaruh buku, sebab buku mempengaruhi pemikiran manusia, lalu lewat perubahan pemikiran inilah manusia berubah dari waktu ke waktu. Dan, hingga kini buku masih merupakan garda terdepan dalam melihat kemajuan peradaban suatu bangsa. Lalu bagaimana manakala ada sekelompok orang membakar buku?

Selaku pegiat literasi saya sangat  gundah akan peristiwa di bulan Januari-Februari 2015, ketika ISIS menjarah dan membakar buku perpustakaan Mosul. Sejumlah laporan dari Irak utara mengatakan, kelompok militan yang menamakan diri Negara Islam atau dulu disebut ISIS menargetkan serangan atas perpustakaan di kota Mosul, Irak. Kantor berita Associated Press, AP mengatakan, kelompok militan ini membersihkan sekitar dua ribu buku dari perpustakaan pusat Kota Mosul. Sejumlah saksi mata mengatakan, anggota ISIS membawa pergi buku-buku bertema filsafat, kebudayaan serta ilmu pengetahuan, tetapi membiarkan buku-buku teks Islam tetap di atas raknya.  Kelompok militan itu akan membakar buku-buku yang mempromosikan ide-ide sekularisme, arsip surat kabar terbitan pada awal abad ke-20, peta dan buku-buku peninggalan Kekaisaran Ottoman koleksi buku hasil sumbangan warga Mosul. Seorang guru besar Sejarah Universitas Mosul, yang tidak mau disebutkan namanya, mengatakan, diantara buku-buku yang dibakar adalah arsip penting seputar sejarah kehadiran Gereja ortodoks yang berusia 265 tahun. Kota Mosul, salah-satu kota terbesar di Irak, selalu membanggakan bahwa kota mereka merupakan kota pendidikan. Di kota ini banyak ditemukan situs peninggalan Irak kuno dan berdiri banyak perpustakaan.

Sesungguhnya, pembakaran buku dalam dunia Islam bukanlah hal yang baru. Jauh sebelumnya telah terjadi pembakaran buku dan pemusnahan perpustakaan. Syaikh Idahram dalam bukunya  Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, menguntai kalimat-kalimat; Selama Salafi Wahabi berkuasa di Jazirah Arab, sudah terlalu banyak perpustakaan Islam yang mereka bumi-hanguskan dan mereka bakar buku-bukunya, seperti pembakaran kitab-kitab para ulama klasik ketika mereka memasuki kota Makkah. Di antara buku-buku yang dibakar itu adalah kitab Dalail al-Khairat, Raudh ar-Rayyahin, buku-buku mantiq, tasawuf, akidah, dan lainnya, yang tidak sejalan dengan ajaran mereka. Inilah musibah besar ilmiah yang terjadi untuk ke sekian kalinya menimpa umat Islam.

Lebih dalam lagi Idahram menukikkan penanya, di antara kasus pembakaran buku-buku, yang paling fenomenal adalah pembakaran buku-buku yang ada di perpustakaan Maktabah Arabiyyah di Makkah al-Mukarramah. Perpustakaan ini termasuk perpustakaan yang paling berharga dan paling bernilai historis. Bagaimana tidak, sedikitnya ada 60.000 buku langka dan sekitar 40.000 masih berupa manuskrip yang sebagiannya adalah hasil diktean dari baginda Nabi Saw kepada para sahabatnya, sebagian lagi dari Khulafaur Rasyidin yang empat, dan para sahabat Nabi lainnya. Di antara buku-buku dan manuskrip itu, banyak yang masih berupa kulit kijang, tulang belulang, pelepah pohon, pahatan, dan lempengan-lempengan tanah. Pada 1224 H, kembali terjadi musibah besar dalam hal warisan ilmu para ulama as-salaf ash-shalih. Tentara Salafi Wahhabi yang dipimpin oleh Ibnu Qamala melenyapkan perpustakaan Hadhramaut tanpa bekas, dengan membakar dan memberangus gedung beserta ribuan kitab-kitab yang ada di dalamnya. Kejadian tersebut mirip dengan penyerangan yang dilakukan Hulagu Khan terhadap perpustakaan yang ada di Baghdad.

Sejarah pembakaran buku di dunia, mulai dari zaman klasik hingga masa kiwari ini, sangat lugas paparan dari Fernando Baez. Melalui bukunya, Penghancuran Buku dari Masa ke Masa, disimpulkan bahwa bibliosida (penghancuran buku) dilakukan karena motif-motif ideologis dari masing-masing pengusung ideologi. Sehingga pergolakan sosial, yang mengusung ideologi tertentu, cukup berpeluang untuk membumi hanguskan anasir-anasir ideologi yang ditentangnya. Dan, biasanya buku dan perpustakaanlah sebagai sasaran empuk, sebab di sanalah pengetahuan ideologis itu tersimpat dan terawat.

Padahal menurut  Ziauddin Sardar, seorang cendekiawan Muslim asal Pakistan menuturkan, tidak lebih dari seratus tahun setelah kedatangan Islam, industri buku maju pesat sedemikian, sehingga kaum Muslim menjadi ahl al-kitab dalam pengertian sebenar-benarnya kata itu. Karena itu, sama sekali tidak mengejutkan bila pada dua abad berikutnya, industri buku tersebar sampai ke setiap pelosok dunia Muslim. Perpustakaan-perpustakaan (baik yang milik kerjaan, yang milik umum, yang berkoleksi khusus, maupun yang milik pribadi), took-toko buku (baik yang kecil, di lingkungan mesjid, maupun yang besar, di pusat kota-kota besar dan pojok-pojok tertentu dalam bazaar-bazar), dan insane-insan buku (para penulis, penerjemah, penyalin [copier], pelengkap naskah [illuminator], pustakawan, penjual buku dan kolektor buku) : kesemua peradaban Muslim berkisar di sekitar buku. Peradaban Islam adalah peradaban buku, demikian kira-kira maksud penegasan Sardar.

Menjadi anehlah manakala ada sekelompok yang mengaku Muslim, ingin mendirikan Daulah Islamiyah, tentu bermaksud pula menjayakan peradaban Islam, tetapi salah satu agenda terdepannya adalah membakar perpustakaan, memusnahkan buku-buku yang berisi perjalanan panjang pengetahuan umat manusia, hanya karena tidak selaras dengan paham keagamaan yang mau diterapkan. Mereka membakar buku, menghancurkan perpustakaan, berarti  meruntuhkan pilar penyangga peradaban. Membakar buku sama artinya membakar pengetahuan.  Padahal, selayaknya pengetahuan bukan untuk dibakar, melainkan untuk didialogkan agar lahir lagi pengetahuan baru.




Minggu, 01 Maret 2015

TERTUNDA


Belakangan ini ada dua keinginan sahaya yang tertunda, padahal hasrat sudah menggebu, sederu bisingnya polusi suara di kotaku. Tentulah Guru Han tak berdiam diri melihat kegusaran kehendak semisal ini, maka sabdapun dilantunkan: " Keinginan yang tertunda, ibarat air liur yang menetes kala lapar sudah menggila. Tahanlah kegilaan itu sejenak, biar kenikmatan itu berlalu. Sebab, bila rasa nikmat telah lewat, maka yang tersisa tidak ada lagi perbedaan. Sesungguhnya, menunda kenikmatan adalah titian untuk tiba pada rasa antara ada dan tiada sama saja. Saat terpenuhi keinginan tidaklah menyebabkan lupa daratn padahal melata di daratan. Rasa bangga dan lupa diri sudah menjauh, seperti biasa saja, padahal keinginan telah terpenuhi.