Rabu, 24 April 2013

TANGKAI-RANTING

Saat surya mulai nampak, hangat menyapa, Sang Guru pun membilang kepadaku: " Han..., bersikaplah laiknya tangkai yang masih hidup. Tangkai yang hidup masih lentur, agar kelenturan hidup menawanmu. Dan, janganlah menjadi ranting yang mati. Ranting yang mati, kering kerontang mudah patah. Supaya kepatahan hidup tak menerungkumu."

BULUH-SULUH

Lama nian Sang Guru tak membabarkan sabda, hingga masa itu datang jua, lalu berbisik lembut: " Han..., tak mengapa engkau memotong sebatang buluh, memisahkan dari rumpun mereka, agar menjadi suluh bagi mahluk lainnya."

Senin, 22 April 2013

BUMI

Daku, selayaknya sangat malu pada bumi.
Tinjaku pun ditelannya.
Air kencingku juga diminumnya.
Bahkan, ragaku ketika jadi bangkai, kelak akan dimakannya.

Lalu mengapa masih saja berpongah, tatkala melata di hamparannya?

Daku, seharusnya memohon maaf pada bumi.
Bukannya memperkosa dengan tiang pancang beton.
Menimbun rawa untuk real estate.
Menggunduli hutan, menyiangi puncak bukit guna bangun villa.

Lalu mengapa masih saja mendaku manusia, sebagai pewarisnya?

Rabu, 17 April 2013

SIA-SIA


Aku amat miris telah menjadi penyaksi, akan orang-orang yang sibuk menggantang asap, mengkarungkan angin, untuk sebuah kepuasan hasrat berkuasa.

Orang banyak sudah tahu, bahwa tak ada guna asap digantang, sebab akan menguap, raib terbang tak bertujuan.

Apalagi mengkarungkan angin, sebuah kesia-siaan. Karung tidak akan pernah mampu menampung kehendak angin.

Lalu mengapa masih saja berpesta, merasa menang terpuaskan, padahal tidak lebih dari kehampaan dan ketakbermaknaan?

Haruskah kita mengundang makhluk suci, untuk mengajari kita yang masih kurang ajarnya? Memintari diri yang masih saja kurang pintar?

Manalah mungkin aku tega mengucapkan selamat atas hasil gantanganmu dan karunganmu, sebab sama saja kurestui sesuatu yang tak bermakna.

Asap yang telah terbang tak bertujuan itu, akan bersetubuh dengan angin yang tak terkarungkan itu, suatu waktu akan datang menyapa dalam wujud badai.

Bila badai mewujud, gantang dan karung takkan ada lagi gunanya, sebab memang sejak mula tak berguna, cuma jadi guna-guna.

Selasa, 02 April 2013

KESEWENANGAN

Hasrat untuk berkuasa yang ada pada diri, sesungguhnya amat purba keberadaannya dalam setiap jiwa. Kuasa berbiak, mengikuti jalan-jalan naluri yang tersaji.

Sedianya kuasa, ibarat air mensucikan daki pada tubuh, itu jika kuasa diberi jalan kelapangan dada di kedalaman ruhani.

Meraih hasrat berkuasa, memperolehnya banyak corak tempuhannya. Ada yang menggapainya lewat lambang-lambang pengetahuan, pun ada pula melalui kepimilikan harta, menumpuk kekayaan. Jalur lainnya, bisa dengan simbol-simbol keimanan, sikap religius. Dan, boleh pula dengan titian latar keturunan, trah kebangsawanan.

Lambang-lambang pengetahuan, kebertumpukan harta, simbol-simbol religiositas, dan trah kebangsawanan, kesemuanya merupakan jalan-jalan menuju pada kuasa, kekuasaan dalam genggaman.

Dari genggaman kekuasaanlah lahir kewenangan. Setiap diri berlomba untuk berkuasa, sebab padanya ada kewenangan. Dengan memiliki kewenangan maka menjadilah diri berwenang. Berwenang berarti jari telunjuk amat sangat menentukan nasib yang ditunjuk.

Saat lewenangan yang ada pada diri tak terbatas, wujud kehidupan hanya dinasibkan oleh liukan telunjuk, dan disahkan oleh goyangan lidah, lewat mantra-mantra kedigdayaan. Maka keberadaan berikutnya hanyalah kesewenangan.

 Ketika kesewenangan ada pada diri, berarti hasrat kuasa dan kekuasaan tak lagi berbatas. Maka keinginanpun melampaui kebutuhan. Lalu kesewenangan merajalela; membakar, membunuh, menelan, melumat, membasmi dan membongkar, merampok, merompak, mengkorup apa saja yang tampak, bila tak sejurus dengan selera.

Rumitlah tata kehidupan di jagat, jikalau mengolahnya berdasar keinginan yang tak terbatas. Selayaknya, bertumpulah pada kebutuhan, sebab ia akan membatasi yang tak terbatas.

Kewenangan laiknya berbatas, dan memang harus terbatas serta dibatasi, agar tidak mewujud menjadi kesewenangan. Kewenangan lebih dekat pada pemenuhan kebutuhan, sedangkan keinginan bila ambisius, akan menyaru pada kesewenangan.

BUNGLON

Sekali waktu dikau menjadi benalu, mematikan dahan yang dililit, ranting pun mengering, kerontang rapuh, patah.

Kali lain dikau mewujud serupa burung. Bersiul dengan kicau yang memukau, melenakan penghuni semesta.

Terbangmu mengangkasa di langitbiru, dikau lupa pada benalumu itu. Dan, dikaupun bertengger pada dahan yang kering kerontang, patah pun ranting.

Sayap yang dikau pakai buat terbang melangit, terlanjur dikau buang, sebab rasa butuh akannya tak perlu lagi. Habislah manis, sepah pun dibuang.

Nasib apa yang bakal dikau jumpai, saat tak punya sayap tapi terlanjur bertengger di ranting yang rapuh, dan dalam sekejap akan patah?.

Kalut pikiran membacamu, risau hati menyukmamu, tapi apa daya, dikau menjadi benalu, meski saat lain mewujud burung, tidaklah memengaruhi lagi. Sebab benalu dan burung sama saja pada dikaumu.