Rabu, 29 April 2015

EMha Alahyar

LITERASI EKONOMI DALAM "AIRMATADARAH"
(catatan lagi bagi para pencari siapa dan dimana)
Literasi Perekonomian dimaknai sebagai keberaksaraan atas tindakan (aturan atau cara) berekonomi atau menjalankan suatu usaha sebagai bentuk aktifitas ekonomi. Untuk berekonomi maka sesungguhnya membutuhkan kemampuan “membaca dan menulis”.
Kata sebagai paduan aksara yang berhimpun menanda makna merupakan senjata gerak dalam dinamika sosial ekonomi dan sosial budaya. Kata yang merefleksikan keberaksaraan atas informasi, pengetahuan, dan kebudayaan ialah kata yang menghidupkan ataupun menggerakkan. Jejak kata tentang literasi perekonomian dalam buku AirMata Darah dapat ditemukenali, antara lain melalui puisi berjudul KATA. Puisi ini mengekspresi makna ke-literasi-an secara cerdas dan menggelorakan.
Dalam puisi KATA, perihal literasi ekonomi diuraikan secara puitis, dengan petikan berikut ini:
“ ...
Mereka butuh kata-kata // kata yang menghidupkan //
yang mempertahankan harkat //
yang memakai cangkul, rumput laut, biji jagung //
untuk menyatakan hidupnya // di depan dozer //
setia pada biji jagung // tidak dengan biji nikel “
Puisi di atas, sangat berpotensi untuk (ternyata) melahirkan pertanyaan “siapa dan dimana?”; puisi ini untuk dan tentang siapa, serta berada dimana? Apakah Sang Penulis Puisi termasuk orang yang “tidak dengan biji nikel”?; ataukah melalui puisinya, sedang memberi catatan kritis atas gerak dinamika sosial ekonomi yang ada dilingkungannya?; dan apakah Diri di dalam, di sini ataupun di sana, termasuk yang ikut menggerakkan laju negeri ini ke arah dinamika sosial ekonomi yang dituliskannya?
Jika kita memiliki keberaksaraan informasi, pengetahuan, dan kebudayaan yang cukup; maka sesungguhnya kita dapat memahami duduk perkara gerak ekonomi secara cukup pula, dan tidak hanya berhenti pada sikap setuju atau tidak setuju belaka. Jadi (mungkin) benarlah bahwa kita semestinya “terjun ke ranah mereka” untuk “ejakan huruf demi huruf dalam bingkai kata”. Francis Fukuyama —ekonom yang menulis pula tentang modal sosial dan penulis buku “The End of History and The Last Men”— dalam karyanya “Trust : Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran” menyatakan bahwa:
“...... ekonomi tidak pernah tumbuh di dalam ruang vakum. Ekonomi selalu mengakarkan dirinya dalam kehidupan sosial. Karena itu, adalah sebuah kemustahilan memahami ekonomi terpisah dari persoalan masyarakat dan nilai-nilai budaya.”
Saya, dan boleh jadi Sang Penulis Puisi, serta mungkin kita semua; sungguh sangat menyadari bahwa ketangguhan kinerja dan gerak ekonomi (setiap Diri dan/atau Daerah) sangatlah dibutuhkan, karena tata ekonomi yang tangguh akan menciptakan peluang penciptaan kemakmuran yang lebih besar. Meskipun demikian, gerak perekonomian dalam perikehidupan, serta ruang hidup bersama dan bersesama —dimanapun saja meruang— sudah sepatutnya dilajuarahkan secara seksama, terutama oleh para pemangku amanat atas kepentingan bersama. Dalam kaitan ini; sudahkah ada “terjun ke ranah mereka” untuk “ejakan huruf demi huruf dalam bingkai kata”, terutama guna menjelaskan tentang hasil tela’ah keseksamaan yang telah dilakukan? Hal ini penting, untuk menjembatani dan/atau membentengi perekonomian dengan akar diri kehidupan sosial ruang hadirnya. Bukankah literasi ekonomi telah menerangkan bahwa mustahil memahami ekonomi secara terpisah dari persoalan masyarakat dan nilai-nilai budaya?
Jadi “nama dan alamat” dari puisi yang berjudul KATA, sangat boleh jadi bukanlah sosok yang statis dan tunggal—perihal yang semestinya sangat berbeda keberlakuannya dalam NIK. Dalam sehimpunan puisi ini, sangat boleh jadi “nama dan alamat”nya bertempat di setiap ruang hidup yang akar sosialnya tak kongruen dengan gerak tumbuh ekonominya; atau bertempat pada setiap pribadi yang telah “melek perekonomian” yang mampu menunjuk diri dan lingkungannya secara seksama.
SALAM LITERASI

KEMALUAN





Sesosok kisanak bertandang di beranda tempat kerja sahaya. Ditumpahkannya segala keluh kesahnya, tentang keterpurukan hidupnya, sebab sumber-sumber reskinya bermasalah. Tidak cukup sampai di situ, pun didedahkannya tentang prilaku mitra-mitra kerjanya yang mulai kurang bersahabat, mulai dari cara menagih yang diikuti penekanan, pesan singkat yang meneror. Benar-benarlah tak berdaya, terpuruklah sudah hingga ke dasar permasalahan yang tak kunjung usai. Sempurnalah lilitan masalahnya. Gurun Han yang hadir, ikut menyimak, lalu bertutur lirih: “ Dikau yang terpuruk di dasar masalah ibarat orang yang sudah telanjang, bahkan ditelanjangi hingga kemalauan pun nampak. Rasa malu raib. Maka saat itulah, dikau akan melihat insan yang sesungguhnya, atas respon ketelanjanganmu, kemaluanmu yang tak tertutup. Ada yang sekadar melihat lalu menampik, tidak sedikit yang menertawaimu, pun ada yang bersimpati hingga berempati. Namun semua takkan menolongmu, sebab yang dikau butuhkan adalah selembar penutup kemaluan, sebab ia merasa apa yang ada pada dirimu yang tersingkap itu, kemaluanmu, itu pula yang ada pada dirinya. Memang ia menutup kemaluanmu, tetapi sesungguhnya ia telah menutup kemaluannya sendiri.”

Senin, 27 April 2015

KENAL-KENANG





Seperti biasanya, saban pagi sahaya mengojek anak-anak ke sekolahnya. Di perempatan lampu merah, berjejerlah baliho-baliho yang memberi pesan, akan kesiapan si jago sebagai kandidat ketua untuk sebuah organisasi. Pada perjalanan pulang, Guru Han berkelebat masuk ke relung jiwa, sambil bertutur: “ Jika hanya ingin dikenal, cukupah memang pasang baliho, pampangkanlah wajah polesan terbaikmu, bikinlah citra setinggi langit akan dirimu. Namun, kalau mau dikenang, buatlah sesuatu yang membuat jiwa negeri tenang dan menang menaklukkan masa. Pahatlah karya di palung hati negeri, lukislah cita pada asa negeri yang terpuruk ini.Orang yang dikenal belumlah tentu dikenang, tapi orang yang dikenang pastilah dikenal.”

Kamis, 23 April 2015

TELANJANG





tubuhku telanjang

jubahmulah
mengagahkanku saat siang

selimutmulah
menghangatkanku kala malam

tertawan siang
terterungku malam

bila tiba keabadian
siang malam telanjang

Rabu, 22 April 2015

MATAHARI


memang, di negerimulah matahari terbit
menawankan ragamu, lantaran masih
semenjana teriknya
semadya sinarnya
sesembahan puja puji dilantunkan


matahari berjalan melakonkan takdir
tibalah di negeriku penuh kelelahan
keringatnya pupus
panasnya membakar

menghanguskan tanah gersang

di negeriku matahari tenggelam
pelukan malam menerungkunya
negeriku selalu bermunajat
membujuknya agar tidak kembali singsing

Selasa, 21 April 2015

KARTINI

kartini,
maafku berlaksa
lantaran kutakbisa berjubel
menirumu memakai kebaya

kendati,
kaumku terpaksa
bercocok pakai kebaya

barulah itu
yang mampu
termamah

Minggu, 19 April 2015

ADAPTASI


Entah kenapa tiba-tiba saja sahaya punya banyak rencana. Tersusunlah dalam sebuah daftar yang harus dilakukan untuk masa-masa yang akan datang. Ngeri juga membayangkan guna mewujudkannya, apatah lagi ketika banyak karib yang nimbrung, urung pendapat tentang sulitnya mewujudkan rancangan itu. Bajiknya, lantaran Guru Han ikut berpetuah bijak dengan unkapan illustratif: " Jika banyak anganmu sulit terwujud, maka kendurkanlah sebagian inginmu. Kalau bajumu makin sempit, hendaklah kuruskan badanmu. Karena mengatur diri jauh lebih mudah, tinimbang mengendalikan yang di luar diri. Itulah kekuatan sebuah adaptasi, penyesuaian."

Javid dan Segelas Teh

Ahad malam ini, belumlah larut. Semangatku untuk menuntaskan editan kumpulan tulisan untuk sebuah buku lagi menggebu. Usai isyaku kutunaikan bersiaplah kembali di depan komputer. Seperti kebiasaanku, sore hari telah menghabiskan segelas kopi. Lantaran malam ini ingin menuntaskan editan, maka kuminta  segelas lagi kopi buat doping, agar lebih khusyuk dalam mengeja huruf-huruf. Kutawarkanlah permintaanku pada seisi rumah, siapa gerangan yang bersedia membuatkan doping? Segelas kopi pahit?

Dari uminya Javid terlontar jawaban, prihal persediaan kopi yang makin menipis. Pada toples kopi yang sempat kuintip, memang sudah hampir mendekati dasar pantat toples. Berarti, besok kopi mungkin akan habis. Bagiku, dan juga beberapa orang di rumah, ini sejenis "gempa" manakala persediaan kopi habis dan belum ada pasokan dari kampung. Memang sedianya akhir pekan ini aku mau ke Bantaeng, menuntaskan beberapa urusan, tapi urusan yang paling penting untuk kubawa ke sana belum tuntas, maka kusurutkan hajat dan entah berapa hari ke depan baru bisa terwujud.

Memang ada masalah sedikit sebulan terakhir ini di rumah. Pasalnya, berjebah waktu yang lalu, aku hanya peminum tunggal kopi. Belakangan, mulai ada saingan. Uminya Javid mulai ikut menikmati kopi, nyaris sama denganku. Yang lebih dahsyat lagi, putri pertamaku pun sudah mulai menikmati kopi, bahkan nyaris lebih kental dari kopiku. Ini benar-benar ancaman serius bagiku selaku peminum tunggal. Dan, benar saja, jatah yang seharusnya kusiapkan untuk sebulan, dalam dua pekan terancam habis. Yang lebih menylitkan lagi, sebab kopiku ini, harus saya beli di kampung, namanya kopi Ereng-Ereng. Dalam petualangan minum kopiku, sisa jenis kopi inilah yang masih ramah dengan lambungku, yang lainnya sudah menimbulkan efek samping, mual.

Akhirnya, solusi yang terpikirkan malam ini adalah segelas teh, agar esok hari dan sehari setelahnya masih bisa minum kopi, sambil menunggu pasokan dari kampung. Pada alternatif minum teh inilah yang tak terduga bagiku. Ternyata, yang membuatkanku segelas teh adalah Javid, putraku yang sementara masih duduk di kelas 3 SD. Dimasaknyalah air dan kemudian tehnya dimasukkan dan tentu pelengkapnya seiris jeruk nipis sebagai penyedap seperti permintaanku. Walhasil, setelah Javid tuangkan dalam gelas, rupanya gelas itu tidak penuh. Taksirannya meleset antara air yang dimasak dengan besaran gelas yang mendekati jumbo.

Berkatalah Javid kemudian, " wah gelasnya tidak penuh". Aku kemudian mendekatinya, mungkin Javid merasa bersalah, atau paling tidak kurang sreg dengan buatannya. lalu ia sambung lagi tuturnya, sebagai usulan jalan keluar, "abi, kita pakai gelas yang lebih kecil saja, biar penuh." Sebuah jalan keluar yang cukup lantip bagi seorang anak seusia dia. Berhasil memenuhkan gelas, artinya tersedia segelas teh, dan pada saat yang sama berarti telah memenuhi harapanku, segelas teh harum rasa kecut manis. Editan tulisanku pun meluncur, lancar selancar peselancar yang berburu angin, secepat seruput tegukan teh yang mengalir ditenggorokanku. Javid dan segelas tehmu ini, menunjukkan dirimu sebagai anak lantip dalam mencari jalan keluar.

Tetap Rusaidi


MELAWAN DENGAN KATA 

Daripada tidak punya aktifitas apa-apa, saya menyibukkan diri saja -lebih tepatnya berpura-pura sibuk- dengan membuat tulisan yang mungkin tak beraturan ini. Maklum, dalam keadaan gerah sebab belum mandi, dan aroma bau kotoran ayam dari kandang pemelihara ayam pedaging yang sangat mengganngu..mmm..apa hubungannya ya? Nantilah dicari hubungannya. Saya hanya ingin mereka-reka, meraba-raba dan mengira-ngira (wah sudah pemborosan kata ya, tapi biarlah. tak mengapa) tentang isi daripada buku yang berjudul AirMataDarah yang dianggit oleh Sulhan Yusuf. Kumpulan tulisan sebanyak 104 buah puisi ini, banyak membicarakan tentang kritik sosial (ini asli pendapat pribadi). Terutama kritik terhadap pemerintah yang menjalankan roda pemerintahan di kabupaten Bantaeng saat ini.(ah yang benar saja?). Mengapa kabupaten Bantaeng? Sebab Bantaeng adalah tanah kelahiran penulis buku tersebut. Dan yang tak kalah penting, di Bantaeng penulis bersama beberapa koleganya sedang mengembangkan sebuah gerakan yang disebut dengan gerakan membangun budaya literasi. Sehingga penomena-penomena yang berlaku di dalam masyarakat kabupaten Bantaeng akan coba direkam dalam bentuk tulisan. Tidak terlepas dari kinerja para birokrat yang menjalankan roda pemerintahan di kota mungil ini. Terlepas dari citra pemerintah kabupaten Bantaeng saat ini yang lagi bersinar di luar sana, bahkan konon katanya gaungnya sampai ke luar negeri. Saya fikir kehadiran buku ini tepatlah adanya. Tidak ingin membuat kita terlena dengan citra-citra yang beredar di luar sana, sehingga kita lupa membangun sebuah otokritik terhadap apa yang “menyimpang” di hadapan kita. Sehingga kehadiran buku ini bisa menjadi penyeimbang apa yang tersampaikan dan apa yang dirasakan. Khususnya bagi penulis buku ini. Puisi yang berjudul “KATA”. Khususnya pada bait terakhir yang berbunyi: “Untuk menyatakan hidupnya/Di depan dozer/Setia pada biji jagung/Tidak dengan biji nikel.” Menurut saya, pada bait tersebut adalah bentuk kritikan langsung kepada pemerintahan DR. Nurdin Abdullah selaku bupati Bantaeng yang dengan kebijakannya mengundang para investor asing untuk membangun pabrik smelter di kabupaten Bantaeng. Saya pun menjadi heran akan sikap pak Nurdin tersebut. Yang mencoba menghilangkan dan mencerabut kebiasaan masyarakat untuk bercocok tanam jagung dan menggantinya dengan pembangunan kawasan industri untuk pabrik smelter tersebut. Bukankah beliau seorang ahli pertanian? Apakah bapak bupati dua periode ini sudah lelah melihat rakyatnya dengan bercocok tanam jagung? Pemilihan kebijakan yang menurut saya sesuatu yang kontraproduktif. Mengapa beliau (bapak bupati) tidak memabngun sahaja pabrik pengolah biji jagung, coklat, kopi ataupun pabrik yang mendukung hasil pertanian di kabupaten Bantaeng. Bukankah dengan pembangunan pabrik-pabrik pendukung tersebut, telah ikut mendukung masyarakat untuk tetap percaya diri dengan produk pertanian yang mereka hasilkan, dari tanah-tanah subur di kabupaten Bantaeng. Jika pemerintah saja tidak mendukung dan menyokong mereka, maka siapa lagi yang bisa dipercaya untuk bisa membantu mereka dari kesulitan membangun pertanian masyarakat. Jika yang dibangun adalah pabrik-pabrik pengolah hasil pertanian petani Bantaeng sendiri, tentu bahan bakunya tak perlu diimpor dari daerah lain. Tetapi sebaliknya, jika pabrik smelter yang dibangun, maka bahan bakunya tentu saja semuanya didatangkan dari daerah lain.


Emha Alahyar

NAMA DAN ALAMAT SEHIMPUNAN PUISI:
catatan bagi para pencari siapa dan dimana.
Alhamdulillah, Saya termasuk orang yang ikut merindui lahirnya salah satu “anak” gerakan literasi yang istimewa ini; dan ternyata, buku AirMataDarah juga memang didedikasikan oleh Penulisnya kepada para penggiat literasi. Jadi nampaknya, seiringlah antara yang badani dengan yang spiritual. Keistimewaan buku sehimpunan puisi ini, bagi Saya, terutama terletak pada: pertama, Sang Penulis, Kak Sulhan yang adalah CEO Boetta Ilmoe, yang memimpin gerakan literasi dan membidani kelahiran sejumlah buku lainnya; serta kedua, muatan isi puisi yang sangat menggelorakan.
Salah satu muatan puisi, yang menurut hemat Saya, sangat menggelorakan, dapat dilihat pada untaian kata puitis berikut:
“ titel akademik ada padamu // tapi picik omongmu //
sorban terikat di kepalamu // namun bicaramu melilit pikirmu //
sujudmu menghitamkan jidatmu // walakin ceroboh mulutmu //
lelang saja titelmu // jual pula sorbanmu // lego sekalian jidatmu “
Dari puisi yang berjudul CULAS di atas, dan demikian pula pada puisi-puisi yang lainnya, ternyata melahirkan pertanyaan “siapa dan dimana?”; puisi di atas, tentang siapa dan berada dimana? Puisi yang ini tentang atau untuk siapa? Apakah muatan isi puisi berada di Bantaeng (tempat buku ini diluncurkan)? Puisi yang itu, sebenarnya sedang ditujukan kepada siapa dan dimana? Meskipun demikian, tentu tidak keseluruhannya; karena pada beberapa puisi telah diterakan jawabannya.
Jika kita percaya bahwa sehimpunan puisi dalam AirMataDarah merupakan puisi-puisi suluk, sebagaimana dijudulkan dalam Sekapur Sirih oleh Alto Makmuralto, ataupun telah me-suluk, atau paling tidak merupakan hasil “bersuluk dalam keramaian”; maka boleh jadi, puisi-puisi yang ada didalamnya memiliki makna yang “nama dan alamat”-nya tak mudah dinisbatkan secara konstan dan tunggal. Jika kita percaya bahwa “menulis adalah mencecap kesendirian, terjun ke ruang batin kita yang paling dalam” (Franz Kafka dalam Dul Abdul Rahman, pada bagian Prolog); maka sangat boleh jadi, masing-masing puisi, memiliki makna dengan “nama dan alamat” yang tidak konstan dan tidak pula tunggal. Termasuk pada puisi yang secara eksplisit “nama dan alamat”nya disebutkan ataupun dinotasikan dalam proses kreatif pembentuktulisannya.
Berkaitan dengan muatan yang sangat menggelorakan ini, berikut dengan pertanyaan dasar yang kemudian diajukan tersebut di atas; sesungguhnya pada tingkat pemaknaan bisa bersifat dinamis penisbatannya. Ruang makna yang terbuka dan multitafsir inilah, yang justru berpotensi untuk memperkaya jiwa dan memperluas cakrawala Pembaca dan Penyimak himpunan puisi ini. Makna dan/atau metamakna yang hadir dari AirMataDarah, sebenarnya dapat menjadi penggelora setiap manusia yang ber-Nama dan ber-Alamat untuk meng-gloria-kan daerah dan sejarah.
Semoga kita bersama semakin terbiasa untuk juga menujuk diri di dalam, bukan hanya diri di luar; bukankah yang demikian itulah suluk menuju keabadian dan kemuliaan?

Sabtu, 18 April 2015

TANAH


Malam yang belum semadya larutnya, dua orang karib datang di beranda pengetahuan sahaya. Kami berbincang aneka masalah, termasuk dari salah seorangnya yang ingin berangkat esok hari, pulang ke kampung halaman menengok kebunnya yang terancam diserobot. Serobot menyerobot tanah di zaman robot ini, memang akrab menghiasi keserakahan hidup. Pagi ini, ketika surya barulah semenjana teriknya, berangkatlah ia, dan Guru Han ikut mengiringi dengan sebongkah tutur: " Memang mengherankan ketika seseorang itu amat suka menyerobot tanah orang lain. Padahal yang dibutuhkan sesungguhnya hanyalah sekitar dua setengan meter kali satu setengah meter untuk kuburannya. Itu pun kalau ia mati di atas tanah, sebab tidak sedikit yang terkubur di udara dan dilaut yang tidak butuh ukuran sejumlah panjang kali lebar."

Minggu, 12 April 2015

BUNTAL


berjebah hari kusuntukkan
memancing di laut harapan
berhajat kakap pastinya

pada detik terakhir
cuma buntal yang kusua

kendati buntal nan beracun
di tangan juru masak
jadi santapan bergizi

kuundanglah segenap kisanak
makan riang gembira
beralamat di jalan buntal

PENASEHAT


Ahad yang tak bergerak, menikmati damainya mukim, jeda tidak merayap kemana-mana. Semula sahaya takjub, bahkan sudah cenderung iri, terhadap beberapa orang di sekitar, sebab karena posisi sosial-ekonominya begitu agung, sehingga di mana-mana menjadi penasehat atas organisasi-organisasi sosial. Sampai-sampai terkadang tak diketahuinya lagi bahwa ia menjadi penasehat di organisasi tertentu. Pada gundah yang memoncer, Guru Han merapat di mukim, merapalkan nasehat: " Tiadalah guna menjadi penasehat di berbagai penjuru mata angin, kalaulah lupa menjadi penasehat atas mata diri. Paling penting menasehati diri, agar tidak merasa perlu untuk selalu menjadi penasehat. Diri yang ternasehati, sesungguhnya amat sehat untuk menyehatkan para penasehat yang lupa akan nasehat."

Jumat, 10 April 2015

FATIMAH AZ-ZAHRA



dirimulah kesempurnaan menyata
serupa perempuan paripurna

selagi jadi anak
dikaulah biji mata ayahmu

selaku remaja
pesonamulah gelaran primadona

mewujud sebagai isteri
mengempulah sang suami

 kala jadi ibu
di mukimmulah anak-anak bercita syahid


saat wafatmu tiba
engkau menabalkan protes
bila penguburanmu agar disunyikan

senyap pemakamanmu
menimbulkan tanya untuk masa
gerangan apa yang tertoreh waktu hidupmu?

dikau memang lantip mendaras era
sebab memahat gelisah sejarah

biar orang ramai di kurun kiwari
selalu sesal dalam tanya
apa sesungguhnya yang menimpamu?

makammu tak kunjung kusua
karena kusibuk dengan makanku

Kamis, 09 April 2015

BATU-CINCIN (3)





Masih saja di seputar dunia percincinan. Pada selasar kedai kopi, sahaya terhenyak, pasalnya tidak sedikit orang yang menyambangi kedai, dengan prilaku yang agak unik. Ada yang memenuhi jari jemarinya, tangan kanan-kiri penuh dengan cincin, sehingga menyulitkan gerak lincah jemarinya. Rupanya cincin-cincinnya telah mengikatnya dengan erat. Guru Han terkekeh sambil geleng kepala menyaksikan ulah itu, sambil menyeruput kopi, tuturnya pun meluncur: “ Usahlah berlebihan dalam mengenakan cincin, nyaris semua jari tangan ditenggeri cincin. Cincin itu memperindah bagi yang memakainya, bukan memperjorok si pecincin. Dalam perbincangan para jari, sebenarnya kadang ada protes tentang ketak elokan dalam berlebihan memakai, cuma dikau tak memahaminya. Sesungguhnya, seorang pecincin, haruslah terlebih dahulu memahami jari-jari tangannya, bahwa tidaklah semua jari itu layak ditenggeri cimcin.”

Selasa, 07 April 2015

BATU-CINCIN (2)





Salah satu kebiasaan sahaya adalah berboncengan dengan seorang karib menelusuri sudut-sudut kota. Hampir di setiap sudut , selalu ada kerumunan orang. Rupanya ada sejenis lapak-lapak yang menyajikan bongkahan batu, cincin permata beserta pengikatnya. Pada salah satu lapak, nyatalah Guru Han di sana, berbincang dengan tutur yang amat singkat: ” Janganlah dikau sampai lupa akan dirimu, kedirianmu. Sebab, biarpun semua bongkahan batu itu, bahkan sekeranjang batu cincin itu dikumpulkan, taklah pernah menggantikan dirimu. Tak elok melupakan diri, atau lupa diri, hanya karena mengingat batu cincin. Apatah lagi diterungku oleh batu cincin.”

Senin, 06 April 2015

BATU-CINCIN (1)


Sudah lama sahaya menunggu apa yang mau dituturkan Guru Han atas maraknya dunia perbatuan, tren percincinan. Meski di jari manisnya ada pula sebuah cincin berbatu kecil, tak pernalah keder apalagi minder atas hadirnya batu cincin yang besar-besar. Pada suatu kesempatan yang tak terduga, meluncurlah tutur yang menohok: " Hati-hatilah terhadap batu cincinmu, sebab siapa tau kemualiaan batu itu, melampau kemuliaanmu, sehingga orang akan menempatkanmu bukan karena dirimu, tapi hanya karena batu cincin yang dikau kenakan. Orang yang lebih mulia batu cincinnya tinimbang dirinya adalah kenistaan diri yang nyata.

Minggu, 05 April 2015

Kasman MacTutu

AirMataDarah dan Godaan Batu Akik

muhammad kasman | 10:17 PM | 0 komentar
[02.04.2015] Sebenarnya --ini rahasia loh, aku termasuk orang yang tak begitu paham dengan puisi. Jadi kalau ada yang merasa pernah aku ajari bagaimana membuat puisi yang baik, maka itu hanya efek dari kehendakku untuk dibilang hebat dalam dunia kepenulisan. Citra sok tahuku soal puisi juga kubutuhkan untuk melegitimasi kebiasaanku menyusun-nyusun kata dalam bait yang mirip puisi.
Bagiku, semua puisi itu indah, apalagi bila dibaca bersama anak sambil menikmati cemilan ringan yang dihidangkan istri tercinta. Aku memang mempunyai kebiasaan buruk, sering berleha-leha di ruang tamu atau teras rumah bersama anak-anakku sambil teriak-teriak mendeklamasikan puisi. Tak peduli apakah intonasi dan volume suaraku sesuai dengan irama puisi yang kubaca, atau tidak.
Maka ketika di sebuah siang, 10 Maret 2015 yang lalu, aku dihadiahi buku sehimpunan puisi bersampul merah hijau dengan judul AirMataDarah oleh penulisnya, Sulhan Yusuf, hatiku berbunga dan berguman riang, ada lagi tambahan bahan bacaan untuk mengisi waktu soreku. Buku yang berisi puisi-puisi dengan bait yang ringkas dan diksi yang pintas. Memang tepat dibaca di ruang tamu atau di teras rumah, tak terlalu riuh.
Apalagi, menurut Dul Abdul Rahman --novelis yang sudah lama tak kutemui untuk sekedar berbual soal hal ikhwal kepenulisan, buku ini mengajak kita untuk memasuki sebuah rumah: Rumah Kebahagiaan dan Rumah Keabadian. Rumah yang ditumbuhi jejeran pohon rindang yang menciptakan kesejukan. Tentu puisi semacam ini bisa menyejukkan rumahku yang tipe sangat sederhana di sebuah perumahan padat di pinggiran kota yang sesak, dan tanpa ruang terbuka hijau yang memadai.
Kehadiran buku anggitan Bang SulYus --demikian aku menyapa Sulhan Yusuf, juga makin membuatku bersemangat membacakan puisi kepada Aditya Panrita Tenri Angka Daeng Sibali --anak keempatku yang besok akan berusia 4 bulan, saban malam. Aditya punya kebiasaan untuk bermain di waktu malam, dia paling senang diajak bercerita. Dia akan riang bergerak, nyaring bersuara, dan sering tersenyum bila disapa di waktu-waktu itu.
Bila Aditya terjaga, dan mamanya pulas terlelap, maka akan kuraih AirMataDarah dari lemari buku, dan akan kubaca beberapa bait dengan gaya bertutur,

kutunggu wartamu di masa datang
joloklah bulan
genggamlah surya
lukislah pelangi
cungkillah gunung
barulah kau tergolong:
pemahat masa depan
(Tekad, hal. 161)

Mendengar itu, tangan Aditya menjangkau-jangkau, mungkin tengah memahat masa depan? Atau ingin segera mengabarkan warta masa depannya? Entahlah.
Atau kudaraskan penggal terakhir dari puisi berjudul Penyair (hal. 125). Empat kalimat singkat kubaca dengan suara berdesir, setengah berbisik,

Buah hatiku...
tataplah para penyair itu
dengar dan simak kata-kata mereka
kata yang menerangkan masa.

Mata Aditya tak berkedip, menatapku tajam, seperti bertanya, "Begitu pentingkah para penyair itu bagimu, Tetta? Atau haruskah aku jadi penyair, kelak?" Dan aku hanya tersenyum bahagia, melihat reaksimu.
Tapi diantara 178 halaman yang ada di buku tersebut, aku paling suka memperlihatkan halaman pertama pada Aditya dan para kakaknya. Halaman dimana tertera nama dan tanda tangan, Sulhan Yusuf. Kujelaskan pada mereka bahwa penulis puisi yang sering kubacakan pada mereka itu, adalah suhu yang karib, bukan sekedar hubungan mekanik antara seorang penulis dan pembaca buku.
Oh ya, selain kubaca untuk anak-anakku, AirMataDarah juga berkali-kali kubaca untuk mencoba meresapi beberapa puisi tertentu. Sebab menurut Alto Makmuralto --Direktur The Liblitera Institute, penerbit buku ini, di dalam puisi-puisi lelaki berkepala plontos ini, akan dijumpai kata-kata yang identik dengan dunia para pesuluk. Pernyataan Alto memantik curigaku, jangan-jangan memang Bang SulYus ini adalah seorang pesuluk yang sedang menyamar?
Aku memberanikan diri mencoba mendaras, beberapa puisi yang penggalannya dikutip oleh Alto dalam pengantarnya, selain karena penasaran, juga karena aku merasa mirip dengan Bang SulYus dalam hal kesukaan bermain facebook, dan mendengar nyanyian ngak ngik ngok Koes Ploes --meskipun aku belum sampai pada maqam penggila. Yang jelas berbeda karena aku penggemar Chelsea, bukan Arsenal, dan tak mencandu kopi pahit, lambungku tak tahan kopi sejak beberapa tahun terakhir.
Coba perhatikan yang ini,
ingin kujemur celana dalamku yang berjamur
janganlah sampai biji kehidupanku ikut berjamur
apalagi jika pohon hidupku turut berjamur
yang tak mungkin aku jemur
(Surya, 151)
Puisi yang didaku Alto sebagai puisi mistik, membuatnya hanyut dan menikmati, serta ikut mendesah-sedan karenanya, bagiku tak lebih dari hanya sepenggal kepornoan dalam wajah yang malu-malu. Banalitas ekspresi, terungkap dalam diksi yang dangkal.
Tapi memang demikianlah kiranya seorang penganut suluk Malamatiyah --seperti dakwaan Alto, terkadang mereka mengungkap kebenaran yang dikemas dalam balutan makna yang berlapis. Dan disinilah masalahnya, hanya para pesuluklah yang bisa mengelupas lapis maknanya. Maka aku sebagai seorang pembaca awam hanya bisa terkekeh menertawakan kemesuman penggalan bait dari puisi Surya di atas.
Hal lain yang membuat aku rajin membolak-balik AirMataDarah adalah hasratku untuk menemukan sepenggal dua penggal bait yang bisa dipakai untuk maggombal, dan menebar jala asmara ala generasi unyu-unyu. Ya, siapa tahu bisa dikutip oleh para hight quality jomblo --semacam Fajar Al Ghifary, untuk dijadikan status di facebook dan blackberry messenger, atau untuk bahan musikalisasi puisi pada pentasnya di panggung-panggung cafe. Namun sayang, tak ada bait-bait sedemikian.
Semoga Bang Sulyus bisa memahami kegirangan saya menertawakan diksi celana dalam berjamur, serta biji dan pohon kehidupannya. Maafkan juga kekecewaanku akan ketiadaan kalimat-kalimat gombal ala drama korea dalam himpunan puisi ini. Aku berharap agar Bang SulYus tak mengeluarkan kutukan padaku karena tulisan ini, sebab seperti ungkap Alto, kata-kata yang dilontarkan oleh seorang pesuluk musti selalu mengandung kesaktian.

Seperti ajaran Bang Sulyus, bila sebuah pembicaraan sudah menyerempet soal kelamin, dan gombal-gombalan, itu alamat pembicaraan harus segera dikhatamkan, sebab bila tidak, maka bisa saja kita semua terjebak pada kategori ahlul fitnah wal ghibah. Pun demikian dengan risalah singkat itu. Yang pasti, puisi-puisi dalam AirMataDarah bisa menjadi mantra pelindung dari godaan batu akik yang berkilau.

Rabu, 01 April 2015

ANAK-ANAK


di halaman mukimku yang tak begitu asri
hanya ada sebatang pohon srikaya sepohon jeruk nipis
sebongkah anggrek di pohon yang mati
dan dua pohon bunga asoka kuning merah
namun burung-burung selalu bercinta di sela ranting


pada selasar istanaku yang sempit
anak-anak selalu berkumpul
saban pagi sore
membaca bersama sesekali bermain ceria
meniru burung-burung yang bercinta

halaman boleh nirasri
selasaran tak mesti luas
asal burung-burung merdeka bercinta
dan anak-anak leluasa meliarkan imajinya

seperti burung dan ranting
anak-anak selayak bacaannya
menikmati megahnya cakrawala
membuka jendela dunia

dari jendela dunialah
mereka mendaras buana
yang pasti bakal diwarisinya