Kamis, 08 Agustus 2019

Sari Diri Sulhan Yusuf

Sari Diri Sulhan Yusuf
Oleh Idham Halik*) 
Menjelang Hari Idul Fitri kemarin, Saya bertemu Sulhan Yusuf, dan membeli bukunya yang berjudul Pesona Sari Diri. Sempat bincang-bincang sebentar. “Dam, kalau bisa kamu mencari kira-kira apa pola atau gaya dari buku saya ini?” Katanya.
Saya pun membaca dan memulai dari bagian ke-4 buku itu, yaitu tentang profil tokoh-tokoh. Lalu, melompat-lompat di bagian pertama Sari Diri, hingga bagian kedua dan ketiga tentang relegiusitas dan beranda publik. Apa yang saya temukan? Tak lain adalah seorang Sulhan Yusuf.
Sulhan pada dasarnya sudah menulis dari lama, dan sudah mencatat apa yang kira-kira akan ditulisnya sejak kecil di kampungnya, sebuah desa di Bantaeng, dengan mendengar dan melakoni budaya peradaban masyarakat pedesaan, yang sudah tersentuh nilai-nilai Islam yang bernuansa kota, kosmopolitan.
Apa yang tercoret dalam kumpulan tulisan Pesona Sari Diri, adalah cerminan dari pikiran dan aksi moral Sulhan Yusuf selama ia hidup. Tulisan-tulisan ini ibarat refleksi dari apa yang sebenarnya, dan seperti apa Sulhan Yusuf memandang hidup.
Dan, apa yang sebenarnya ini, kira-kira kita dapat mengambil ilustrasi Gua Plato. Pemikir Yunani itu mencatat celotehan dari gurunya tentang kisah manusia-manusia dalam gua. Menurut Sokrates, banyak orang yang membayangkan bahwa bayang-bayang di dinding gua, yang berasal dari cahaya api di luar gua adalah realitas, karena saking terbiasanya. Padahal, jika orang-orang itu, punya keinginan kuat untuk memanjat keluar dan mencari sumber cahaya, dia akan melihat realitas yang sebenarnya.
Sulhan, dalam esai-esainya, mencoba memanjat realitas, melihat peristiwa sehari-hari mengandung hikmah dan pesan-pesan moral. Ia tak mau terbawa arus peristiwa, tanpa memegang kompas moral. Dari mana kompas moral ini? Dapatkah kita katakan dari lubuk hati dan pikiran yang jernih? Dengan mendengar hal yang paling inti dari manusia, yaitu suara hati.
Suara hati, yang menurut Immanual Kant bersifat universal, dimiliki oleh semua orang, tak mengenal suku dan agama. Dari suara hati inilah lahir prinsip etika deontis, yang mengharuskan manusia untuk patuh pada perintah moral. Suara hati yang kemudian dieksternalisasi ke dalam peraturan, menjadi kewajiban atau obligasi.
Dari esai-esai Sulhan sendiri, percikan suara hati ini, yang dapat datang tiba-tiba, dari prilaku orang-orang sekitar, seperti prilaku pembeli buku di kios bukunya, atau melihat anak-anak ataupun orang gila. Namun, hikmah ini tak akan muncul jika tak diiringi aktivitas berfikir yang terarah, atau membuka diri terhadap realitas/fenomena. Seperti kata Husserl, pengetahuan akan terbuka, jika kita terarah pada realitas dan dilakoni secara terus menerus, Intensitas.
Meski begitu, esai-esai ini lahir dari sosok Sulhan yang hidup dan tenggelam dalam semangat aktivisme tahun 1980-1990-an, tentu sangat mewarnai pesan-pesan yang ditulisnya, selain itu, kultur dan ideologi keberislaman kadang-kadang terbersit.

Anak-anak muda, yang hidup dengan kultur kota, dengan gaya hidup serba cair, praktis, pragmatis, empiris, dan tentu menghormati nuansa dan kreativitas berfikir, mesti bersabar membaca esai-esai ini. Apa sebab? Pertama, tulisan berbasis peristiwa, makna peristiwa dan apa yang seharusnya. Dengan begitu, masing-masing orang punya pengalaman yang berbeda. Alangkah baiknya jika pengalaman-pengalaman anak muda dapat bersinergi dengan pengalaman Sulhan Yusuf. Kedua, Sulhan memaparkan peristiwa dengan maknanya secara terang benderang. Ibarat sinar matahari, sinar Sulhan adalah sinar siang hari. Terlalu terik bagi anak muda yang mungkin hanya menginginkan sinar pagi atau cahaya senja.
Tapi, bagi yang mengenal Sulhan Yusuf, buku ini sangat cocok. Sebab, dapat dijadikan kitab untuk membaca pikiran dan prinsip moral yang melandasi semangat altruisme Sulhan.
Ke depan, Saya berharap Kak Sulhan dapat melangkah lebih jauh lagi untuk menjelaskan secara rinci dan strategis problem-problem utama dalam kehidupan masyarakat. Jawaban-jawaban lebih dari spontanitas, tapi lebih bersifat pemikiran yang rigid dan membongkar akar persoalan. Serta memandu kita untuk bersama-sama memecahkan persoalan tersebut. Seperti persoalan pengangguran, kriminalitas di desa, marginalisasi kaum minoritas, ataupun sebab musabab kemunduran pemikiran Islam, strategi membangun gerakan literasi, atau persoalan kemiskinan struktural yang masih menjangkiti negeri ini.
**
Menjadi pertanyaan, apa dasar begitu produktifnya Sulhan dalam menulis? Dalam rentang waktu penulisan esai yaitu 2015-2018, yang berarti kumpulan tulisan selama 3 tahun. Ada 120 esai dalam buku ini, dengan ketebalan 530 halaman.
Saya berfikir, ini tidak mungkin dilakukan oleh orang yang dalam kadar biasa-biasa saja, tapi merupakan tindakan seorang manusia yang memiliki mental, stamina, dan strategi pergerakan yang prima. Kita beruntung masih dapat bertemu dan berkenalan dengan orang-orang khusus seperti ini. Yang memiliki kualitas pendeta, biksu, atau orang-orang suci di tengah-tengah kegersangan dan semangat pemuasan nafsu diri dan segala jenis kepalusan masyarakat kita.
Seperti orang-orang besar lainnya, dalam sejarah, yang juga termuat dalam esai Sulhan, ambillah contoh Ali Syariati, Khomeini, Tjokroaminoto, Ishak Ngeljaratan. Tokoh-tokoh ini mengambil jalan-jalan sunyi untuk menggerakkan masyarakat dan melakukan perubahan sosial dan politik. Sulhan mengambil jalan literasi untuk membangun masyarakat. Pukulannya strategis, dengan literasi, warga belajar kritis, belajar berfikir analitis, dan tentu bermuara pada pengorganisasian diri untuk mendorong perbaikan sistem internal.
Sulhan Yusuf secara tak sengaja atau mungkin sudah dirancangnya untuk menggerakkan masyarakatnya, berangkat dari kampungnya sendiri, Butto Toa, Bantaeng. Ia seperti Gandhi ataupun Martin Luther King dalam kadar tertentu saya pikir. Cara-cara yang digunakan pun mirip dengan strategi tamsil hindu Gandhi, yaitu Ahimsa, melawan dengan tanpa kekerasan. Tujuannya adalah menggugah, menginspirasi, berada di pucuk paling depan dalam menjalankan prinsip-prinsip moral masyarakatnya.
Sebagai salah seorang kawan mudanya, saya sangat berharap Sulhan tetap konsisten menjalankan takdirnya ini. Agar kami tidak kekurangan pegangan untuk belajar hidup sederhana, secukupnya, menjadi diri sendiri dan senantiasa mendengar suara hati.
Tetap semangat Bung Sulhan.

*) Penggiat literasi perikanan Sulsel

SULHAN YUSUF

SULHAN YUSUF

Oleh Yusran Darmawan*)

Sebuah buku berjudul Pesona Sari Diri yang ditulis Sulhan Yusuf tiba rumah saya di Bogor. Buku itu dikirimkan langsung oleh penulisnya dari Kota Makassar. Buku ini menjadi temali silaturahmi yang menghubungkannya dengan orang lain.

Saya tertegun memandang buku ini. Saya ingat penulis Paolo Coelho yang pernah bilang, hadiah terbaik bagi seseorang adalah buku yang ditulis sendiri. Sebab dalam buku itu, ada pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, sekeping jiwa, kisah-kisah yang terentang lama.

Sebuah buku memang hanya sekeping materi. Tapi di balik buku itu, ada proses bertemu kenyataan, merekam semua ide dalam pikiran, memasaknya dalam renungan, kemudian mengalirkannya sebagai energi dalam setiap kata-kata.

Di balik setiap kata dalam buku ini, terasa kerja-kerja seorang penulis. Saya bisa merasakan bagaimana dia merawat embiro gagasan, mengubahnya jadi energi yang menggerakkan jemarinya untuk mengalirkan ide, lalu merawatnya dengan tanya dan dialog.

Saya bisa bayangkan, ada masa-masa di mana dirinya begadang, memikirkan kata demi kata, kemudian mengubahnya menjadi sesuatu yang tergurat di layar, kemudian buku.

Makanya, setiap tulisan bukanlah sesuatu yang diam. Di situ ada aliran pikiran, sungai gagasan, karang-karang dan posisi pijak, juga ada riak-riak permenungan. Buku adalah himpunan dari semua gelora, samudera, dan gelombang pemikiran seseorang atas semua kenyataan yang dilihatnya, kemudian diubah menjadi energi dalam wujud kata.

Proses membaca adalah proses menyelam dalam samudera gagasan seseorang, melihat dunia yang diciptakan dalam imajinasinya, serta membiarkan diri kita untuk mengalir dan mengikuti setiap tarikan
napas dalam alur yang dibuat seseorang.

Kadang-kadang kita mengalami ketakutan, kegembiraan, serta merasakan girang saat membaca. Kita tidak sadar kalau penulis buku adalah pencipta yang menghadirkan semua ketakutan dan kegembiraan itu. Kita mengalir dalam labirin yang disusunnya, dan kelak akan keluar pada alur yang juga diciptakannya.

Saya cukup lama mengenal Sulhan Yusuf di kota Makassar. Dahulu, saya seorang mengikuti kajian-kajian dan bedah buku yang menghadirkan dirinya. Di mata saya, dia memang terlahir untuk dunia literasi. Hidupnya selalu di tengah pusaran literasi. Bahkan dia punya satu toko buku yang memberinya kemewahan untuk bisa membaca semua literatur terbaru.

Belakangan, media sosial kembali mempertemukan saya dengan dirinya. Saya bisa melihat aktivitasnya yang sering hadir di kelas-kelas inspirasi. Dia sering membagikan renungan dan catatan-catatannya kepada khalayak luas di media sosial.

Tulisannya bukanlah jenis tulisan yang menghentak dan membuat kita terbakar lalu marah. Tulisannnya ibarat setetes embun yang membasuh jiwa, menghadirkan banyak permenungan, serta membuat mata lebih terang ketika melihat.

Dia menyajikan tema-tema sederhana, tapi di situ ada banyak hikmah dan pembelajaran. Saya amat yakin dirinya sering membaca kisah-kisah dalam khasanah sufistik dan tasawuf. Dia membaca buku-buku renungan dan penuh pembelajaran. Atau buku-buku hikmah dan kearifan.

Jenis-jenis tulisan seperti ini tidak pernah menggurui, tidak memaksa kita untuk bersepakat, namun menawarkan kita segelas air dingin yang bisa mendinginkan semua gejolak dalam diri. Dia menawarkan semacam rest area agar kita sejenak istirahat dan melihat kenyataan dengan cara yang lebih jernih.

Terimakasih atas silaturahmi yang indah melalui buku bernas ini. Mudah2an saya pun bisa mengirimkan
buku saya sesegera mungkin. semoga.


*) Seorang penulis dan blogger






Jumat, 17 November 2017

DAENG LITERE


Dia terlahir dengan nama Damai Tampan, kurang lebih 45 tahun yang lalu, di sebuah kampung pinggir laut, tepatnya di Tompong, Kelurahan Letta, Butta Toa -Bantaeng. Tompong sendiri merupakan daerah yang sudah cukup tua bagi peradaban Bantaeng. Di tempat inilah terdapat mesjid paling tua, Mesjid Towayya  yang dibangun pada tahun 1887 atas prakarsa Raja Bantaeng, Karaeng Panawang, di atas tanah wakab H. La Bandu, seorang pedagang sukses asal Wajo. Hingga generasi ketiga dari keluarga ini, tetap menjadi penanggungjawab. Saat ini, cucu pendiri mesjid ini, DR. Anis Anwar Makkatutu menjadi ketua yayasan.
Di kampung Tompong ini pula terdapat Balla Bassia, sebuah rumah peninggalan pendiri mesjid. Tidak jauh dari Masjid Toayya Tompong dan Balla Bassia, terdapat pula dua buah bangunan tua, Balla Lompoa di Lantebung sebagai rumah tinggal dan Balla Lompoa di Letta selaku Istana Raja Bantaeng.
Masa kecil Damai Tampan ditapaki di kampung ini. Suasana pantai yang indah, baik di pagi maupun sore menjadi pembentuk jiwanya. Jiwanya menjadi luas, seluas samudra. Bibir pantai kampung Tompong, senantiasa mengecup gelombang ombak dari laut Flores. Ombak laut Flores akan segera teduh, damai tak beriak lagi setelah mendapat kecupan lembut dari bibir pantai Tompong. Sebuah penyatuan abadi, yang hingga kini berlangsung.
Meski pantai ini sudah tak berpasir lagi, sebab sudah dibangun tanggul penahan ombak. Sekali waktu, Damai Tampan berbisik padaku; “masihkah pantai ini layak disebut pantai ketika tak berpasir lagi? Pasir selaku bibir pantai, begitu lembut mengecup gejolak ombak, telah berubah menjadi tanggul yang keras kokoh. Mampukah tanggul itu mengecup, selembut pasir mengecup gelora ombak laut Flores?”
Dari sekian banyak anak yang seusia dengan Damai Tampan, akulah yang paling dekat dengannya. Di samping kawan main, aku masih kerabatnya, sepupu duakali dari garis ibu. Bahkan saking dekatnya, aku pun sebenarnya saudara sesusuan dengan Damai Tampan. Pasalnya, ketika kami masih menyusu, ibunya pergi a’buritta (mengundang kerabat) karena tantenya akan kawin. Saat ditinggal itulah, Damai Tampan menangis ingin menete, maka ibuku pun menyusuinya, hingga jadilah kami saudara sesusuan. Cerita ini kuperoleh dari ibuku, saat usiaku menginjak belasan tahun.
Kala masih kanak-kanak, kami pun sering main ke sekitar Balla Lompoa. Banyak misteri yang belum kupahami hingga kini. Maklumlah, kami bukanlah keturunan keluarga Raja Bantaeng. Kami bukan bangsawan, hanyalah masyarakat biasa yang tak punya akses ke tempat tersebut. Kami hanya sering memandangi Balla Lompoa, atau sekadar lalu lalang di depannya.
Namun usiaku yang sudah kepala empat ini, disusul dengan perubahan-perubahan tata cara bermasyarakat memungkinkan misteri-misteri itu terkuak. Apatah lagi Damai Tampan, sangat mudah aksesnya saat ini untuk menguak kisah-kisah misteri Balla Lompoa. Dan Damai Tampan telah berjanji untuk itu, “ suatu waktu engkau akan baca tulisanku tentang Balla Lompoa dan segala misterinya. Demikian pula segala hal yang bisa kutuliskan tentang Butta Toa - Bantaeng”
Kini, Damai Tampan memang adalah seorang pegiat literasi, seorang aktifis yang mendedikasikan dirinya untuk mencerahkan masyarakat, lewat aktifitas peningkatan minat baca-tulis. Terlibat serius dalam gerakan literasi, nyaris hidupnya dihabiskan untuk gerakan literasi. Bahkan, aku dan kawan-kawanku menjulukinya Pendekar Literasi. Adapula kawan yang lebih dahsyat lagi menjulukinya sebagai Raja Literasi di Bantaeng. Apapun julukannya, sebagai Pendekar Literasi atau Raja Literasi, yang jelas istilah literasi begitu dekat dengan Damai Tampan.
Dari sinilah sesungguhnya, cerita Daeng Litere ini pun bermula. Damai Tampan berubah namanya menjadi Daeng Litere. Aku sendiri sebagai karib, dan juga kerabatnya akan banyak terlibat bersamanya. Senantiasa mendampinginya, mengiringi pengembaraannya selaku Pendekar Literasi.
Aku lupa kapan persis kejadiannya. Yang pasti, sekali waktu aku menemaninya bertandang ke sebuah kampung untuk meriset tentang budaya kampung itu. Ketemulah kami dengan tetua kampung itu. Aku sebagai guidenya, mengenalkan Damai Tampan pada tetua kampung. “Tabe Daeng, ini kawanku namanya Damai Tampan, dia seorang pegiat literasi”, kataku mengenalkan pada tetua kampung. Sebab tetua kampung ini sudah agak lanjut usia, perkataanku pun didengar secara samar. “ Ooo...I Litere “, ucap tetua kampung. Aku hendak menjelaskan lebih jauh kesalah dengaran itu, tapi kupendam saja. Toh, bukanlah yang penting saat itu.
Sepulang dari tandangan itu, saya berseloroh di atas motor, sambil bercanda pada Damai Tampan, “ I Litere ..., nama yang indah dan inspiratif ... he...he..he... daeng toa... daeng toa.”  Damai Tampan agak kesal menimpali, “memangnya saya ini liter, bentukku seperti liter?” Lalu kusambung, “sudahlah, malah menurutku ini nama yang tepat untukmu selaku Pendekar Literasi, apatah lagi sudah jadi Raja Literasi. Antara literasi dengan litere beda-beda tipislah. Dan bagiku julukanmu sebagai litere cukup tepat. Bukankah engkau memang cukup sering menimbang-nimbang segala persoalan, bahkan meliter-liter setiap pendapat yang ingin kau tuliskan, wahai Daeng Litere?
Sejak saat itulah aku selalu memanggil Damai Tampan sebagai Daeng Litere. Nama julukan ini lebih terasa lokal, setidaknya menyesuaikan dengan selera lokal dalam berbahasa, bahasa Makassar. Literasi sendiri akar katanya adalah literer, yang berarti berhubugan dengan tradisi tulis. “ Jika kata literer ini diadaptasi ke dalam istilah bahasa Makassar, jadilah ia litere, meski dengan pengertian yang berbeda.  Bisalah dicocok-cocokkan, semacam cocologi ( ilmu mencocok-cocokkan) he..he...” Candaku pada Damai Tampan, dan ia pun dengan hati yang berbunga-bunga menyukainya.
 Walhasil, julukan baru ini, Daeng Litere sebagai nama panggilan dari Damai Tampan, sangat populer dan merakyat. Kemanapun Damai Tampan merayap, orang-orang memanggilnya dengan Daeng Litere. Amat sangat populer panggilan ini di Butta Toa – Bantaeng. Sehingga, pernahlah terlontar dalam benakku, agar Daeng Litere mencalonkan diri sebagai Caleg DPRD. Dan dari rumor yang kudengar, amat banyak partai yang melamarnya. Namun Daeng Litere bertutur: “ Cukuplah bagiku untuk menjadi pegiat literasi saja, inilah caraku berkontribusi untuk tanah airku. Dan biarlah penaku yang bicara, menuliskan kata, sebagai senjata untuk menorehkan segala yang bisa kutulis, tentang tanah yang begitu kucintai ini.”
Memang, kecintaan Daeng Litere pada tanah kelahirannya, sungguh teramat dalam. Sekali waktu kutanyakan padanya, “ Daeng Litere, mengapa cintamu pada tanah Bantaeng ini begitu dalam? “
Ia pun bersabda bak seorang bijak bestari, “ tanah ini, Bantaeng wajib untuk kucintai. Laut, gunung, lembah, hamparan sawah, perkebunan semuanya ada. Semua jenis tanaman ada di sini. Banyak ragam jenis hasil laut mudah kutemui. Udara segar kuhirup dengan suntuk. Raga negeriku ini begitu molek untuk disetubuhi.”
“ Orang-orangnya begitu ramah, multi etnik. Sejarahnya sudah amat tua, masih lebih tua dari kota Makassar, maka julukan Butta Toa menjadi pantas untuknya. Bantaeng adalah sepetak surga di bagian selatan pulau Sulawesi. Bagiku, Butta Toa-Bantaeng adalah miniatur Nusantara, Indonesia. Bhineka Tunggal Ika telah tersemaikan di tanah ini. Dengan begitu, wajarlah manakala pelosok Nusantara yang lain bercermin ke Bantaeng.”
Sebegitu fanatikkah Daeng Litere pada tanah kelahirannya? Aku menohoknya agar jangan terlalu membanggakannya. Namun Daeng Litere malah makin bergairah meluapkan kecintaannya di hadapanku. Di raihnya handpone miliknya, lalu aku disuruh misscall. Aku pun melakukannya, lalu bunyilah handpone itu, memperdengarkan sebuah tembang lawas dari Koes Plus, Kolam Susu judulnya. Lalu Daeng Litere menatapku sambil berkata :“ Kolam Susu yang dimaksud dalam lagu itu adalah Bantaeng ini, tanah yang kita pijaki bersama.”
Tembang lawas Koes Plus ini kunikmati bersama Daeng Litere, sambil meresapi bait-baitnya.

Kolam Susu

Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
(Koes Plus)


Dari nada panggil handpone Daeng Litere, yang memperdengarkan lagunya Koes Plus, barulah kutahu pula, bahwa ia seorang penggemar Koes Plus. Sebuah kelompok band legendaris tanah air. Dalam banyak kesempatan kemudian, kebersamaanku selalu diiringi  dengan tembang-tembang lawas Koes Plus yang ratusan jumlahnya. Bagiku, sosok Daeng Litere lumayan komplit.  Simpulan sementaraku, “dia seorang pegiat literasi sekaligus fans Koes Plus. Dahsyat orangnya, aku mengaguminya” ucapku membatin. 

WARISAN


Kini, usia sahaya sudah melata pada hitungan setengah abad. Raga mulai keok. Beberapa organ tubuh mulai menyerah pada ketuaan. Pikiran makin meluap-luap ambisinya. Jiwa seolah mencari jalan abadinya. Melihat keadaan itu, bertuturlah Sang Guru,"saat tepat bincangkan warisan.Apa yang bakal dikau wariskan pada anak keturunanmu? Jika bicara harta benda, wariskanlah secukupnya. Sebab, bila berlebihan, hanya pertengkaranlah yang sesungguhnya terwariskan. Kecakapan hidup jauh lebih penting untuk diwariskan". Pun, Guru Han nimbrung rasa, "itu barulah dikau mewariskan sesuatu pada keturunan biologismu. Lalu bagaimana dengan anak-anak ideologismu? Wariskanlah kepada mereka pikiran-pikiran besar tentang masa depan negerimu. Biarlah bertengkar sejadi-jadinya. Kualitas pikiran, bisa diukur, tatkala generasi berikutnu masih mempertengkarkannya, tepatnya, mempercakapkannya".

Kamis, 02 November 2017

JARAK

Sesosok karib bertandang ke serambi pikiran sahaya. Pun, bertanyalah ia tentang seberapa dekat pada orang penting di negeri, hubungan dengan pejabat. Soalnya, ada keperluan memuluskan kepentingannya. Tak terduga, sebentuk interupsi menyata. Menyahutlah Guru Han, "kepada seluruh makhluk ciptaan, wajiblah dikau berjarak. Sebab, hanya dalam jaraklah pertayaan-pertanyaan dapa muncul". Umpan tutur ini, langsung disambar ujar oleh Sang Guru, "pada pencipta, jangan coba=coba membuat jarak. Karena, cuma jawaban yang mesti dipersembahkan pada-Nya. Bukan pertanyaan yang ditodongkan. Seberapa jauh jarak dikau bentangkan, sebegitu dekat pula Ia menjangkaumu. Bukankah Ia, tak pernah secuil pun berjarak denganmu?"

Rabu, 01 November 2017

MODAL (2)

Tetiba saja, ajang percakapan menjadi arena menguar satir. Setelah tak mengiyakan tawaran kisanak, yang ingin mensurvei sahaya sebagai calon kepala daerah, berdepan-depanlah dengan Guru Han, meminta penjelasan tentang berlaga dalam politik. Maka, tutur pun meluncur, "modal sosial adalah kerja-kerja sosial yang kemudian dicitrakan sebagai kerja politik. Penampakannya harus diumbar sedemikian benderangnya. Bila perlu, tambahlah pencitraan, karena iklim politik, sebentuk perlagaan citra". Dan, masalah modal uang, biarlah Sang Guru yang menabalkan, bahwa, "uang diperlukan untuk menyewa kendaraan politik. Pun, sewa-sewa lainnya. Jangan lupa pula, sewa buat tukang doa dan zikir. Bukankah di era kiwari ini, ritus keagamaan telah ikut menjadi industri politik?".

Selasa, 31 Oktober 2017

MODAL (1)


Seorang kisanak mengajak sahaya melibatkan diri dalam perhelatan politik. Maksudnya, ikut menjejaki peluang menjadi kepala daerah. Biaya surveinya sudah disiapkan olehnya. Sebelum mengiya, tetiba saja Sang Guru, berfatwa duluan, "bagaimana mungkin dikau terjaring survei, manakala sepak terjang hidupmu selalu memilih jalan sunyi? Survei hanya cocok bagi insan yang memang suka memajang dirinya, sekaligus mempertontonkan apa yang telah dibikinnya". Karenanya, Guru Han tak ketinggalan menimpali tutur, "pun, dikau mesti menyiapkan modal perlagaan politik persaingan. Berupa, modal sosial dan modal uang. Tanpa keduanya, tiada guna tampangmu ikut nangkring di lembaga survei".