Minggu, 31 Mei 2015

MASALAH

di tikungan senja
daku takut menyongsong malam
karena lilitan masalah memalangkan tidur

pada selasar subuh
daku enggan bersua pagi
sebab himpitan soal membayangi perjalanan

malam terlilit
siang terhimpit
siang malam terjepit


JAUH-DEKAT

Duduk-duduk santai bersama karib, kerabat, kawan dan beberapa kisanak lainnya, pastilah seru. Sebab, terbayang sudah keriangan yang bakal muncrat dari setiap diri, mau menebus rasa kangennya yang menahun. Tapi apa lacur, di luar dugaan, malah acara itu nyaris sepi, separuh diam, lebih banyak kebisuan. Sahaya memerhatikan setiap diri yang terlibat, sambil bertanya di lumbung hati, mengapa sela kita begitu dekat tapi terasa jauh jaraknya? Kali ini Gurui Han angkat bicara dengan nada miris yang memiringkan telinga pendengarnya (?) : "Dalam sebuah pertemuan yang seharusnya lebur, cairan kegairahan hati mengalir, membasahi setiap diri. Tapi ada saja yang membekukannya, semisal pangkat, status, usia dan isi dompet, sebagai penyela satu sama lain Namun itu lagu lama. Ada pembeku yang paling dahsyat saat ini, yakni perangkat gadget, HP pintar dan sejenisnya. Bayangkanlah, kita sudah saling duduk berdekatan, berhadap-hadapan, namun tak saling bicara, lebih memilih teman bicara yang jauh di seberang sana lewat gadget. Yang dekat terasa tiada, yang jauh amat dekat. Lalu apa makna persamuhan, jikalau kita semua pada sibuk dengan tindisan huruf dan sentuhan layar ponsel pintar, sambil terkekeh sendiri?"

Selasa, 26 Mei 2015

TANGANMU





Kujabat tanganmu
Kuremas meresap dalam khusyuk
Sepertilah daku menggenggam parut
ada bara yang dikau kepal demi hayat

dengan bara
dikau lukis hidup
di parut tapak tanganmu

tapak tangan berparut itulah
yang dikau angkat bersama bara
setinggi matahari di pengadilan akhir

tangan berparut penyelemat hayat
bersaksi nyata merdeka dari neraka

tangan berparut penggenggam bara
pembebas di kedisinian dan keabadian

FITNAH

Gerah pikiran, resah jiwa, dan rusuh  hati menyaksikan saling fitnah merajalela di dunia maya. Lewat pernyataan kebencian, gambar hoax, pemelintiran status.dan modus lainnya. Tanpa tedeng aling-aling, rasa sungkan hilang, sahaya langsung menohok tanya pada Guru Han, apa pendapatnya: " Seharusnya yang menjawab pertanyaan ini adalah para ulama, yang bisa memberikan ketetapan hukum akan fitnah di dunia maya. Tapi, patut kita menduga bahwa seseorang terlibat fitnah di dunia maya,  ia melakukannya karena merasa tidak kena hukum bersalah, cukup dengan menghapus postingannya itu, selesai masalah (?). Atau ia beranggapan, sebab fitnahan itu dilakukannya lewat akun, plus akun palsu, maka yang akan dihukumi nanti kelak adalah akun itu. Maka lihatlah, tidak sedikit para penebar fitnah itu menggunakan akun palsu atau gonta ganti akun. Entahlah, ini sekadar dugaan saja."

PERBEDAAN

Terlibat dalam diskursus tentang perbedaan-perbedaan yang selalu berujung pada ketidakharmonisan. Entah itu di dunia maya maupun di dunia nyata, bahkan tidak sedikit yang bermuara pada kekerasan. Sahaya memelas pada Guru Han agar berpendapat: " Memang sulit sekali mengajak seseorang, atau sekelompok orang untuk memahami perbedaan yang terjadi antara sesama, jikalau selalu yang berbeda pada diri dipandang sebagai keganjilan. Hanya karena kita tidak terbiasa dengan sesuatu yang luar biasa bagi orang-kelompok lain, lantas kita memvonisnya sebagai keganjilan bahkan kesalahan. Sebagai misal, kita yang terbiasa makan beras sebagai makanan pokok, lantas melihat aneh orang lain yang menjadikan sagu sebagai makanan utamanya. Padahal, kalau situasinya yang dibalik, maka sesungguhnyalah kita yang termasuk aneh di mata mereka."  

BERAS

Dari kejauhan sayup-sayup terdengar deru mesin, makin dekat makin keras derunya. Pun asap mengepul dari pembakaran sekam, tercium aroma yang mengekstasi, memandu ke masa kanak-kanak, kala membakar ubi dan jagung digundukannya. Sahaya masuk ke pabrik, melihat proses penggilingan dari gabah menjadi beras. Nampaklah beberapa biji gabah yang tak terolah oleh mesin, tetaplah ia bersejati gabah. Di kebisingan itulah, Guru Han menghentakkan suara melampaui deru mesin: " Dari mesin inilah kita layak belajar. Gabah yang tak berhasil jadi beras, bisa disebabkan oleh gabahnya yang masih kurang kering atau mesin penggiling yang tak berfungsi maksimal. Ibaratnya informasi itu adalah gabah, yang bakal kita olah untuk menentramkan khalayak, seharusnya nantilah jadi beras baru disebarkan. Sebab, kalau masih dalam bentuk gabah, tapi sudah dinyatakan sebagai beras, hanya karena sudah melalui mesin penggiling, informasi itu bakal jadi fitnah yang mengacaukan khalayak. Selayaknya, jiwa yang paripurna, mengolah informasi yang masih berbentuk gabah itu menjadi beras barulah disebarkan. Biar kulit padi itu jadi sekam lalu dibakar, dan isinya berupa beras mengenyangkan bagi yang memakannya."

MAKANAN

Canda ria, keluh kesah campur aduk menari-nari di selasar pondok kerabat. Duduk soalnya, salah seorang kerabat mengajukan masalahnya yang amat merisaukan dirinya. Oleh seorang dokter divonislah ia dengan seperangkat paket penyakit beserta pantangan makanan yang tak boleh dikonsumsi. Matilah ia dalam keadaan hidup, setidaknya menurut telisikan sahaya atas gundahnya. Oleh Guru Han, dinasehatilah kami dengan tutur penawar: " Penyakit datang karena diundang, dan salah satu bentuk undangannya adalah makanan. Makanan pavorit yang dikonsumsi secara berlebihan, pasti menuaikan penyakit sebagai bukti akan ketaklukanmu pada makanan kesukaanmu itu. Jadi, makanan yang disantap berkorelasi langsung dengan penyakit yang datang. Bukankah banyak orang mengundang penyakitnya, melalui makanan yang disukainya?"

Senin, 25 Mei 2015

AIRMATAMU


menangislah bila itu jalan terakhir
akan kugenggam airmatamu
lalu kusakukan di sudut jiwaku

merintihlah bila memang pedih
hendak kubekukan airmatamu
di lemari pendingin pikirku

kelak nanti
kala kegersangan jiwa menjamur
aku cairkan kebekuan airmatamu itu
buat menghangatkan pelataran luka kita

Sabtu, 23 Mei 2015

HIDUP





Selaku pengguna jalan, begitu banyak trauma psikis yang diproduksi. Jengkel, dongkol, kesal dan berbagai polusi jiwa lainnya. Tiba-tiba jalan poros macet, sahaya menduga ada demonstrasi. Ternyata, pada pinggiran trotoar jalan, dua orang penjual kaki lima bersitegang. Soalnya, penjual yang satu melarang penjual yang lain menempati lahan yang masih kosong di sebelah kiosnya. Padahal lahan itu tidak digunakan, dan bukan pula ia yang punya. Guru Han geleng-geleng kepala sambil menggumamkan tutur: “Sama-sama mencari hidup, tapi dengan cara mematikan yang lain. Berusaha hidup dengan cara membunuh orang lain, itulah prilaku hewani. Tidaklah perlu menegaskan diri sebagai manusia, tapi dengan cara hewani.”

Rabu, 20 Mei 2015

DEMONSTRASI

Seorang mantan raja jalanan, maksudnya mantan demonstran semasa mahasiswa, mendatangi mukim sahaya. Dikeluhkannya ulah para demonstran saat ini, yang menurutnya hanya kesemrautan yang didedahkan. Demonstrasi berarti semraut. Guru Han, yang juga sesekali mengikuti demonstrasi semasa mudanya pun ikut menyimak, lalu menabalkan kesimpulannya terhadap pola demonstrasi: " Sederhana saja memprediksi awal dan akhir demonstrasi saat ini. Segerombolan massa yang mengatas namakan dirinya mahasiswa mengajukan tuntutan, berusaha bentrok atau diupayakan bentrok dengan pihak keamanan, lalu ada sekerumunan massa yang mengatas namakan masyarakat ikut bantu keamanan, maka bentroklah ketiganya dalam sebuah pertunjukan drama yang dramatis. Karena polanya begitu saja dari demonstrasi yang satu ke berikutnya, pertanyaan yang tersisa, mengapa mesti demikian? Seolah peristiwa itu hanya siaran ulang bak tayangan televisi."

KUKUH

Pada suatu senja yang lembut, seiring dengan makin jinaknya terik mentari, seorang kawan bercerita akan capeknya menghadapi kehidupan, lelah melihat dunia yang makin runyam. Gairah hidup makin melambat dan mungkin lebih baik kehidupan berhenti saja. Sahaya pun menyatakan bahwa, suasana semisal itu pernah melilit diri, dan kini dunia masih menarik untuk dikencani, sebab Guru Han pernah bertutur: " Manakala dikau terjebak dalam rumitnya kehidupan, lelah menghadapinya, maka yang perlu dikau lakukan, tetaplah membangun visi yang indah terhadapnya. Carilah keindahan dan visualisasikan, lalu praktiskanlah dalam langkah-langkah konkrit nan sederhana. Menaklukkan dunia, tidak mesti dengan langkah besar, bersikukuh pada perbuatan sederhana namun berarti bagi kehidupan, itulah yang lebih mendesak."

TAMPARAN


Seharian berkumpul dengan beberapa orang karib, di beranda tempat mengais nafkah, sahaya terlibat perbincangan mendalam, mulai dari urusan negara yang amat rumit, hingga soal potensi diri yang mesti harus diaktuilkan. Dalam keriuhan perlintasan gagasan, tiba-tiba saja Guru Han menyelipkan sebongkah pengharapan pada seonggok tutur: " Menghalau keburukan, tidaklah mesti kita langsung menonjok si pembuat onar. Ada cara yang lebih bersahaja, dengan cara menunjukkan kebaikan yang begitu berlimpah, yang telah diperbuat oleh begitu banyak orang di sekeliling kita. Mengaktuilkan perbuatan baik, berarti tamparan keras bagi pecinta keburukan."

Selasa, 19 Mei 2015

EMBUN



taklah pernah ia takut
ditelan hujan subuh
dilumat mentari pagi

ia tetap mengada
walau ketiadaan
selalu mengintai

dalam ketiadaan
sosok beninglah
merasakan adanya

Minggu, 17 Mei 2015

MANTRA


mungkin dikau kecewa
karena telah kusodorkan
bongkahan kata
sebagai jawabanku


padahal yang dikau ingin
berbongkah batumerah
bergunduk pasir
bersak semen

bongkahan kata yang daku saji
bolelhlah jadi mantra guna membikin
batumerah-pasir-semen
jadi utuh seutuhnya

tapi memang dikau suka
yang serba jadi
jalan pintas sintas
buat citramu selintas

Jumat, 15 Mei 2015

Nyatakan Saja dengan Buku



Nyatakan Saja dengan Buku
( Tempo, 15 Mei 2015 )

Sulhan Yusuf
Pegiat Literasi

Kehadiran buku adalah bukti faktual keberadaan umat manusia sebagai makhluk terbaik di jagat. Rekaman keadaban manusia sebagai sosok yang lantip mewujudkan peradabannya. Sebab, melalui bukulah masa lalu bisa didaras ulang, era kiwari dapat di utak-atik, masa depan mampu diintip. Sejarah buku merupakan sari diri peradaban umat manusia selaku makhluk terbaik yang melata di atas bumi. Pun, teknologi industri perbukuan makin canggih dengan hadirnya  e-book (buku digital) yang cukup mengusik buku cetak.

Entah sudah berapa kali, saya belanja pada sebuah toko buku di salah satu pojok Universitas. Cukup lama baru saya sadari, setelah mengamati lembaran kwitansi pembayaran, selain jumlah harga buku, juga tertulis tagline dari toko buku tersebut: Nyatakan Saja dengan Buku.

Pada dinding belakang meja kasir pemiliknya termaktub penegasan akan keberadaan tokonya: Apapun Perofesi Anda, Bukunya Ada pada Kami. Dan, bulan yang lalu, toko buku itu sudah tutup, lalu pemiliknya beralih jualan. Konon, alasan tutupnya toko buku adalah lesu penjualan. Belum lama berselang, rupanya ada toko buku yang cukup besar di bagian utara kota ini, yang juga tutup. Singkatnya, awal tahun 2015 kota Makassar telah kehilangan dua toko buku.

Padahal, kita baru saja memperingati Hari Buku Sedunia ( World Book Day), yang jatuh setiap tanggal 23 April. Dunia memperingati hari buku, itu berarti mensupport peradaban, peradaban buku. Dan Ahad, 17 Mei besok, kita akan memperingati Hari Buku Nasional, hari peresmian Perpustakaan Nasional di Jakarta, 35 tahun lalu.

Ada pula kebiasaan saya, yang mungkin kurang populer saat ini. Paling tidak peristiwa ini sebagai rujukannya. Sekali waktu, saya menghadiri hajatan pernikahan seorang kawan. Kubawalah kado berisi buku sebagai tanda restu atas perkawinannya. Rupanya, di tempat resepsi tidak disiapkan tempat kado, yang tersedia cuma dua guci tempat memasukkan amplop berisi uang undangan. Keluarga pengantin tak begitu respek atas kadoku, maka diletakkannyalah persembahanku itu pada tempat yang kurang layak.

Banyak faktor yang bisa dituduhkan sebagai penyebab menurunnya minat terhadap buku. Dalil klasik tiada lain kurangnya minat baca, otomatis minat pada buku pun rendah. Bidikan paling mutakhir tertuju pada semakin majunya teknologi komunikasi, hadirnya internet yang memudahkan akses ilmu pengetahuan. Perangkat gadget yang menggila di pasaran, ikut dituding sebagai biang yang ikut menggilas keberadaan buku. Hadirnya e-book, semakin menguatkan premis itu. Apatah lagi, lahirnya generasi Z, sebagai penggelaran untuk generasi muda sekarang ini, yang gaya hidupnya tak bisa lagi lepas dari serbuan perangkat gadget yang perangkapnya tak terduga. Dan tak begitu bangga lagi menenteng buku.

Saya lalu teringat akan sebuah buku yang berjudul Elegi Gutenberg, ditulis oleh Putut Widjanarko sewaktu masih memimpin salah satu penerbit berpengaruh di tanah air.
Ulasan Putut menarik untuk diajukan, guna melihat posisi kehadiran e-book di tengah saudara tuanya, buku cetak. Menurutnya, saat ini, ada dua teritori.  Pertama, teritori yang dikembarai lewat buku tercetak, inilah teritori Gutenberg, sebagai era yang dinisbahkan untuk menggelari produk mesin cetak. Sebuah teritori yang memberi pengalaman estetis, untuk tidak menyebut pengalaman spiritual, yang karenanya bersifat personal. Serta, bagi sebagian orang, mungkin tak tergantikan oleh medium lain.

Kedua, teritori cyberspace -- mewakili ujung kemutakhiran tekhnologi—yang tidak bisa mempengaruhi, atau mudah mengubah dunia literer. Dan perubahan itu bisa menyeluruh: dari sekadar cara baru distribusi buku lewat toko buku online, penyebaran langsung isi buku tanpa harus dicetak sama sekali, hingga –kalau ada—pengalaman estetis baru yang sama sekali berbeda, atau malah bertentangan.

Tulisan Putut cukup menghibur para pecinta buku dan pebisnis buku. Menarik bila hasil riset diajukan sebagai penguat akan masih pentingnya berpegang teguh pada buku. Saya nukilkan publikasi hasil riset dari media Time Healthland, tahun 2012. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa membaca materi dari buku cetak lebih mudah diingat untuk jangka panjang dibanding membaca lewat layar.

  “Apa yang kami temukan adalah bahwa orang-orang yang membaca dari kertas lebih cepat merasa tahu atas informasi yang dibaca. Ketika membaca lewat komputer, dibutuhkan waktu yang lebih lama dan harus membaca berulang-ulang agar pembaca dapat menjadi tahu,” kata Kate Garland, dosen psikologi di University of Leicester Inggris.
Selayaknya kehadiran e-book menjadi mitra buku cetak. Tidak harus saling meniadakan, apalagi menggusur. Keduanya adalah produk peradaban, sebagai bukti akan keistimewaan umat manusia dalam hidup berkemajuan. E-book harus dipandang sebagai cara mudah mengakses ilmu pengetahuan, dengan segala resiko kekurangan yang mengiringinya, dan tanpa harus menampik keberadaan buku cetak. Bahkan di negara maju sekalipun, kehadiran buku cetak masih menempati penanda peradaban terdepan. Tak perlulah risau akan keberadaan buku cetak, dengan segala macam ancaman terhadapnya, sebab masih punya daya tarik yang tak mungkin digantikan oleh e-book.
Jadi, bila ada kepentingan untuk menyatakan hasrat, pada suatu momentum kehidupan yang sarat arti kehayatan, sodorkanlah buku sebagai penandanya, sebagai bukti akan keadaban, penghias peradaban, lantaran kita adalah makhluk yang beradab. Buku adalah produk sekaligus penjaga peradaban. Benderangkanlah dengan buku akan keberadaban, selaku makhluk beradab. Karlina Leksono bilang, memang buku hanyalah benda mati, tapi di dalamnya ada kehidupan. Maka tak ada salahnya menyatakan hidup dengan buku.

Kamis, 14 Mei 2015

Bahagia Itu Mudah



Bahagia Itu Mudah
( Tempo, Jumat 17 April 2015 )
Sulhan Yusuf
Pegiat Literasi

Bahagia sumbernya dari dalam diri, yang di luar diri hanya sekadar pemantik agar api kebahagiaan menjilati diri. Bagi diri yang berbahagia, apapun medium di sekitarnya bisa menjadi sarana untuk membahagiakan diri. Keharuan bersetubuh kegembiraan itulah kebahagiaan. Tersenyum sumringah adalah puncak bahagia.

Sekali waktu, tepatnya  9 April 2015 bertempat di gedung IPTEKS Lt.2 UNHAS, saya menghadiri acara Seminar Internasional tentang Perempuan, Masyarakat dan Politik Internasional. Seminar menobatkan tiga pembicara, Alwy Rachman (Budayawan), Fariba Alasvand (Aktivis perempuan Iran) dan Dina Y. Sulaeman (Pengamat Timur Tengah). Oleh penyelenggara, yang diwakili oleh Fitrinela Patonangi dari Human Imparsial Institut, peserta diajak untuk mengikuti acara seminar itu dengan penuh rasa bahagia. Menjadikan persilatan pengetahuan itu sebagai arena kebahagiaan, kendatipun seminar itu bukanlah bertema kebahagiaan. Dan benar saja adanya, setidaknya menurut saya, acara itu membahagiakan semua pihak, baik saat seminar berlangsung maupun ketika perhelatan itu selesai, para peserta dililiti senyum sumringah.

Beberapa waktu sebelumnya, pada 15 Maret 2015, saya menyambangi perhajatan acara bertajuk Hutan Bernyanyi. Even ini memilih hutan Campaga di Kab. Bantaeng sebagai lokasinya. Kolaborasi apik antara Kedai Buku Jeni (KBJ), Titik Bias, Balang Institute dan Komplen Bantaeng, menyajikan menu acara musik, teater, baca puisi, sudut baca, tehnik menyablon dan kreatifitas lainnya. Tentu hajatan utama dari acara ini adalah mengkampanyekan pelestarian hutan. Bagi pegiat literasi semisal saya, acara yang dibuka oleh Bupati Bantaeng, Nurdin Abdullah adalah sejenis gerakan literasi paling mutakhir, sebab gerakan literasi digandengkan dengan berbagai macam icon budaya pop.  Dan dari perhelatan ini pula, saya mendapati sebuah banner yang dipasang dekat tiang pengeras suara, sejumput penegasan: Bahagia Itu Mudah.

Bilakah bahagia itu mudah? Berondongan momen-momen di atas jelas mengantarkan pada rasa bahagia. Dengan begitu, amatlah memang mudah untuk berbahagia, cukuplah terlibat menghadiri acara-acara yang mungkin memang ditujukan untuk membahagiakan diri. Tetapi kebahagiaan sejenis itu, hanyalah kebahagiaan sesaat, hanya dirasakan sewaktu terlibat dalam perhelatan. Singkatnya, barulah letupan-letupan bahagia, bahagia yang bersifat temporer, karena bahagia tercipta kala diri terlibat dalam sebuah momentum saja. Lalu, adakah cara berbahagia yang lebih permanen?

Adalah Matthew B. Crawford, sesosok doktor ilmu politik dan pemilik bengkel motor, yang menawarkan cara berbahagia yang lebih bersifat permanen, yakni berbahagia lewat pekerjaan, melalui profesi yang kita geluti. Dalam bukunya, Shop Class As Soulcraft, Matthew menabalkan sebuah filosofi kerja, menemukan makna pekerjaan agar hidup lebih menyenangkan. Walakin, penegasannya ini berbasis pada pengalaman pribadinya yang tetap bersikukuh pada pekerjaan manual berbasis pikiran dan keterampilan tangan.

Tidaklah berlebihan pula manakala saya mengajukan perspektif yang berdasar pada pendekatan psikologi positif  tentang berbahagia melalui pekerjaan. Seorang Martin E.P. Seligman, pendiri Psikologi Positif  dalam bukunya yang sangat fenomenal, Authentic Happiness, telah melakukan banyak riset tentang hubung kait antara pekerjaan seseorang dengan kebahagiaan yang diraihnya. Hingga tibalah pada simpaian ujar bahwa Anda perlu mengeluarkan kekuatan-kekuatan khas Anda untuk menggumuli pekerjaan. Memoles ulang pekerjaan Anda untuk mengeluarkan kekuatan dan kebajikan setiap hari bukan saja membuat pekerjaan lebih menyenangkan, tetapi juga mengubah pekerjaan membosankan atau karier yang mandek menjadi suatu panggilan hati.

“ Panggilan hati merupakan bentuk pekerjaan yang paling memuaskan, karena sebagai suatu gratifikasi, ia dilakukan demi pekerjaan itu sendiri bukan demi keuntungan materi yang diberikannya. Saya memprediksikan, sebentar lagi kondisi flow dalam pekerjaan akan menjadi alasan utama bekerja, mengalahkan imbalan material. Perusahaan yang meningkatkan kondisi ini bagi karyawannya akan mengalahkan perusahaan yang hanya mengandalkan penghargaan berupa uang. Yang lebih penting lagi, dengan terpenuhinya kini kebutuhan hidup dan kebebasan secara minimal cukup baik, kita akan menyaksikan politik yang tidak sekadar memperhatikan garis kecukupan, tetapi juga menangani pencarian kebahagiaan dengan serius.” Tulis Martin.

Sebagai alternatif pemikiran penguat atas Matthew dan Martin, saya ajukan pula  gagasan, sebagai langkah awal dalam memilih pekerjaan. Tentu tiada lain maksudnya, agar setiap diri bisa berbahagia dengan pekerjaannya. Sedapat mungkin kita memilih pekerjaan bertolak pada kesukaan atau hobi atas bakal pekerjaan yang dipilih. Selayaknya pula menjatuhkan pilihan pekerjaan agar idealisme diri bisa tegak di dalamnya. Dan, yang tak kalah pentingnya, pekerjaan itu berdampak pula pada adanya imbalan nafkah yang pantas.

Memang sumber kebahagian itu datangnya dari dalam diri, namun pemantiknya berasal dari luar diri. Momen-momen perhelatan yang memancing rasa bahagia perlu untuk selalu disambangi agar api kebahagiaan terus membara membakar diri. Namun yang lebih fantastis tentunya, sedapat-dapatnya pekerjaanlah yang membuat diri bahagia. Sebab berjebah diri menderita, dikarenakan pekerjaan yang tidak mengantarkan pada kebahagiaan.

Padahal jauh di masa silam, Imam Ali bin Abi Thalib telah bersabda: “ Rekreasi terbaik adalah dengan bekerja.”  Bukankah segala sesuatu yang bersifat rekreatif pasti menyenangkan? Bersenang-senang merupakan salah satu pintu masuk pada rumah kebahagiaan. Dan ternyata, bahagia itu mudah, cukup dengan bekerja dalam suasana keharuan akan hasil, larut di dalam kegembiraan pada capaian. Bekerjalah agar berbahagia.



Nyatakan Saja dengan Buku



Nyatakan Saja dengan Buku
( Tempo, 15 Mei 2015 )

Sulhan Yusuf
Pegiat Literasi

Kehadiran buku adalah bukti faktual keberadaan umat manusia sebagai makhluk terbaik di jagat. Rekaman keadaban manusia sebagai sosok yang lantip mewujudkan peradabannya. Sebab, melalui bukulah masa lalu bisa didaras ulang, era kiwari dapat di utak-atik, masa depan mampu diintip. Sejarah buku merupakan sari diri peradaban umat manusia selaku makhluk terbaik yang melata di atas bumi. Pun, teknologi industri perbukuan makin canggih dengan hadirnya  e-book (buku digital) yang cukup mengusik buku cetak.

Entah sudah berapa kali, saya belanja pada sebuah toko buku di salah satu pojok Universitas. Cukup lama baru saya sadari, setelah mengamati lembaran kwitansi pembayaran, selain jumlah harga buku, juga tertulis tagline dari toko buku tersebut: Nyatakan Saja dengan Buku.

Pada dinding belakang meja kasir pemiliknya termaktub penegasan akan keberadaan tokonya: Apapun Perofesi Anda, Bukunya Ada pada Kami. Dan, bulan yang lalu, toko buku itu sudah tutup, lalu pemiliknya beralih jualan. Konon, alasan tutupnya toko buku adalah lesu penjualan. Belum lama berselang, rupanya ada toko buku yang cukup besar di bagian utara kota ini, yang juga tutup. Singkatnya, awal tahun 2015 kota Makassar telah kehilangan dua toko buku.

Padahal, kita baru saja memperingati Hari Buku Sedunia ( World Book Day), yang jatuh setiap tanggal 23 April. Dunia memperingati hari buku, itu berarti mensupport peradaban, peradaban buku. Dan Ahad, 17 Mei besok, kita akan memperingati Hari Buku Nasional, hari peresmian Perpustakaan Nasional di Jakarta, 35 tahun lalu.

Ada pula kebiasaan saya, yang mungkin kurang populer saat ini. Paling tidak peristiwa ini sebagai rujukannya. Sekali waktu, saya menghadiri hajatan pernikahan seorang kawan. Kubawalah kado berisi buku sebagai tanda restu atas perkawinannya. Rupanya, di tempat resepsi tidak disiapkan tempat kado, yang tersedia cuma dua guci tempat memasukkan amplop berisi uang undangan. Keluarga pengantin tak begitu respek atas kadoku, maka diletakkannyalah persembahanku itu pada tempat yang kurang layak.

Banyak faktor yang bisa dituduhkan sebagai penyebab menurunnya minat terhadap buku. Dalil klasik tiada lain kurangnya minat baca, otomatis minat pada buku pun rendah. Bidikan paling mutakhir tertuju pada semakin majunya teknologi komunikasi, hadirnya internet yang memudahkan akses ilmu pengetahuan. Perangkat gadget yang menggila di pasaran, ikut dituding sebagai biang yang ikut menggilas keberadaan buku. Hadirnya e-book, semakin menguatkan premis itu. Apatah lagi, lahirnya generasi Z, sebagai penggelaran untuk generasi muda sekarang ini, yang gaya hidupnya tak bisa lagi lepas dari serbuan perangkat gadget yang perangkapnya tak terduga. Dan tak begitu bangga lagi menenteng buku.

Saya lalu teringat akan sebuah buku yang berjudul Elegi Gutenberg, ditulis oleh Putut Widjanarko sewaktu masih memimpin salah satu penerbit berpengaruh di tanah air.
Ulasan Putut menarik untuk diajukan, guna melihat posisi kehadiran e-book di tengah saudara tuanya, buku cetak. Menurutnya, saat ini, ada dua teritori.  Pertama, teritori yang dikembarai lewat buku tercetak, inilah teritori Gutenberg, sebagai era yang dinisbahkan untuk menggelari produk mesin cetak. Sebuah teritori yang memberi pengalaman estetis, untuk tidak menyebut pengalaman spiritual, yang karenanya bersifat personal. Serta, bagi sebagian orang, mungkin tak tergantikan oleh medium lain.

Kedua, teritori cyberspace -- mewakili ujung kemutakhiran tekhnologi—yang tidak bisa mempengaruhi, atau mudah mengubah dunia literer. Dan perubahan itu bisa menyeluruh: dari sekadar cara baru distribusi buku lewat toko buku online, penyebaran langsung isi buku tanpa harus dicetak sama sekali, hingga –kalau ada—pengalaman estetis baru yang sama sekali berbeda, atau malah bertentangan.

Tulisan Putut cukup menghibur para pecinta buku dan pebisnis buku. Menarik bila hasil riset diajukan sebagai penguat akan masih pentingnya berpegang teguh pada buku. Saya nukilkan publikasi hasil riset dari media Time Healthland, tahun 2012. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa membaca materi dari buku cetak lebih mudah diingat untuk jangka panjang dibanding membaca lewat layar.

  “Apa yang kami temukan adalah bahwa orang-orang yang membaca dari kertas lebih cepat merasa tahu atas informasi yang dibaca. Ketika membaca lewat komputer, dibutuhkan waktu yang lebih lama dan harus membaca berulang-ulang agar pembaca dapat menjadi tahu,” kata Kate Garland, dosen psikologi di University of Leicester Inggris.
Selayaknya kehadiran e-book menjadi mitra buku cetak. Tidak harus saling meniadakan, apalagi menggusur. Keduanya adalah produk peradaban, sebagai bukti akan keistimewaan umat manusia dalam hidup berkemajuan. E-book harus dipandang sebagai cara mudah mengakses ilmu pengetahuan, dengan segala resiko kekurangan yang mengiringinya, dan tanpa harus menampik keberadaan buku cetak. Bahkan di negara maju sekalipun, kehadiran buku cetak masih menempati penanda peradaban terdepan. Tak perlulah risau akan keberadaan buku cetak, dengan segala macam ancaman terhadapnya, sebab masih punya daya tarik yang tak mungkin digantikan oleh e-book.
Jadi, bila ada kepentingan untuk menyatakan hasrat, pada suatu momentum kehidupan yang sarat arti kehayatan, sodorkanlah buku sebagai penandanya, sebagai bukti akan keadaban, penghias peradaban, lantaran kita adalah makhluk yang beradab. Buku adalah produk sekaligus penjaga peradaban. Benderangkanlah dengan buku akan keberadaban, selaku makhluk beradab. Karlina Leksono bilang, memang buku hanyalah benda mati, tapi di dalamnya ada kehidupan. Maka tak ada salahnya menyatakan hidup dengan buku.

SERAGAM





Kaget bukan kepalang, sahaya nyaris diseruduk oleh segerombolan pelajar sekolah menengah atas yang baru saja merayakan kelulusannya. Suara motor yang meraung-raung, baju putihnya sudah berwarna-warni karena telah mereka cet. Sahaya lalu menepi, berteduh sejenak di keteduhan pohon, sambil menenangkan diri dari kaget. Di detik itulah Guru Han menuturkan kalimat penenang: “ Mereka para pelajar itu hanyalah korban dari penyeragaman. Sebab, mereka sejak sekolah dasar, menengah hingga atas, selalu saja diseragamkan pakaiannya. Maka berontaklah mereka dengan cara mewarna-warnikan bajunya, karena sesungguhnya mereka rindu pada keragaman warna-warni, sebentuk fitrah kehidupan yang berwarna-warni. Coba tengok yang sudah mahasiswa, kala mereka lulus jadi sarjana, masihkah ada yang mewarnai bajunya? Tidak lagi, sebab selama mereka kuliah, sudah menikmati warna-warni bajunya, sebagai manifestasi dari kebebasan menikmati warna-warni kehidupan.”

Selasa, 12 Mei 2015

KHRISNA PABHICARA: BENAR-BENAR PABICARA




Saya langsung saja mengiyakan, ketikan pesan pendek panitia penyelenggara meminta kepada saya untuk berbicara pada Seminar Nasional tentang  gerakan literasi, yang bertajuk: Membangun Etos Writership di Kalangan Pemuda, yang dilakasanakan oleh  Pemuda Muslim Indonesia Takalar, pada hari Selasa, 19 Juni 2012, di Takalar. Salah satu kebiasaan baik saya adalah mengiya terlebih dahulu, kalau kegiatan itu berdimensi literasi. Maklum saja, saya lagi mendefenisikan diri sebagai pegiat literasi.

Tapi yang lebih menarik lagi bagi saya adalah, karena pesan pendek itu disusul dengan pemberitahuan bahwa akan dipanel dengan Khrisna Pabichara, yang penulis novel best seller saat ini, yang berjudul: Sepatu Dahlan, terbitan Noura Books-Mizan Group. Saking lakunya novel ini, untuk bulan mei  2012 saja, sudah dua kali naik cetak. Saya hanya ingin katakan: Miracle, ajaib. Selain mengarang novel, Khrisna juga menganggit cerpen yang terkompilasi dalam kumpulan cerpennya, Gadis Pakarena. Dan juga menulis beberapa buku how to.

Sesungguhnya, kalau saja tahun lalu saya mengiyakan ajakan seorang pegiat literasi, Kasman Mc Tutu untuk menjadi pembicara, ketika   mendeklarasikan Komunitas Pena Hijau di Takalar,  saat itu pula saya sudah ketemu dengan Khrisna, karena ia pun hadir pada acara itu. Namun, karena ada agenda lain, yang sama pentingnya di tempat lain, maka pertemuan itu pun tertunda hingga setahun  kemudian.

Akhirnya, waktu yang direncanakan pun tiba. Pada dini hari setelah menyaksikan Piala Eropa, antara Spanyol dan Kroasia (1-0), lalu shalat Subuh, setelah itu buat tulisan atas topik yang diberikan kepada saya untuk disajikan pada seminar itu. Sub tema yang diamanahkan kepada saya adalah: Menumbuhkan Writerprenur, Membangun Masyarakat Literasi. Alhamdulillah, tulisan itu selesai, jam 07.00 pagi, setengah jam kemudian berangkat ke Takalar dengan “kuda besi”, diiringi hujan yang lumayan deras, untuk pengendara motor seperti saya. Jam menunjukkan 8.30, saya sudah tiba di lokasi, tapi sebelumnya saya
mampir dulu di Mesjid Agung Takalar untuk bersih-bersih kaki yang belepotan.

Begitu sampai di Lokasi, Aula Bappeda Takalar, saya langsung mencari tahu apakah Khrisna Pabichara sudah datang, ternyata  beliau sementara perjalanan dari Jeneponto. Rupanya beliau menginap di sana, karena memang orang tuanya masih mukim di Jeneponto. Dan, memang baru saya tahu bahwa Khrisna adalah orang Jeneponto, asli lagi. Ini berarti tetangga saya, sebagai orang Bantaeng.  Bagi saya, sebagai pegiat literasi, nama Bantaeng, Jeneponto dan Takalar  kali ini agak istimewa, khususnya dalam perspektif geo-literasi.

Seminar pun berlangsung, yang pesertanya didominasi oleh pelajar, dihadiri paling tidak kisaran 50 orang. Sesuai dengan sub tema yang diberikan kepada Khrisna, Menggali Potensi Writership Pemuda. Khrisna pun mulai mendemonstrasikan kepampuannya sebagai seorang pembicara dan sekaligus motivator  menulis. Terus terang, saya amat bahagia dan dapat menikmati presentasi itu. Saya amat larut dalam pusaran bicaranya, yang menurutku keluar dari hatinya, didasarkan pada pengalaman menulisnya, sehingga benar-benar saya kemudian menyimpaikan, beginilah orang yang bicara dari hatinya, ternisbahkan dari pengalaman, maka yang mendengar pun akan memakai hatinya untuk menangkap setiap pesan yang keluar dari tuturnya. Sehingga, hampir sejam Khrisna bicara tidak terasa menjemukan.

Hati saya membatin, mahluk yang satu ini benar-benar memukau, benar-benar pabicara (pembicara)  sesuai dengan nama yang disandarkan padanya, Pabichara (?). Amat sedikit orang, yang bisa menulis dengan baik, sekaligus menjadi pembicara yang baik. Bagiku, Khrisna Pabichara: Benar-benar pabicara (pembicara, pecerita). Adapun saya, lebih banyak mengambil posisi sebagai pelengkap pembicaraan pada seminar itu, karena forumnya kemudian lebih bergeser kepada semi-lokakarya kepenulisan, khususnya menulis novel. Sementara  saya bukanlah penulis novel, melainkan pembaca dan penikmat, sekaligus penyebar novel.

Kurang lebih 3 jam acara itu berlangsung, tidak terasa. Apalagi hujan pun terus menjadi pengiring sebagai penanda acara itu penuh berkah. Dan di akhir acara, moderator meminta agar Khrisna membacakan puisi. Permintaan itu pun ditunaikan, tetapi ia membacakan prolog dari novelnya, Sepatu Dahlan. Tidak terasa ada bening kristal di sudut mataku mengalir, namun tidak sampai ke pipi, karena keburu kutahan, agar masih bisa kusisakan saat nanti membaca novelnya.

Baru kali ini saya agak jahil, karena menodong Khrisna di muara acara agar memberikan satu eksamplar bukunya kepadaku sebagai hadiah, sebagai tanda persuaan. Dan, Khrisna pun memberikan novelnya itu padaku, yang disertai catatan singkat: “ Buat Bung Sulhan, tetap berbagi semangat!, Khrisna Pabichara. Takalar, 19/06/2012.” Lalu kukatakan padanya, suatu waktu ke Bantaeng agar spirit literasi tetap menyala apinya. Khrisna pun menyanggupi.

Saya kemudian berpisah, tapi sebelumnya ia menawarkan tumpangannya ke Makassar, karena beliau pakai mobil bersama ponakannya dari Jeneponto. Tapi kukatakan terima kasih, saya naik “kuda besi”. Lalu hujan pun kuterobos. Anehnya, dalam perjalanan pulang dikarenakan hujan agak deras, maka saya pun mampir di sebuah warung untuk mengisi kampung tengah, sambil menunggu hujan agak reda. Dil uar dugaan, Khrisna dan rombongannya mampir di warung  yang sama. Setelah itu, kami pun pisah, dan saya belum tahu momentum apalagi yang akan mempertemukan kelak.

Pada sisa perjalanan pulang, banyak hal yang melintas dalam pikiranku, saya pun membatin bahwa obsesi menggerakkan komunitas literasi menuju masyarakat literasi, adalah sebuah perjalanan panjang, yang masih lebih panjang  jaraknya dari Makassar ke Takalar, dan balik lagi dari Takalar ke Makassar, karena gerakan literasi akan senantiasa melintasi masa, dari generasi ke generasi.

Yang pasti  dalam benakku selama perjalanan pulang adalah saya akan menuliskan catatan perjalanan, sebagai bagian dari tradisi menulis untuk kepentingan gerakan literasi, dalam dua lema dengan judul,  KHRISNA PABICHARA: BENAR-BENAR PABICARA.

Tjokro, Islam dan Sosialisme



Tjokro, Islam dan Sosialisme

Sulhan Yusuf, Pegiat Literasi

Menghidangkan sejarah, segera akan tersaji, para pencatat sejarah, sekumpulan pembaca sejarah dan sosok pembuat sejarah. Para pembuat sejarah, adalah sosok yang memahat pikirannya melampau eranya, karena memang sejarah barulah punya relevansi kegunaan ketika berdimensi kemasadepanan. Sejarah berarti kemasadepanan.

Sebulan terakhir ini, jagat perfilman tanah air digairahkan dengan pemutaran film berlatar sejarah. Film tentang sosok guru bangsa, Haji Omar Said Tjokroaminoto ( H.O.S Tjokroaminoto), yang lazim dipanggil Tjokro. Kehadiran film ini, salah satu maksudnya mengingatkan kembali bagi bangsa ini, yang tingkat lupa akan peristiwa cukup akut. Sedianya, film Tjokro ini adalah sejenis titian ingatan akan pentingnya menggali kembali sosok-sosok yang membentuk jiwa bangsa kita.

Saya mendaras kembali Tjokro, bermaksud menggali pikiran-pikiran yang dibuahkannya. Buah pikirannyalah yang kemudian mempengaruhi orang-orang di sekelilingnya, termasuk murid-muridnya sekaliber, Soekarno, Semaoen, Sekarmaji Kartosuwiryo, Agussalim. Sari buah pikiran Tjokro yang cukup monumental terekam dalam bukunya yang berjudul: Islam dan Sosialisme. Buku ini sebentuk tafsiran Tjokro atas doktrin Islam yang dipersentuhkan dengan Sosialisme untuk menjawab permasalahan sosial. Dan, sebagai sebuah gagasan yang membumi, jejaknya di masa depan pun masih terpatri, karena Tjokro memang memahatnya dalam ingatan anak bangsa.

***

Pada tahun 80-an, ketika anak-anak muda bangsa ini menggelar diskursus, tetntang pentingnya melakukan revolusi atau reformasi, salah satu tema pemikiran yang cukup menghiasi tawaran perubahan adalah pentingnya agama sebagai salah satu variable perubahan. Sehingga, muncullah tema diskursus semisal agama dan perubahan sosial. Apatah lagi, sejak berhasilnya Revolusi Islam di Iran (1979), semakin menguatkan pengkajian akan pentingnya agama untuk diajukan sebagai faktor perubahan sosial.

Muncullah kemudian nama Ali Syariati, sebagai salah seorang ideolog Revolusi Islam Iran, sebagai objek kajian. Garis utama pemikiran Syariati, melihat agama sebagai pijakan transformasi sosial, sehingga agama, khususnya Islam, ditafsirkan Syariati menjadi agama yang sangat revolusioner. Tafsiran agama yang revolusioner, oleh banyak analis diasumsikan sebagai landasan pemikiran-pemikiran yang tumbuh dalam tradisi kiri sebagai pijakannya, dan salah satunya bermuara pada sosialisme.

Pasca Ali Syariati, anak-anak muda kemudian dibanjiri oleh pemikiran-pemikiran Islam yang terpaut dengan tradisi kiri – Sosialisme, Marxisme – semisal pemikiran Asghar Ali Engineer lewat bukunya,  Islam and Liberation Theology ( Islam dan Teologi Pembebasan), Zia Ul-Haq dengan bukunya Revelation and Revolution Islam ( Wahyu dan Revololusi, Hassan Hanafi bersama gagasannya Al-Yassar al-Islami ( Kiri Islam)  dan sederet nama lain, semisal: Farid Esack, Majid Kadduri dll. Kesemua pertautan pemikiran itu kemudian biasa disederhanakan dalam narasi wacana: Sosialisme Islam, Sosialisme religius, Islam Kiri, Teologi Kiri, Islam Transformatif, dan beberapa istilah yang senada dengan semangat Islam dan pembebasan..

***

Agama, khususnya Islam, memang seharusnya ditafsirkan untuk menjawab problem sosial. Ketika reformasi terjadi di tahun 1998, tidak bisa dipungkiri pemikiran-pemikiran Islam yang bercorak pembebasan, berteologi transformatif ikut mendorong reformasi. Setidaknya, hasil riset dari As’ad Said Ali, yang dibukukan, berjudul Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi (2012), menunjukkan bahwa sebelum dan pasca reformasi, gagasan transformisme Islam terlibat aktif dalam mendorong reformasi.

Lebih jauh As’ad membabarkan, mereka para pengusung tranformisme Islam, berorientasi politik sekaligus kultural dalam gerakannya, tidak punya problem dengan entitas negara nasional, sangat pluralis, inklusif, dan memperjuangkan demokrasi. Di Indonesia, para eksponen varian transformisme Islam hanya sedikit yang aktif dalam partai politik.

Mereka yang berorientasi politik banyak membangun jaringan dengan gerakan-gerakan kelompok sosialis dan kelompok kiri lainnya. Di kalangan ini pandangan politik varian transformisme Islam dikenal sebagai sosialisme Islam dan umumnya menjadi motor ideologis bagi kelompok-kelompok gerakan yang berbasis Islam. Demikian As’ad menegaskan.

***

Seperti halnya di waktu silam, ketika Tjokro menawarkan sintesis pemikiran antara Islam dan Sosialisme, mengantar perubahan untuk sebuah revolusi kemerdekaan. Pun di era reformasi, gagasan sosialisme Islam atau Islam tranformatif, berkontribusi nyata dalam mendorong perubahan sosial. Dan, sebagai sebuah gagasan yang terus berkembang, sudah barang tentu memerlukan interpretasi-interpretasi baru, agar tetap aktuil untuk menjawab problem sosial bangsa ini.

Di masa kiwari, ada sejenis kompilasi dari gagasan-gagasan sebelumnya, tetap bercorak Islam yang sosialis, bernafas transformisme Islam, berwujud Islam Emansipatoris. Akar utama dari gagasan ini tetaplah pada tradisi pembebasan dalam Islam. Bahkan, pemikir-pemikir yang mendorong gagasan ini, seperti: Masdar F. Mas’udi dan Muslim Abdurrahman, adalah nama-nama yang familiar di kalangan para pengusung transformisme Islam.

Merujuk pada buku yang ditulis Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris (2004), Masdar F. Mas’udi mengungkapkan, titik tolak Islam Emansipatoris adalah problem kemanusiaan. Teks-teks suci dipahami sebagai sinaran pembebasan. Karenanya, Islam Emansipatoris tidak akan berhenti pada dekonstruksi dan pembongkaran teks yang membuat kita linglung, tapi teks dijadikan sebagai wahana pembebasan. Sebab realitas dominasi tidak hanya wacana, melainkan juga dominasi yang bersifat riil dan materiil. Atau seperti yang ditandaskan Zuhairi Misrawi, agama dalam tataran sosiologis-antropologis merupakan proses akultrasi agama dengan problem kemanusiaan. Sejauh membawa visi kemanusiaan, di situlah agama lebih bermakna.

Senin, 11 Mei 2015

IBRAH





Secara tak sengaja, sahaya tertidur di sela-sela tumpukan buku. Mungkin karena lelah,  akibat mendaras halaman-halamannya yang memang cukup berat dicerna oleh pikiran. Setelah terbangun, beberapa ekor nyamuk bertengger dilantai, tak kuasa lagi terbang akibat kekenyangan menghisap darah. Matilah satu ekor, sebab sahaya menepuknya, tiba-tiba muncul rasa bersalah sekaligus rasa puas atas balas dendam yang tunai. Namun Guru Han, yang ikut tertidur punya perspektif lain, tuturnya pun melantun: “ Biarkanlah nyamuk itu pergi dalam kekenyangan, biarpun dikau peras tubuhnya, untuk mengembalikan darahmu, tak mungkinlah terwujud, biarlah cecak atau binatang lain yang memakannya dalam keadaan segar bugar. Dengan begitu, darahmu yang tak cukup setetes itu telah menghidupkan mata rantai kehidupan sesama makhluk.Dan, syukurilah, sebab nyamuk masih menghisapmu, itu pertanda kehidupan, sebab kalau nyamuk saja sudah emoh menggigitmu berarti kematian telah menyata. Bukankah nyamuk hanya menghisap darah orang yang hidup? “

Minggu, 10 Mei 2015

Herman Pabau

PEMBERONTAKAN ALA SULHAN YUSUF
Apresiasi Kumpulan Puisi “Air Mata Darah”
Komentator: Herman Pabau*
Sekitar dua bulan lalu saya di Lampung. Iseng berselancar di dunia maya, kudapatkan postingan menarik, foto cover buku “Air Mata Darah”. Penulisnya Sulhan Yusuf. Kutatap baik nama yang tertera di cover buku, ya benar Kanda Sulhan Yusuf. Teman, senior, sekaligus guru saya. Batinku menebak, ini pasti sejenis buku Panduan Revolusi atau setidaknya warming up untuk sebuah revolusi. Tebakan saya ini berasal dari fakta bahwa Kanda Sulhan Yusuf(selanjutnya saya singkat SY) sejak medio 80-an dan bersama saya awal 90-an sebagai aktivis, setahu saya beliau adalah pembelajar gigih yang merangkap pemberontak tangguh. Adalah Iswari Al-Farizi dan Isra’ Dg Magassing, pelopor pemantik demo real gerakan penjatuhan Soeharto 1998 di Makassar, disusul oleh yang lain, tidak luput dari hasil didikan SY. Dan masih banyak lagi “pemberontak” lain hasil provokasinya, menyebar dalam birokrasi maupun luar birokrasi. Ketidakpuasan terhadap status quo sangat kental dalam diri beliau. Anti kemapanan yang menindas kaum marginal. Diantara karakter SY inilah yang mengantarkan saya menebak bahwa buku Air Mata Darah(selanjutnya saya singkat AMD) merupakan Panduan Revolusi atau setidaknya sebagai pemanas awal untuk sebuah revolusi.
Tetapi tebakan saya itu serta-merta saya batalkan setelah tahu bahwa bukanlah buku serius semirip karya Karl Mark atau Ali Syariati. Ternyata AMD tidak lebih dari kumpulan puisi. Gumalan penyair tanpa realitas. Marahnya di sini, hanya di kata-kata. Menyumpahi banjir darah di bumi dengan cara duduk manis di langit mendung. Marahnya cuma di dada dan mulut tapi kaku-beku di tangan dan kaki. Kaki tak mampu bergerak, tangan tak mampu mengangkat senjata ke pundak untuk dipanggul. Sangat jauh dari impian memantik pelatuk memicu mesiu menohok jantung lawan. Memberontak dengan puisi semirip melempar kapas ke dalam badai melawan angin. Itulah gumam benakku setelah tahu AMD hanyalah kumpulan puisi atau mungkin dipaksakan jadi puisi dengan alasan kuat sejak zaman baheula: licentia poetica. Dengan dasar hukum tangan besi sastra ini, gambar batu keropospun bisa disebut puisi! Hehehe.
Minggu lalu saya ke Toko Buku Papirus. Salah satu tempat SY memprovokasi anak-anak muda untuk memberontak. Memberontak diri sendiri dan memberontak realitas. Juga memberontak status quo yang melanggengkan kemapanan zalim. Beruntung saat itu bertemu langsung dengan SY. Sang penulis AMD. Padahal setahu saya beliau sangat sibuk, sering ke Bantaeng mengasuh Komunitas Literasi Boetta Ilmoe dan memprovokasi anak-anak muda di sana. Serta, akhir-akhir ini rajin mengisi undangan kegiatan provokasi litarasi baik di Makassar maupun daerah. Di sudut meja segi empat kudapati tumpukan buku AMD. Kulirik sampulnya, warna gelap dan merah hitam. Hmmmm…. nuansa kemarahan pemberontak pikirku, tapi sayang cuma di sini, cuma di puisi! Hehehe.
Di pertemuan itu saya saya berbincang panjang-lebar dengan SY. Termasuk membahas tema-tema nostalgia saat intens aktif di HMI dulu. Juga hadir Alam Yin, yang juga sempat bersentuhan dengan SY, dipastikan juga pemberontak. Seingatku Alam Yin dan teman-temannya dulu punya komunitas pemberontak dengan nama “Komunitas Tanah Merah”. Ada juga sentuhan Ust. Zainal Abidin, pejuang kaum tertindas di Palopo. Alam Yin sekarang sudah jadi dosen di almamaternya. Semoga spirit “Komunitas Tanah Merah” tetap lekat dalam jiwa Alam Yin untuk membongkar kepongahan intelektual dalam dunia kampus yang hanya bersilat lincah di menara api dan angin tapi miskin ketawadhuan dan realitas menara air….. mirip-mirip dunia puisi, senangnya terbang ke langit sejuk, tidak betah di bumi realitas yang hingar-bingar. Hehehehe.
Sebagai mappatoto’E, sang penentu nasib, SY menetapkan saya untuk memiliki 3 eksemplar AMD dengan alasan logis berdasar jumlah…. Hehehe . Saya ikuti saja pentakdiran beliau. Setahu saya ada beberapa teman yang beruntung karena pentakdiran beliau. Ada yang jadi kepala desa, anggota dewan, guru, dan lain-lain. Siapa tahu dengan pentakdiran SY kepada saya untuk milki 3 AMD dapat keberuntungan tersendiri dari langit berkah. Kuikuti saja takdirku berdasarkan garis tangan SY. Hehehe.
Sesampai di rumah saya coba melembar-lembar halaman AMD. Teringat masa lalu. Saat 25 tahun lalu tulisan saya dimuat di Harian Pedoman Rakyat. Kolom kebudayan. Saat itu saya mengapresiasi puisi Jam Dua`Puluh Lima karya salah seorang penyair religius kesohor Mandar, Husni Djamaluddin, dengan arahan dosen saya di Sastra Unhas saat itu, Pak Fahmi Syariff. Terbitlah tulisan itu di Koran. Dengan sedikit modal pernah belajar ilmu sastra dan sedikit kedekatan dengan SY, saya mencoba sedikit seriusi telaah AMD. Dari ilmu sastra saya dekati AMD secara intrinsik dan dari kedekatan dengan SY dan realitas yang ada saya dekati AMD secara ekstrinsik. Sekedar untuk menguji kebenaran tebakan saya atas kandungan AMD karya SY ini. Untuk membuktikan apakah puisi-puisi SY ini termasuk benda-benda langit yang berkilau belaka atau makhluk hidup bumi yang memberontak membumikan idealisme. Hehehe.
(BERSAMBUNG)

Rabu, 06 Mei 2015

MENTARI





Javid,
bangkitlah dari tidurmu
senyum mentari mencarimu


jemurlah dirimu di senyumnya
mumpung baru semenjana teriknya
hangatlah pikirmu karenanya


Javid,
kalau dikau tak bangun jua
mentari membakarmu di tungkunya


bila mentari marah
menjadilah ia bola api liar
menghanguskan yang terjilat


Javid,
tidur  menerungkumu
kegelapan menawanmu


mentari telah lelah menerangkan
pulanglah ia beriring senja
tersenyum damai di kaki langit

Senin, 04 Mei 2015

MENANGIS


Sahaya duduk dalam kesendirian, menatap mega, rinai hujan merintik. Entah apa pasal, tiba-tiba saja, beberapa butir air mata tergelincir mengalir, tertumbuk di ujung bibir, tersapa ujung lidah, asin rasanya. Barulah meresapi asinnya air mata, Guru Han nampak menepuk dinding batin, lalu berujar: “ Sesekali bolehlah meneteskan air mata, agar kita tahu rasa sedih, haru dan bahagia. Menangis adalah sejenis ungkapan insaniah yang menunjukkan kenormalan hidup. Bukankah penanda paling awal dari kesiapan insan mengarungi kehidupan adalah tangisannya? Insan yang baru lahir dan tidak menangis, berarti menolak kehidupan. Dan, yang lebih dahsyat lagi, penanda utama dari kematian adalah tangisan dari para insan yang menangis. Manakala ada insan yang kematiannya tidak ditangisi, berarti telah tertolak dalam kehidupan.”

BAHAGIA


Akhir pekan bagi insan yang bergiat kerja, biasanya menjadi waktu yang paling ditunggu untuk jeda dari kepenatan rutinitas kerja. Amat banyak yang dilakukan agar terwujud ingin itu, dan tidak sedikit dengan biaya yang cukup mahal, yang malah bisa berujung pada kepenatan baru. Sahaya bersama kerabat pun ikut mencoba melepas kepenatan itu, namun sebelumnya, minta tutur terlebih dahulu pada Guru Han, biar semuanya menjadi indah nan bahagia. Maka sabda singkat pun meluncur: " Bilamana ingin berbahagia dengan cara yang nyaris tak berongkos, kunjungilah orang yang berbahagia. Sebab, melihat orang berbahagia, itulah pintu bahagia, sejenis jalan tol menuju kebahagiaan."