Sabtu, 28 Februari 2015

Khomeini, Revolusi dan Cinta

Khomeini, Revolusi dan Cinta
( Koran Tempo Makassar, Senin 23 Februari 2015)

Sulhan Yusuf
Pegiat Literasi

Ada persamaan antara revolusi dan cinta.  Keduanya kadang datang secara tiba-tiba, namun  bisa diprediksi, karena keduanya tidak punya teori yang final tentangnya. Dan suatu revolusi, selalu melahirkan anak kandung revolusi, yakni manusia luar biasa, para pahlawan. Pada sosok pahlawanlah menubuh keluarbiasaan sebagai manusia, namun lebih luar biasa lagi, manakala jalan akhir darinya memilih menjadi manusia biasa, sosok bijak bestari, yang membabar kebajikan berselimutkan cinta. Puncak kepahlawanan seseorang, ketika ia mewujud menjadi manusia bijak.


Saya amat suntuk mendaras sebuah buku yang berlatar biografi seorang tokoh. Di jedanya bacaan, kumenatap sebuah potret di dinding ruang bacaku. Lalu kumenerawang, mengingat kembali, sejak kapan wajah itu pertama kali kulihat? Tertanbatlah kenanganku pada masa di sekolah menengah pertama, tepatnya di bulan februari 1979. Lewat sebuah pesawat televisi, yang masih hitam putih di rumah tetangga, saya menonton acara berita TVRI. Saya menyaksikan seorang kakek, bersorban hitam, bermata tajam, cerah raut mukanya, janggutnya putih, berjubah hitam. Langkahnya ringkih, disegani lawan, namun dicintai oleh pengikutnya. Berpuluh tahun kemudian, saat saya menduduki bangku perkuliahan, barulah saya tahu persis bahwa sosok itu adalah Imam Khomeini, tokoh sentral Revolusi Islam Iran dan sekaligus pemimpin spiritual Republik Islam Iran.

Di bulan februari 2015 ini, saya kembali pirsa televisi. Tentulah suasananya sudah berbeda. Mulai dari pesawat televisinya yang sudah berwarna-warni, chanel siaran pun makin banyak. Dan, wajah sang kakek pun masih ditayangkan  di berbagai stasiun televisi, sebagai rangkaian memperingati Revolusi Islam Iran, yang puncaknya terjadi pada tanggal 12 februari 1979. Berarti, 36 tahun sudah Revolusi Islam Iran. Dari titik inilah, menarik untuk mendedahkan tabir tokoh sentral ini, baik sebagai penggerak revolusi maupun selaku pemimpin spiritual.

Saya ingin mengadaptasi ulasan pena dari Alwi Rachman, ketika menulis di media ini, berjudul Manusia: Pantomim tanpa Misteri dan Idola, kala memaparkan pendakuan Joseph Campbell, seorang scholar mitologi, tentang makna mitos, fabel dan legenda bagi manusia dan kemanusiaannya. Yang saya boleh sarikan dalam simpulan perjalanan dari menjadi hero (pahlawan) berakhir pada wise (bijak) sebagai simpainya.

Menurut Alwi, mitos adalah soal makna. Fabel dan legenda adalah soal kebajikan. Makna dan kebajikan dialirkan dan mengalir melalui kelompok dan kumpulan individu. Kadang-kadang, makna dan kebajikan dihadirkan melalui tokoh atau tokoh simbolik. Sering kali sang tokoh hadir secara anonim. Tapi justeru status anominitas sang tokoh yang menjadi pagar bagi setiap individu untuk tidak leluasa mengekspresikan dirinya sendiri, apalagi untuk bebas mengalahkan dan meniadakan individu lain dalam kelompok. Sensasi misteri sang tokoh lalu menjadi pengikat psyche kelompok. Melalui mitos, individu dalam kelompok lalu terikat dan bergerak secara bersama. Psyche individu terpelihara dan terhubung dengan psyche individu lain. Lalu jadilah psyche kelompok. Psyche kelompok menjelma sebagai arena kehidupan bersama.

Dari simpai adaptasi di atas, saya akan membiraikan sosok Imam Khomeini. Peristiwa Revolusi Islam Iran, Khomeinilah menjadi pusarannya. Ia tampil sebagai tokoh yang memerankan penggerak revolusi, menjelma menjadi pahlawan yang menumbangkan sebuah rezim despotik Syah Reza Pahlevi, yang didukung oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Anak kandung Revolusi Islam Iran salah seorangnya adalah Imam Khomeini, sosok pahlawan layak ditabalkan padanya. Dan itu bermakna, alam mitos bersiap menyelimutinya.

Setelah revolusi usai, berdirilah sebuah negara dengan tatanan baru, Republik Islam Iran. Laiknya sebuah revolusi yang sukses, lazim terjadi bahwa sang pahlawanlah yang menjadi presiden. Namun tidak galib di Iran, sebab Imam Khomeini lebih memilih menjadi pemimpin spiritual Iran. Menolak masuk istana, lebih memilih tinggal di rumahnya yang sederhana. Penobatannya selaku pemimpin spiritual, mengalamatkan pada diri Khomeini sosok yang memerankan sebagai seorang bijak bestari, penuh cinta kasih. Tentang saling kait antara cinta dan kebajikan, seorang filosof muslim dari Isfahan yang hidup pada zaman keemasan Islam, Ibnu Miskawaih dalam Tahdzib Al- Akhlaq seolah  bertutur bahwa kebijakan dan kebajikan seseorang bertaut langsung dengan cinta kasih yang dimilikinya, dari cinta yang amat manusiawi menuju cinta yang sangat ilahiah. Maka nyatalah penegasan dari Joseph Campbell, dari hero menjadi wise, dari sosok pahlawan menuju pribadi bijak.

Bila risalah hidup Imam Khomeini didaras dengan cermat, memang sudah menunjukkan bakatnya untuk menjadi pahlawan. Perjalanan hidupnya dipersembahkan untuk  pembebasan negerinya dari kesewenangan penguasa yang menindas  rakyat. Begitupun bakatnya sebagai seorang pesuluk di jalan ruhani, sangat menentukan pilihannya untuk menjadi pemimpin spiritual. Semua itu bisa kita lacak dalam tebaran berbagai karya intelektual dan spiritualnya, diantaranya; Kasyf Al-Asrar, Hukumat-i Islami, Misbah Al-Hidayah, Jihad-i Akbar ya Mubaraza ba Nafs, Sirr as-Shalah: Mi’raj as-Salikin wa Shalah al-Arifin dan al-Adab al-Ma’nawiyah li ash-Shalah.

Imam Khomeini telah menghidu Iran dengan setumpuk warisan intelektual dan spiritual, serta sejarah perjuangan sebagai seorang pahlawan dan pemimpin spiritual. Wajarlah kemudian jikalau saya nyatakan bahwa mitos, makna dan kebajikan telah menubuh pada Imam Khomeini. Dan, realitas pun masih menunjukkan pada kita, betapa Iran di masa kiwari ini masih menjadi bangsa yang utuh, penuh martabat berhadapan dengan para bangsa, negara yang ingin merompak di atas bumi, dan kawasan Timur Tengah pada khususnya. Seorang Khomeini adalah persona revolusioner yang heroik, sekaligus sebagai pesuluk yang penuh cinta di kehayatan planet ini.

Rabu, 25 Februari 2015

MISKIN


Bincang-bincang malam mengalir, sealun musik klasik mengiringi, menjemput larut. Semadya serius suasananya, meski yang dibicarakan mengerutkan dahi, tentang kemiskinan di negeri ini. Begitu massal anak negeri dililit rantai kemiskinan, berkubang dalam lumpur kesusahan. Hanya sedikit saja yang mampu menari-nari di kelimpahan hartanya. Sahaya memelas pada Guru Han agar segera bertutur, meluncurlah sabdanya: " Dalam kaitannya dengan kepemilikan harta, ada dua macam orang miskin. Pertama, orang yang ditinggalkan oleh harta. Kedua, orang yang meninggalkan hartanya. Yang pertama orangnya yang bersedih, sementara yang kedua hartanya yang meradang. Sebab, apapun kondisinya, selalu saja meninggalkan lebih baik daripada ditinggalkan. Maka pilihlah, ditinggalkan atau meninggalkan harta, keduanya berakibat miskin, walau jalan dan capainnya di tirakah ruhani berbeda."

Kamis, 19 Februari 2015

DAENG LITERE: GONG XI FAT CHAI

Selamat hari raya Imlek.

Kali ini, ucapan selamatku kepada karib-karibku yang merayakan Imlek lebih khusyuk dan mantap.Apa pasalnya? Paling tidak, pertama, saat ini iklim sosial-budaya-politik sudah lebih ramah dalam mengapresiasi hal-hal yang berkonotasi Tionghoa. Kedua,hingga saat ini, sependek pengetahuan saya tidak ada fatwa kontroversial tentang pengharaman mengucapkan selamat hari raya Imlek, seperti ucapan selamat Natal.

Sebagai warga bangsa yang lahir dan tumbuh berkembang di wilayah yang ada etnik Tionghoa, Butta Toa-Bantaeng, tentulah mempunyai pengalaman tersendiri dalam hidup bermasyarakat. Salah satu kabupaten di Sul-Sel yang punya kawasan pecinan adalah Bantaeng. Meski pernah bupati Bantaeng, Nurdin Abdullah mengusulkan kepada masyarakat Tionghoa Bantaeng, agar menjadikan jalan Mangga-Manggis sebagai kawasan pecinan, namun oleh mereka ditolak, sebab mereka menganggap sebagai kawasan eksklusif. Hal tersebut saya ketahui, ketika sekali waktu bertandang ke Edy Tunggeleng, seorang pemuka Tionghoa di Bantaeng.

Pada rangkaian Imlekke-2566, tahun  2015 ini, saya sudah merancang agenda untuk bersilaturahim ke seorang kawan, sekaligus teman sepermainan semasa kecil, Daeng Litere. Pastilah ada yang menarik untuk dibincangkan dengannya. Sebab Daeng Litere adalah seorang pegiat literasi, yang di tangan kanannya pena begitu lugas menari di atas buku catatan yang selalu dipegang oleh tangan kirinya. Agar lebih kondusif, dan sedikit berbau kolusi, saya akan ajak makan di warungnya Baba Cangkeng, warung Sederhana namanya terletak di jalan Manggis. Siapa tau dari acara traktiran ini bisa memancing Daeng Litere untuk membuka catatan-catatannya, mengingat Baba Cangkeng ini adalah seorang sesepuh etnik Tionghoa di Bantaeng.

Sehari setelah Imlek, warungnya Baba Cangkeng sudah buka. Di sudut depan warungnya masih ada beberapa batang tebu berwarna kecoklatan, daunnya sudah mulai layu. Tebu memang adalah penanda nyata dari setiap perayaan Imlek. Hanya inilah seingatku yang tidak berubah dari dulu, semasa kanak-kanak hingga saat ini. Saya masuk kewarung itu, dan amboi, Baba Cangkeng langsung menyapaku dengan ramah. Ia masih mengenalku, sebab ia mengenal juga keluargaku, apalagi kakak sulungku sangat akrab dengannya. Sebab kakakku yang merantau ke Pomalaa, Sulawesi Tenggara, bertemu dengan salah seorang anaknya yang juga merantau ke sana,sehingga mereka berdua pun laiknya seperti saudara.

Sambil bersantap menu sop, ayam goreng dan sate mulailah saya memancing Daeng Litere. Saya yakin sekali, pastilah kali ini pancinganku berhasil, sebab di atas meja tergeletak sebuah buku catatan, yang senantiasa menemaninya selaku pendekar literasi. Memang demikianlah adanya, sebagai pendekar literasi, ia memegangkuat mottonya: Pena di tangan kananku buku di tangan kiriku. Ibarat seorang pendekar di medan perang yang selalu di tangan kanannya adalah pedang,sementara di tangan kirinya adalah perisai.

Jelang santap usai, Daeng Litere mulai menggodaku dengan sebuah ingatan. “masihkah dikauingat sewaktu kita masih di Sekolah Dasar, tahun 70-an, ketika kita sering jalan kaki ke pasar dan melewati warung ini?” Tanyanya padaku. Saya pun menjawab, tentulah ingat sekali, sebab setiap kami melewati teras warung ini,terasa ngiler sekali, di teras inilah satennya dibakar, sehingga bau bumbu yang sedap menusuk hidung mencabik perut yang segera terasa lapar. Tapi apa daya, tak punya doe (uang). Masih sangat mahal unuk orang yang ekonominya sekelas kami waktu itu. Bersantap di warungnya Baba Cangkeng adalah kemewahan, kebanggaan tersendiri kala itu, sebab bisa meningkatkan status sosial sebagai orang yang berada. Maka tidak jarang,banyak yang setelah makan tidak langsung pulang, tapi berdiri di teras warung sambil memainkan tusuk gigi, seolah menyatakan, lihatlah saya, baru saja bersantap di Baba Cangkeng.

Selanjutnya, Daeng Litere mulai membuka catatannya. Ditunjukkannya padaku prihal catatannya tentang warung ini, warung Sederhana milik Baba Cangkeng. “Waktu tahun 1973,saat itu kami kelas 1 di SD No. 2 Lembang Cina Bantaeng, beralamat di jalan Elang. Bersamaan pulalah di tahun ini banjir besar melanda Bantaeng. Berarti,usia warung ini sudah lebih 40 tahun, sebab di tahun 2015 ini usia kami sudah48 tahun, dan Baba Cangkeng sudah membuka warungnya jauh sebelum itu.” TulisDaeng Litere.

“ Hebatnya lagi,menunya tidak berubah, tersedia sop, ayam goreng kampung yang usianya masih muda. Dan juga nasi campurnya, ditambah sate yang kesemua dagingnya adalah daging lokal. Yang berubah adalah harganya, itu so pasti lebih mahal saat ini. Dan, yang lebih dahsyat lagi, karena pemasok ayamnya masih yang dulu, Daeng Sano’. Berarti Daeng Sano’ sendiri sudah jual ayam lebih dari 40 tahun,sebuah ketekunan akan kesetiann pada profesi yang layak ditiru.” Demikian Daeng Litere mencatat.

Dari dalam warung, saya memandang keluar, kulihat sosok yang sangat kukenal. Saya kobbi(colek) Daeng Litere, sambil menunjuk ke orang itu. Lalu kutanyakan padanya, apa yang teringat dengan sosok itu? Ternyata Daeng Litere punya catatan tentangnya. “ Sosok itu adalah Ciang, salah seorang pemain Persatuan Sepak Bola Bantaeng (PERSIBAN). Selain Ciang,ada nama-nama keturunan Tionghoa yang pernah memperkuat Persiban di masa lalu Liong, Piping, Kila dan Koang bahkan pernah dilatih oleh keturuanan Tionghoa, pak Cang..”

Akhirnya, waktu sudah cukup memadai di warung itu, lalu kami pamit pada Baba Cangkeng. Setelah itu, kami bersantai menysuri kawasan pecinan, sambil melihat-lihat penanda-penanda berupa bangunan yang ada, Rupanya belum banyak yang berubah, bahkan beberapa papan nama toko masih mengginanakan papannya sewaktu saya dan Daeng Litere berjalan di teras ruko-ruko itu. Saya lalu membatin, pastilah Daeng Litere punya banyak catatan tentang etnik Tiongkoa di bumi ButtaToa-Bantaeng ini. Masalahnya, sisa cari waktu dan momentum untuk memancingnya. Mungkin waktu lain harus kembali bersantap di warungnya Baba Cangkeng, warung Sederhana namanya, namun tidak sederhana kenikmatan menunya. Maknyus!

Rabu, 18 Februari 2015

JUANG-CUNDANG


Riuh rendah perdebatan tentang pejuang dan pecundang di selasar pengetahuan, ibarat burung pipit sibuk berciut-ciutan menyongsong pagi. Ada yang mengandalkan masa lalunya sebagai seorang pejuang, dan itu memang ciri kaum tua. Adapula yang tidak punya nilai kejuangan di masa silam, namun aktifitasnya saat ini telah menunjukkan kejuangannya. Hingga sulitlah rasanya sahaya menyatakan mana pejuang dan mana pecundang. Guru Han menyela perbincangan, menabalkan tutur: " Masa silam hanya berguna sebagai dongeng buat menambah spirit kejuangan, manakala tidak maka kecundangan akan mengintai. Sesungguhnya yang lebih penting saat ini, apakah dikau melata di ranah juang atau jalan cundang. Dus, kejuangan di masa sekarang pasti bisa menghapus kecundangan di masa silam, atau sebaliknya kecundangan di waktu lalu, akan terbayar oleh kejuangan di waktu kiwari. Walau ada juga yang larut dalam kecundangan, dulu dan sekarang"

Selasa, 17 Februari 2015

KEBENARAN-KEADILAN


Berlaksa detik negeri kita terterungku pada pusaran karut marut bersoal kebenaran-keadilan. Pertikaian antara penegak hukum, komplotan pembajak hukum berjaya, mencari-cari kesalahan, mengumbar dalil. Mereka berjamaah dalam menggebuk segelintir orang yang bersusah payah menegakkan keadilan. Sahaya tak berdaya akan keadaan ini, hanyalah sebagai penyaksi akan kebrutalan para penyamun di negeri ini. Guru Han kelihatannya limbung pula, meski ia tetap bertutur lirih: " Dalam keadaan negerimu seperti ini, hanya kematangan jiwa, kejernihan pikiran dan kebeningan hati yang bisa melihat kebenaran sebentuk keadilan. Kebenaran berazas keadilan akan tetap ada, yang dibutuhkan hanyalah sesiapa saja yang mau berjamaan untuk menyangganya agar berjaya, meski ujungnya berbuah kekalahan. Kebenaran memang wujudnya tidak selalu menang, keadilan adalah barang langka dalam negeri yang merintis jalan kehancurannya."

Senin, 16 Februari 2015

BANTUAN (2)

Berkali-kali rumah itu disambangi oleh para peminta-minta, entah itu dari mesjid, panti asuhan atau peminta yang tak punya label sekalipun. Sahaya memerhatikan penghuni rumah itu sepertinya tak bosan didatangi, meski sudah banyak yang mengingatkan bahwa tidak sedikit dari para peminta itu berkedok saja untuk mendapatkan berlembar-lembar rupiah. Melihat kejadian itu, Guru Han bernasehat: " Mereka para peminta sering datang ke rumah itu, sebab yakin persis bahwa ketika ia datang ke sana pastilah ia mendapatkan apa yang diinginkannya. Jadi semestinya, bukanlah tidak memberi kepada para peminta itu, melainkan sediakanlah selalu apa yang mungkin diberikan pada mereka. Dan, periksalah dirimu, manakala tidak ada lagi peminta yang meminta bantuan padamu. Itu artinya, mereka tidak percaya akan kemampuanmu, meski dikau merasa berlebih dalam banyak kelimpahan. Dikau tetap tak berpunya di mata mereka."

Kamis, 12 Februari 2015

BANTUAN (1)


Selepas tunaikan shalat subuh di Jum'at Mubarakah ini, sambil menunggu kicau burung penanda pagi telah hadir. Sahaya duduk santai saja, mengeja liku kehidupan, hingga tersentaklah kala Guru Han menabalkan ujar: " Kalau ada orang yang meminta bantuan padamu, berarti ia masih percaya padamu bahwa dikau adalah sosok yang amat layak untuk menyelesaikan masalahnya. Maka sahutilah asanya. Sebab, penyesalan yang paling dalam bakal datang, ketika dikau menawarkan bantuan, namun ia tidak lagi mengiyakannya, meski ia akan mati sekalipun karena tak terbantu, maka bala bantuanmu itu tak ada gunanya lagi."

Rabu, 11 Februari 2015

KEAJAIBAN


Berhari-hari sudah, berbulan telah lewat, hingga penantian akan keajaiban pun menahun. Betapa tidak, sahaya mengharapkan sebuah keajaiban agar terbebas dari sebuah beban yang menindih, ibarat bongkahan batu yang siap meratakan jepitannya ke tanah. Guru Han hanya terkekeh menebak liukan pikiran ini, lalu bersabda: " Keajaiban itu bersifat ilahiah, kasih Tuhan yang menebar pada makhluk. Jangan pernah berharap keajaiban manakala fakultas-fakultas kemanusiaanmu masih bisa berdaya. Keajaiban hanya akan menyua, jikalau dimensi kemanusiaanmu raib, dan di saat yang sama potensi ilahiat yang pernah ditiupkan padamu menyeruak."

Selasa, 10 Februari 2015

NENEK


Dua orang bocah berlari kecil di setapak ingin menyongsong neneknya. Namun sang nenek abai terhadapnya, pasalnya ia marah pada kedua orang tua sang bocah. Kemarahannya tak tanggung-tanggung, ia menolak bertemu, termasuk bocah itu. Tentulah sahaya kaget bukan kepalang, pasalnya rada tidak percaya pada sikap si nenek yang sudah bau tanah itu dengan sikapnya, melebihi dari sikap seorang bocah yang acap kali bermarahan dengan sesamanya. Gurun Han angkat bicara, menabalkan sabda: " Nenek yang sudah renta itu, baunya serupa dengan tanah, selayaknya memiliki sifat tanah. Tanah menerima semua yang dibuangkan kepadanya, Semestinya makin tua, makin berkalang tanah, dan akan kembali menjadi tanah. Wahai para tetua, jikalau sifat tanah tidak menyatu padamu, lebih baik urungkan usiamu menjadi tua. Mati saja selagi muda, agar cacing pun memakanmu selagi segar-bugar."

Minggu, 08 Februari 2015

UPAYA


Di keteduhan ranting-daun pohon nan rindang, yang batangnya lebih dari sepelukan, sahaya saling berdepan-depan dengan kawan-kawan muda, membincang tentang rekayasa perubahan. Sebelum sampai pada simpai pemikiran, Guru Han membiraikan sejumput tutur: " Ibaratnya dikau akan menebang pohon, maka tebanglah dengan apapun yang dikau punyai, Usahlah berdiam menunggu punya parang, jikalau hanya ada silet padamu. Mulailah menyileti, meski pohon itu tidak tertebang, paling tidak ada bekas sayatan selaku penanda adanya upaya dalam kesungguhan."

Jumat, 06 Februari 2015

Merawat Kesukarelaan Membabar Welas Asih



Merawat Kesukarelaan Membabar Welas Asih

Sulhan Yusuf
Pegiat Literasi

Jangan bicara perjuangan, manakala belum ada suka di dalamnya. Usah bilang pengorbanan, jikalau tak tampak rela di atasnya. Sukarela adalah galanya perjuangan dan pengorbanan. Semoga saja kesukarelaan tidaklah mati di negeri ini, sebab itu sama artinya negeri sudah bubar.

Manakala kesukarelaan teraktuil, akan lahirlah kepedulian. Dari kepedulian ini menumbuhkan  rasa welas asih. Sehingga, seorang sukarelawan pada dirinya mewujud kepedulian, dan dari pedulinyalah welas kasih berkecambah, guna membantu orang lain. Menjadi sukarelawan bermakna menabalkan diri menjadi manusia berguna, yang bermaksud menghujamkan secercah rasa bahagia pada sesama.

Sesungguhnya kesukarelaan, kepedulian dan welas asih adalah sesuatu yang built in dalam diri. Hasil-hasil riset menguatkan pandangan itu. Stephen Post, lewat bukunya, Why Good Things Happen to Good People, memaparkan bahwa riset terbaru di Princeton mulai menunjukkan, sebuah area dalam otak yang disebut insula, yang terletak di dalam cerebral courtex, diasosiasikan dengan empati dan welas asih. Hal ini menjadi topik yang hangat dalam ilmu saraf saat ini karena di situlah tempat saraf-saraf cermin – saraf-saraf yang “mencerminkan” pengalaman yang dihadapi orang lain, hampir persis seolah kita sendiri yang mengalaminya pada waktu yang sama – sepertinya berada.

Adalah Khalil A. Khavari, dalam bukunya The Art of Happines, menuliskan bahwa di kebudayaan-kebudayaan tertentu, khususnya pada zaman dahulu, saling membantu untuk belajar dan berbuat kebajikan di satu sisi dan mencegah kejahatan di sisi lain merupakan tugas setiap orang. Andai kala itu, Anda melihat seseorang berbuat amoral, tak etis, atau illegal, Anda berkewajiban menegurnya dan menasihatinya untuk berlaku baik. Praktik ini berhasil menyangga kebaikan selama berabad-abad, ketika umat manusia berada pada tahap-tahap awal perkembangan spiritual mereka. Setiap orang menjadi polisi bagi setiap orang lain adalah cara praktis untuk menjaga prilaku manusia.


Di masa silam, kala saya masih kanak-kanak di kampung halaman, orang begitu mudah menemukan sukarelawan. Di sekolah dasar, tempatku bersekolah, setidaknya ada dua orang guru sebagai sukarelawan. Mereka tidak digaji, semata-mata pengabdian, hingga saatnya nanti diangkat menjadi guru negeri. Di masyarakat pun begitu gampang seseorang menjadi sukarelawan. Saat sebuah mesjid dekat rumahku mau dibangun, orang-orang mengangkut batu, memindahkan pasir dan lainnya, secara sukarela. Walhasil mesjid itu berdiri karena keswadayaan masyarakat. Saya amat takjub kalau mengenang masa-masa itu.

Di era kiwari ini, sulit sekali menemukan prilaku individu-masyarakat yang demikian. Bahkan kalau ada sosok yang memilih menjadi sukarelawan, terkadang dianggap sebagai suatu keanehan untuk tidak mengatakan kegilaan. Banyak yang tidak percaya, ketika semisal John Wood memilih meninggalkan pekerjaannya sebagai eksekutif Microsoft, yang wilayah kerjanya Asia-Pasifik, berpusat di Beijing-Cina, dan juga Sophie, kekasih hatinya, lalu memilih menjadi sukarelawan. Lewat organisasi nirlaba bentukannya, Room to Read, Ia mendirikan ribuan perpustakaan di berbagai belahan bumi. Dan hasilnya, lebih dari tujuh juta anak miskin, kini dapat merasakan manfaat buku dan pendidikan. Yang risalah  hayatnya bisa kita daras pada buku Room to Read (2006) dan Creating Room to Read (2013)

Atau ketika segelintir orang menggabungkan diri dalam sebuah program kerelawanan,  Kelas Inspirasi Sul-Sel. Yang bakal digelar bulan maret 2015, di beberapa kabupaten-kota. Program ini mempersyaratkan seorang individu-profesional, yang ingin terlibat harus taat pada 7 rukun: Sukarela, bebas kepentingan, siap bekerja, tanpa biaya, turun tangan-ambil bagian, siap bersilaturrahmi dan tulus .Tujuannya menginspirasi anak-anak sekolah dasar di berbagai pelosok yang terpinggirkan. Mereka menjadi relawan sehari selaku panitia-pendamping, fotografer-videografer dan pengajar.

Demikian pula individu-individu yang merelakan dirinya datang ke gedung komisi antirasuah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi sukarelawan guna menyelamatkan KPK dari upaya kriminalisasi komisionernya dan penghancuran  institusinya. Akibatnya, mereka pun dianggap sebagai rakyat yang tak jelas oleh seorang Menteri. Adakah stigma yang lebih mengerikan, ketika seorang rakyat dianggap tidak jelas di negerinya sendiri?


Bertolak dari narasi-narasi di atas, dapatlah ditandaskan, bahwa pada dasarnya merawat kesukarelaan, secara sederhana ditemukan bentuk-bentuknya saat ini. Pertama, kesukarelaan  motifnya dilakukan atas inisiatif sendiri. Kedua, suatu kesukarelaaan sebagai bagian dari pengorganisasian modern, menyiapkan wadah bagi orang-orang yang ingin melibatkan diri dalam kesukarelaan. Ketiga, kesukarelaan yang timbul sebagai reaksi atas suatu keadaan yang menyimpang di masyarakat.


Agar negeri ini tidak bubar, kesukarelaanlah salah satu tali pengikatnya, biar kepedulian tumbuh subur dan welas asih menbabarkan auranya. Merawat kesukarelaan adalah harga yang harus ditawarkan. Perjuangan-pengorbanan menjadi jalannya. Khavari menegaskan kembali, berkorban adalah menyumbangkan sesuatu yang kita hargai demi sesuatu yang lebih kita hargai. Yang kemudian  dipertajam oleh seorang filsuf Jerman, Arnold Schopenhauer, yang dengan gamblang menyatakan, welas asih adalah dasar moralitas. Atau simaklah sabda seorang penyair mistis, Maulana Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi-nya, kita adalah lebah, dan tubuh kita sarang madu, kita membuat tubuh itu, jaringan demi jaringan, seperti lilin lebah.