Kamis, 27 Februari 2014

ADANYA



mencinta
seadanya

bersahaja
tiada bunga

sederhana
tanpa kata

hanya tatap
senyatanya

tunduk malu
sebentuknya

Selasa, 25 Februari 2014

JALAN-TIRAKAT


Di siang hari yang mendung, terlibat perbincangan dengan seorang kawan, yang rupanya masalahnya cukup berat, seberat masalah yang kuhadapi. Suntuk pada tukar menukar permasalahan, Sang Guru ikut nimbrung mencecar sepenggal hikmah: " Han..., begitulah cara Tuhan mendidik hambanya, diberinya masalah bertubi-tubi agar dijalani. Maka jadikanlah ia sebagai jalan-tirakat. Merugilah dikau berlipat-lipat jika sudah tertimbun masalah dan tidak menjadikannya sebagai jalan keruhanian. Masalahmu sama dengan jalan ruhanimu."

Senin, 24 Februari 2014

LEMBUT-KERAS



Seorang kawanku gelisah, gundah gulana akibat kaget melihat kawannya diselimuti amarah yang bertubi-tubi. Ia mencoba mengalah, memohon maaf, malah amarah itu makin mengencang padanya. Daku ikut terhenyak, namun Sang Guru menghibur dengan tuturnya: " Han..., kelembutan itulah sesungguhnya yang kuat, kekerasan pada hakekatnya adalah kelemahan. Kelembutan bermuara pada kelenturan, kekerasan berujung pada kekakuan, dan kekakuan merupakan anak turunan dari keakuan."

Rabu, 19 Februari 2014

47



20 februari 1967
pertama kali berteriak akan alam baru
20 februari 2014
berkali-kali teriak akan ketuaan alam

jatahku melata di buana berkurang lagi
masa tak mau berkompromi
waktu melaju tak sanggup menghalaunya
perjalanan mesti menggelinding

matahariku sudah tergelincir teriknya melemah
bulanku telah redup buram cahayanya
bintangku tak berkedip lagi kabur kilaunya

matabatinku makin peka membaca alamatulhayat
matahatiku makin benderang meraba cakrawala
matapikirku makin terang memikirkan semesta
matapenaku makin tajam menuliskan jagad

menyongsong kilas balik
pada arus balik perjalanan

di sisa usia belum ada yang pasti
barulah keabadian yang pasti

jalan pulang mesti dijajal
kampung purba menanti
perjanjian abadi akan ditagih
adakah daku punya alat bayar?

Senin, 17 Februari 2014

BAYI



Pagi jelang siang, aku menghadiri hajatan kerabat, yang lagi mengakikah anaknya. Pembacaan kitab Barzanji digelar, shalawat pada kanjeng Nabi dipanjatkan, namanya pun diproklamirkan. Saat tiba giliranku menggunting rambutnya, matabatinku bergelora, tenggelam dalam pusaran kesucian si bayi. Saat itulah Sang Guru menggedor kesadaranku dengan ujarnya: " Han..., rabalah bayi suci itu. Ia hanya butuh susu guna menyambung hidupnya. Kebutuhannya begitu sedikit, namun kesucian ruhaninya tak berbatas, manifestasi Ilahi menyata padanya. Tirulah ia sekaligus belajarlah padanya. Sedikitkan kebutuhanmu, itulah tirakah mendekati kesucian."

Sabtu, 15 Februari 2014

BALIHO-CALEG



Sesekali angin agak kencang meniup, menumbangkan lalu menerbangkan baliho para caleg. Aku sempat berfikir berapa banyak biaya yang telah dimakan oleh angin, dan Sang Gurupun menyindir: " Han..., beritahu para caleg itu, jika komitmennya sebatas baliho, maka komitmen itu akan terbang bersama angin. Berkomitmenlah pada pikiran-hati-nurani, sebab angin tidak akan menumbangkannya. Setiap orang yang pijakannya menghujam bumi, tidaklah mudah diterbangkan oleh angin."

Rabu, 12 Februari 2014

CINTA



Di usia pernikahan yang ke-21

Cinta yang kupahat di atas gemawan
masih saja menyiramkan butiran kristal

menumbuhkan pucuk
memekarkan kuncup

mendinginkan panas
menggairahkan hasrat

tungku cinta akan tetap kutiup
hingga tarikan nafas terakhir sekalipun

biar asap meliuk mengayakan awan
menggemawankan pahatan cintaku

Selasa, 11 Februari 2014

SIKLUS



Di pekan pertama dan kedua bulan februari 2014 ini, warta dari kawan, karib dan kerabat memberondong jiwaku. Ada yang melahirkan, ada yang ingin kawin dan ada pula yang meninggal. Membatinkan semuanya, tenggelam dalam permenungan akan kelahiran-perkawinan-kematian, Sang Guru pun menyingkapkan perkara ini lewat ujarnya: " Han..., ada tiga penanda penting dalam siklus kemanusiaan, menjadi manusia. Saat lahir, ketika kawin dan sewaktu mati. Semuanya adalah tata cara semesta merawat kesinambungan hidup melata di atasnya. Sulit menerangkan darimana mulai dan ujung soalnya. Namun bagi yang telah menjadi manusia, tidaklah penting memulai darimana dan berakhir pada apa. Bagi manusia yang jiwanya paripurna, pangkal ujung kehidupan bukanlah soal. sebab, lahir-kawin-mati, semuanya sama saja: Bahagia."

Senin, 10 Februari 2014

DUNIA



Duduk menyendiri di pelataran rumah panggung warisan tetua, terlintas bermacam ragam soal-soal yang melilit jalan-jalan kehidupan. Sang Guru pun amat sangat paham akan kegalauanku saat ini, maka ia pun menyeru: " Han..., dunia ini memang gila. Kalau bukan dikau yang tergila-gila padanya, maka dunia akan tergila-gila padamu, mengejarmu pada ambang tak berbatas, menggodamu lalu menerungkumu. Jatuhkan talak padanya, moga dikau merdeka dari belenggunya."

Selasa, 04 Februari 2014

RAHMAT ZAINAL: KEMBARA PIKIRAN



Adalah Rahmat Zainal, kawanku yang satu ini memang unik, dan itu pula yang sering kudengar dari kawan-kawan lainnya. Mengapa unik? Sebab, menurut banyak kawan, khususnya yang segenerasi dengannya, ia amat sulit dimengerti jalan pikirannya. Melompat ke sana ke mari, ibarat camar yang senantiasa bertengger di pucuk gelombang.

Saya bangga dan bahagia bisa mengenalnya, sebab darinyalah banyak belajar tentang hal-hal yang rumit, khususnya dalam banyak tema-tema pikiran yang berseliweran di alamatulhayat, jagat raya pengetahuan. Begitu saya menemukan beberapa tema-tema penting pemikiran yang sulit kumengerti, selalu saja salah seorang yang teringat adalah Rahmat Zainal.

Namun beberapa waktu tak bersua dengannya, mungkin kisaran dua bulan tak bersilat pikiran dengannya. Tiba-tiba kemarin, Selasa 4 Februari 2014, ia menelponku, dan menanyakan di mana posisiku. Dan saya pun menyahut, lagi di rumah, di Paradigma Ilmu. Ia pun berjanji untuk datang menjengukku. Kerinduan akan dengannya, akan segera terlunasi, ujarku membatin.

Setelah shalat Ashar, ia pun nongol dan seperti biasa, langsung ke belakang, ke pojok rumahku, sepetak surgaku, di ruang belajar-baca kediamanku. Saya menatapnya, terlihat masih seperti kemarin-kemarin unik dan agak liar hasratnya untuk segera berbincang. Dan persilatan pikiran pun mulai ditabuh gendrangnya.

Terlebih dahulu ia menanyakan keadaanku, yang amat sulit ditemui. Beda dengan waktu-waktu yang lalu. Dan saya pun nyatakan, bahwa sama sulitnya saya menemukanmu. Lalu saya pun mulai melakukan apologia, tentang sulitnya saya ditemui, karena seabrek kesibukan, khususnya di akhir pekan.

Saya bilang padanya, bahwa sudah hampir dua bulan terakhir ini, aktifitasku lebih banyak tercurah di Bantaeng, kampung halamanku. Aktitasku di Bantaeng makin meninggi seiring dengan makin kuatnya hasrat warga untuk semakin ingin menenggelamkan diri dalam pusaran gerakan literasi. Ditambah lagi dengan adanya program Kelas Inspirasi Bantaeng, yang oleh kawan-kawanku di Bantaeng mengamanahkan kepadaku sebagai koordinator.

Sebagai misal, tuturku, pekan yang lalu, Sabtu-Ahad, 1-2 Februari 2014, jadwalku amat padat. Jam 09.00 pagi berangkat ke Bantaeng, tiba siang 12.30. Istirahat sejenak, lanjut jam 14.00 mengisi acara dialog di FMB, hingga Ashar. Setelah itu, menjadi pembicara di acara Maulid Nabi di KOSKAR PPB, hingga malam mampir diskusi dengan panitianya, lalu pulang ke kota, tapi sebelumnya singgah dulu di kantor desa Rappoa, menemui Iwan Darfin, selaku kepala desa, agar beliau dengan sukarela terlibat sebagai relawan pengajar Kelas Inspirasi Bantaeng, dan alhamdulillah oke. Malam itu lanjut ke Boetta Ilmoe, ngobrol dengan kawan-kawan, lanjut nonton Liga Inggris dan tidur.

Esok harinya, hari ahad, jam 09.00, saya meluncur ke Tombolo guna mengisi perbincangan di Pesantren Literasi yang dilaksanakan oleh Rumah Baca Nusantara, hingga siang. Lanjut ziarah kubur di makam orang tuaku, lalu pulang, balik ke Boetta Ilmoe, sebab jam 14.00 siang harus rapat dengan relawan panitia Kelas Inspirasi Bantaeng, hingga Maghrib. Malamnya, ngobrol lepas di Boetta Ilmoe, dan subuh balik ke Makassar.

Saya membatin, sambil meraba rasanya, kelihatannya ia agak terpukau dengan ceritaku. Dan sebelum rasa pukaunya habis, pun saya paparkan lagi rencana akhir pekanku kali ini, Sabtu Ahad 8-9 Februari 2014. Bahwa Jum'at sore sudah berangkat ke Bantaeng. Pasalnya, hari Sabtu 8 Februari 2014, saya diminta untuk ceramah Maulid Nabi di sebuah Yayasan-Sekolah di Desa Bonto Tappalang, daerah pinggiran, yang letaknya sudah hampir berbatasan dengan Gowa. Dan itu berarti hingga sore, sebab kunjungan kali ini, baru pertama kalinya, dan ada keinginan untuk berkomitmen dengan sekolah itu untuk mengadvokasi tradisi literasinya.

Malam minggunya, ada rencana menarik bersama Dion dan anak-anak Komplen Bantaeng untuk ngumpul, nyanyi bareng-bareng, nge-Koes, sebagai cara untuk mengenang Murry Koes Plus yang wafat 1 Februari lalu. Esoknya, Ahad 9 Februari 2014, mulai jam 08.00 hingga 12.30 acara pelatihan literasi, Quantum Training bersama pelajar-pelajar SMA di Boetta Ilmoe, lalu jam 14.00 lanjut rapat relawan panitia Kelas Inspirasi Bantaeng. Rencana senin subuh balik ke Makassar. Makin terpukaulah Rahmat Zainal dengan ceritaku.

Lalu aku jedah bicara, maka ia pun segera menyambar waktu, untuk segera mengajukan jurus-jurus pikirannya, lewat silat teoritisnya yang bakal saya nikmati. Sebab seperti biasanya, selalu saja saya terbawa arus, ikut berselancar pada kedalaman lautan pengetahuannya. Persilatan pikiran pun makin seru, kembara pikirannya sulit saya hentikan. Banyak hal-hal baru merinsek pikiranku, menyaru tapak-tapak intelektualitasku. Sulit kutuliskan di sini bagian-bagian persilatan pikiran itu, namun satu kesimpulan yang ingin kudedahkan, bahwa kawanku yang satu ini tetaplah unik, kembara pikirannya belum berakhir, sesekali hanya bertengger di lakon-lakon padepokan pikiran yang tersebar di Makassar.

Saya baru sadar, bahwa kawanku yang satu ini, kembara pikirannya tak berbatas, hingga kampus-kampus pun tak kuasa memenjarakannya. Bayangkanlah, Rahmat Zainal telah tiga kali pindah kampus. Pertama di FISIP Unhas, lalu ke Bahasa UNM dan sekarang sementara berabuh di Aqidah Filsafat UIN Alauddin Makassar. Sekali lagi pindah kampus, hanyalah Universitas Jagat Raya yang bisa menampungnya.

Tak terasa, obrolanku dengannya, berlangsung hingga kurang jam 20.00 malam. Ia pamit, dengan segenap luka-luka dipikirannya, dan saya pun berdiam di rumahku, tentu dengan luka-luka pikiran yang sama. Ia memilih tetap mengembara, menelusuri lorong-lorong pengetahuan, untuk mengobati luka-luka pikirannya. Saya yakin dan percaya, luka-luka pikirannya akan segera sembuh, sebab sebelum kepulangannya, ia telah membawa beberapa buku resep obat yang bakal ia ramu, dan setelah itu ia akan berbagi denganku, hasil temuan ramuan resep pikiran itu. Di masa berikutnya, Rahmat Zainal, akan tetap kutunggu, guna bersilat pikiran, agar ada lagi luka-luka pkiran yang teraktuil. Luka di pikiran adalah bencana, tapi luka pikiran adalah rahmat dari-NYa, yang dimanifestasikan lewat Rahmat Zainal. 

Senin, 03 Februari 2014

CAPEK

Dua orang kawanku, diam-diam mengobrolkan kesibukanku yang seabrek akhir-akhir ini. Salah seorangnya merasa capek melihat aktifitasku, lalu yang seorang lagi menyampaikannya padaku, tentang apa yang dirasakan kawannya itu. Saya terhenyak, tapi Sang Guru segera menuntunku pada sepucuk tutur: " Han..., capek itu hanya melanda orang yang diam, berdiam diri tak bergerak. Orang yang bergerak tidaklah mungkin merasakan capek, maka teruslah bergerak. Sebab, sesungguhnya hidup itu eksis manakala ada pergerakan. Jika ingin hidup, bergeraklah. Kalau diam berarti mati."