Kamis, 08 Desember 2016

SADAR-CERDAS

Untunglah ranah olah jiwa dan ruang persilatan pikiran masih terbuka lebar di pelataran mukim sahaya, sehingga para penikmat persamuhan masih datang dan pergi, silih berganti. Namun, ada yang sering mengganggu, tatkala perbincagan begitu khusyuk, beberapa orang sering sibuk sendiri dengan gawainya. Nyelutuklah kisanak yang lainnya, dengan tanya yang menyindir, masih perlukah kita bersosial media, yang lebih banyak mengumbar kebohongan, permusuhan dan kebencian? Guru Han mendehem,lalu angkat tutur: "Justeru inilah saatnya menguji kewarasan di tengah kegilaan. Kalau saja terasing di tengah massivnya kebohongan, permusuhan dan kebencian, itu tandanya diri masih sadar. Apatah lagi bila bisa memilahnya, itulah kecerdasan yang paripurna."

BALASAN

He...he...he..., sahaya terkekeh, tatkala berdepan-depan dengan beberapa kisanak, yang lagi santai bareng diskusi, di selasar tempat mengais reski. Pasalnya, salah seorangnya, menunjukkan sebuah gambar di jejaring media sosial, yang aduhai. Seseorang yang menelanjangi dirinya, mengikuti sesuatu yang telah disesatkannya. Dalam keriuhan tubrukan pendapat, tetiba saja Guru Han berujar: "Bila Tuhan menyingkap sedikit saja kuasanya, atas seseorang yang selama ini disembunyikan itikadnya, maka takkan ada kekuatan yang bisa menutupinya. Apa pun dan siapa pun itu. Jika Tuhan menempatkan seseorang pada ketaklukan terhadap apa yang dibencinya, meski yang dibenci tidaklah salah adanya, maka orang tersebut akan mengalami posisi tak elok, maju kena, mundur apalagi."


Selasa, 29 November 2016

TU(H)AN


Ada macam-macam puasa, salah satunya puasa bicara. Tapi, entah kenapa, di sore yang mendung, pada pelataran tempat mencari nafkah, sahaya yang berbincang-bincang dengan beberapa kisanak, tentang kegaduhan negeri, akibat berebut kuasa, berhasil memancing Guru Han, untuk sejenak menggugurkan puasa bicaranya, sabda pun meluncur: "Amat tipis perbedaan antara Tuan dan Tuhan, waima keduanya berhubungan dengan kekuasaan. Namun, sedikit sekali yang mengenalinya, apatah lagi dalam bertindak. Apakah melakukan sesuatu atas panggilan Tuan atau Tuhan?"

Senin, 10 Oktober 2016

AGAMA

Hari-hari terakhir ini, jagat negeri dihidu oleh begitu banyak kegaduhan, baik di dunia luring terlebih di alam daring. Ujar kebencian merambat cepat, gegara agama dengan segala perniknya menjadi galah untuk menohok sesama. Latar beda mahzab, kelompok dan politik, semakin menajamkan sayatan sesat menyesatkan. Sahaya memandang Guru Han, sembari geleng-geleng kepala, tutur pun dikuakkan: "Agama bagi seseorang, bisa menjadi alat untuk menyelam, pada indahnya di kedalaman lautan damainya semesta. Namun, tidak sedikit pula, agama menjadi sarana bermain, di permukaan gejolak ombak lautan buana. Menyelam pada kedalaman dan menari di permukaan, masing-masing punya wujud. Di kedalaman ada haramoni, pada permukaan penuh rusuh."

Senin, 26 September 2016

KEMATIAN


Tidak cukup sepekan, sahaya telah melayat dua orang yang meninggal dengan asbab yang berbeda. Yang pertama, mamminya karib sahaya, karena sakit. Sedang yang kedua, kakek sahaya, sebab terjatuh saat memperbaiki saluran air di atas atap rumahnya. Misterinya lagi, sahaya masih melayat bersama kakek pada pemakaman sang Mammi. Tentulah sedih dan kehilngan berlipat-lipat, namun Guru Han mendapukkan ujar singkat dan padat: "Kematian itu, tidak mengenal antrian, tapi mirip arisan. Siapa yang naik namanya untuk dicabut ruhnya, maut pun menjemput, tanpa tabik."

Selasa, 13 September 2016

KEBURUKAN


Kali ini, tiada persamuhan, apatah lagi diskusi, tetiba saja sahaya tertatap tajam, seolah menjadi terdakwa tunggal, Guru Han menohok pikiran, meninju rasa dan menggeledah jiwa sahaya, dengan sabda yang tak terduga: " Karena keburukan juga punya batas, pada setiap masanya, maka tatkala ada seseorang yang memperburuk keburukan, sesungguhnya ia telah mempercepat keruntuhan kejayaan keburukan. Percayalah, sebab bila dikau menyepelekannya, sama saja telah terterungku olehnya, dari pengharapan yang paripurna."

Kamis, 08 September 2016

HARGA



Terjadi kegaduhan pendapat di salah satu mukim kerabat sahaya. Pasalnya, seorang kerabat, menjual kebunnya guna membeli mobil. Padahal, saran dari kerabat lain mengusulkan agar jangan menjual kebun, tetapi menunggu hasilnya, baru beli mobil. Tapi, tetap saja ia ngotot, kebelet ingin menyegerakannya. Sebab, hasil kebunnya tidak segera mampu mewujudkan inginnya, padahal ia sudah mau sekali harga dirinya melejit dengan mobil itu. Dari kejauhan, Guru Han melayangkan secarik tutur: “ Membeli mobil lalu mengendarainya, dapat menaikkan harga diri. Dan, sang kerabat rupanya ingin menaikkan harganya di mata sesamanya. Memang, harga diri itu amat mahal nilainya, namun tidak mesti dengan berkendara, sebagai jalan untuk menaikkan harganya. Apatah lagi, bila mobil yang menjadi lambaran harga diri, maka percayalah, harga diri akan menyusut setiap hari, seiring dengan turunnya harga mobil.”

Selasa, 06 September 2016

PINTU



Toa masjid dekat mukim sahaya memanggil untuk tunaikan Maghrib. Bergegaslah ke sana bersama kisanak yang lainnya. Sesudah shalat, bersualah dengan kisanak lama, lalu jabat tangan, berharap masih bisa jumpa lagi di luar masjid. Rupanya ia masuk lewat pintu lain, kemudian keluar lewat pintu masuknya, sehingga tak ketemu lagi. Rasa penasaran segera raib, gegara Guru Han langsung menguarkan tutur: “ Mengapa mesti harus keluar dari pintu yang sama, jikalau pintu masuknya saja sudah berbeda. Begitulah  perumpamaan dalam mencari ridha Tuhan akan kebenaran, tidaklah mesti kita masuk pada satu pintu, sebab pintu yang lain terbuka lebar untuk dimasuki. Masuklah dan keluarlah lewat pintu kebenaran yang dikau jalani, serta persilakan pula kisanak yang lain untuk masuk dan keluar melalui pintu yang dipilihnya. Toh di dalam masjid, dengan satu komando dari imam, sekotahnya mewujudkan lelaku dan lelakon yang sama, mempersaksikan kebenaran.”

Jumat, 02 September 2016

BACA


Seorang kawan lama, seperti burung pengelana, singgah bertengger di tempat semedi sahaya. Maklumlah, di tempat ini, lumayan banyak buku yang bisa dibaca. Namun, sang kawan memberi pengakuan dosa akan ketidakmampuannya lagi membaca, seperti dahulu, kala masih aktif teribat perlagaan pikiran. Guru Han menyahut, menabalkan sabda, guna menjernihkan suasana: " Jikalau dikau tak mampu membaca lagi, maka yang paling mungkin adalah dikau bakal dibaca. Menjadi objek bacaan, sungguh tak mengenakkan, karena dikau akan dibolak-balik, laiknya lembaran-lembaran kertas pada buku. Bahkan, tidak sedikit, dicoret-coret, digarisbawahi dan distabilo, tatkala ada yang menyentak si pembaca. Bersyukurlah, kalau sentakan itu menularkan energi positif, yang menyehatkan jiwa pembaca.".

Rabu, 10 Agustus 2016

MANIS



Duduk santai di selasar mukim, menikmati peganan yang bertaburan gula pasir. Rasanya manis, semanis kekasih, yang berdepan-depan dengan sahaya, yang menyantap kue tak bergula. Tetiba saja, beberapa butir gula pasir jatuh ke lantai. Selang beberapa detik kemudian, sekaum semut berkerumun, mengular sembari membisikkan kepada kaum suanya, agar merapat pada rasa manis itu. Tertujulah ingatan pada Guru Han, yang pernah bersabda: “ Buatlah dirimu dan perbuatanmu seperti gula, yang sari dirinya begitu manis, sehingga siapapun dia, sepanjang serupa dengan semut, maka ia akan mentandangimu. Tujuannya, aneka rupa, yang pasti ingin menikmati rasa manis, atau memaniskan diri. Jadi, anggaplah setiap tetamu itu, semisal semut, siapapun dia.”

Rabu, 03 Agustus 2016

LELAH


Mentari mulai unjuk panas, waima baru semenjana teriknya, seorang kisanak bertandang ke tempat cari nafkah sahaya, sekaligus wadah persemedian. Berceritalah ia tentang hidup yang dijalani, yang terkadang amat menjemukan, bahkan terlintas dalam benaknya untuk meninggalkan jabatannya. Guru Han yang sedari awal ikut menyuntuk perbincangan, pun unjuk kata: " Hidup memang bisa melelahkan. Namun, sanggup pula menggairahkan. Karena yang kita biayai, sesungguhnya sedikit saja, bila butuhnya tubuh semata. Tetapi, yang kita ongkosi begitu rupa, yang melengket pada badan, itulah yang melelahkan. "

Senin, 01 Agustus 2016

Muhary, Sarabba-Kopi, dan Literasi


Sengaja saya mengansel seluruh aktivitas akhir pekan, yang dinubuatkan pada saya, pada pekan terakhir bulan Juli, pertanggal 31, bersetuju hari Ahad. Pasalnya, Kelas Literasi Paradigma Institute dibuka kembali, setelah pakansi puasa dan lebaran. Preinya lumayan lama, lebih sebulan, tepatnya 8 pekan. Sehingga, di pekan pertama pascapakansi, yang dalam penanggalan kelas literasi, dikatagorikan sudah pekan ke-23 dalam proses belajar menulis. Tiada yang istimewa di pekan perdana sehabis liburan, selain dari lebih banyak bercengkrama melepas kangen, waima tetap saja tersaji dua tulisan yang dikurasi secara terbatas. Tulisan Muhajir MA, berjudul Muasal dan satunya lagi, tulisan saya yang bertajuk Surat Anies.
Kelas kali ini memang tidak istimewa dari segi kuantitas peserta yang hadir. Kami hanya berdelapan, namun kelas punya banyak kejutan. Menu camilan yang tidak biasa, sarabba dan ubi-pisang goreng. Sebiji delima merah-- menurut Putri Reski Ananda, hasil impor-- yang dibagi seadanya, dan hadirnya peserta baru, serta peserta lama yang vakum, namun berniat kembali merevitalisasi semangat menulisnya. Di atas segalanya, kejutan yang tak ternyana oleh peserta, adalah kedatangan Muhary Wahyu Nurba, yang bagi beberapa peserta, sebenarnya hanya kenal nama.
Tidak jelas persis, pukul berapa kelas dimulai, soalnya, begitu bersua langsung saja perbincangan mengalir deras, sederas air ledeng yang masih kencang alirannya di mukim saya. Nantilah saya menyela, agar segera dibuka saja, mumpung ada dua tulisan yang hendak dikurasi. Usai Muhajir MA, berbasa-basi mengucapkan “sambutan” selaku penanggung jawab, sebab ketua kelas, Bahrulamsal berhalangan hadir, apatah lagi kepala sekolahnya, Asran Salam masih di Palopo, didapuklah saya untuk membacakan tulisan, sedelapan ratusan kata, sebuah esai. Sayangnya, suara saya yang lantang dan agak puitis, kalah keras oleh suara mengaji masjid dekat rumah, yang bergegas mengajak shalat ashar.
Esai yang saya babarkan, bermaksud ikut nimbrung akan hiruk pikuk penggantian Anies Baswedan, selaku Mendikbud dari kabinet Jokowi. Peristiwa itu adalah hajatan politik, karena sesarinya memang, jabatan menteri merupakan jabatan politik. Dan, yang namanya politik, yang pasti hanyalah ketidakpastian. Tetapi, esai yang saya ajukan dengan judul Surat Anies, bukanlah esai politik, melainkan sepenggal pendapat akan tindakan Anies yang menulis surat kepada para guru, kepala sekolah dan tenaga kependidikan, sebagai tanda pamit. Bidikan persepsi yang saya ajukan, terkait langsung dengan tradisi literasi, dan upaya Anies merawat tali kasih dengan jajaran pelakon pendidikan.
Selanjutnya, giliran Muhajir MA, dengan esai yang tak kalah mengharukannya. Esai yang dipaparkan mengulas dimensi terdalam dari sisi-sisi kemanusiaan yang makin garib dijumpai. Seorang nenek, yang saban waktu, menggawangi kantin kampus, guna memulung sampah plastik dari para mahasiswa yang abai terhadap lingkungan, dan terjebak dengan pola hidup konsumerisme, sejenis penabalan diri sebagai sosok kelas menengah kota. Sang nenek, di mata Muhajir MA, tak pernah terlihat menengadahkan tangan, bahkan, tatkala ingin memungut sampah plastik di sela-sela keangkuhan mahasiswa, tetap meminta izin untuk meraihnya. Dan, yang lebih ajaib lagi, kala dompet Muhajir MA tercecer, sang Nenek memungut dan mengembalikannya, tanpa kurang sesuatupun
Kelihatannya, kelas kali ini, perbincangannya mengharu biru, gegara sajian dua esai itu. Namun, keceriaan segera nampak, ketika Muhary Wahyu Nurba-- penyair, sastrawan, penulis, esais -- tetiba muncul di kelas. Langsung saja ia membaur, menyapa segenap yang hadir, berusaha mengenalinya, bahkan ada upaya mengenal lebih dalam setiap peserta. Padahal, kedatangan Muhary tidak direncanakan sebagai bagian dari perhelatan kelas ini. Tapi, begitulah Muhary, bila sudah berada di Paradigma Ilmu Toko Buku, dia selalu menganggapnya sebagai sepetak surganya. Bukankah, kalau sudah disurga kita punya kebebasan?
Tujuan yang sesungguhnya, sehingga Muhary bertandang ke Paradigma, mau bertemu dengan seorang tukang bentor yang punya tradisi literasi, yang saban waktu, mangkal di Paradigma. Ketertarikan Muhary pada sosok itu, gegara Mauliah Mulkin memposting di facebook, selintas tentang sosok langka tersebut. Perburuan Muhary kali ini kurang beruntung, sebab si tukang bentor telah hadir sesuai dengan janjinya ingin bertemu, tetapi, tetiba saja ia pulang. Alasannya, malu dan kurang pede, serta tak kuasa berbaur dengan kawan-kawan di kelas. Akhirnya, Muhary memakluminya dan selanjutnya lebih konsentrasi di kelas.
Seraya berdiskusi di kelas, ada kejutan dari Muhary, yang sejak awal ketandangannya, membawa sebungkus kopi hitam, khas Lombok, yang ditaruhnya di atas meja. Awalnya, saya abai terhadap bungkusan itu untuk ditindaklanjuti, sebab saya sudah menawarkan sarabba. Rupanya, sarabba dalam tradisi saya dengannya, bukanlah minuman pokok, sejenis tegukan pelengkap saja. Lalu, kopi pun yang dibawa dari Lombok menjadi pengerat persamuhan. Saya lalu membatin, benar-benarlah ini baru perbincangan.
Sejatinya memang, Muhary nyaris sudah mukim di Lombok, apatah lagi sudah menjadi redaktur rubrik Literasi di Lombok Pos, yang setiap hari Ahad hadir menyapa para pemburu puisi, cerpen, esai dan karikatur. Jauh sebelum hijrah ke Lombok, tatkala masih mukim di Makassar, di Paradigma Ilmu Toko Buku menjadi salah satu tempat bertenggernya. Baginya, Paradigma, sejenis dahan yang hangat ditenggeri, ketika agak lelah terbang mengangkasa di sudut-sudut kota Makassar yang gerah. Apatah lagi, saat Muhary menjadi esais tetap di rubrik Literasi, koran Tempo Makassar, yang bertandem dengan Hendragunawan S. Thayf, Paradigma menjadi sepetak surganya, buat menuntaskan esainya. Dan, salah satu kebiasaannya, manakala datang, selalu membawa peganan, berupa kue-kue tradisional, yang pasangannya tersedia di Paradigma, kopi hitam dari Bantaeng.
Ah.... rupanya saya larut dalam kenangan. Sebaiknya, balik lagi ke kelas, karena ada bintang yang jatuh menyinari persamuhan. Muhary lah bintang itu. Aura literasi Muhary menghidu segenap ruang baca Paradigma, tempat berlangsungnya persamuhan. Sesekali ia menengok ke rak-rak, yang isinya ribuan buku, seolah menyapanya, lalu berujar; “ hai bro... apa kabarmu, sudah lama daku tak menjamahmu, bukankah dikaulah teman setiaku, selaku penghuni surga di sini? “ Tentulah, sang buku bertutur; “ rinduku padamu tak terkira, daku butuh belaimu, bukalah lembaran-lembaranku, celupkan dirimu di bilik-bilik lembaranku. Jamahanmu sungguh menggetarkanku.”
Kopi hangat yang tersaji menambah gairah perhelatan, bersabdalah Muhary tentang sari diri dalam kepenulisan: “ Menulis berarti mengkhatamkan diri sendiri. Hanyalah diri yang selesai dengan dirinya, yang bakal bisa menjadi penulis yang baik. Maka, membaca diri menjadi penting untuk dituntaskan.” Selanjutnya, ia menyimpaikan titah: “Dan, lebih dari itu, yang tak kalah pentingnya, selaku pribadi dan komunitas, milikilah kehangatan. Sebab, dengan kehangatanlah mampu mengenali diri sendiri, dan akan menebar ke sesama. Kehangatan seorang penulis, bakal menentukan resapan pembacanya.”
Toa masjid dengan lantunan ayat suci memberi isyarat, kelas segera berakhir. Sore jelang maghrib, penaka melukiskan takdir semesta, matahari pamit, meminta bulan segera mengambil estafet cahaya, malam menggeliat, berkemas mengiringi segenap penghuni jagat. Kelas bubar, satu persatu kawan belajar pamit. Pada akhirnya, sisa saya dan Muhary di kelas, ruang baca Paradigma, lalu saling ajak ke sumber suara azan, masjid dekat mukim, tunaikan shalat Maghrib.
Sepulang dari masjid, Muhary mau pamit, ingin ke rumah sakit, besuk seorang sahabatnya yang baru saja melahirkan. Ketika mau beranjak, tetiba muncul Mauliah Mulkin, membawa dulang, disusul dua buah piring dan kobokan. Artinya, kami makan malam bersama. Lauknya tidak istimewa, hanya ikan katombo goreng, telur dadar, sambel dan sayur kari nangka. Sambil bersantap, kami mengobrolkan guru kami, kak Alwy Rachman, yang belakangan ini, kelihatannya kurang sehat. Padahal, masih ada beberapa maksud yang belum tersampaikan padanya, khususnya, bakal buku dari kak Abdul Rasyid Idris, yang diberi pracitra olehnya.
Benar-benarlah Muhary, beranjak dan pamit. Sembari mengucapkan terimakasih atas jamuan makan malamnya, yang menurutnya, “maknyus pemirsa”. Bagi Muhary, indikator sedapnya sajian makan, tatkala berkali-kali menambah lauk, dan pasti pula nasi lebih dari sepiring. Dan, lebih dari sekotahnya, karena disajikan dengan penuh kehangatan. Jadi, kehangatanlah yang membuat sarwanya menjadi indah dan membahagikan. Terbuktilah titah Muhary dalam sekejap; kehangatan.

Rabu, 27 Juli 2016

KHIDMAT


Sekaum anak negeri berkumpul dari berbagai penjuru mata angin, menggelar persamuhan melepas rindu, sembari bertukar kabar tentang ladang pengabdian dan tentu juga efek rupiahnya. Maka beragamlah rupa penghasilannya. Sahaya turut juga unjuk warta, meski penghasilan belumlah sebesar capaian kisanak yang hadir. Rupanya, Guru Han berbesar hati menghibur dengan dedahan sabda: " Pengabdian, lebih tepatnya berkhidmat, intinya sama saja: kebergunaan bagi sesama. Bentuk artikulasinya bisa rupa-rupa wujudnya, yang kesemua itu hanyalah citra. Kemegahan pengkhidmatan bukan di kemasannya, melainkan pada isinya. Bila begitu adanya, berhati-hatilah terhadap pencitraan, sebab serupa dengan kulit, yang mudah terkelupas."

Jumat, 22 Juli 2016

TELANJANG


Belakangan ini, pada sepetak negeri yang berbenah mencari bentuk kemajuannya, diriuhkan unjuk rasa. Segelintir anak negeri, yang menghimpunkan rasanya, menggantang asanya, mengajukan tuntutan, yang sekadar minta jatah makan, menyodok tuntutan politik, mengaktuilkan potensi keanakmudaan. Semuanya diumbar dengan bahasa telanjang. Sahaya hanya ikut menyimak. Namun, di kesuntukan, Guru Han berbisik: " Bila sudah telanjang, apappun itu, pastilah tidak menarik. Sebab, semuanya sudah tersingkap, tak ada misteri. Padahal, hidup menjadi menarik karena misterinya. Pada misterilah, jiwa menghayat jagat. Apatah lagi, bila yang mengemuka, saling menelanjangi, benar-benarlah tiada yang tersisa selaku penggiur. yang meliurkan gelisah pikiran."

Rabu, 13 Juli 2016

Rayakanlah, Maafkanlah dan Bahagialah

Hari-hari usai puasa Ramadhan, beridul fitri pun menjadi puncak kemenangan bagi yang mencapainya. Menjadi juara karena telah berhasil menaklukkan diri sendiri. Bukankah, sari pati puasa adalah berlaga untuk mewujudkan sari diri? Seluruh perangkat pertempuran diarahkan pada diri, demi peringkat yang dijanjikan; taqwa. Tiada yang bisa membantah diktum suci dari Ilahi, bahwa orang yang beriman dan terpanggil menunaikan puasa, hasilnya adalah sosok taqwa. Hanya yang beriman nan bertaqwa, yang layak mengagungkan kejayaan diri. Ibarat pertandingan sepak bola, semisal Piala Eropa yang segera berakhir, cuma kesebelasan yang ikut bertanding, dan memenangkan babak demi babak yang bakal juara.
 
Menarik mengemukakan petuah Imam Ali bin Abi Thalib, tatkala ditanya oleh para sahabatnya, ketika pada hari raya, memakai pakaian dan makanan yang sederhana. Kala itu, sahabat-sahabatnya melihat keadaan beliau, mereka bersedih dan berkata; “Wahai Amirul Mukminin bukankah hari ini hari raya? Dan, Imam Ali bin Abi Thalib menjawab; “Ya benar, sekarang adalah hari raya dan setiap hari dimana ketaatanku bertambah, bagiku merupakan hari raya.”
 
Seraya mengucapkan lagi; “Hari raya bukanlah bagi orang yang memakai pakain baru, tetapi hari raya bagi yang bertambah ketaatannya. Hari raya bukanlah bagi orang yang memperindah dirinya dengan pakain dan kendaraan, melainkan orang yang dosa-dosanya mendapatkan ampunan. Bukanlah hari raya bagi orang menyantap makanan yang lezat, dan bersenang-senang dengan syahwat. Justeru, makna hari raya yang sebenarnya adalah bagi orang yang diterima taubatnya dan kejelekannya diganti dengan kebaikan.” Sayangnya, perayaan yang banyak dilakukan lebih banyak berorientasi pada luar diri, bersilaturrahim dan halal bilhalal.
 
Secara kultural, masyarakat kita cenderung mematenkannya dalam bentuk tradisi yang beragam adanya. Dan, yang nampak sekali, semisal pemenuhan hasrat konsumsi yang cenderung berlebihan, baik sandang maupun pangan. Seolah hari lebaran adalah ajang balas dendam dari kungkungan bulan Ramadhan. Bersilaturrahim ke seantero jagat, namun sekaligus menjadi ajang fashion, mempertontonkan kendaraan dan gawai terbaru. Jabat tangan dan ucapan selamat hari raya dan maaf, sebatas basa-basi pergaulan.
 
Padahal, dalam Qur’an suci, pada surah Ali Imran (3) ayat 134, telah mengidentifikasi tanda-tanda orang beriman, serupa sosok yang menemukan sari dirinya, yaitu orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.
 
Berinfak dan menahan amarah, telah mewujud di bulan suci. Tidak sedikit model berbagi dinyatakan, baik dalam bentuknya, berupa zakat, sedekah dan lainnya. Begitu juga dengan menahan amarah, berhasil ditaklukkan sesuntuk-suntuknya, sehingga puasa tidak lagi sekadar menahan haus dan lapar. Namun, yang tersisa adalah memaafkan. Adakah kesudian yang menyembul untuk memaafkan sesama, sebagai buah langka, yang bisa ditebarkan bibit-bibit kepengasihan dan kepenyayangan?
 
Firman suci membimbing seseorang untuk memaafkan, agar sari diri selaku sosok beriman menguar. Pada surah At-Taghabun (64) ayat 14 –meski ayat ini ditujukan untuk keluarga (isteri dan anak)– di sebutkan : …dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dalam ayat ini, ada tiga kata yang menarik dicermati, tatkala pembuktian keimanan itu dikedepankan, yakni ; memaafkan, tidak marah dan mengampuni.
 
Setidaknya, menurut Jalaluddin Rakhmat, dalam bukunya yang berjudul Jalan Rahmat, ketika mengomentari ayat tersebut –yang ketiga kata itu berkonotasi memaafkan– maka sikap yang akan dilahirkan oleh seorang insan, pertama, kita hapuskan dari hati kita segala luka, kepedihan, dan sakit hati yang diakibatkan oleh perbuatan orang lain pada kita. Kedua, memaafkan berarti melepaskan hukuman dari orang yang seharusnya menerima hukuman itu, meski kita punya kuasa untuk membalasnya. Ketiga, memaafkan berarti menutup aib, kesalahan, atau dosa orang yang kita maafkan. 
 
Memaafkan, forgiving merupakan tangga menuju kebahagiaan.Maksudnya, jika ingin berbahagia, maka salah pintunya adalah memaafkan. Meski tidak sedikit yang beranggapan bahwa memaafkan itu berarti kekalahan, bahkan menunjukkan kelemahan. Paling tidak, ada juga yang berpendapat bahwa rasa ingin membalas dendam, atau tidak ingin memaafkan sejenis karakter naluriah, yang melekat pada manusia selaku makhluk yang punya sifat pendendam. Yang pasti, tindakan memaafkan serupa pekerjaan yang amat berat untuk dilakukan, karena merupakan perwujudan tindakan keimanan.Jadi, memaafkan sangat dekat dengan keimanan. 
 
Arvan Pradiansyah menyebut tindakan memaafkan ini sebagai salah satu dari tujuh rahasia hidup yang bahagia. Sebagaimana pembabarannya dalam buku yang ditulisnya, dengan judul The 7 Laws of Happiness, mendapukkan forgiving sebagai law yang keenam. Menurutnya, begitu banyak mitos-mitos yang menghalangi untuk memaafkan. Namun, suatu tindakan memberi maaf bermakna melepaskan masa lalu, berusaha memahami orang lain, fokus pada kebaikan orang lain, menjadikan orang lain sebagai guru sejati dan memaafkan bukan berarti melupakan. Bila kelima makna tindakan memaafkan itu direalisir, maka kebahagiaan pun bakal menghidu diri.
 
Merayakan kemenangan dengan beridul fitri, sama pula dengan berlebaran, yang bermaksud meluaskan diri dari kesempitan pikiran dan kesumpekan hati. Pikiran yang sempit dan hati yang sumpek, penanda nyata ketidakbahagiaan. Memaafkan, memberi maaf pada orang lain, yang bertujuan memelihara diri, sesungguhnya merupakan tindakan menghadirkan sari diri. Sedangkan sari diri bagi seseorang, adalah wujud keimanan yang bermuara pada kebahagiaan. Maka, setiap orang patutlah merayakan kemenangannya, karena menaklukkan dirinya sendiri, lalu memaafkan orang lain, dan pastilah kebahagiaan menanti di gerbang kehidupan.
 
[ Edunews, 10 Juli 2016 ]

Kembali ke Sari Diri

Di pucuk nirmalanya bulan Ramadhan, pada pekan terakhir, bertanyalah seorang cilik pada bapaknya, tentang apa yang dibikin, sewaktu umur masih kanak-kanak, sepadan dengan usia sekolah dasar, tatkala bulan suci tiba? Sang bapak yang usia sekolah dasarnya, beredar antara tahun 70an dan 80an pun berusaha mengingat apa yang tersisa, sebagai serpihan kenangan indah, keceriaan yang tiada tanding. Masa termanis dalam hidup.

Berceritalah sang bapak, bahwa ketika kanak-kanak, bila Ramadhan hadir, liburlah sekolah sebulan penuh. Jadi, setiap anak punya waktu yang suntuk untuk menikmati gemerlapnya bulan kudus. Main petasan oke, tapi suaranya tidak keras amat. Ada kembang api, yang sebatas dipegang beberapa detik, lalu mati. Tak ketinggalan, meletuskan meriam bambu, membunyikan letusan-letusan yang terbuat dari busi motor, teralis becak dan sepeda atau motor, yang mesiunya dari korek api. Semua mainan dibuat sendiri. Ngaji di mesjid sambil mendengar kisah-kisah para nabi dan orang terdahulu.

Si cilik menyimak, rupanya mulai membandingkan dengan dirinya, yang di masa kiwari ini, lebih banyak bermain dengan mainan yang dibeli. Mulai dari petasan yang nyaris menyamai suara guntur, kembang api yang berusaha menyamai kerlap-kerlip bintang. Waima ada perbedaan dalam hal mainan, namun hakekatnya sama; bermain. Dunia cilik, memanglah dunia bermain. Segalanya dipandang sebagai mainan belaka. Tafsir seriusnya, dunia ini tempat bermain. Jagat hanyalah mainan belaka.

Lalu apa yang mesti dimaknai lebih khusyuk dari dunia kanak-kanak, sehingga ia memandang buana ini sebagai mainan belaka? Saya pun memahaminya dengan mengemukakan asumsi, karena terkait langsung dengan jiwa sang anak. Seorang anak yang belum akil baligh, niscayalah khalis jiwanya, mukhlis ruhaninya. Jiwa yang kudus, pastilah memandang jagat ini sebagai tempat bercanda, sarana bermain, sehingga segalanya menjadi bagian dari candaan dan mainan belaka. Makanya, karena jiwanya masih bersih, tidaklah berlaku hukum-hukum ilahi padanya. Sebab sang anak adalah manusia citra ilahi. Inilah sari diri, sosok yang azali bin purba dalam kehambaan.

Akan halnya ketika mulai memasuki masa akil baligh, dunia anak pun ditinggalkan. Mengadalah dunia remaja. Kesucian jiwa pun mulai buram. Yang benderang adalah gejolak meninggalkan dunia dalam -- kekudusan ruhani yang mikrokosmik-- bertualang memenuhi hasrat-hasrat dunia luar -- memoles kekotoran jasmani yang makrokosmik-- yang berwujud pada persaingan dalam segala bidang kehidupan. Pengejaran segala yang berbau duniawi menjadi tak terhindarkan. Dunia tidak lagi sebagai arena permainan, melainkan main-main dengan dunia. Karena main-main dengan dunia, maka dunia pun mempermainkannya. Menawannya, hingga terterungku begitu rupa dan sulit sekali membebaskan diri dari ikatan duniawi.

Terkisahlah seorang kerabat yang menghadiahi saudaranya yang lebih tua, kala usia sang kakak telah menghabiskan jatah melatanya 40 tahun, dengan sebuah cendramata yang bertuliskan: Life is Begin at Fourty , hidup dimulai pada usia empat puluh. Saya yang menyaksikan peristiwa itu, membatinkan kira-kira yang dimaksudkan dengan slogan kehidupan itu. Ronanya, itu adalah sejenis ajakan untuk menempuh jalan balik, setelah menghabiskan masa bertualang meninggalkan diri -- dunia dalam yang mikrokosmik -- jiwa yang kudus. Singkatnya, serupa ajakan untuk menjadi kanak-kanak lagi, mengarungi jiwa yang kudus, meski dengan balutan jasmani yang tidak cilik lagi. Kembali ke sari diri.

Bulan Ramadhan yang tinggal ratusan menit durasinya, mendorong si cilik agar sang bapak ikut lagi bermain di pucuk waktu yang tersisa. Suatu ajakan untuk menjadi kanak-kanak lagi. Sang bapak pun mengiyakan. Lalu terjadilah kolaborasi yang apik, antara si cilik dan sang bapak dalam mengkuduskan Ramadhan, sekaligus menyilakan pergi dan berharap setahun kemudian datang lagi. Mainan pun dibikin sedemikian rupa, guna mewujudkan permainan semangat kekanakan, yang menganggap semua yang di luar diri hanyalah mainan belaka.

Pada usia sang bapak yang sudah lebih empat puluh, menjadi kanak-kanak dalam pengertian yang lebih spiritual bukanlah perkara yang sulit. Sebab, memang sudah waktunya untuk merintis jalan pulang, setelah mengembara ke berbagai belahan jagat, mencari bekal kehidupan, agar tetap eksis melata di atasnya. Bila perjalanan meninggalkan sari dari porosnya dari kanak menuju akil baligh, maka jalan pulang, kembali ke sari diri, prosesnya dari akil baligh kembali ke kanak. Jadi, pada sari dirilah bertemu kualitas insan kamil -- antara si cilik dan sang bapak dalam kekanakan -- yang memandang jagat sebagai arena permainan atawa dunia sebagai mainan belaka. Raib dan adanya segala yang duniawi, hanyalah pergiliran semata.

Saatnyalah mengedepankan anjuran Muhammad Iqbal, seorang penyair - filosof anak benua India-Pakistan, pada kitab utamanya, Javid Namah, yang memandang dunia tidak lebih dari kedai, sejenis tempat singgah sejenak rehat. Atau mencerap kembali penggalan syair Maulana Rumi, sesosok sufi yang amat tersohor bagi para spiritualis, dalam karyanya, Mastnawi, yang mengandaikan suara merdu nan melengking seruling bambu yang menjerit, menyayat jiwa, karena rindu akan rumpunnya. Sebatang seruling yang ingin ke kembali ke jati dirinya, serumpun bambu.

Sudah waktunya, bekal hidup yang begitu banyak, sebagai hasil capaian prestasi dari akibat meninggalkan sari diri, semisal; gundukan harta, limpahan jabatan, diperas menjadi intisari hidup berupa amal. Mengkualitaskan yang kuantitas, menjiwakan yang ragawi, meruhanikan yang jasmani. Kembali ke diri yang azali, menyongsong perjanjian primordial dengan Ilahi, agar diperkenankan kembali menjadi makhluk ilahiat. Dan, Ramadhan yang tuntas ditunaikan, hanyalah sebentuk interupsi tahunan, yang bergulir untuk mengingatkan, agar tidak lupa pada diri terdalam, yang hakiki dalam kekanakan, sari diri. 

[ Edunews, 03 Juli 2016]

Senin, 04 Juli 2016

SEDIH


Tuntas sudah bersetubuh dengan bulan Ramadhan, berharap kesucian menghidu diri selama bulan-bulan berikutnya, hingga sua lagi di perjumpaan tahun depan. Sahaya termenung sejenak, membatinkan satu soal; sedih. Sebab, biasanya, tatkala ada perpisahan, segera saja rasa sedih menguar. Guru Han, yang amat khusyuk dalam kebeningan di keheningan subuh, pada hari terakhir puasa, tetiba bersabda: " Ada dua respon yang melanda seseorang tatkala berpisah dengan bulan Ramadhan. Merasa amat sedih, bersedih sesuntuknya karena Ramadhan meninggalkannya. Pun lainnya, amat menyedihkan, sebab seseorang itulah yang meninggalkan Ramadhan, entah itu di awal, pertengahan atau akhir Ramadhan."

Kamis, 30 Juni 2016

CANTIK


Di acara berbuka puasa, berkumpullah sekaum lelaki, yang usianya mulai tergelincir, bahkan ada yang menjelang senja. Namun semangat hidup masih menyala, membara tiada tara. Sahaya menjadi bagiannya. Topik yang tak terlewatkan, tentulah menggunjing pasangan yang sudah mulai pudar kecantikannya, konsisten mengiringi uban dan rontoknya rambut para lelakinya. Tidak sedikit resep awet muda, yang diudarkan, guna merawat kelanggengan. Guru Han hanya terdiam menikmati perbincangan, tapi batinnya menggeliat ingin berucap: " Duhai para lelaki yang sudah mulai bau tanah, pudarnya kecantikan seorang perempuan, karena usia memakannya, adalah pintu masuk untuk menjejaki kecantikan-kecantikan yang lain. Di sisa jatah usia, bersibuklah menyingkap kecantikannya, yang selama ini tertutupi oleh kencangnya kulit dan montoknya daging. Kecantikan yang azali, hanya menyata tatkala jasmani sudah menyerah pada sang kala."



Selasa, 28 Juni 2016

Sepak Bola, Religiusitas dan Spiritualitas




Tidak ada yang lebih cermat mengatur waktu di bulan Juli 2016 M, yang bertepatan dengan bulan Ramadhan 1437 H, selain dari para pemburu pahala dan penggila sepak bola. Apa pasalnya? Pada bulan inilah bertemu dua perkara yang sama-sama membutuhkan perhatian tiada tara. Ramadhan dengan segala pernak-pernik ikutannya dan perhelatan sepak bola Piala Eropa, bersama ragam kintilnya, yang diikuti oleh 24 negara.

Bagi pemburu pahala, bulan ini menubuhkan bulan berkah, rahmat dan ampunan. Sementara, bagi penggila sepak bola, candra ini melukiskan pesta bintang-bintang sepak bola kawasan Eropa. Saya sendiri, menjadi bagian dari dua perjamuan ini. Sebagai seorang muslim, patutlah saya membenamkan diri dalam lautan janji pahala. Dan, selaku penikmat sepak bola, benar-benarlah ini peristiwa dua tahunan yang hanya terkalahkan oleh peristiwa empat tahunan, Piala Dunia. Terterungkunya saya dalam dua momen ini, sebab ada upaya menjadi seorang muslim yang makin religius, sekaligus penikmat sepak bola yang kian khusyuk.

Bertumbukannya waktu yang terpilih akan dua peristiwa ini, justru menimbulkan masalah tersendiri. Sebab, terkadang antara waktu ibadah dan siaran langsung pertandingan bersamaan adanya. Ibadah Ramadhan, semisal shalat tarwih berjamaah di masjid, bisa bertepatan waktunya dengan jadwal pertandingan yang pluitnya ditiup pada pukul 21.30. Pun, dalam semalam, biasanya ada tiga jadwal perlagaan; di awal malam, tengah malam dan dinihari jelang subuh. Jadi, pilihannya antara ibadah dan nonton. Betul-betullah menjadi dilema bagi para pengejar pahala dan penggendeng sepak bola.

Seorang karib yang amat religius, sekaligus maniak sepak bola membagikan tipsnya. Menurutnya, dalam semalam, kesemuanya bisa didamaikan dengan santun, yang penting cermat dalam mengelola waktu. Maka dipilihlah masjid yang menyelenggarakan shalat tarwih yang berakhir saat jelang pluit pertandingan pertama ditiup, lalu menonton pertandingan berikutnya hingga tengah malam, kemudian tidur dan bangun kembali ketika pertandingan dinihari mau kick off, tapi sebelumnya qiyamul lail (shalat malam) terlebih dahulu, plus mendoakan tim kesayangan. Dan, sahurnya di depan TV, nonton sambil bersantap dalam intaian waktu imsyak.

Kiat dari karib tersebut membuat saya mendaras kembali sebuah buku yang dianggit oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ: Spiritual Intelligent - The Ultimate Intelligent. Dalam buku ini dijelaskan perbedaan antara religiusitas dan spiritualitas. Dituliskannya bahwa, SQ (Spritual Intelligent-Kecerdasan Spiritual), tidak mesti berhubungan dengan agama (religion). Bagi sebagian orang, SQ mungkin menemukan cara pengungkapan melalui agama formal, tetapi beragama tidak menjamin SQ tinggi. Banyak orang humanis dan ateis memiliki SQ sangat tinggi; sebaliknya, banyak orang yang aktif beragama mempunyai SQ amat rendah.

Bagi Zohar dan Marshall, agama merupakan seperangkat aturan dan kepercayaan yang dibebankan secara eksternal. Ia bersifat top-down, diwarisi dari pendeta, nabi dan kitab suci atau ditanamkan melalui keluarga dan tradisi. SQ adalah kemampuan internal, bawaan otak dan jiwa manusia , yang sumber terdalamnya adalah inti alam semesta itu sendiri. SQ merupakan fasilitas yang berkembang selama jutaan tahun, yang memungkinkan otak untuk menemukan dan menggunakan makna dalam memecahkan persoalan. Kecerdasan spiritual serona kecerdasan jiwa. Ia mencorakkan kecerdasan yang dapat membantu kita menyembuhkan dan membangun diri secara utuh.

Jadi, kelihatannya dalam menghadapi dilema antara peraduan sepak bola dan ibadah Ramadhan, yang dibutuhkan adalah kecerdasan spiritual. Sudut pandang yang penuh aura spiritualitas. Sebab, bila saja yang dikedepankan sikap religiusitas, maka tidak menutup kemungkinan dilema itu bukan saja tidak mendapatkan solusi, malah bisa menjadi pemicu sikap yang memandang peristiwa sepak bola sebagai permanan anti agama, sehingga tidak sedikit yang mengistilahkan bahwa sepak bola telah menjadi “agama” baru di dunia ini. Bukankah amat mudah ditemukan, seorang yang kelihatan religius, memandang sepak bola sebagai permainan sesat dan menyesatkan?

Bagi seorang spiritualis, apapun realitas di dunia bisa dijadikan sebagai medium untuk mengaktuilkan spiritualitasnya, rasa dekat pada Tuhan. Termasuklah wujud persabungan sepak bola. Apatah lagi, dalam permainan sepak bola, di balik pertunjukan yang mengandalkan keterampilan ragawi, terselubung kekuatan jiwa yang cukup menentukan keberhasilan pertandingan. Sehingga, sepak bola di era kiwari ini makin berjiwa, tidak sekadar kompetisi yang akan menghasilkan pemenang. Tapi, bagaimana kemenangan itu diraih dengan spirit sedemikian rupa, bahkan kalaupun harus kalah, masih dalam kerangka spiritualitas, kalah terhormat.

Akhirnya, Ramadhan pun sebagai bulan yang dijanjikan sebagai bulan kemewahan akan kelimpahan pahala, tidaklah memadai bila hanya sekadar semangat religiusitas yang mengawalnya. Terjebak pada formalitas ibadah semata, sehingga puasa yang dijalani hanya berujung pada lapar dan haus, serta shalat tarwih dan qiyamul lail tidak lebih dari gerakan ragawi belaka, sejenis senam kesegaran jasmani. Nilai-nilai dalam bulan Ramadhan dan jiwa-jiwa yang menggerakkan permainan sepak bola, bisa bertemu dalam spiritualitas. Sebab, keduanya bisa dipandang sebagai titian untuk mengaktuilkan spiritualitas, mengajuk aura ilahiah.
(Edunews, 26 Juni 2016)

Pensucian Jiwa




Sekali waktu, Bung Karno mengutip seorang penyair besar dari Firinze, Italia, Dante Aligheri, lewat karyanya, Divine Commedia, tentang purgatorio, suatu tempat pensucian dari inferno (neraka) menuju paradiso (surga). Dalam karya imajiner Dante itu, seolah melakukan perjalanan dari kesaksiannya akan neraka dan tempat pensucian, lalu ke surga. Singkatnya, ada sejenis simpulan imaji, bahwa untuk sampai kepada kesucian, terbebas dari kekotoran, maka pensucian menjadi titian yang harus dilewati.

Bertolak dari gagasan imajiner itu, tentang pensucian agar sampai pada kesucian, saya ingin menyederhanakan soal pensucian ini lewat peristiwa sehari-hari. Sebagai amsal saja, ketika ada pakain kotor yang ingin dibersihkan, agar menjadi nirmala, maka haruslah disucikan lewat mekanisme pencucian. Mencuci pakaian itu. Dan, setidaknya, ada empat tahapan dalam mencuci pakaian kotor, baik lewat cara manual maupun melalui mesin cuci.

Langkah pertama yang mesti dilakukan, dengan merendam pakaian itu bersama diterjen. Setelahnya, dikuceklah atau diputar sedemikian rupa oleh mesin cuci. Selanjutnya, dilakukan pembilasan. Membilas pakain itu, hingga berkali-kali, sampai dianggap bahwa sudah tidak berditerjen lagi. Tindakan terakhir, mengeringkannya lewat mesin cuci atawa memerasnya lalu dijemur. Proses dari yang paling awal sampai akhir tindakan, mencerminkan perjalanan bagaimana selembar pakaian kotor, bila ingin dibersihkan, maka harus tunduk pada mekanisme pencucian ini.

Seperti halnya, tatkala seseorang ingin membersihkan dirinya, maka untuk sampai kepada kebersihan diri, haruslah memandikan dirinya. Mandi adalah sejenis tindakan membersihkan diri. Dalam proses pemandian, pun ada mekanisme yang standar. Paling tidak mengikuti empat tahapan, seperti halnya dalam mencuci pakaian. Setiap diri mesti lebih dahulu membasahi seluruh tubuhnya dengan air. Sesudahnya, digosoklah badan dengan memakai sabun, lalu membilasnya hingga busa sabun itu raib. Dan, paling akhir menegringkan badan dengan handuk atau yang sejenisnya. Mekaisme mandi ini, bakal menghasilkan tubuh yang bersih, segar dan bugar.

Analogi pencucian pakaian kotor atau memandikan badan dari setiap diri, dapat saya sepadankan, tatkala ingin mengedapankan cara membersihkan ruhani, mensucikan jiwa. Pensucian jiwa mesti dapat pula diajukan mekanisme dalam rangka mengkuduskannya. Bila putaran hidup selama setahun memangsa waktu dua belas bulan, maka ada satu bulan yang dikhususkan sebagai bulan pensucian di kalangan umat Islam. Bagi kaum yang memeluk Islam sebagai agamanya, bulan Ramadhan adalah sejenis fasilitas untuk mensucikan jiwa, guna mentahrirkan dirinya dari segala macam noda keruhanian.

Tak mengapalah bila saya mengadaptasi empat mekanisme pencucian pakaian atau pemandian jasmani ke dalam pensucian jiwa di bulan Ramadhan. Anggaplah selama bulan Ramadhan itu saya bagi menjadi empat pekan. Maka pekan pertama bersetuju dengan perendaman jiwa, agar jiwa menjadi lebih mudah dikucek sekaligus diputar pada pekan berikutnya. Pada pekan ketiga Ramadhan, selayaknya setiap insan mulai membilas jiwanya untuk mempersiapkan diri memasuki pekan keempat, guna menjemur jiwanya, agar di hari fitri, saat lebaran, benar-benarlah yang nampak adalah saridiri. Jiwa yang khalis bin mukhlis.

Pada konteks inilah, dalam bulan Ramadhan mendedahkan beberapa fasilitas pensucian yang disiapkan sebagai diterjen atau sabunnya, guna membantu pengkucekan jiwa. Tersebutlah, bahwa bulan Ramadhan ini adalah bulan berkah, rahmat, dan ampunan. Yang darinya membuahkan pengiring sebagai bulan berbagi, berkhidmat dan rekonsiliasi jatidiri.

Disematkannya bulan Ramadhan sebagai bulan penuh berkah, sebab di dalamnya segala macam perbuatan baik diberi ganjaran keberkahan, berupa kelebihan manfaat dari biasanya. Secara kuantitatif, pahala amal baik dilipatgandakan jumlah hitungannya. Karena memang sedarinya, pengertian berkah adalah adanya nilai lebih atas manfaat yang diberikan dari situasi umum. Tindakan biasa, namun membuahkan hasil yang luar biasa.

Pun ketika dititelkan pada bulan Ramadhan selaku bulan rahmat, karena pada bulan inilah sepatutnya rasa saling menyayangi sesama diumbar semaksimal mungkin. Bulan kasih sayang dimaknai sebagai upaya berbagi kasih sayang kepada yang amat membutuhkan. Orang-orang yang jauh dari sentuhan kasih, sedapatnya pada bulan inilah sebagai lahan untuk mendapatkannya. Insan-insan yang luput dari elusan sayang, sesungguhnya lewat bulan ini berhak meraih kesungguhan dari para penderma.

Dan, digelarinya bulan Ramadhan serupa bulan ampunan, lantaran Tuhan menggelontorkan ampunannya. Kewajiban insanlah memohon ampunan itu. melalui pertobatan. Melafazkan zikir dan doa, merapalkan serona mantra pembujuk pada Ilahi, agar siraman ampunan bertubi-tubi hadir mengada, dalam wujud jaminan keselamatan di dunia dan akhirat. Tiada yang lebih diimingkan oleh seorang budak pada tuannya selain dari ampunan kala bersalah. Begitu juga, tak ada yang bakal diidamkan oleh seorang hamba ke Tuhannya, melainkan terhapusnya dosa.

Insan yang terberkahi, dilimpahi rahmat dan diampuni, adalah insan yang berhasil meraih predikat takwa, sebagai buah dari kelulusan di madrasah ruhaniah pada bulan Ramadhan. Refleksinya, tercermin pada makin kuatnya keinginan untuk berbagi, pengkhidmatanya seolah tak terbendung dalam melayani sesama dan seraut wajah yang penuh pesona, serupa persona yang mampu merekonsiliasi dirinya. Jadi, bulan Ramadhan adalah titian pensucian jiwa agar dimensi keruhanian setiap diri menemukenali saridirinya.
(Edunews, 19 Juni 2016)