ALI SYARIATI:
PEMIKIRAN DAN GERAKAN
Oleh Sulhan Yusuf
Oleh Sulhan Yusuf
Apa yang harus
dilakukan ?
Adalah kata kunci dari pemikiran Syariati.
Darimana kita mesti mulai ?
Merupakan point penting dari gerakan revolusioner Syariati.
Bagaimana umat Islam dapat hidup secara layak di dunia Modern? Inilah salah satu pertanyaan sentral yang telah banyak menarik umat Islam sepanjang abad ke-20, demikian kata Steven R. Benson, dalam salah satu artikelnya ketika menulis tentang Ali Syariati dalam kaitannya dengan perubahan sosial. Menjadi menarik kalau saya kutipkan petikan panjang artikelnya, bahwa;
“ Pertanyaan tersebut terkait dengan sejumlah pengalaman modern: industrialisasi, kolonialisme dan neokolonialisme, konsumerisme, kebebasan seks, teknologi angkasa luar, kebebsan berfikir, dan lain sebagainya. Sebagaian menanggapi persoalan tersebut dengan perasaan rendah diri dan malu karena bertahun-tahun terisolasi dalam pengalaman kolonial. Mereka menyaksikan bagaimana kultur tradisional dan agama menjadi penghambat kemajuan masa depan umat Islam, lalu mereka mengambil kapitalisme Barat atau ideologi-ideologi Marxis modern sebagai alat untuk memordernisasikan masyarakat mereka. Sebagian lagi, yang lebih tradisional, memandang semua bentuk kehidupan modern sebagai setan, dan dengan cara apa pun menolak berkompromi dengan pola tatanan modern serta lebih suka mengisolasi diri. Tetapi ada kelompok ketiga yang menempuh jalan berbeda. Mereka menilai eksperimentasi Barat telah gagal, tetapi menyadari perlunya menjadi bagian dari dunia modern. Mereka ingin membangun sebuah kebanggan baru tentang warisan Islam di kalangan Muslim dan menemukan solusi dalam warisan tersebut untuk memungkinkan umat Islam berpartisipasi penuh dalam dunia modern tanpa hanya meniru solusi dunia Barat, dan pada saat yang sama tetap berpegang pada kebudayaan dan keyakinan Islam. Seperti gambaran inilah sosok Dr. Ali Syariati. Dia dididik dalam dua tradisi –Barat dan Islam – dan memiliki kemampuan bertutur yang mengagumkan. Dengan cepat dia membina para pengikut yang sangat bergairah dari kalangan generasi muda Iran yang terdidik. Dengan penguasaan yang seimbang antara khazanah sumber-sumber Barat dan sumber-sumber Islam dan keberaniannya menginterpretasi keduanya secara bebas, dia memberikan jawaban yang tepat bagi krisis budaya di Iran.”
Adalah kata kunci dari pemikiran Syariati.
Darimana kita mesti mulai ?
Merupakan point penting dari gerakan revolusioner Syariati.
Bagaimana umat Islam dapat hidup secara layak di dunia Modern? Inilah salah satu pertanyaan sentral yang telah banyak menarik umat Islam sepanjang abad ke-20, demikian kata Steven R. Benson, dalam salah satu artikelnya ketika menulis tentang Ali Syariati dalam kaitannya dengan perubahan sosial. Menjadi menarik kalau saya kutipkan petikan panjang artikelnya, bahwa;
“ Pertanyaan tersebut terkait dengan sejumlah pengalaman modern: industrialisasi, kolonialisme dan neokolonialisme, konsumerisme, kebebasan seks, teknologi angkasa luar, kebebsan berfikir, dan lain sebagainya. Sebagaian menanggapi persoalan tersebut dengan perasaan rendah diri dan malu karena bertahun-tahun terisolasi dalam pengalaman kolonial. Mereka menyaksikan bagaimana kultur tradisional dan agama menjadi penghambat kemajuan masa depan umat Islam, lalu mereka mengambil kapitalisme Barat atau ideologi-ideologi Marxis modern sebagai alat untuk memordernisasikan masyarakat mereka. Sebagian lagi, yang lebih tradisional, memandang semua bentuk kehidupan modern sebagai setan, dan dengan cara apa pun menolak berkompromi dengan pola tatanan modern serta lebih suka mengisolasi diri. Tetapi ada kelompok ketiga yang menempuh jalan berbeda. Mereka menilai eksperimentasi Barat telah gagal, tetapi menyadari perlunya menjadi bagian dari dunia modern. Mereka ingin membangun sebuah kebanggan baru tentang warisan Islam di kalangan Muslim dan menemukan solusi dalam warisan tersebut untuk memungkinkan umat Islam berpartisipasi penuh dalam dunia modern tanpa hanya meniru solusi dunia Barat, dan pada saat yang sama tetap berpegang pada kebudayaan dan keyakinan Islam. Seperti gambaran inilah sosok Dr. Ali Syariati. Dia dididik dalam dua tradisi –Barat dan Islam – dan memiliki kemampuan bertutur yang mengagumkan. Dengan cepat dia membina para pengikut yang sangat bergairah dari kalangan generasi muda Iran yang terdidik. Dengan penguasaan yang seimbang antara khazanah sumber-sumber Barat dan sumber-sumber Islam dan keberaniannya menginterpretasi keduanya secara bebas, dia memberikan jawaban yang tepat bagi krisis budaya di Iran.”
Siapa Syariati ?
Adalah Mazinan, sebuah desa di pinggiran Masyad, di timur laut Khurasan, Iran, yang menjadi saksi tanah tumpah darah pertama dari seorang Ali Syariati. Tepatnya, pada tanggal 24 november 1933, Ali Syariati di lahirkan, dari pasangan Sayyid Muhammad Taqi’ Syariati dan Zahra. Syariati adalah putra sulung dari kedua pasangan keluarga tersebut. Latar belakang keluarganya cukup disegani di desa tersebut, sebagai seorang tokoh spiritual. Sebenarnya, nama asli Syariati adalah Muhammad Ali Mazinanin, tetapi ia merubahnya ketika akan meninggalkan Iran menuju London, pada tanggal 16 mei 1977, guna mengelabui petugas keamanan.
Masa kecil dan remaja Syariati dijalani di desa tersebut bersama dengan sang ayah Dan bagi Syariati, guru pertamanya, yang sekaligus sangat mempengaruhinya adalah ayahnya sendiri. Seperti syariati tuliskan:
“Ayahku membentuk dimensi-dimensi pertama batinku. Dialah yang mula-mula mengajariku seni berfikir dan seni menjadi manusia. Begitu ibu menyapihku, ayah memberikan kepadaku cita kemerdekaan, mobilitas, kesucian, ketekunan, keikhlasan serta kebebasan batin. Dialah yang memperkenalkan aku kepada sahabat-sahabatnya – ialah buku-bukunya; mereka menjadi sahabat-sahabatku yang tetap dan karib sejak tahun-tahun permulaan sekolahku. Aku tumbuh dan dewasa dalam perpustakaannya. Banyak hal yang sebetulnya baru akan kupelajari kelak bila aku telah dewasa, melalui rangkaian pengalaman yang panjang dan harus kubayar dengan usaha dan perjuangan yang lama, tetapi ayahku telah menurunkannya kepadaku sejak masa kanan-kanak dan remajaku secara mudah dan spontan. Aku dapat mengingat kembali setiap bukunya, bahkan bentuk sampulnya. Teramatlah cintaku akan ruang yang baik dan suci itu; bagiku ia merupakan sari masa lampauku yang manis, indah, tetapi jauh.”
Setelah masa-masa remaja dilalui, pada tahun 1950-an, Syariati menjadi Mahasiswa di Primary Teascher’s Training College sambil mengajar. Lalu mulai belajar di Universitas Masyhad. Dan tahun ini juga Syariati menikah. Nanti pada 1958, Syariati meraih gelar BA dalam bahasa Arab dan Perancis, yang kemudian tahun selanjutnya 1959 lulus ke Sarbone University di Perancis. Di Sarbone inilah Syariati mendalami kajian sastra dan sosiologi, dan bertemu serta menelaah karya-karya seperti; Henry Bergson, Jack Berque, Albert Camus, A.H.D. Chandell, Franz Fanon, George Gurwitsch, Louis Massignon, Jean Paul Sartre, dan Jacques Schwartz.
Pada tahun 1963, Syariati menyelesaikan program Doktornya di Sarbone, dengan desertasi yang membincang komentar kritis naskah Persia abad pertengahan Fadha’il Al-Balkh (“Les Merites de Balkh”). Dan setelah itu, Syariati pun kembali ke Iran, bersama isteri dan kedua anaknya guna mengabdi pada negaranya, rakyatnya dan agamanya, Islam. Namun diluar dugaan, begitu Syariati tiba di Bazargan –perbatasan Iran dan Turki – ia ditahan di hadapan isteri dan anak-anaknya dan langsung dipenjarakan. Selama pengasingan di penjara, Syariati tidak diperbolehkan bertemu dengan isteri dan anak-anaknya, termasuk ayahandanya, sang guru pertamanya sekalipun.
Pemikiran Syariati
Pijakan terpenting dari pemikiran syariati adalah terletak pada cara memahami Islam. Bagi Syariati, persoalan cara atau metode menjadi sangat menentukan, karena dengan menggunakan cara atau metode kita dapat memahami Islam secara komprehensif. Salah satu cara atau metode memahami Islam adalah dengan cara melakukan perbandingan. Bagaimana mengenal Allah, dan membandingkannnya dengan sesembahan agama-agama lain. Mempelajari Al-Quran dan membandingkannya dengan kita-kitab lainnya. Mempelajari kepribadian Rasul Islam dan membandingkan beliau dengan tokoh-tokoh besar yang pernah hidup dalam sejarah. Dan terakhir, mempelajari tokoh-tokoh Islam terkemuka dengan membandingkan tokoh-tokoh utama agama maupun aliran-aliran pemikiran lain.
Bertolak dari asumsi itulah, kita dapat menelusuri pemikiran-pemikran Syariati dalam pelbagi tema, seperti; agama, filsafat, etika, sosiologi, sejarah, sastra dan biografi. Sehingga, dalam berbagai karya Syariati, kita akan menemukan, bagaimana karakter Tuhannya Musa dan Isa di perbandingkan, maupun konsep-konsep Tuhan lain, dengan Tuhannya Muhammad
Demikian juga halnya dengan pemikiran-pemikiran filsafat atau aliran-aliran pemikiran. Bagaimana Humanisme, Marxisme, Eksistensialisme diperbandingkan dengan Islam sebagai mahzab pemikiran. Dalam hal agama pun diperbandingkannya, bahkan secara internal agama Islam, maupun dalam mahzab Islam Syiah yang dianutnya, termasuk ritus-ritus keagamaan yang Syariati anggap keliru. Dan, selanjutnya bagaimana Syariati menulis tentang sosok seperti; Nabi Muhammad dan Imam Ali, Fatimah Azzahra, Imam Husain dan Abu Dzar Al-Giffari , yang tentu masih dalam kerangka perbandingan pemikiran dalam sejarah.
Gerakan Revolusioner Syariati
Ali Syariati pernah berkata, “ Saya memberontak maka Saya Ada”, dan pada bagian lain ungkapaannya yang sangat terkenal, bahkan pada saat revolusi sosial Islam di Iran terjadi, dan ditulis dalam bentuk spanduk dan pamflet, “Setiap hari adalah Assyura dan setiap tempat adalah Karbala.” Meski Syariati tidak sempat menyaksikan jalannya revolusi, tetapi peranannya sebelum rvolusi tidak bisa diabaikan. Bahkan Syariati dianggap sebagai salah seorang arsitek dan ideolog Revolusi Islam Iran.
Mengapa Syariati terlibat dalam gerakan revolusioner? Karena Syariati telah mendefenisikan bahwa bila merindukan perubahan, maka dibutuhkan Raushanfikr (orang-orang yang tercerahkan). Dan rupanya, julukan raushanfikr patut pula diberikan kepada Syariati, karena sang raushanfikr adalah ; individu-individu yang sadar dan tanggungjawab utamanya adalah membangkitkan karunia Tuhan yang mulia, yaitu “kesadaran diri” (khud-agahi) masyarakat. Sebab hanya kesadaran diri yang mampu mengubah rakyat yang statis dan bobrok menjadi suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif.
Keterlibatan Syariati dalam gerakan revolusioner, bukan hadir secara tiba-tiba. Tetapi sejak muda ia telah terlibat dalam berbagai macam gerakan revolusioner. Pada tahun 1940-an, Syariati telah bergabung dengan “Gerakan Sosialis Penyembah Tuhan” dan Pusat Penyebaranm Islam” yang didirikan oleh ayahnya. Di tahun 1950-an, Syariati kemudian aktif dalam gerakan rakyat dan nasionalis untuk nasionalisasi industri minuak iran, dan selanjutnya mendirikan “Persatuan Pelajar Islam” di Masyhad. Yang akhirnya di penjara karena aktivitas politiknya.
Memasuki tahun antara 1959-1964, ketika sudah belajar di Sarbone University Perancis, Syariati aktif dalam kehidupan politik di Perancis bersama Mustafa Chamran dan Ebrahim Yazdi, mendirikan Gerakan Kebebsan Iran, di Luar Negeri. Lalu ikut dalam pembentukan Front Nasional Kedua, dan selanjutnya bergabung dengan gerakan Aljazair, yang kemudian dipenjara karena memberikan kuliah kepada mahasiswa revolusioner Kongo.
Pada tahun 1964, Syariati kembali ke Iran, kemudian ditahan di perbatasan dan selanjutnya dipenjarakan selama 6 bulan. Setelah keluar dari penjara, Syariati kemudian mendirikan Husayniah Irsyad, dan menjadikannya sebagai basis pergwrakannya. Dan pada tahun 1972, Husayniah Irsyad menghentikan aktinitasnya, dan selanjutnya Syariati pun ditahan. Kemudian, pada tahun 1975, oraginasisi-organisasi internasional, kalangan intelektual Paris dan Aljazair membanjiri Teheran dengan petisi untuk kebebsan Syariati, akhirnya dibebaskan dari penjara. Tetapi, setelah itu, hingga tahun 1977 dikenakan tahanan rumah.
Setelah dikenakan tahanan rumah, tepatnya pada bulan Mei 1977, Syariati
mampu meloloskan diri ke luar negeri. Setelah mampir di Paris, ia melanjutkan perjalanan menuju London, Inggiris, dengan maksud akan meneruskan perjalanan ke Amerika Serikat Dan sebulan kemudian, Juni 1977, Syariati meninggal secara misterius di rumah kerabatnya, dengan petunjuk-petunjuk kuat bahwa ia telah syahid di tangan Savak.
Berdasarkan harapan dan keingininan Syariati, yang sering diucapkannya, untuk dikuburkan dekat kuburan Zaenab, saudara Imam Husain --yang menyaksikan peristiwa Karbala, dan menyiarkan kesaksiannya – maka jenazahnya di bawah ke Damaskus, Syiria dan dimakamkan di sana. Dan pada tahun 1979, Syariati mendapatkan anumerta atas penerbitan kumpulan karyanya, yang hingga 1986, telah terbit 35 buah buku.
Sayangnya, Syariati hanya hidup dalam waktu yang singkat, 44 tahun. Padahal masih banyak yang dibutuhkan dari pemikirannya dan gerakan-gerakan revolusionernya. Tetapi seperti kata Abdul Aziz Sachedina :
“ Tidak mudah untuk menganalisa pribadi-pribadi seperti Syariati, yang dalam pemikiran-pemikiran dan perbuatan-perbuatannya tampaknya berdimensi banyak. Adalah merupakan fenomena yang hebat dalam sejarah orang-orang besar bahwa dalam karirnya mereka meninggalkan begitu banyak yang tidak terpecahkan, sehingga orang selalu mengiginkan kiranya mereka dapat hidup sedikit lebih lama guna memecahkan teka-teki yang banyak ini.”
Wallahu alam bissawab
6 komentar:
Tulisannya sangat bermanfaat Bung Yusuf,, izin follow blog nya :)
Bung Depiriadi Piliang, trimakasih atas kunjungannya, sekaligus apresiasinya terhadap tulisan ini, moga ada manfaatnya.
Sy anak kemaren sore yg secara kebetulan membaca pemikiran Ali Syari'ari, dan sy sangat tertarik dengan pemikirannya. syari'ati dalam merealisasikan Islam memang luarbiasa. mohon di postingkan lg para pemikir yg tidak begitu terkenal tp sebenarnya memberikan sumbangsi besar pada islam.
makasi bang atas tulisanya.
menyukai ini
mantap
Setiap hari adalah Asyura dan setiap tempat adalah Karbala.
Mantab...!!!
Posting Komentar