Jumat, 29 April 2016

Amnesia Buku

Amnesia Buku
 
Hasil studi deskriptif yang dilaksanakan Central Connecticut State University, AS, yang diumumkan belum lama ini, telah menempatkan Indonesia pada peringkat ke-60 dari 61 negara yang diteliti dalam hal literasi para warganya.
 
Orang bisa saja memperdebatkan validitas penelitian ini. Namun, sesungguhnya hal ini tak terlalu mengagetkan kita. Sebelum ada penelitian ini pun kita sudah merasakan banyak indikasi yang mengarah ke sana. Misalnya, dalam angka proporsi jumlah judul buku yang terbit terhadap jumlah penduduk.
 
Belum lagi jika kita lihat fenomena “kutukan 3.000 eksemplar” -yakni jumlah rata-rata buku terjual untuk setiap judul buku yang terbit. Jangan bandingkan dengan Jepang yang penduduknya memang gila baca, apalagi negara-negara maju dan berbudaya baca tinggi, seperti Finlandia. Turki saja, yang jumlah penduduknya hanya sedikit di atas sepertiga penduduk negara kita, jumlah rata-rata cetak-pertama setiap judul buku bisa mencapai 10.000 eksemplar. Lebih parahnya lagi, seperti dengan tepat diungkapkan oleh Tajuk Rencana Kompas (21/4/2016), tantangan peningkatan minat baca kita lebih besar daripada yang dialami negara-negara maju.
 
Meningkatkan minat baca
 
Ketika kita belum lagi berhasil dalam mengembangkan budaya baca yang merata, dan negeri kita masih didominasi oleh budaya tutur, masyarakat kita sudah masuk ke budaya audio-visual (radio dan TV) yang lebih mudah menyedot perhatian masyarakat. Tambahan lagi, dalam pergulatan penuh susah payah dengan budaya audio-visual itu, kita sudah “terpaksa” larut dalam budaya digital. Sebenarnya, teknologi digital sampai batas tertentu juga mengembalikan budaya baca kepada masyarakat, baik lewat akses kepada berbagai tulisan di internet melalui search engine yang ada maupun melalui berbagai sarana media sosial, seperti situs web,blog, Facebook, dan Twitter.
 
Akan tetapi, di sisi lain, tantangannya justru menjadi makin besar. Di satu sisi, tantangan peningkatan minat baca secara umum masih menghantui. Di sisi lain, besarnya pasokan informasi yang menerpa serta sifat sebagian besar tulisan yang tersedia di media digital telah menyebabkan para pengguna internet mengakses lebih banyak tulisan-tulisan pendek yang kurang keluasan dan kedalaman.
Yang lebih mengkhawatirkan, alasan praktis pemilihan bahan bacaan ini dalam waktu panjang bisa mempermanenkan habit keengganan membaca buku, dalam makna bahan bacaan yang memiliki keluasan dan kedalaman yang memadai. Dengan kata lain, yang diminati para konsumen bahan-bahan bacaan digital hanyalah yang memiliki tingkat “ketuntasan” yang rendah, khususnya anggota generasi muda yang termasuk dalam golongan “digital natives” (penduduk pribumi dunia digital).
 
Bukan saja mereka kehilangan ketelatenan membaca buku yang memiliki keluasan dan kedalaman yang cukup akibat dimanjakan oleh teknologi komputer yang menawarkan kecepatan tinggi untuk mengakses banjir informasi yang ada di internet, gaya mereka mencari informasi yang bersifat multi-tasking juga telah memperparah gejala ini. Hal ini kiranya juga didorong sifat sarana digital yang belum sepenuhnya senyaman medium buku cetak sehingga lebih cepat mengakibatkan rasa capai (fatigue).
 
Hal yang terakhir ini lebih terasa khususnya bagi generasi “digital migrant” (penduduk imigran dunia digital) yang tak seterbiasa generasi yang lebih belakangan dalam menggunakan perangkat pembaca (reader) elektronik. Apalagi di waktu-waktu belakangan ini, ketika telepon pintar berlayar kecil telah mulai merampas fungsi PC/laptop ataupun tablet sebagai reader. Maka, faktor fatigue dan ketaktelatenan akibat kekurangnyamanan dalam membaca pun memberikan dampak lebih besar dalam hal penurunan daya baca masyarakat.
 
Lalu terciptalah suatu lingkaran setan yang makin memperburuk keadaan: produsen informasi mulai terdorong untuk menerbitkan bahan-bahan bacaan–mereka sebut buku juga–dengan panjang tulisan yang jauh lebih pendek demi memuaskan tuntutan gaya baru membaca buku (digital) ini. Sering kali bahkan hanya terdiri dari belasan halaman. Jika sebelumnya Neil Postman, melalui bukunya yang berjudul Amusing Yourself to Death, mengkhawatirkan generasi yang tak tahan kesusahpayahan belajar dan mencari ilmu akibat terpaan teknologi audio-visual, kini apa yang ditakutkan Nicholas G Carr tentang akan lahirnya generasi “orang-orang dangkal” (the shallows) makin tampak di depan mata.
 
Nasib industri penerbitan
 
Ada ancaman besar bahwa generasi muda kita, meski memiliki keragaman informasi, akan menderita kekurangan besar dalam hal kedalaman dan keluasan ilmu (bukan sekadar informasi). Dan hal ini membawa kita kepada diskusi tentang masa depan industri penerbitan di masa digital.
Akan tetapi, sebelum sampai ke sana, penting kita pahami sentralnya peran industri penerbitan dalam peningkatan literasi masyarakat. Industri penerbitan pada dasarnya menjalankan beberapa fungsi sekaligus. Pertama, fungsi kurasi, yakni penyeleksian bahan-bahan bacaan yang dipandang layak untuk dilempar ke pasar bebas gagasan. Dan di dunia digital masa depan, fungsi ini justru akan menjadi makin krusial mengingat besarnya pasokan bahan bacaan, meskipun itu hanya kita batasi dalam bentuk buku, yang akan membanjiri kita.
 
Seperti ditulis Michael Bhaskar dalam kolomnya yang berjudul “The Real Problem” (Publishers Weekly, 14 April, 2016), jumlah buku yang diterbitkan- dan ini hanya mencakup buku cetak, jadi tak termasuk buku yang khusus diterbitkan dalam bentuk digital, apalagi artikel-artikel yang bertebaran di internet -tak pernah sebesar sekarang.
 
Di Inggris diterbitkan tak kurang dari 200.000 judul buku per tahun. Di Tiongkok malah dua kali lipatnya, yakni 400.000 judul buku. Inilah benar-benar suatu masa yang di dalamnya terjadi apa yang seperti dinubuatkan Marshall Mc Luhan setengah abad lalu, disebut information spill-over (peluberan informasi), bahkan banjir informasi. Masih terkait dengan itu, industri penerbitan juga melakukan fungsi distribusi buku. Akan ada lubang besar jika industri penerbitan di suatu negara mengalami kolaps.
 
Self publishing, yang menjadi jauh lebih mudah oleh teknologi aplikasi digital, tak akan bisa melakukan tugas ini. Yang akan terjadi nantinya adalah konvergensi antara penerbit buku yang secara alami juga melakukan fungsi distribusi, seperti sekarang ini, dengan platform-platform digital penjualan buku yang sekaligus melakukan fungsi kurasi dengan cara memperkenalkan fasilitas rating produk dan display buku- buku dengan rating tertinggi di halaman muka (home) mereka. Bahkan, seperti yang dilakukan Amazon, platform-platform penjualan online malah masuk ke fungsi penerbitan.
 
Persoalannya, dengan adanya transformasi dari bentuk cetak ke bentuk digital ini–meski saat ini dampaknya baru amat terasa pada pengurangan kebutuhan (demand) terhadap media massa cetak, lebih khususnya majalah–banyak orang percaya bahwa industri buku pun tinggal menunggu waktu untuk mati. Kegairahan yang saat ini terkesan tetap terpelihara terhadap industri buku cetak terjadi berkat masih adanya lag antara konsumen buku cetak sekarang dan generasi pembaca buku digital yang saat ini masih berumur muda, khususnya para digital natives itu.
 
Namun, hal ini pun tak urung sudah menghantam banyak penerbit relatif kecil yang sudah mulai berguguran pada tahun-tahun terakhir ini. Toko-toko buku, dengan alasan yang masuk akal, juga sudah mulai mengurangi ruang display bagi buku dan memperbesar ruang bagi stationery dan produk-produk lain. Dan dengan transformasi industri penerbitan ke era digital, dalam persaingannya dengan artikel-artikel yang bertebaran di internet–buku dalam makna aslinya akan musnah.
 
Kolapsnya industri penerbitan buku ini akan menjadi kenyataan jika industri penerbitan tak mau berubah, lebih-lebih jika tak ada cukup dukungan dari pemerintah yang menyandang peran pengembangan strategi pendidikan dan budaya yang kondusif bagi peningkatan literasi-yakni literasi buku, dalam makna aslinya- di tengah masyarakat. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan mengembangkan kurikulum baca-tulis-secara khusus, dan bukan hanya sebagai bagian (lebih sering tidak serius) dari pelajaran bahasa Indonesia-di sekolah-sekolah, mulai tingkat paling dasar hingga perguruan tinggi. Juga melalui kampanye-kampanye gencar dan besar-besaran melalui media massa ataupun pemanfaatan/pengembangan berbagai lembaga pendukung literasi di tengah masyarakat, seperti perpustakaan-perpustakaan, taman-taman bacaan, dan komunitas-komunitas baca-tulis. Gerakan literasi yang baru-baru ini dilancarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kiranya bisa menjadi awal yang baik bagi upaya-upaya lebih strategis dan masif ke arah ini.
 
Sumber: Harian KOMPAS, 28 April 2016

Kamis, 28 April 2016

SALAH


Tak jelas batas subuh dan pagi di Jumat Mubarak kali ini. Pun niraras antara melek dan picing mata sahaya, lalu seolah ada kelebat yang memerintahkan untuk segera moncer dari terungku rasa malas. Dan, saat itu pula, ternyata yang menyata semata Guru Han dengan segenggam tutur: " Berbuatlah, meski peluangmu untuk salah tetap juga ada. Perbuatan, salah satu ikutannya adalah kesalahan, jikalau perbuatan itu belum tepat. Justeru menjadi suatu kesalahan yang tak bisa ditoleransi, manakala ada sesuatu yang mesti diperbuat, karena punya kemampuan untuk berbuat, tapi abai dalam mengadakan perbuatan."

Membincang Jejak Buku di Makassar


Ada banyak cara untuk merayakan Hari Buku Sedunia, yang jatuh setiap tanggal 23 April. Dan, pertama kalinya diadakan pada tanggal 23 April 1995, yang digagas oleh UNESCO. Tujuannya, mempromosikan budaya membaca, penerbitan, dan hak cipta. Menurut sejarahnya, asal mula perayaan ini, merujuk pada perayaan Hari Saint George di Katalonia pada abad pertengahan. Faktanya, sebuah tradisi dimana kaum pria memberikan bunga mawar kepada kekasihnya. Lalu, di tahun 1925, para perempuan membalas pemberian mawar itu dengan buku, sebagai balasannya. Kira-kira, pernyataan yang cukup padat untuk menyimpaikannya: nyatakan saja dengan buku.
Oleh Cafe Dialektika Makassar, pada perayaan tahun ini, membikin perhelatan berupa: Pameran Buku, pemutaran film yang berjudul The Words, dan Bincang Jejak Buku di Makassar, yang berlangsung 23-25 April 2016, bertempat di Teras Dialektika. Dari sekian mata acara yang menarik bagi saya, tatkala membincang dunia perbukuan Makassar, menghadirkan beberapa pemilik-CEO toko buku indie dan komunitas. Tercantumlah nama-nama, semisal toko buku: Intuisi, Alfarabi, Paradigma Ilmu-Papirus, Bengkel Buku Wedata, Kedai Buku Jeni, Taman Baca Anak Bangsa dan Kampung Buku. Waima yang hadir sebagai pembincang hanya dari Intuisi ( Ikrimah Intuisi, Wedata (Mubarak Idrus) dan Paradigma-Papirus (Sulhan Yusuf).
Menghampiri pukul 20.00, pada hari Senin, 25 April 2016, saya selaku representasi dari Paradigma Ilmu-Papirus, sudah tiba di Cafe Dialektika. Sambutan hangat dari pemilik, Hasbullah dan Ahmad Faqhruddin, segera menghidu keberadaan saya. Mengobrol sejenak, kemudian hadirlah Ikrimah Intuisi, dan tidak lama sesudahnya, muncul pula Mubarak Idrus. Rupanya, hanya kami bertiga yang bakal membincang tema persamuhan ini.
Acara pun dimulai, oleh moderator, Hasbullah, dijelaskannya maksud perhelatan ini. Dan, setelahnya, kami bertiga pun didapuk secara bergiliran untuk membincang topik, jejak buku di Makassar. Selaku pembincang pertama, saya menguraikan perspektif tentang situasi perbukuan di Makassar, yang rentang waktunya lebih dari 20 tahun. Seusia dengan mulainya saya terjun menjadi penjual buku. Pun, saya tak lupa menggambarkan situasi sebelumnya, yakni sejak tahun 1985, ketika saya memulai tahun pertama di Perguruan Tinggi.
Tentulah penjelesan saya tidak memadai, sebab hanya mengandalkan ingatan. Saya lalu menyodorkan klasifikasi para pemain buku, bahwa di tahun itu, yang berbisnis buku pada umumnya adalah orang Tionghoa, Arab dan Jawa. Seingat saya, hanya ada satu toko buku yang diawaki oleh orang Bugis-Makassar, yakni toko buku Pesantren yang beralamat di Jalan Tinumbu-Pannampu.
Sependek ingatan saya, tersebutlah nama-nama toko buku, semisal: Indah Jaya, Mawar, Hidayat, Rahman, Dunia Ilmu, Bina Ilmu, Arena Ilmu, Siswa, Pustaka Sarjana, Makassar Agung, Terbit Terang, Purnama Ilmu, Arjuda, Palopo Ilmu, Darul Ulum dan puluhan lagi yang berdomisili di Pasar Sentral maupun Pasar Butung. Belakangan, memasuki tahun 90-an, muncullah Toha Putra, Gramedia, Cordova dan Promedia. Dari sekian banyak toko buku itu, ada yang masih eksis hingga sekarang, tapi banyak pula yang sudah tutup.
Terkhusus pada toko buku yang saya gawangi, Paradigma Ilmu Toko Buku, saya mendirikannya pada tahun 1993 di Jalan Perintis Kemerdekaan, tepatnya dekat arah masuk ke kompleks perumahan BTN Hamzy dan Antara. Kurang lebih setahun di lokasi ini, tahun 1994, saya memindahkannya ke Gunung Sari, persisnya di Jalan Sultan Alauddin II/Jalan Pabbentengan no. 6, yang sekaligus tempat mukim saya. Lokasinya amat terpencil, masuk lorong. Dan, secara teoritik tidak strategis. Namun, saya tetap melanjutkannya, sebab amat sulit mendapatkan lokasi yang strategis dengan harga kontrakan yang terjangkau. Sepuluh tahun kemudian, saya mendirikan Papirus Tokobuku Dan Komunitas di Pusat Dakwah Mummadiyah Tamalanrea Makassar.
Dari fasilitas yang terbatas inilah, saya kemudian membangun konsep toko buku yang berbasis komunitas, dengan segmen utama kaum muda mahasiswa Makassar. Jadi, di samping ada toko bukunya, juga memiliki komunitas, yang lumayan aktif melakukan pengkajian-pengkajian pemikiran, baik yang bernuansa keagamaan, sosial, budaya, politik, ekonomi dan pendidikan. Bahkan, di tahun-tahun awal, komunitasnya lebih menonjol ketimbang toko bukunya. Demikian juga di Papirus Tokobuku Dan Komunitas, masih eksis hingga sekarang.
Ada titik tekan yang saya ajukan pada perbincangan kali ini, bahwa visi pemilik toko buku menentukan seperti apa pandangan dunianya terhadap industri perbukuan. Setidaknya, yang pertama, sekadar memandang buku sebagai komoditi dagang semata. Tidak ada bedanya antara komoditi dagang lainnya. Motif utamanya, karena bisnis buku memang menjanjikan laba. Tipe pebisnis buku yang demikian, sering saya istilahkan sebagai “penjual kertas” saja.
Kedua, motif pebisnis buku yang menceburkan dirinya karena dorongan yang lebih dari sekadar mencari keuntungan. Ada kesadaran yang terbangun bahwa berbisnis buku berarti terlibat dalam urusan maju mundurnya suatu peradaban. Sehingga, keterlibatan dalam bisnis ini sarat dengan idealisme, dan amat mementingkan buku-buku yang ditransaksikan bernuansa penggerak perubahan. Tumbuh sejenis keyakinan bahwa perubahan bisa terwujud, salah satunya karena adanya faktor wacana yang menuntut pentingnya suatu perubahan. Para pebisnis buku yang terlibat di sini, biasanya tumbuh di komunitas-komunitas atau istilah lainnya toko buku indie. Mereka inilah tidak sekadar “menjual kertas” melainkan memang benar-benar adalah “menjual buku”.
Dan, yang diundang oleh Cafe Dialektika adalah para “penjual buku”. Saya mencoba meraba maksud dari perhelatan ini, sebagai ajang konsolidasi dari berbagai latar pengalaman para “penjual buku” untuk mendedahkan pengalamannya, sekaligus membangun perspektif agar benar-benar ada vitalitas bersama untuk mengembalikan kaum muda mahasiswa untuk terlibat dalam diskursus wacana perubahan. Sebab, ada keresahan bersama di waktu kiwari ini, bahwa kaum muda mahasiswa kurang tertarik dalam pertikain pemikiran untuk membangun pemikiran-pemikiran baru untuk sebuah perubahan.
Sebagai pihak yang diundang untuk berbagi pengalaman, sekaligus selaku pegiat literasi, saya kemudian menegaskan bahwa terjunnya saya ke dunia perbukuan, dengan menjadi “penjual buku”, dilatari oleh tiga pilar semangat yang setimbang dalam keseimbangan. Pertama, sebagai sarana untuk mencari nafkah. Kedua, sebagai arena untuk melestarikan hobbi pada buku, dan ketiga, sebagai wadah untuk senantiasa memelihara idealisme. Tiga pilar inilah yang menjadi penyangga, sehingga sampai saat ini, sudah lebih dua puluh tahun, masih berkutat sebagai “penjual buku” dan bukan “penjual kertas” semata.
Pascabincang saya, secara berurut, berbicara pula Mubarak Idrus, dan dilanjutkan oleh Ikrimah Intuisi. Banyak hal yang menarik dari dua narasumber itu. Seabrek pengalaman bergumul selaku “penjual buku”, amat banyak yang bisa dituliskan. Namun, ruang tulisan saya ini amat terbatas untuk mendedahkannya. Saya berharap, mereka berdua, menuliskannya pula, sebab keduanya punya latar belakang kemahiran dalam menulis.
Yang pasti, bagi saya malam itu adalah malam curhat, karena untuk pertama kalinya selama saya bersetubuh dengan dunia perbukuan diberi ruang untuk berbicara seputar pergumulan dengan industri perbukuan, yang suka dan dukanya sudah melarut pada jiwa saya, selarut malam yang makin larut, mendekati pukul 23.00, sewaktu sang moderator, Hasbullah mengakhiri acara, dengan memberikan hadiah dua buah buku pada dua peserta yang berhasil menjawab pertanyaan yang diajukannya.

Senin, 25 April 2016

Sampah Plastik dan Tindakan Sederhana




Pagi masih buta, saya sudah dijemput oleh mobil angkutan langganan, yang akan membawa balik ke Makassar, setelah berakhir pekan di Bantaeng. Entah yang keberapa kalinya saya melakukan perjalanan ini, yang pasti, saya lebih banyak menggunakan angkutan umum, setelah saya kurang kuat lagi naik motor. Waima begitu, semuanya berjalan lancar, dengan mengeluarkan uang sewa sebesar empat puluh ribu rupiah, saya sudah mendapatkan jatah satu tempat duduk dan berkuasa penuh atasnya.

 Apatah lagi, oleh mobil langganan saya, selalu diberi fasilitas duduk di depan. Dan, leluasalah  melihat kejadian-kejadian sepanjang perjalanan, termasuk  menyaksikan mobil Toyota Fortuner, bernomor polisi dua digit, yang kalau diperhatikan akan terbaca nama si pemilik. Saya yakin, orang mengendarai mobill itu orang berpunya, namun sayang penumpangnya membuang sampah seenaknya di jalan. Sampah makanan itu beterbangan, menumbuk aspal, membuat pikiran saya berkecamuk. Membatinlah saya, ternyata, keberpunyaan seseorang, tidak selalu terdidik dengan baik, setidaknya di ranah kebersihan.

Beberapa waktu lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan surat edaran Nomor S.1230/PSLB3-PS /2016 tentang Harga dan Mekanisme Penerapan Kantong Plastik Berbayar. Konsumen harus membayar Rp 200 untuk kantong plastik yang digunakan. Begitu urgennya masalah ini,  sampai-sampai pemerintah harus menerbitkan secarik kertas bertuah, walau belum tentu tuahnya menuahkan buah kesadaran bagi masyarakat. Ini sejenis tindakan besar, yang harus ditindaklanjuti, bukan sebaliknya, mengakali agar aturan ini tidak tegak. Bumi yang kita pijaki ini, merupakan titipan generasi berikutnya, telah berada dalam darurat sampah plastik.

Dulu sewaktu masih di Sekolah Dasar (SD), saya sering menemani  ibu belanja ke pasar. Bawa keranjang belanjaan. Bila ikannya kecil-kesil, semisal ikan teri, maka penjualnya membungkus dengan daun pisang atau daun jati kering. Bertahun-tahun saya menemani ibu belanja, nyaris tak menemukan sejenis kantongan plastik. Memang, waktu itu belum ada kantong plastik. Tapi, apakah mungkin laku ke pasar dengan bawa keranjang, yang penggunaanya bisa tahunan, tidak bisa dibiasakan lagi?

Di rumah, saya nyaris bertanggung jawab penuh soal sampah. Maka saya pun bertindak seperti pemulung yang mengangkangi tong sampah  dekat rumah. Mereka mensortir  sampah dengan mengelompokkan menjadi sampah kertas-kardus, plastik  yang masih punya nilai ekonomis dan sisanya ke TPA. Saya menduplikasi tindakan para pemulung itu di rumah. Sampah saya sortir  menjadi sampah kertas- kardus, palstik-kaleng, plastik yang sekali pakai dan sampah dapur atau  yang bisa terurai.

Setelah terkumpul, biasanya sekali sebulan, saya memanggil pemulung untuk mengambil sampah saya. Kertas-kardus, sekarung botol plastik dan kaleng. Sampah plastik yang tidak bisa saya gunakan lagi, saya kumpulkan untuk dikirim ke tong sampah. Sampah dapur saya jadikan bahan timbunan di sepetak tanah belakang rumah, sekaligus menjadi pupuk buat tanaman pepaya, pohon kelor dan sirsak.

Lelaku tersebut, saya sudah lakoni beberapa tahun terakhir ini, saya pun menjadi akrab dengan beberapa pemulung yang sering memulung di dekat rumah. Selalu saja ada senyum sumringah dan ucapan terimakasih yang saya peroleh darinya, sebagai upah bagi saya karena telah membantunya. Pernah salah seorang anggota keluarga saya mengusulkan agar menjualnya ke pemulung, tapi dengan tegas saya nyatakan, seharusnya malah kita harus membayar pemulung itu karena telah berjasa mengurangi dampak sampah plastik.

Di tempat kerja saya, selaku penjaga toko buku, saya tetap menyiapkan kantongan  plastik, baik yang masih baru maupun yang sudah pernah dipakai.  Dan, saya tidak menawarkan kantongan plastik bila ada yang beli buku, kecuali sang pembeli memintanya.  Tapi, kalau ia bawa tas, ransel misalnya, saya sarankan untuk memasukkan saja ke ranselnya. Terkadang pula, kantong plastik yang datangnya dari berbagai arah, bila ada waktu, saya cuci bersih, lalu  saya gunakan lagi, atawa saya serahkan pada penjual ikan langganan, agar menggunakannya lagi. Ini semua hanya tindakan sederhana. Namun, Imam Ja’far as-Shadiq telah bersabda; “ Kesederhanaan lebih dekat pada kebenaran.”. Artinya, tetap dibutuhkan tindakan-tindakan sederhana, bukan?

(Lembaran Kala, 24 April 2016)

Kamis, 21 April 2016

BAU


Tiga hari sudah, sahaya terusik dengan bau busuk yang menusuk hidung di tempat semedi. Saking tajamnya bau itu, sakit kepala pun tak terbendung. Kayaknya, ada tikus yang mati di celah rak buku, yang sulit dijangkau. Guru Han yang sedari awal selalu bersama dalam semedi, akhirnya moncer dari khusyuknya lalu menyabdakan satu kalimat: “ Kita telah kalah oleh para petugas sampah, yang saban hari bersetubuh dengan sampah namun tidak lagi terusik. Saatnya mennyampahkan diri, biar bau diri sama sebau dengan tikus yang mati itu. Biar tak berjarak lagi, antara kesampahan kita dengan bau busuk tikus mati itu. Hingga, bau busuk itu meraib dengan sendirinya, dan kesampahan kita ikut menggaib.”

Rabu, 20 April 2016

Literasi untuk Petani Organik


 
Agaknya, cukup eloklah jikalau saya memohon agar mengingat kembali catatan saya yang berjudul Pustaka Kopi Boda. Soalnya, warung kopi yang saya sambangi beberapa waktu lalu, saya tandangi lagi sepekan kemudian, tepatnya di hari Ahad, 17 April 2016. Pada hari Ahad yang cerah itu, pagi masih semenjana teriknya, sekitar pukul 08.30, saya sudah meluncur ke Desa Labbo, guna menunaikan panggilan mengisi materi pelatihan Program Studi Islam (PSI) BKPRMI Bantaeng, hingga pukul 12.00. Setelahnya, shalat Dhuhur berjamaah, lalu lanjut santap siang bersama plus minum kopi rame-rame, di rumahnya Sirajuddin Siraj, sang Kepala Desa Labbo.
 
Kurang lebih sejam kami mengobrol tentang banyak hal, kisaran pukul 13.30 saya pamit, untuk menuju Kampung Kacidu, tempat warung kopi Pustaka Kopi Boda bermarkas. Namun apa lacur, dalam perjalanan itu, yang jalanannya lebih banyak penurunan, juga tikungan-tikungan, saya agak linglung, sehingga terkadang mau keluar ke bahu jalan. Awalnya, saya kira pengaruh jalanan atau motor plat merah pinjaman yang kurang cocok saya kendarai, rupanya saya agak ngantuk. Akhirnya, sampai di Ereng-Ereng, saya mampir di kebun milik keluarga saya, menyempatkan ziarah kubur di makam Abba (bapak) dan Amma (ibu) saya. Dan, selanjutnya tidur di dangau, pulas.
 
Kumandang adzan pertanda waktu shalat Ashar menggema. Sayup-sayup terdengar dari kejauhan, membangunkan saya. Berarti, cukup lama pulas saya. Ibarat ponsel yang baru di-charge, langsung nyala. Moncerlah saya, segera bergerak menuju Pustaka Kopi Boda. Saya sengaja tidak memberi warta kepada kawan-kawan di sana, bahwa saya mau mampir. Bak pejabat yang mau datang, ini sejenis sidak, apa benar-benar warung kopi ini melek adanya.
 
Setiba di warung kopi Pustaka Kopi Boda, tetap terbuka, tapi tidak ada orang yang bertengger di dalamnya. Saya sengaja melewatinya beberapa meter, seperti detektif yang menguntit, tapi ketahuan oleh Iccank Jalarambang dan dua orang karibnya. Segeralah mereka merapat ke warung, menyambut saya dengan hangat, sehangat dengan kopi hitam nirmanis yang disajikan. Rupanya, mereka lagi bikin pupuk organik, sehingga tidak berada di warung. Saya melihat ada kulit telur yang sementara mereka sortir untuk bahan pupuk. Dan, tak lupa pula mereka menyajikan beberapa tangkai buah langsat untuk dinikmati bersama. Sayangnya, hobbi makan langsat saya belakangan ini selalu dihalangi oleh karib yang numpang di tubuh saya, namanya Asam Urat. Tapi, saya tetap bersahabat dengannya, tetap memberi asupan, setidaknya tiga sampai lima biji. Sebab, manakala lewat dari itu, sang karib mendemo saya dengan tusukan-tusukan ngilu di persendian lutut dan keram-keram di kaki.
 
Lalu, saya pun menjelaskan maksud sehingga saya singgah. Saya sodorkan beberapa buah buku terbitan Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan: Pikiran-Pikiran Berserak, Dari 12, Titisan Cinta Leluhur, AirMataDarah, Djarina, dan Ziarah Cinta. Buku-buku tersebut saya serahkan untuk menambah koleksi Pustaka Kopi Boda, sebagai warung kopi yang bernuansa literasi. Dan, kalau ada lagi yang menitipkan wakaf bukunya pada saya, maka akan saya jatahkan lagi. Wakaf buku ini saya serahkan, sebagai janji yang harus saya tunaikan ketika menyatakannya pada kunjungan saya yang pertama.
 
Ternyata, maksud awal hanya sekadar mampir menyerahkan buku, terterungku hingga jelang Maghrib. Soalnya, segelas kopi sudah disajikan. Nah, ini sama saja diajak bersilat pikiran. Tentulah sebagai seorang pesilat, tak elok kalau tidak bersilat dulu, manakala arenanya sudah siap. Maka persilatan ide pun mulai didedahkan. Saya mulai mancing dengan seonggok kulit telur. Dari kulit telur inilah, obrolan melebar kemana-kemana, yang simpai gagasannya terikat pada soal gerakan petani pupuk organik dan bagaimana perkara literasinya.
 
Oleh Iccank Jalarambang, saya disilati pikiran-pikiran membuat pupuk organik, yang berbahan kulit telur, jantung pisang, buah coklat muda, ikan cakalang hingga penggunaan gula merah sebagai unsur utama. Di depan saya sudah ada tiga toples berisi campuran-campuran itu, yang kesemuanya berguna untuk nutrisi tanaman dan perangsang buah. Saya pun sebenarnya tidak terlalu kaget dengan jurus-jurus itu, sebab sewaktu dulu masih sering bantu Abba di kebun, Abba saya juga sering membuat pupuk sendiri, cuma sayangnya saya tidak khusyuk berlatih padanya, sehingga satu-satunya jurus yang saya ingat hanyalah jurus lupa, bahwa saya sudah lupa semua ajaran cara membuat pupuk organiknya.
 
Kayaknya saya harus berguru pada kawan-kawan di padepokan Pustaka Kopi Boda ini, tentang jurus-jurus membuat pupuk organik, mumpung saya masih punya kebun yang berisi tanaman kopi, coklat dan cengkeh warisan Abba. Lalu, saya langsung bertanya, kira-kira berapa harga yang harus dibayarkan manakala ada yang berminat untuk membelinya. Dijawabnya dengan tangkas, bahwa; “produk ini tidak dijual, melainkan mau diajarkan kepada petani, agar bisa membuat sendiri pupuknya.” Wow dahsyat sekali penabalan ini, cobalah bayangkan jika semua petani bisa bikin pupuk sendiri, maka keoklah produsen pupuk kimiawi, yang telah membunuh petani berkali-kali itu. Saya lalu membatin, mungkinkah ini cara terbaik membunuh para kaum kapitalis pupuk itu?
 
Dari persilatan pikiran inilah, saya lalu menyodorkan sejumput gagasan tentang pentingnya bergandengan dengan gerakan literasi. Bahwasanya, tatacara membuat pupuk organik yang bakal dimassalkan perlu dinarasikan. Nah, dari narasi-narasi demikian para petani akan bersentuhan dengan tradisi literasi. Bukankah prilaku yang berualang-ulang dan terbukti keberhasilannya di berbagai tempat, perlu dikonseptualisasikan agar lebih mudah dievaluasi untuk mencanggihkan kapasitas daya dorongnya sebagai gerakan?
 
Pada pucuk persilatan ide, saya tak bosan-bosannya menyatakan, termasuk pada kawan-kawan di Pustaka Kopi Boda, bahwa kebutuhan akan literasi itu ibarat kebutuhan akan gula. Siapa saja yang membutuhkan rasa manis untuk memperenak makanan dan minuman maka sodorkanlah gula padanya. Dan, sebagai gerakan, maka gerakan literasi itu bak flashdisc yang bisa dicolokkan pada setiap perangkat gawai asal bisa membacanya. Dan, yang paling menggenapkan perbincangan adalah ketika Iccank Jalarambang mengatakan bahwa di sekitar areal Pustaka Kopi Boda ini akan dibuat tempat pelatihan membuat pupuk organik. Mungkin bagi banyak orang ini sejenis langkah kecil, tapi Schumacer telah bersabda dalam bukunya: Small is Beutifull, kecil itu indah, iya bukan?

Selasa, 19 April 2016

PUNYA-KUASA


Ada persamuhan yang suntuk, hingga larut dalam kedalaman soal yang tak berujung. Pasalnya, lema yang diobrolkan seputar kepunyaan dan kekuasaan. Sahaya terbirit-birit dalam pikiran mencerna ciutan-ciutan pendapat yang begitu ramai, seramai burung pipit menyambut pagi. Dan, di saat yang tak terduga, Guru Han berbisik di relung kesdaran, katanya perlahan: " Tak usahlah berkerumun pada orang yang berpunya, sebab di situ sudah terlalu banyak yang menemaninya, tapi bersamalah dengan orang yang tak berpunya, mereka kesepian, jadilah sebagai karibnya. Pun tak perlu merapat pada kekuasaan, di sana amat banyak yang berkepentingan padanya, namun dampingilah orang yang dikuasai, mereka nirdaya, moncerlah selaku pembelanya."

Senin, 18 April 2016

GIGIH


Sepasang kekasih berkasih-kasihan dengan cara yang garib. Mereka membicarakan program sosial yang masing-masing digelutinya. salah seorang agak gundah, pasalnya gerakan yang diusungnya mulai kendur semangatnya. Sahaya hadir diantara mereka, Guru Han pun ikut juga, sembari nenggak kopi, tutur meluncur, selancar arus sungai yang mengalir: " Mari belajar pada kegigihan ombak, yang selalu setia menghempaskan dirinya pada apapun bentuk perhempasan itu. Hamparan pantai nan luas, onggokan pemecah ombak, atau beton reklamasi pantai, semuanya dikecup lembut tanpa pernah takut bakal luka di bibirnya, tak pernah capek berkejaran menggulungkan diri hingga terhempas dan tak pernah jemu dengan apa yang dituai setelah terhempas."

Minggu, 17 April 2016

Kosongkan Cangkirmu, Kelompangkan Otakmu




Setiap  keluarga,  mestinya punya  ritus. Ritual yang bakal menjadi tali pengikat untuk merawat keawetan kasih sayang, solidaritas, kekompakan dan tenggang rasa. Dan, setiap keluarga boleh memilih dan menentukan jenis ritus-ritusnya. Waima ritus itu biasanya terkait langsung dengan aktivitas keagamaan, namun dalam sebuah keluarga yang telah mementingkan suasana spiritual, maka apapun geliatnya, selalu berkonotasi spiritualitas.

Demikian juga dengan peristiwa rutin di keluarga saya, saban pagi, selalu ada acara minum “air panas”, maksudnya minum kopi, teh atau susu, sesuai selera masing-masing. Sekadar mendetailkan rutinitas ini, saya minum kopi hitam nirmanis, pasangan saya minum kopi susu, anak sulung sudah mulai ikutan nenggak kopi. Sementara anak kedua, ketiga dan yang bungsu, masih setia dengan teh. Apa pasal sehingga acara minum-minum ini begitu penting didedahkan?  Jawaban sederhananya, karena di sini ada cangkir-cangkir yang menginspirasi, senantiasa terisi, lalu kosong, dan diisi lagi.

Cangkir yang terisi penuh, sulitlah diisi. Sebab pasti meluap dan bisa saja isi yang sebelumnya sudah basi, yang tentunya bila diisi akan bercampur baur, membusukkan bakal isi yang akan dituang. Artinya, jika ingin mendapatkan minuman baru, maka kosongkanlah cangkir, entah dengan jalan meminum isinya hingga habis, atawa bila ada sisa segeralah buang, lalu cuci. Dengan begitu, kita akan selalu mendapatkan tuangan minuman segar.

Jika saja illustrasi cangkir di atas, saya jadikan tumpuan, maka bolehlah saya berasumsi, mengumpamakan cangkir itu bak otak yang  di dalamnya berisi pikiran. Artinya, manakala otak ingin selalu segar pikiran yang diusungnya, sangat jelas maksudnya, senantiasalah mengosongkan otak dari pikiran-pikiran lama, lalu mengisinya dengan pikiran-pikiran baru, agar otak senantiasa memoncerkan kebaruan gagasan.
Tentang apa yang dimaksud dengan pikiran, cukup elok saya ajukan penabalan ujar dari  Ibnu Atha’illah as-Sakandari, seorang sufi yang lahir di Iskandariah (Mesir) pada 648 H/1250 M, wafat di Kairo pada tahun  708 H / 1309 M, dalam kitabnya yang monumental, Al-Hikam, bahwa “pemikiran adalah perjalanan hati  dalam medan ciptaan Allah.” Dan selanjutnya, “ pemikiran merupakan cahaya hati. Jikalau itu hilang maka tidak akan ada lagi cahayanya.”

Jadi, pikiran yang bertebaran di jagat ciptaan, begitu luas adanya. Ini berkorelasi langsung dengan kapasitas otak yang unlimited, tak berbatas jangkauannya, amat bergantung pada sejauh mana si empunya otak menggunakannya. Olehnya, selayaknya merupakan keharusan, agar senantiasa memperbarui pikiran. Sebab, tergolonglah kesia-sian, tatkala objek pikiran yang berlaksa, tidak didaurkan dalam otak, untuk mewujudkan kegunaan. Pada konteks inilah, nilai guna sebentuk pikiran, menjadi cahaya hati. Dengan begitu, hati yang bercahaya, secara otomatis selalu melahirkan pikiran yang baru. 

Kelihatannya, makin menarik tatkala saya petikkan kembali, tuturan Ibnu Atha’illah, tentang jenis-jenis pikiran. Menurutnya, ada dua jenis pikiran: Pertama, pikiran yang berasal dari pembenaran dan keimanan. Pikiran jenis ini berlaku bagi orang-orang yang bisa mengambil pelajaran. Kedua, pikiran yang lahir dari penyaksian dan penampakan. Pikiran jenis ini, bertengger pada insan-insan yang bisa melihat dan menyaksikan dengan mata hati.

Kedua jenis pikiran tersebut, boleh jadi saya sepadankan dengan istilah lain, pikiran yang didapatkan lewat pembelajaran ilmu ushuli dan ilmu hudhuri. Hal mana, kedua jenis ilmu ini, mempersyaratkan pentingnya mengosongkan diri dari rasa telah memiliki ilmu. Diri haruslah menjadi bodoh, tidak tahu, sehingga pengetahuan akan datang secara sukarela mengisi kekosongan diri. Diri yang sudah merasa terisi, apatah lagi penuh, tidaklah mungkin mendapatkan hal baru. Sebab, secara alamiah isi yang lama menolak yang baru. Hanya cangkir kosong yang layak diisi minuman, hanya otak kelompang yang  laik disuguhi pikiran. Kosongkan cangkirmu agar segar minumanmu, kelompangkan otakmu, biar kebaruan pikiran menyapamu.  (17/04/16).

Sabtu, 16 April 2016

KEBAIKAN-KEBURUKAN




Seorang ibu rumah tangga, dengan khusyuk memeras kelapa yang telah diparut, untuk mendapatkan santan dan menyisakan ampasnya, membuangnya begitu saja. Di waktu yang sama, sahaya menonton televisi, yang menayangkan acara perbincangan. Dalam tayangan itu, perdebatan seru terjadi, saling hujat-maki, dan merasa benar sendiri. Guru Han yang mengada, mengajak untuk mengambil ibrah dari kejadian itu, menurutnya: “ Hendaklah setiap diri lebih fokus untuk mendapatkan santan, dan membuang saja ampasnya. Kebanyakan orang berdiskusi, lebih fokus untuk mencari keburukan-kesalahan dan bukannya kebaikan-kebenaran. Orang yang bersamuh dan fokus pada saling memojokkan, sama saja dengan beroentasi pada keburukan-kesalahan. Dan, itu berarti identik dengan mengumpulkan ampas, mengais-ngais sampah saja.”