Minggu, 15 Desember 2013

TITISAN-CINTA-LELUHUR


hari itu,
aku menyksikan karibku
tersenyum simpul memburai
terisak lepas mendesah

siang itu,
karibku berbinar matanya
kelopaknya basah
butiran  kristal melompat

dipandangnya buah pikirnya
dirabanya gejolak batinnya
dipeluknya bunga-bunga ruhaninya
yang kini telah mewujud

saat itu,
anak ruhaninya telah lahir
didekapnya dengan sahdu
bahagia menderu-deru

diberinya nama: Titisan
berayahkan: Cinta
bermarga: Leluhur
Titisan Cinta Leluhur

kerabat beriang
para dayang sibuk mengusung
sebuah rencana perhelatan
untuk aqiqah sang anak ruhani  

mari mendaras sang anak
mendupai di kedalaman jiwa
bersejajar di perhelatan pikir
berbahagia dalam rapatan duduksila

Sabtu, 14 Desember 2013

BAHAGIA



Sang Guru menggandeng tanganku, untuk mengunjungi seorang karib yang harta-bendanya ludes dilalap si jago merah. Ia berbisik : " Han..., pada karibmu inilah dikau bisa bercermin, ketika ia disapa oleh musibah, masihkah ia tersenyum? Jikalau ia tersenyum, itulah alamat yang paling nyata dari sosok yang berbahagia." Dan karibku ini tetap tersenyum, seperti sediakala di kala jumpa dengannya.

Kamis, 12 Desember 2013

KAIL



Pada Jum'at barakah nan gerimis menyertai, Sang Guru mengendap-ngendap dalam pikiranku, lalu daku membatin ketika ia menyabdakan narasi: " Han..., wariskanlah pada anak turunanmu dan juga negerimu, tentang bagaimana cara hidup. Sebab dengan begitu, ibaratnya dikau telah memberikan bekal berupa kail, yang bisa digunakan untuk memancing apa saja, di mana saja dan kapan saja. Kail kehidupan itu jauh lebih penting dari segala yang bisa dikail."

Rabu, 11 Desember 2013

KRITIK (2)



Seorang kawan menyampaikan kegundahannya padaku, akan seorang pemimpinnya yang sudah mulai dilanda penyakit anti kritik, pengiritik selalu dianggap sebagai musuhnya. Sang Guru yang ikut menyimak gundah gulana itu, ia pun bergumam lalu menoleh kepadaku sembari bergetar suaranya ia bertutur: "Han..., beritahulah pemimpinmu itu, bahwa anti kritik sama dengan menggali kuburan keterhampasan pada ketidakharmonisan hidup. Kritik adalah sejenis jembatan akan harmonisnya hidup bermasyarakat."

KRITIK (1)


Kali ini Sang Guru membelaku, ketika di sebuah perhelatan pikiran saya melayangkan kritik dan orang sekitar cukup abai akan lakonku itu, maka ia pun menepuk pundakku sambil berbisik: "Han..., nyatakan kesetianmu dengan cara mengeritiknya, bukan dengan cara menjilatnya. Dengan mengeritik, sama halnya dikau telah menunjukkan adanya ia sebagai manusia yang memang pada ghalibnya bersemayam kealfaan akan dirinya sendiri."

Jumat, 06 Desember 2013

BANTAENG



Butta Toa julukanmu
di masa silam
adamu sudah 759 tahun
tapi kemanakah
kami melacak ketuaanmu?
sebagai alamat kematangan jiwa?

The New Bantaeng jargonmu
Bantaeng baru sloganmu
di waktu kiwari
banyak yang baru
tapi apa guna kemasan baru
jikalau insan kerdil yang melata di atasnya?

MANDELA



Tata Mandela
lukamu cermin kami
lakumu jalan kami

Sang Rolihlahla
akumu teladan di bumi
adamu berkah bagi semesta

Kamis, 28 November 2013

SEADANYA

Oh...duhai Sang Guru, indah nian sabdamu sore ini, seiring senja yang damai, dikau menyatakannya: " Han..., mencintalah dengan apa adanya, tanpa embel-embel. Ibarat minum kopi, teguiklah ia tanpa gula atau susu, biar pahitnya berasa, aga rasa pahitnya menyata apa adanya. seadanya. Kopi adanya pada pahitnya. Cintailah sesuatu dengan seadanya saja. Cinta adanya pada seadanya."

Jumat, 15 November 2013

DEGIL



handai toulan menyusup ke mukimku
ia lalu berujar

"pagi ini terasa terasa tenang
angin malas berhembus
burung enggan berkicau
awan cuma memendung
butiran embun masih nampak
pertanda apakah ini?"

batinku dililiti rasa tenang
terkenang akan sabda
jiwa yang tenang
mulai menggoda

semua menahan diri
angin burung awan embun
tenang damai
cakrawala tersenyum

namun ada segelintir insan
yang tak kuasa menahan diri
mereka marah
menyakiti kaum yang beda darinya

menghina perempuanya lebih rendah dari pelacur
menjambak jilbabnya
mementung kepala kaum lakinya
membusur badan kaum mudanya

mereka perampok di jalan Tuhan
perompak di perhelatan ruhani
pencuri ayat suci
pembajak kebenaran

lebih mulialah angin burung awan embun
sebab mampu menahan diri
menjamukan ketenangan
wujud ilahi di alam semesta

mereka adalah kaum degil
keras kepala
kepala batu
batu mati

mereka memiuh sabda ilahi
sesempit alam pikirnya
segersang ruhaninya
sedangkal jiwanya

mereka penyamun tradisi
mereka pengacau peradaban

Kamis, 14 November 2013

RAMAH-SENYUM



para pemburu cinta
menyambangi negeriku

para pencari kearifan
singgah di mukimku

hanya sebongkah keramahan yang bisa kuberi
cuma seutas senyum yang kupersembahkan

keramahan bak seuntai kembang
senyuman ibarat senandung tembang

kembang bunga mekar di taman hati
tembang senandung rindu menggelora di sudut jiwa

Rabu, 06 November 2013

PERGI-PULANG


Cukup lama Sang Guru jedah memberikan pencerahannya, lalu kali ini ia hadir dengan sabda: "Han..., jikalau engkau pergi mencari tujuanmu, dan dikau tersesat karenanya, itu tidaklah mengkhawatirkan. Sebab, resiko dari mencari salah satunya adalah tersesat. Tidak ada yang lebih mencemaskan, ketika tidak menemukan jalan pulang, benar-benar itulah kenistaan. Carilah jalan pulangmu."

Selasa, 05 November 2013

HIJRAH



Tahun baru 1435 H menyapa
dengan dentuman gejolak diri
mengajak berkemas
mempersiapkan diri untuk pulang kampung

kampung halaman yang dulu ditinggal pergi
perlahan merindu padanya
lamat-lamat melambai memanggil
jalan pulang terbentang

hijrah dulu bermaksud meninggalkan kampung
hijrah kini bermakna pulang kampung
gejolak purba menantang kembali
perjanjian primordial menagih tunainya

Wahai diri yang azali
bingkisan nomena
bebaskan diri dari bungkusan fenomena
yang azalilah dapat berpulang ke yang abadi

hijrah menuju keabadian
berbekal tingkah
yang mewujud pada amal
amallah yang abadi

merintis jalan pulang
keharusan bagi setiap diri
itulah hakekat jihad
dalam hijrah terwujud jihad

Rabu, 09 Oktober 2013

KEJAR



Siang tadi saya bercakap dengan seorang kawan, lalu Sang Guru menyela di antara percakapan dengan selorohnya: " Han..., sudahkah dikau mampu membedakan antara bisnis spiritual fan spiritual bisnis? Bukankah sudah lama pula dikau mengejar uang dan ternyata yang dikau peroleh belumlah seperti harapanmu. Berhentilah dikau mengejar uang, biarlah uang yang akan mengejarmu."

Senin, 07 Oktober 2013

KEABADIAN



Ini hanyalah amsal
sebuah permisalan tentang seekor burung
yang menempuh suluknya

Pada dinihari
dirinya terlahir di ujung malam
subuh menjemputnya dengan tetesan embun

Pada pagihari
dirinya mulai terbang tanpa lelah menaklukkan cakrawala
ujung pagi melepasnya dengan terik yang membakar

Pada sianghari
dirinya mulai berkemas untuk pulang
singgah sejenak di kelelahan surya

Pada sorehari
dirinya bertengger di senja yang ramah
menanti magrib yang datang menyongsong

Pada malamhari
dirinya menemukan istirahatnya
berdamai dengan gulita malam

Jelang dinihari
dirinya harus lahir kembali
namun rasa enggan menahannya

gulita malam telah menawannya
damainya malam telah menerungkunya
keabadian telah bertemu dengannya

MASA-SENJA



Senja memang selalu menarik
bagi para pelantun cinta
penyair, penembang dan pesuluk

semenarik usia yang makin bijak
bajik dalam kebijakan
matang di rahim kehidupan

menanti di persimpangan
pergantian siang malam
abadi di masa berikut

pada keabadian yang pasti
siang malam bukan lagi masa
kekekalanlah masanya

Jumat, 04 Oktober 2013

RUSUH

Melihat di sekeliling dalam sebuah ruang perjamuan jiwa, daku begitu banyak menyaksikan kegelisahan menyeruak ke permukaan, lalu Sang Guru menenangkanku, dengan kalimat santun: " Han..., hati yang rusuh menuai kegelapan. Rusuh hati akan berbunga marah dan berbuah amuk. Jikalau rusuh hatimu, tundalah sejenak. Agar bunganya tidak mekar dan buahnya pun jadi hampa."

Rabu, 02 Oktober 2013

TERGESA


Kali ini Sang Guru membilangkan satu perkara yang amat menyentak kesadaranku, sabdanya: " Han..., sebab usiamu telah dijatah, maka perlambatlah laju hidupmu, agar kemelataanmu di atas bumi lebih lama adanya. Usahlah tergesa-gesa, sebab ketergesahan sedungguhnya mempercepat habisnya jatah usiamu."

Senin, 23 September 2013

MANUSIA



Merasa prihatin akan kegamanganku pada cakrawala kehidupan, Sang Guru berempati dengan ujar-ujarnya: " Han..., di masa kiwari ini, kemanusiaan dan kebinatangan amat samar perbedaannya pada dirimu. Kamu itu manusia, maka hiduplah layaknya sebagai manusia dan matilah dengan kemanusiaanmu. Dan janganlah hidup layaknya binatang, apalagi mati seperti binatang, mati dalam kebinatangan."

Minggu, 22 September 2013

PERADABAN


Sang Guru mengingatkan satu hal akan pentingnya masa depan ditilik, sabdanya padaku: " Han..., bekerjalah demi tegaknya peradaban. Kerja-kerja peradaban tidaklah selalu menuntut kemegahan. Kerja sederhana sekalipun, yang penting berdimensi peradaban. Mendorong semangat literasi adalah pintu masuk dari kerja-kerja peradaban. Amat janggal bicara peradaban bila tanpa tradisi literasi di dalamnya. Kerja-kerja peradaban adalah kerja-kerja kenabian."

Kamis, 19 September 2013

SASAU



Pada Jum'at mubarakah seperti hari ini, biasanya Sang Guru menyambangiku dan tak henti-hentinya menohok dengan wejangan-wejangan, dan beginilah tuturannya: " Han..., di hadapan orang yang menyasau, para penyasau sering berucap tentang hal yang meninabobokkan pikiranmu, menggalaukan hatimu. Tapi, cobalah dengar apa yang tak terucap darinya. Hal itu akan mencegahmu dari tipu daya sasauannya.

Selasa, 17 September 2013

BUKU



Untuk kesekian kalinya Sang Guru bersamaku menyambangi toko buku, Ia pun menggumamkan tutur: " Han..., apapun kepentinganmu kala melata di atas bumi ini, nyatakan saja dengan buku. Kehidupan dengan segala pernak-perniknya akan damai bersama buku. Rindukanlah damainya kehidupan lewat buku-bukumu."

TEMBANG


Anak-anak Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan menembang tentang diri-alam-hidup-Tuhan

Pada siang jelang senja di rumah pengetahuan
anak-anak masa depan
menembangkan nyanyi
tentang membaca diri

Pada garasi yang sederhana di rumah pengetahuan
anak-anak muda belia
menyanyikan tembang
tentang membaca alam

Membaca diri menulis lewat laku
membaca alam menulis lewat ibadah

Merekalah anak kandung peradaban
yang mereka rintis sendiri
sebab mereka mulai tidak percaya
pada pijakan kekiniannya

Bagi mereka
hidup adalah membaca
hidup adalah menulis
diri-alam-laku-ibadah

Dalam laku kaku bisu
mereka membaca
dalam ruang waktu cinta
mereka menulis

Mereka membaca
mereka menulis
membaca-menulis
agar layak menuju-Nya

Senin, 16 September 2013

TENANG-SENANG


Sang Guru menggandengku ke sebuah pusara yang pusaran mistikalnya begitu menyedot jiwaku, lalu Ia berbisik pada kedirianku: " Han..., tuntunlah ketenangan di dalam hatimu, tuntutlah keriangan di luar kisaran dirimu. Ketenangan bermakna kedalaman, kesenangan berarti keriakan. Pada dasar laut yang dalam begitu tenang, namun di permukaan gelora ombak tetap menggulung."

NADA



Butuh bongkahan dana?
tidak, 
jiwaku cuma butuh nada

Butuh oto dyna?
tidak,
tubuhku hanya meninginkan Diana 

Diana yang menembangkan nada
nada cinta kehidupan
nada kehidupan cinta

Kamis, 12 September 2013

KRISTAL


Aku memang keliru
telah menitipkan harapan
pada embun yang ketika pagi menjelang
menguap disapu mentari

Aku masih punya pelipur lara
pada daun talas yang setia
menampung embun
di hamparan liukannya

Daun talas merahimi embun
memaksa mentari mengeraskannya
menjadi butiran berkilau
mewujud biji kristal

Biji kristal kaukah itu
yang mewujud menjadi "kulau laninring"?
yang diburu para pecinta kebeningan?
di keheningan?

Senin, 09 September 2013

JABATAN



Seorang kawan berkeluh kesah padaku, tentang perubahan prilaku kawannya yang baru saja mendapatkan jabatan, lalu Sang Guru menuntunku pada suatu renungan :" Han..., pahamilah bahwa jabatan itu sesungguhnya adalah amanah, maklumilah jikalau ada yang berubah karena jabatan baru itu. Sebab, pada dasarnya setiap yang baru pada diri seseorang selalu dipertunjukkannya, karena ia butuh pengakuan akan kepemilikan jabatan. Bukankah anak kecil saat punya mainan baru, selalu pula mempertunjukkannya?"

Selasa, 03 September 2013

KOTAKU



Pohon-pohon kotaku berdarah
menjerit meneteskan airmata

terbata-bata menghalau terik
buat pejalan yang dirampok trotoarnya

kali ini daku ingin bertanya
gerangan apa di otakmu
wahai para calon walikota
pohon kotaku dikau pakui?

kuingatkan pada dirimu
batang pohon kotaku
masih lebih gagah dari postermu

kali lain ingin pula ku gugat
gerangan apa di benakmu
wahai para pengendara
trotoarku dikau rampok?

kunyatakan padamu
kakiku butuh jalan
bukan kendaraan

Minggu, 01 September 2013

MASA

Dalam perjalanan pulang ke tempat mukim, di atas kendaraan umum, Sang Guru sayup-sayup menerangkan secuil khotbahnya: " Han..., Tuhanmu bersumpah pada masa tentang diri yang beruntung dan yang merugi. Lalu dikau diberinya jatah masa, maka berlombalah dengan masa untuk menyempurnakan diri. Sebab hanya kesempurnaan dirilah yang mampu beradaptasi di masa berikut, saat kehidupan berlanjut di keabadian."

Rabu, 28 Agustus 2013

KEMATIAN



Ikut mengantar jenazah seorang sahabat, teringat nasehat Sang Guru: " Han..., sesungguhnya kematian seseorang adalah puncak kesempurnaan perjalanannya. Dan itulah pintu kepastian yang mesti dilewati menuju keabadian. Keabadian merupakan cita fitrawi yang melekat pada setiap diri."

Senin, 26 Agustus 2013

BAIT



Syahwat menulisku mulai meliuk-liuk, namun Sang Guru menyentakku dengan tuturnya: " Han..., tulislah dalam bait-baitmu apa yang dikau jalani. Perjalananmu adalah bait-baitmu. Itu akan lebih menyata, lalu menyata dalam laku. Lakumu sama dengan baitmu."

Kamis, 22 Agustus 2013

UMUR



Termenung seorang diri, membatin perjalanan hidup, tiba-tiba saja Sang Guru menyingkapkan rahasia umur, tuturnya: " Han..., kala jatah umurmu makin berkurang, organ ragamu satu persatu memohon istirahat, maka penuhilah rengekannya. Dan seharusnya, jiwamu makin bergiat mencari labuhan ruhani, makin merindu pada keabadian. Sebab, demikianlah ujung perjalanan sang jiwa."

Rabu, 21 Agustus 2013

BERKAH



Dalam suatu bincang-bincang ringan tentang kalutnya kehidupan, Sang Guru menggurui : "Han..., tidaklah perlu takut akan ketiadaan reski. Tuhanmu tidak akan pernah mencabut rezki buat setiap hambanya, karena memang itulah janjinya. Namun berkah dari reski itu sewaktu-waktu Ia bisa ambil, amat bergantung pada perlakuanmu terhadap reski itu."

Kamis, 15 Agustus 2013

BENDERA


Sehari menjelang 17 Agustus 2013 ini, daku belum juga menaikkan bendera, laiknya khalayak yang telah menunaikannya, lalu Sang Guru pun menghibur dengan sabdanya: "Han..., bendera itu bukan untuk dikibarkan, tapi untuk dipeluk. Dekaplah benderamu itu, agar bisa menyelimutimu dari sesaunya anak negeri, yang telah merompak negerinya sendiri."

Rabu, 14 Agustus 2013

CAHAYA



Sang Guru memahamkan akan satu soal rumit, dalam tuturnya Ia mendaku: "Han..., biasakanlah melihat cahaya dalam kegelapan. Meski hanya sekunang, pun cahaya itu akan tetap saja terang-benderang dan menerangikan serta menerangi."

Senin, 12 Agustus 2013

SULUK



Pada tanah lapang di hari yang fitri, Sang Guru bersaksi lalu menuturkan kata bajik: "Han..., Ramadhan sebagai nama bulan boleh pergi meninggalkanmu, tetapi sebagai jalan kesucian tetaplah abadi buat sulukmu."

Jumat, 02 Agustus 2013

DIRI



Entah mengapa, Sang Guru tau bahwa daku gundah memikirkan nasib diri, yang ditelikung oleh hasrat duniawi, Ia menohokku dengan sabda: " Han..., lebih mudah menaklukkan yang di luar diri, meski sulit mengenalinya. Dan amat sulit menundukkan yang di dalam diri, meski mudah menemukannya. Yang di luar hasilnya menguatkan, sementara yang di dalam melemahkan diri. Dan itulah sungguh-sungguh wujud kekalahan."

Rabu, 31 Juli 2013

BUAH (2)

Saat duduk-duduk bercengkrama dengan Sang Guru di rerumputan taman, bersabdalah Ia padaku: " Han..., tanamlah biji buah kehidupan itu, rawat dan pupuklah, agar kelak menjadi pohon yang lebat, bakal menghasilkan buah yang matang. Berikutnya, bersiaplah sebab kematangan hidup akan menyungkupimu."

Minggu, 28 Juli 2013

BUAH

Dalam sebuah percakapan dengan Sang Guru, Ia menunjuk pada sebatang pohon, lalu berkata: " Han..., biarkanlah buah-buah itu matang di pohonnya, sebab dengan cara itulah, biji kehidupan akan ada pada dirinya. Tugasmu hanyalah menunggu kematangannya, lalu selanjutnya tanamlah biji itu, agar kehidupan menjalani takdirnya."

Sabtu, 20 Juli 2013

BATU

Kala diri berada pada kejayaan, Sang Guru hadir menohok dengan nasehatnya: " Han..., dikau mungkin selalu terjaga dari batu besar yang akan menindihmu, namun terkadang lalai pada batu kerikil yang akan menggelincirkanmu."

Rabu, 17 Juli 2013

KATA

Untuk sobat-sobatku
yang bersahut-sahutan lewat kata-kata puitis
yang amat cemas dengan kota mungilnya
yang dicintainya, sepenuh jiwa

daku teringat kembali
akan sebuah penegasan: "Kata adalah senjata"
Kata memang bisa jadi awal perjuangan
dan sekaligus sebagai akhir pertumpahan.

Bukankah yang akan tersingkir itu
adalah mereka yang terbuai kata-kata?
Mereka akan terbunuh oleh kata
sebab kata bisa membunuh

Maka sobat-sobatku
terjunlah ke ranah mereka
ejakan huruf demi huruf
dalam bingkai kata

Mereka butuh kata-kata
kata yang menghidupkan
yang mempertahankan harkat
yang memakai cangkul, rumput laut, biji jagung

untuk menyatakan hidupnya
di depan dozer
setia pada biji jagung
tidak dengan biji nikel

KOPI

Sekali waktu daku berada di kebun kopi milik keluarga, tiba-tiba saja Sang Guru membisikku: " Han..., minumlah kopi yang disuguhkan untukmu. Kopi memang pahit selakon takdirnya. Usahlah minum kopi tapi berharap rasa manis, karena banyak yang minum kopi lalu menunggu rasa manis. Memperalat kopi untuk menggapai rasa manis."

Jumat, 12 Juli 2013

WARTA (2)

Waspadalah kata Sang Guru, sambil menguntai kalimat: " Han..., warta baik membuat terlena, warta buruk membuat terpuruk. Usah pedulikan pada wartanya, tapi pada akibatnya. Terlena dalam puruk membuat derita, lalu terpuruk dalam lena menjadi bencana.

Kamis, 11 Juli 2013

CERMIN (3)

Bercermin di cermin buram
daku begitu gagah
Bercermin di cermin bening
daku begitu kusam

Cermin buram menerungku daku
begitu lama
setiap ada yang keliru di wajah daku
selalu saja cermin jadi biangnya

Beningnya cermin menawan sesaat
ibarat cahaya melesat
jejak tapaknya amat bertuah
telah menunjukkah wajah bopeng daku

LACUR-LAYAN

Di hari yang suci, bulan suci ini, Sang Guru mendedahkan wejangannya: " Han..., buatlah kesepakatan-kesepakatan dengan siapa saja, namun janganlah menunggu rasa puasnya atas dirimu. Tapi bersedialah menanti ketidakpuasannya. Memenuhi rasa puasnya semata, itulah pekerjaan melacur. Memerhatikan ketidakpuasannya adalah melayani."

Rabu, 10 Juli 2013

HUJAN

Seperti biasanya, hujan jatuh dari langit, tapi Sang Guru memintaku: " Han..., keluarlah dari rumah, agar nyanyian irama hujan yang jatuh ke bumi, sebagai persembahan semesta dapat dikau resapi suaranya. Bukankah atap rumah telah mengacau nyanyi-irama hujan?"

KEDAI (2)

Bermodalkan rasa mabuk akan pikiran-pikiran besar
Mengenakan baju berwarna-warni
Pengembaraan hidup di jalan musafir, daku mulai susuri
Berharap dapat singgah di kedai-kedai berikutnya. Agar mabuk lagi!

Daku singgah di kedai-kedai kehidupan
Cicipi semua menu sajiannya
Tidaklah terlena untuk mukim karena godaannya
Kedai kehidupan bisa menerungku daku
Perjalanan selanjutnya penuh pengharapan

Jikalaulah daku mampir di sebuah kedai
Nikmati  semua tawarannya
Mampir menjadi penanda akan jejak tapak daku
Maka berpaling darinya sekalipun
Tidaklah mengapa

Sesungguhnya yang tersisa dari musafir daku
Jejak tapaknya saja

KEDAI (1)


Kala kanak-kanak, daku hanya bisa memandang para insan bersenragurau di kedai kehidupan.

Ada yang makan, minum, buang air dan juga mabuk.
Sepertinya sebuah etape hidup yang menggoda hasrat ingin tahu.

Masa remaja pun tiba. Daku mulai sesekali menyambangi para insan di kedai. Makan, minum, buang air, bahkan mabuk pun sudah daku jamah.

Laiknya para penenggak tuak pemula, semua tuak kehidupan pun ingin daku cicipi. Hingga nyaris setiap saat daku mabuk. Mabuk dengan pikiran-pikiran besar tentang kehidupan di jagad dan kemelataan di persada.

Daku larut di pusaran kedai itu, memakan semua jenis santapan, menenggak berjenis-jenis tuak yang tersaji.

Dalam suasana mabuk, daku menemukan pikiran-pikiran besar menari, meliuk, mencumbu agar diperkenankan menjadi baju kehidupan.

Baju-baju kehidupan pun silih berganti daku kenakan, bergantung perhelatan apa yang akan kusambangi.

Tak terkecuali, ketika mau mabuk di kedai-kedai kehidupan.

DIAM (3)

Oh... Sang Guru, dikau sungguh menentramkan jiwaku dengan tuturmu: " Han..., biarkan saja orang mengambil kesimpulannya sendiri atas dirimu, sebab sesungguhnya itulah cermin diri buatmu. Dan tak usalah berambisi memberi penjelasan, sebab kalimat-kalimat penjelasmu tidak akan pernah benar-benar mewakili kedirianmu. Kesimpulannya dan penjelasanmu tidak lebih dari kalimat berbatas yang menerungku dirimu. Diamlah, perbantahan kalimat-kalimat itu akan mendudukkan soalnya tentang dirimu"

Senin, 08 Juli 2013

RAMADHAN (3)

Kali ini permintaan Sang Guru amat berat kutunaikan, ketika mendapukku dengan kalimat: " Han..., bertahun-tahun sudah lewat, dikau yang selalu memasuki bulan Ramadhan. Bisakah bulan ini, bulan Ramadhan yang memasukimu?"

DIAM (2)

Kala kegundahan akan banyaknya ketidakpastian warta, Sang Guru berbaik hati membisikkan anjurannya: " Han..., belajarlah pada air dalam menyelesaikan masalah. Saat keruh suasananya ia memilih mendiamkan diri, hingga jernihnya menampak. Demikian juga, ketika kekeruhan sekeliling menyelimutimu, pilihlah diam, biar kejernihan datang berbicara tentang apa adanya."

Rabu, 03 Juli 2013

WARTA

Pada dini hari, kala jelang subuh, Sang Guru mengurapi lewat babaran sabdanya: " Han..., bila ada warta baik-buruk yang datang menyapamu, maka pasanglah kedua telingamu untuk mendengarnya. Sebab, memang demikianlah tugasnya. Lalu kedepankan akalmu untuk menimbangnya. Dan janganlah abai pada kekuatan hatimu, tempat bertenggernya nurani, karena ia adalah palang pintu terakhir kebenaran."

Rabu, 26 Juni 2013

PENYAIR


Menyantap kata demi kata dari para penyair
tunai sudah rasa ingin tahuku
di mimbarnya para penyair daku mabuk
menenggak minuman ruhani

Dari cawan kata yang mereka sodorkan
anggur kehidupan menari di atasnya
lalu daku termangu
di bawah langit malam butiran embun menggelinding

Daku ajak buah hatiku sebagai penyaksi
bagaimana para penyair bersaksi
tentang kehidupan yang nircinta
butiran air mata dan butiran embun lebur

Buah hatiku...
tataplah para penyair itu
dengar dan simak kata-kata mereka
kata yang menerangkan masa

Selasa, 25 Juni 2013

SENYUM

Sang Guru cukup berhati-hati menyampaikan maksudnya padaku: " Han..., karena tampangmu tidak begitu menawan, maka perbanyaklah tersenyum. Moga rupawan wajahmu akibat senyum, terpampang meronah selebar permadani yang memukau semesta,"

Minggu, 23 Juni 2013

PILIHAN

Makin banyaknya alternatif dalam kehidupan, mengundang Sang Guru bernasehat: " Han..., terkadang orang yang tak punya pilihan, jauh lebih beruntung tinimbang orang yang terlalu banyak pilihan. Sebab, memilih di antara banyak pilihan butuh ilmu-keahlian, sementara bila tak punya pilihan cukup berpasrah saja,"

Rabu, 19 Juni 2013

JILAT

Dalam kegalauanku akan banyaknya sanjungan, Sang Guru terkekeh lalu berujar: "Han..., terjagalah dari cara orang yang memuji, mengangkat dan mengusungmu. Bentuknya mirip kesetiaan, tapi sesungguhnya mencelakakanmu, menjatuhkanmu. Itulah wujud jilat."

Jumat, 14 Juni 2013

SEMPURNA

Selalu saja daku mengejar kelebihan, tetapi selalu saja ada kekurangan yang mengiringi, lalu Sang Guru membujuk: "Han..., ketika karyamu penuh dengan kekurangan, namun saat yang sama ada kelebihannya, maka sesungguhnya di situlah letak kesempurnaannya sebagai buatanmu."

Kamis, 13 Juni 2013

TANGAN II

Kala daku mengelus-elus tanganku yang sudah mulai membaik, Sang Guru hadir menggurui: "Han..., tanganmu yang sudah mulai pulih itu, berkat doa dan harap dari banyak orang, sebagai salah satu sebabnya. Maka selayaknyalah dikau menggunakannya untuk mereka. Itulah kesempatan kedua yang diberikan kepadamu, sebab kesempatan pertama lebih banyak dikau gunakan untuk melayani dirimu sendiri."

Minggu, 09 Juni 2013

CERMIN II




Lagi-lagi Sang Guru menohokku kala berdepan dengan cermin, sabdanya: “Han..., jangan memilih cermin buram hanya karena dikau takut pada bopengmu yang akan terkuak. Bersihkan dulu cermin buram itu baru bercermin, moga beningnya menyapa kebeninganmu di keheningan.”

CERMIN



Ketika daku berdepan-depan di cermin, Sang Guru tersungging lalu menyindirku: "Han..., tampiklah cermin buram yang membuatmu tak berbentuk, lalu raihlah cermin bening, biar bentukmu menjadi lebih nyata, selayak apa adanya.

Sabtu, 08 Juni 2013

DIAM



Entah gerangan apa, hingga Sang Guru tiba-tiba menyelaku: "Han..., sempatkanlah berdiam laksana Ka'bah, biarlah lautan manusia mengitarimu. Agar semesta mengalamatkan titik pusatnya di adamu."

Kamis, 06 Juni 2013

Makan-Makam

Di subuh jelang pagi, Sang Guru datang menghangatkan pikiranku: "Han..., makanmu boleh sama, tapi tidak dengan makammu."

Mi'raj


Di hari Isra’ Mi’raj kali ini, Sang Guru menantangku dengan pilihan: “Han..., kala mi’raj, Nabi Muhammad menemui Tuhan guna memenuhi undangan-Nya. Silahkan memilih, lakon hidup yang dijalaninya sehingga Ia diundang, atau sekadar melakoni apa yang diperoleh dari pertemuan itu. Yang pertama berbicara tentang bekal perjalanan, yang kedua bertutur tentang cendramata kehidupan.”

Kamis, 09 Mei 2013

DOKTER-TUHAN

Pasca pembedahan tanganku yang bergeser dari sikunya, Sang Guru kembali bertutur lewat mulut seorang dokter: "Han..., tugas dokter dalam pembedahan hanyalah mengembalikan tulang yang bergeser ke tempatnya semula, selanjutnya Tuhanlah yang akan menyambungkan syaraf-syarafnya, menyembuhkannya."

TANGAN

Setelah daku terjatuh, dan tangan kananku bergeser dari sikunya, Sang Guru segera membisikku dengan lembut: "Han..., sudah amat lama tangan kananmu mendikte, mendominasi dan menghegemoni tangan kiri, saatnya ia istirahat. Diistirahatkan untuk masa tertentu, agar tangan kiri mengaktualkan jatidirinya. Meski awalnya gagap, percayalah padanya."

Rabu, 24 April 2013

TANGKAI-RANTING

Saat surya mulai nampak, hangat menyapa, Sang Guru pun membilang kepadaku: " Han..., bersikaplah laiknya tangkai yang masih hidup. Tangkai yang hidup masih lentur, agar kelenturan hidup menawanmu. Dan, janganlah menjadi ranting yang mati. Ranting yang mati, kering kerontang mudah patah. Supaya kepatahan hidup tak menerungkumu."

BULUH-SULUH

Lama nian Sang Guru tak membabarkan sabda, hingga masa itu datang jua, lalu berbisik lembut: " Han..., tak mengapa engkau memotong sebatang buluh, memisahkan dari rumpun mereka, agar menjadi suluh bagi mahluk lainnya."

Senin, 22 April 2013

BUMI

Daku, selayaknya sangat malu pada bumi.
Tinjaku pun ditelannya.
Air kencingku juga diminumnya.
Bahkan, ragaku ketika jadi bangkai, kelak akan dimakannya.

Lalu mengapa masih saja berpongah, tatkala melata di hamparannya?

Daku, seharusnya memohon maaf pada bumi.
Bukannya memperkosa dengan tiang pancang beton.
Menimbun rawa untuk real estate.
Menggunduli hutan, menyiangi puncak bukit guna bangun villa.

Lalu mengapa masih saja mendaku manusia, sebagai pewarisnya?

Rabu, 17 April 2013

SIA-SIA


Aku amat miris telah menjadi penyaksi, akan orang-orang yang sibuk menggantang asap, mengkarungkan angin, untuk sebuah kepuasan hasrat berkuasa.

Orang banyak sudah tahu, bahwa tak ada guna asap digantang, sebab akan menguap, raib terbang tak bertujuan.

Apalagi mengkarungkan angin, sebuah kesia-siaan. Karung tidak akan pernah mampu menampung kehendak angin.

Lalu mengapa masih saja berpesta, merasa menang terpuaskan, padahal tidak lebih dari kehampaan dan ketakbermaknaan?

Haruskah kita mengundang makhluk suci, untuk mengajari kita yang masih kurang ajarnya? Memintari diri yang masih saja kurang pintar?

Manalah mungkin aku tega mengucapkan selamat atas hasil gantanganmu dan karunganmu, sebab sama saja kurestui sesuatu yang tak bermakna.

Asap yang telah terbang tak bertujuan itu, akan bersetubuh dengan angin yang tak terkarungkan itu, suatu waktu akan datang menyapa dalam wujud badai.

Bila badai mewujud, gantang dan karung takkan ada lagi gunanya, sebab memang sejak mula tak berguna, cuma jadi guna-guna.

Selasa, 02 April 2013

KESEWENANGAN

Hasrat untuk berkuasa yang ada pada diri, sesungguhnya amat purba keberadaannya dalam setiap jiwa. Kuasa berbiak, mengikuti jalan-jalan naluri yang tersaji.

Sedianya kuasa, ibarat air mensucikan daki pada tubuh, itu jika kuasa diberi jalan kelapangan dada di kedalaman ruhani.

Meraih hasrat berkuasa, memperolehnya banyak corak tempuhannya. Ada yang menggapainya lewat lambang-lambang pengetahuan, pun ada pula melalui kepimilikan harta, menumpuk kekayaan. Jalur lainnya, bisa dengan simbol-simbol keimanan, sikap religius. Dan, boleh pula dengan titian latar keturunan, trah kebangsawanan.

Lambang-lambang pengetahuan, kebertumpukan harta, simbol-simbol religiositas, dan trah kebangsawanan, kesemuanya merupakan jalan-jalan menuju pada kuasa, kekuasaan dalam genggaman.

Dari genggaman kekuasaanlah lahir kewenangan. Setiap diri berlomba untuk berkuasa, sebab padanya ada kewenangan. Dengan memiliki kewenangan maka menjadilah diri berwenang. Berwenang berarti jari telunjuk amat sangat menentukan nasib yang ditunjuk.

Saat lewenangan yang ada pada diri tak terbatas, wujud kehidupan hanya dinasibkan oleh liukan telunjuk, dan disahkan oleh goyangan lidah, lewat mantra-mantra kedigdayaan. Maka keberadaan berikutnya hanyalah kesewenangan.

 Ketika kesewenangan ada pada diri, berarti hasrat kuasa dan kekuasaan tak lagi berbatas. Maka keinginanpun melampaui kebutuhan. Lalu kesewenangan merajalela; membakar, membunuh, menelan, melumat, membasmi dan membongkar, merampok, merompak, mengkorup apa saja yang tampak, bila tak sejurus dengan selera.

Rumitlah tata kehidupan di jagat, jikalau mengolahnya berdasar keinginan yang tak terbatas. Selayaknya, bertumpulah pada kebutuhan, sebab ia akan membatasi yang tak terbatas.

Kewenangan laiknya berbatas, dan memang harus terbatas serta dibatasi, agar tidak mewujud menjadi kesewenangan. Kewenangan lebih dekat pada pemenuhan kebutuhan, sedangkan keinginan bila ambisius, akan menyaru pada kesewenangan.

BUNGLON

Sekali waktu dikau menjadi benalu, mematikan dahan yang dililit, ranting pun mengering, kerontang rapuh, patah.

Kali lain dikau mewujud serupa burung. Bersiul dengan kicau yang memukau, melenakan penghuni semesta.

Terbangmu mengangkasa di langitbiru, dikau lupa pada benalumu itu. Dan, dikaupun bertengger pada dahan yang kering kerontang, patah pun ranting.

Sayap yang dikau pakai buat terbang melangit, terlanjur dikau buang, sebab rasa butuh akannya tak perlu lagi. Habislah manis, sepah pun dibuang.

Nasib apa yang bakal dikau jumpai, saat tak punya sayap tapi terlanjur bertengger di ranting yang rapuh, dan dalam sekejap akan patah?.

Kalut pikiran membacamu, risau hati menyukmamu, tapi apa daya, dikau menjadi benalu, meski saat lain mewujud burung, tidaklah memengaruhi lagi. Sebab benalu dan burung sama saja pada dikaumu.

Senin, 11 Maret 2013

HENING

Bolamataku makin menua, hingga mudahnya mengenali perbedaan padimuda dan rumputhijau, menjadi samar. Bahkan, bijimataku sendiri makin sulit kuraba, sisa liukan tariannya yang liar.

Diri bersyukur, sebab padimuda melambaikan anggukannya pada hatiku. Rumputhijau menggelengkan pucuknya pada batinku. Dan, bijimataku masih memeluk kelopaknya.

Diri hanya perlu bersaat dalam diam, biarkan alam sekitar yang menunjukkan jatidirinya. Itu akan lebih selaras dengan kehendak semesta.

Jangan paksakan diri agar diterima alam sekitar, sebab akan mengusik harmoni buana. Semesta akan geger, menghamburkan puing-puing kekacauan hidup.

Keelokan hidup akan datang menyapa, jika berpasrah menjadi alas berjalan, kalau berikhlas mendiami asas bertindak.

Di dalam kediaman berpasrah dan berikhlas, akan berlaku alas dan asas tingkahlaku akhlaki, sebagai keutamaan hidup.

Minggu, 10 Maret 2013

BUKU


Daku menemukanmu lewat kalimat-kalimat di lembaran buku
Mengenalimu, lalu mencintaimu karena buku
Maka kunyatakan rasa cinta ini dengan buku

Saat engkau berani hadir di atas bumi juga disertai buku
Waktu kelahiranmu, namamu kunamai dari sederet buku
Ketika rambutmu digunting, dirimu disangga buku
Sebagai penanda keabsahan namamu, pun tak lupa kudupai dengan buku
Siang malam tidurmu, kuletakkan kepalamu di bantal buku
Menjelang lelapmu, kudongengkan berwarna cerita bijak dari berbagai buku

Pada setiap hari jadimu diperingati, selalu kubuatkan buku
Pesta pernikahanmu, kuhadir bersama buku
Putra-putrimu lahir, tak lupa kuingatkan padamu akan pentingnya buku
Perjalanan hidupmu, selalu kuharap engkau mencatatnya dalam buku

Dan, ketika keabadianmu tiba, aku menuliskanmu pada sebuah buku.

Sabtu, 09 Maret 2013

HARAPAN



Angin meminta awan untuk menggeser duduknya, biar sang surya tetap menghangatkan persada. Namun awan lebih memilih menurunkan titik airnya, hingga hujan pun merintik. Awan menangis.

Angin mendesak awan agar meraib dari cakrawala, biar langit biru melapang. Namun awan menunjukkan gesekan percik apinya, maka kilat pun menyambar. Awan membakar. 

Angin memohon pada awan, kalaulah bisa mengatur bongkahan dirinya. Hingga lebih nampak seperti barisan sisik ikan di batas pandang kaki langit. Tapi awan justeru berteriak, mengeluarkan gelegar aumannya, guntur pun bertalu-talu. Awan menggertak.

Sesungguhnya awan hanya berharap pada angin, agar diberi waktu sejenak untuk bertengger di cakrawala, guna menghias langit biru. Agar para penyair bergegas menulis bait, para penembang menoreh lirik, tentang harmoni kehidupan.

Rabu, 27 Februari 2013

THE LAST KHONGHUCU IN BUTTA TOA-BANTAENG


THE LAST KHONGHUCU IN BUTTA TOA-BANTAENG
Oleh Sulhan Yusuf 

Gong Xi Fa Chae, selamat tahun baru Imlek, buat saudara-saudaraku etnik Tionghoa, khususnya yang berdomisili di Butta Toa- Bantaeng, sebuah daerah yang hingga kini dapat dikatakan sebagai daerah yang amat toleran dan pluralistik. Saya amat tertarik untuk menulis catatan di hari Imlek ini, karena bagi saya, pertama etnik Tionghoa yang ada di Butta toa-Bantaeng, adalah sekelompok etnik yang cukup eksis secara sosial, budaya, agama dan ekonomi dalam kehidupan bermasyarakat.
Kedua, di lingkungan keluarga saya, ada kakak yang beristerikan etnik Tionghoa kelahiran Surabaya, dan ponakanku sudah dua orang, dan mereka sudah menjadi muslim semua, yang sekarang lagi domisili di Banjarmasin karena tuntutan pekerjaan, dan suatu waktu akan balik ke Bantaeng. Dengan begitu, tulisan ini saya dedikasikan buat mereka, kakak ipar dan ponakanku.
            Sejak kecil, saya sudah merasakan hubungan yang harmonis dengan kawan-kawan etnik Tionghoa – teringat akan teman-teman sekolah di SMP Neg. 1 Bantaeng dan waktu di SMA Neg. 1 Bantaeng-- , meski terkadang juga ada stigma-stigma dalam ungkapan peyoratif, meski hal tersebut tidaklah menyebabkan hubungan itu menjadi retak, mungkin sudah demikianlah dinamika kemasyarakatannya.                   
Lalu kemudian, saya teringat dengan beberapa bulan yang lalu, ketika menemani seorang kawan, Sabbara Nuruddin seorang peneliti dari Litbang Depag Makassar, yang meneliti tentang keberadaan penganut agama Khonghucu di Bantaeng. Maka menjadi penting bagi saya untuk berbagi hasil penelitian, yang hasil penelitian tersebut di beri judul : KHONGHUCU DI BUTTA TOWA (Pandar Lampion Yang tinggal Setitik), sudah dibukukan dalam buku Spirit Khonghucu Modal Sosial Dalam Merenda Kebangsaan, Jakarta 2011, Orbit, hal. 183-203, yang berikut ini saya coba ringkaskan.

Sekilas Cerita tentang Etnis Tionghoa di Bantaeng

Bantaeng, dapat dikatakan sebagai satu-satunya kabupaten yang memiliki kawasan Pecinaan di Sulsel. Populasi etnik Tionghoa di kabupaten ini pun cukup signifikan jika dibandingkan dengan populasi etnik Tionghoa di kabupaten lain yang ada di Sulsel. Terkhusus untuk etnik Tionghoa, hampir semuanya bermukim di kecamatan Bantaeng, khususnya di sekitar jalan Mangga, jalan Manggis, dan jalan Nenas yang merupakan kawasan perdagangan sekaligus daerah pecinaan (China town) yang dimiliki oleh kabupaten Bantaeng. Menurut Bapak Effendi Sinyo (Baba’ Cangkeng, pemilik Rumah Makan Sederhana-pen), seorang sesepuh masyarakat Tionghoa yang ada di Bantaeng, bahwa kedatangan warga etnik Tionghoa di Banteng sudah sejak lima sampai enam generasi yang lalu atau sekitar akhir abad 18 dan awal abad 17. bahkan menurut berbagai sumber, Bantaeng yang kerap disebut sebagai Butta Toa ini telah menjalin hubungan dengan orang-orang China sejak abad 12 atau sejak zaman dinasti Sung, bahkan ada suatu daerah yang terletak di pegunungan Bantaeng yang disebut “Cinayya”, diyakini memiliki kaitan dengan hubungan antara kerajaan Bantaeng waktu itu dan para pendatang atau pelancong dari negeri China.
Berdasarkan penelusuran peneliti pada beberapa informan, peneliti mengkategorisasi kedatangan etnik Tionghoa di Bantaeng terdiri atas tiga tahapan. Tahap pertama, diidentifikasi sekitar abad 12 masehi, yaitu terjalinnya kerjssama perdagangan antara kerajaan Bantaeng pada waktu itu dengan dinasti Ming yang saat itu berkuasa di Tiongkok. Asumsi ini dibuktikan pada sekitar tahun 1967 dilakukan penggalian dan ditemukan banyak sekali guci dan barang keramik Tiongkok masa dinasti Ming di Bantaeng. Tahap kedua adalah masa penjajahan Belanda sekitar abad 18 dan 19 hingga awal abad ke 20, terlebih lagi ketika Bantaeng menjadi ibukota afdeling Bonthain yang meliputi beberapa kabupaten di wilayah selatan Sulawesi Selatan kala itu. Bukti bahwa migrasi etnik Tionghoa di daerah ini pada masa itu adalah keberadaan kuburan China yang telah ada semenjak abad 18. Tahap ketiga adalah pasca kemerdekaan, banyak orang-orang dari tanah Tiongkok datang ke Bantaeng dengan tujuan membuka usaha.
Awalnya pemukiman kaum Tionghoa terletak di sekitar pesisir pantai, namun sejak dekade 1950-an berangsur-angsur mereka pindah dan membentuk pemukiman di sekitar kawasan 3 jalan yang telah disebutkan, yaitu jalan Mangga, jalan Manggis, dan jalan Nenas, dan membangun tempat tersebut sebagai daerah perdagangan. Tidak ada data yang pasti mengenai jumlah populasi etnik Tionghoa yanga ada di Bantaeng, namun menurut Notaris Eddy Tunggeleng, SH yang merupakan ketua Bakom PKB –sebuah organisasi yang berorientasi pada pembauran etnik Tionghoa, populasi etnik Tionghoa di Bantaeng berjumlah lebih dari 100 KK. Umumnya mereka berprofesi sebagai pedagang, dan sebagian diantaranya berprofesi sebagai tenaga profesional seperti dokter, dokter gigi, notaris, dan lainnya. Warga etnik Tionghoa di Bantaeng umumnya telah berbaur dengan warga setempat bahkan tak jarang yang melakukan kawin-mawin dengan penduduk asli. Dalam rangka pembauran tersebut, maka komunitas Tionghoa di Bantaeng mengrganisasikan diri dalam sebuah wadah yang bernama Bakom PKB (Badan Komunikasi Persatuan dan Kesatuan Bangsa) yang diketuai oleh notaris Edy Tunggeleng, SH.
Sepanjang sejarah sosial di Bantaeng Hanya satu kali terjadi ketegangan dalam interaksi antara penduduk etnik Tionghoa dengan warga pribumi Bantaeng, itu pun karena bias perpolitikan nasional. Yaitu, pasca peristiwa G-30 S/PKI, di mana sentimen anti China cukup menguat. Namun, setelah itu interaksi antara etnik Tionghoa dengan penduduk setempat pun berlangsung kembali harmonis. Bahkan pemerintah Kabupaten Bantaeng pun memberikan perhatian dan apresiasi yang baik kepada warga etnik Tionghoa, yaitu dengan mengadakan peringatan Imlek dan acara kesenian Barongsai yang telah dilakukan dua tahun berturut-turut. Bahkan bupati Prof. Dr. Nurdin Abdullah, M. Agr, hendak menjadikan kawasan jalan Mangga, Jalan, Nenas, dan Jalan Manggis sebagai kawasan pecinaan dan menjadi program pemerintah kabupaten Bantaeng, namun hal ini ditolak oleh mereka dengan alasan jangan sampai timbul kesenjangan dan kecemburuan sosial warga pribumi.

Umat Khonghuchu di Bantaeng: Jejak yang Nyaris Hilang

Secara statistik, peneliti tidak menemukan penganut agama Khonghucu baik yang tercatat di BPS Kabupaten Bantaeng maupun di data yang terdapat pada Kantor Kementerian Agama Kabuoaten Bantaeng. Warga etnik Tionghoa yang selama ini dikenal sebagai penganut agama Khonghuchu ternyata umumnya beragama Kristen, Katolik, Buddha, dan ada sebagian yang telah menganut Islam. Namun berdasarkan penelusuran peneliti menemui beberapa warga etnik Tionghoa serta melakukan wawancara mendalam dengan mereka terkuak informasi bahwa banyak warga etnik Tionghoa yang ada di Bantaeng, meskipun secara formal menganut agama Kristen, Katolik, atau Buddha, pada praktek keseharian masih sering melaksanakan ritus sembahyang ala agama Khonghuchu meskipun menurut umunya mereka hal tersebut adalah tradisi leluhur mereka dan tidak ada sangkut pautnya dengan agama.
Dari beberapa orang yang peneliti temui tidak menampik jika mereka dikatakan sebagai penganut Khonghuchu, meskipun secara formal mereka mencatumkan Buddha atau Kristen dan Katolik sebagai agama resmi mereka. Bapak Effendi Sinyo, pemilik warung makan Sederhana di Jalan Manggis mengatakan bahwa secara pribadi dia dan keluarganya adalah penganut agama Khonghuchu sejak nenek moyang mereka, namun di KTP dan kartu identitas mereka mencantumkan Buddha, Kristen, dan katolik di kolom agama lebih didasarkan pada peraturan yang mereka ketahui bahwa tidak boleh mencantumkan Khonghuchu sebagai agama di kartu identitas. Setelah peneliti tanya, “apakah akan mengganti agama mereka di kartu identitas (KTP) karena mencantumkan Khonghuchu di kartu identiats sebagai agama telah diperbolehkan?”. Pak Effendi hanya menjawab; “boleh, jika memang itu diizinkan.”. Hal senada juga diungkapkan oleh Ci Heng (pemilik toko 33 di kawasan Pasar Baru Bantaeng), yang sekeluarga merupakan penganut Khonghuchu namun mencantumkan Buddha sebagai agama resminya di kartu identitas.
Jumlah pasti populasi penganut Khonghuchu di Bantaeng tidak diketahui secara pasti dikarenakan tidak adanya organisasi yang mengorganisir penganut Khonghuchu di Bantaeng serta mereka secara formal tidak mengaku sebagai Khonghuchu melainkan mengaku sebagai Buddha atau Kristen dan Katolik. Selain itu, mereka kebanyakan cenderung tertutup jika ditanya persoalan agama, sehingga banyak penduduk etnik Tionghoa yang peneliti datangi lebih memilih bungkam dan menyatakan tidak tahu-menahu soal Khonghuchu, meskipun dari rekomendasi informan yang lain menyatakan bahwa mereka secara praktek keseharian masih melaksanakan ritus-ritus Khonghuchu, namun, apakah sebagai tradisi atau memang dijalankan sebagai agama ini yang tidak diketahui dan mereka juga tertutup untuk mengutarakannya.
Berdasarkan penelusuran peneliti, setidaknya penganut Khonghuchu di Bantaeng, terkategori atas 2 kelompok. Yang pertama, adalah mereka yang secara total menjadikan Khonghuchu sebagai agama dan anutan hidup dalam pemahaman maupun praktek ritual keagamaan, meskipun secara formal mereka mencantumkan buddha sebagai agama resmi mereka di kartu identitas. Dan ketika mereka ditanya; “apakah menurut anda, Khonghuchu adalah agama?”, mereka menjawab; “ya, menurut saya Khonghuchu adalah agama”. Yang kedua, adalah mereka yang tetap menjalankan ritus Khonghuchu dan menerima ajaran Khonghuchu sebagai filosofi hidup, namun secara praksis mereka juga menganut dan menjalankan agama resmi yang lain, seperti buddha, Kristen, atau Katolik. Menurut mereka Khonghuchu adalah tradisi nenek moyang mereka dari Tiongkok yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja, bahkan menurut mereka harus dilestarikan dan mereka mempercayainya, dan meyakini bahwa mereka akan mendapatkan reward jika melaksanakan dan akan mendapatkan punishment (bala) jika mereka meninggalkan.
Untuk kategori pertama, yakni yang menjadikan Khonghuchu sebagai agama dan anutan hidup, dalam pengamatan peneliti secara populasi sangatlah kecil, meskipun tidak diketahui secara pasti jumlahnya. Karena Bapak Effendi Sinyo dan Ci Heng selaku sesepuh masyarakat Tionghoa yang mengaku amsih beragama Khonghuchu tidak bisa menjelaskan secara pasti, siapa-siapa saja diantara komunitas Tionghoa di Bantaeng yang masuk kategori ini. Namun, menurut Effendi Sinyo, hal ini hanya ditemui di kalangan orang-orang tua atau sesepuh saja, dan biasanya di kalangan generasi di bawah mereka sudah tidak terlalu ketat lagi menjalankan khonghuchu sebagai agama, dan umumnya sudah memeluk agama lain, yakni Buddha, Kristen, dan Katolik, bahkan Islam, meski secara praktek keseharian, mereka masih menjalankan ritus Khonghuchu sebagai tradisi saja.
Untuk kategori yang kedua, dalam pemahaman mereka, Khonghuchu adalah tradisi nenek moyang dari Tiongkok dan bukan agama. Secara praksis, mereka mensinkretikkan pelaksanaan agama formal yang mereka anut, apakah Buddha, Kristen, atau Katolik dan ajaran serta ritual Khonghuchu yang mereka jalankan sebagai tradisi. Untuk kategori ini, menurut notaris Eddy Tunggeleng, SH bahwa hampir semua warga etnik Tionghoa, terlebih yang mencantumkan Buddha sebagai agama resmi mereka dalam praktek keseharian masih sering melaksanakan ritus sembahyang ala Khonghuchu. Bahkan beberapa orang yang peneliti temui dan secara formal menganut agama Buddha, bagi mereka Buddha dan khonghuchu tidak ada bedanya, sehingga mereka menjalankan keduanya, meskipun ketika ditanya sebenarnya agama apa mereka, mereka menjawab bahwa mereka beragama Buddha. Menurut Effendi Sinyo, anak-anak dan keponakan beliau yang telah menganut agama Kristen, dan Katolik, bahkan ada diantara keponakannya yang menganut Islam, kerap ikut di belakang dia ketika melaksanakan sembahyang ala Khonghuchu.
Dengan demikian, berdasarkan penelusuran peneliti, eksistensi Khonghuchu di Bantaeng menuai enam problem besar, yaitu lost generation, liminal identity, problema traumatik, apatisme, dan ketiadaan rohaniawan Khonghuchu. Serta ketiadaan komunikasi intensif antar sesama penganut Khonghuchu. Eksistensi umat Khonghuchu di Bantaeng mengalami lost generation dikarenakan yang masih menganut Khonghuchu sebagai agama dan anutan hidup secara ketat adalah kalangan orang tua yang sudah sepuh. Hal ini merupakan sebuah ancaman bagi eksistensi penganut Khonghuchu ke depannya, karena selang satu generasi lagi, penganut Khonghuchu di Bantaeng tak akan ada lagi.
Problem kedua adalah liminal identity, yaitu kekaburan atau “keremangan” identitas sebagai Khonghuchu, karena secara prasis identitas sebagai Khonghuchu sudah kabur disebabkan pencantuman agama formal yang berbeda dan sinkretisme pelaksanaan ritus antara Khonghuchu dan agama formal yang lain, terlebih sebagian besar hanya menganggap bahwa Khonghuchu tak lebih dari sekedar tradisi saja. Problem ketiga adalah masih tersisa trauma sejarah pelarangan Khonghuchu sebagai agama yang secara konstitusional di tetapkan lewat Inpres yang terkait UU No 14 tahun 1967 dan SE Mendagri No 477/74054 tahun 1978 yang poin pokoknya tidak mencantumkan Khonghuchu sebagai agama resmi. Ditambah lagi pasca peristiwa G-30S/PKI yang berefek pada timbulnya sikap antipati dan kecurigaan terhadap segala hal yang berbau Tionghoa dan hal ini pun pernah memicu gejolak sosial yang luar biasa di Bantaeng pada kisaran tahun 1966-1967 membuat masyarakat Tionghoa di Bantaeng yang nota bene adalah keturunan Khonghuchu menjadi trauma untuk memunculkan kembali Khonghuchu sebagai identiats keagamaannya. Meskipun telah ada Kepres No 6 tahun 2000 tentang pengakuan Khonghuchu sebagai agama resmi, hal itu belum menghapus trauma mereka, karena jangan sampai ke depannya muncul masalah yang sama lagi. Trauma sejarah ini masih berbias pada ketakutan mereka jika ditanya persoalan agama, dan hal ini yang peneliti temui di lapangan. Menurut Effendi Sinyo, sebenarnya ada beberapa orang yang menurutnya adalah penganut Khonghuchu, namun, beliau sendiri tak berani memastikan apakah yang bersangkutan adalah Khonghuchu atau bukan, karena yang bersangkutan lebih cenderung tertutup pada persoalan agama.
Problem berikutnya adalah sikap apatisme yang banyak menjangkiti masyarakat Tionghoa dikarenakan kesibukan pada aktivitas bisnis sehingga persoalan identitas keagamaan cenderung kurang diperhatikan, “mau beragama apa, atau mengaku agama apa, itu tidak penting, karena yang terpenting bagi kami adalah mengurus usaha”, demikian papar seorang informan kami. Yang kelima adalah ketiadaan rohaniawan Khonghuchu, atau setidaknya orang yang cukup memahami tentang ajaran dan praktek agama Khonghuchu secara mendalam yang dapat menjelaskan tentang Khonghuchu atau menjadi pendakwah agama Khonghuchu. Akibatnya, informasi tentang Khonghuchu tak dapat diakses oleh mereka secara langsung di Bantaeng dan penganut Khonghuchu yang meskipun menganut dan melaksanakan ajaran agama Khonghuchu tapi secara pemahaman mereka adalah awam dan tidak memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan mendakwahkan agama Khonghuchu kepada komunitas Tionghoa yang ada di Bantaeng. Dan yang terakhir adalah ketiadaan komunikasi antar sesama penganut Khonghuchu di Bantaeng. Ketiadaan komunikasi ini membuat Khonghuchu sebagai anutan hidup lebih menjadi keyakinan personal dan tidak terorganisir secara komunal.
Meskipun keberadaan komunitas Tionghoa di Bantaeng telah berlangsung lama, sejak ratusan tahun yang lalu mereka menetap dan berinteraksi dengan penduduk pribumi Bantaeng, namun eksistensi keyakinan Khonghuchu sebagai anutan agama masyarakat Tionghoa kurang dikenal oleh masyarakat Bantaeng. Umumnya, mereka hanya mengenal bahwa komunitas Tionghoa yang ada di bantaeng umumnya masih melaksanakan tradisi mereka meski secara personal, mengenai apakah tradisi tersebut terkait dengan ajaran agama Khonghuchu, masyarakat Bantaeng yang peneliti temui umumnya menjawab tidak tahu. Bahkan sebagian masyarakat Bantaeng yang peneliti temui, dan mereka adalah tokoh-tokoh masyarakat mengatakan bahwa Khonghuchu di Bantaeng dapat dikatakan sudah tidak ada lagi. Hal yang senada juga diungkapkan oleh beberapa warga etnik Tionghoa yang peneliti temui dan telah menganut agama Kristen dan Katolik menyatakan bahwa di Bantaeng sudah tidak ada lagi penganut agama Khonghuchu.
Posisi agama Khonghuchu sebagai minoritas di Bantaeng benar-benar tak dikenal sebagai agama yang masih punya pengikut. Bahkan pihak pemerintah termasuk pihak Kementerian Agama Kabupaten Bantaeng pun berpandangan bahwa untuk komunitas Tionghoa yang ada di Bantaeng sudah tidak ada lagi yang menganut Khonghuchu meskipun sebagian besar dari mereka masih melaksanakan tradisi Tionghoa yang identik dengan ajaran khonghuchu, namun sebagai agama mereka tidak lagi menganut Khonghuchu, karena mereka telah menganut Kristen, Katolik, Buddha, bahkan Islam.
Tidak dikenalnya Khonghuchu sebagai sebuah agama yang masih memiliki pengikut di Bantaeng menurut pengamatan peneliti disebabkan, komunitas Tionghoa yang ada di Bantaeng telah melakukan konversi agama, setidaknya secara formal mereka tidak ada yang mencantumkan Khonghuchu sebagai agama mereka. Sehingga dalam pendekatan struktural atau statistik, Khonghuchu di Bantaeng dianggap tidak ada. Tidak adanya jumlah penganut Khonghuchu di Bantaeng secara statistik, sebenarnya tidak bisa dijadikan acuan untuk menyatakan bahwa di kabupaten Khonghuchu sudah tidak ada lagi. Karena hal tersebut lebih dikarenakan pelarangan Khonghuchu sebagai agama resmi, sehingga tidak bisa dicantumkan di kartu dientitas serta ketidaktahuan mereka akan pencabutan larangan tersebut. Di samping itu ketakutan yang tersisa akibat bias trauma sejarah pelarangan Khonghuchu membuat persoalan agama menjadi hal yang sensitif bagi mereka, sehingga mereka tidak menyatakan secara jelas bahwa mereka adalah penganut Khonghuchu dan akhirnya mereka tidak dikenal dan tidak teridentifikasi sebagai penganut Khonghuchu. Semisal bapak Effendi Sinyo pemilik rumah Makan Sederhana di Jalan Manggis Bantaeng, kebanyakan orang yang mengenal beliau adalah sebagai penganut Buddha, sangat jarang yang mengetahui beliau sebagai penganut Khonghuchu taat, hal ini disebabkan yang bersangkutan tidak mempublikasikan dirinya sebagai penganut Khonghuchu ditambah secara formal beliau ber KTP kan Buddha.
Selain tidak adanya angka statistik mengenai penganut Khonghuchu, keberadaan Khonghuchu di Bantaeng yang dianggap tidak ada di Bantaeng baik oleh masyarakat maupun pemerintah juga disebabkan persepsi mereka umumnya tentang Khonghuchu bukan sebagai agama formal lainnya seperti Islam, Kristen, maupun Buddha. Umumnya mereka berpandangan bahwa Khonghuchu tak lebih dari tradisi China dan bukan agama. Selain itu, tidak adanya aktiviats kegiatan keagamaan penganut Khonghuchu di Bantaeng juga semakin memperkuat anggapan bahwa di Bantaeng tidak ada penganut agama Khonghuchu.
Meskipun dari nenek moyang mereka yang datang adalah umumnya penganut Khonghuchu, namun pada perkembangannya, perkembangan penganut Khonghuchu di Bantaeng, baik secara kuantitas dan kualitas mengalami gerak regresif yang cukup tajam, khususnya pasca pelarangan Khonghuchu sebagai agama resmi dan sentimen anti China yang cukup menguat semenjak paruh kedua dekade 1960-an. Secara kuantitas, eksistensi umat Khonghuchu mengalami penurunan secara drastis, bahkan dalam angka statistik berada pada angka nol. Yang tersisa dari penganut Khonghuchu adalah beberapa orang tua atau sesepuh masyarakat Tionghoa yang telah berusia lanjut dan tidak mengalami regenerasi di kalangan generasi di bawahnya.
Secara pemahaman mengenai agama Khonghuchu pun mereka masih sangat awam, hal ini dikarenakan tidak adanya lagi aktivitas dakwah dan pelaksanaan ritual kolektif yang dilakukan. Praktis, aktivitas keagamaan Khonghuchu dapat dikatakan tidak ada, setidaknya secara kolektif, kalau pun masih ada yang melaksanakan aktivitas keagamaan Khonghuchu, hal tersebut tak lebih sekedar aktivitas yang dilaksanakan secara personal. Sebelumnya, menurut penuturan bapak Effendi Sinyo yang merupakan informan kunci kami, bahwa dulu di era sebelum tahun 1960-an pertemuan rutin mereka kerap dilakukan, khususnya untuk melaksanakan ibadah bersama atau peringatan keagamaan yang dilaksanakan secara kolektif. Namun, hal ini mengalami penurunan hingga tidak ada sama sekali semenjak pelarangan khonghuchu sebagai agama resmi dan banyak diantara mereka yang menganut Khonghuchu telah meninggal dunia dan pindah ke daerah lain. Dengan demikian, praktis dapat dikatakan, kegiatan keagamaan Khonghuchu berupa dakwah, pertemuan, maupun ibadah bersama tak pernah dilaksanakan lagi di Bantaeng.
Pengorganisasian umat Khonghuchu di Bantaeng, meskipun secara nasional telah ada Majelis Tinggi Agama Khonghuchu Indonesia (MATAKIN) yang berdiri secara resmi pada tahun 1955 di Solo, belum pernah terbentuk. Upaya pengorganisasian ini pernah hampir dilakukan, menurut Eddy Tunggeleng, bahwa dr. Ferdy Sutono (yang kini ketua Majelis Khonghuchu [MAKIN] Kota Makasssar) pernah meminta beliau untuk mendirikan organisasi MAKIN di Bantaeng, namun hingga hari ini belum mendapatkan orang yang bisa ditunjuk untuk mengurus MAKIN di Bantaeng dan hingga hari ini organisasi MAKIN belum terbentuk di Bantaeng, dan menurut Eddy Tunggeleng dia akan siap membantu terbentuknya MAKIN di Bantaeng meskipun dia secara formal akan tetap menganut Buddha sebagai agamanya walau dia juga tidak menampik jika dia juga disebut sebagai penganut Khonghuchu, meski tidak secara formal. Ketiadaan organisasi Khonghuchu ini menjadi problem bagi perkembangan agama Khonghuchu di Bantaeng. Agama Khonghuchu di Bantaeng kalaupun memiliki pengikut, akhirnya hanya bersifat keyakinan personal yang tak memiliki perwujudan sosial dan sangat sulit diharapkan untuk dapat memberikan kontribusi sosial bagi masyarakat sekitar, terlebih untuk mewujudkan kehidupan keagamaan yang harmonis dan komunikasi antar umat beragama.
Mengenai pelaksanaan tata peribadatan Khonghuchu, peneliti melakukan kategorisasi berdasarkan fakta yang peneliti dapatkan di lapangan, bahwa pola pelaksanaan ajaran khonghuchu yang dilakukan oleh warga etnik Tionghoa di Bantaeng terdiri atas dua kategori, yaitu mereka yang meski secara formal tidak mencantumkan agama Khonghuchu dalam kartu identitas mereka tapi dalam praktek keseharian mereka adalah seorang Khonghuchu Tulen. Untuk kategori ini peneliti hanya menemukan beberapa orang dari kalangan sesepuh masyarakat Tionghoa di Bantaeng, diantaranya Bapak Effendi Sinyo beserta istrinya di Jalan Manggis Bantaeng dan Bapak Ci Heng di kawasan Pasar Baru Bantaeng.
Kategori kedua adalah mereka yang secara formal tidak menganut Khonghuchu sebagai agama tapi dalam praktek kesehariannya masih aktif menjalankan ritus dan tata sembahyang ala agama Khonghuchu. Umumnya mereka yang peneliti temui masuk dalam kategori kedua ini. Dalam praktek peribadatan mereka melakukan sinkretisasi antara ajaran Khonghuchu dan agama resmi mereka (khususnya yang beragama Buddha), seperti dalam altar sembahyang mereka selain terdapat patung dan gambar Dewi Kwan Im dan Dewa Kwan Khong, serta simbol-simbol agama Khonghuchu lainnya (seperti foto-foto leluhur) namun di altar tersebut juga mereka memasang patung Budddha. Mereka yang secara formal beragama Buddha melaksanakan sembahyang ala agama Khonghuchu tersebut secara rutin setiap hari, sedangkan untuk mereka yang beragama Kristen dan katolik umumnya menjalankan acara sembahyang tersebut hanya sekali-sekali saja ketika ada acara-acara tertentu seperti Imlek atau momen-momen tertentu saja dan tidak menjadi laku keseharian mereka sebagaimana mereka yang secara formal menganut agama Buddha.
Di Bantaeng tidak ada Klenteng atau Liteng yang merupakan tempat ibadah penganut agama Khonghuchu. Mereka melaksanakan ibadah di rumah-rumah atau di tempat usaha/kerja mereka, di mana mereka memasang altar sembahyang. Pada momen tertentu mereka melaksanakan ibadah di Klenteng yang ada di Jalan Sulawesi Makassar. Namun, menurut Bapak Effendi Sinyo, mereka kerap kumpul jika ada rohaniawan Khonghuchu dari Makassar di rumah Bapak Ci Heng, yaitu di toko 33 di kawasan Pasar Baru Bantaeng. Namun setelah peneliti mengkonfirmasi kepada bapak Ci Heng, kegiatan kumpul-kumpul tersebut sudah lama tak dilaksanakan lagi, dan ketika acara tersebut dilaksanakan yang datang pun tidak semuanya adalah penganut Khonghuchu tulen.
Kutipan hasil penelitian tersebut, bagi saya itulah realitasnya, apalagi saya terlibat langsung dalam proses penelitian tersebut. Ada pikiran yang berkecamuk, sekaligus saya membatin, bahwa betapa sebuah pergolakan politik, bisa saja menghilangkan sesuatu yang paling hakiki, paling asasi pada diri seseorang. Betapa tidak, sebuah anutan hidup, petunjuk hidup yang begitu sakral, luhur dan mulia dari seorang ‘nabi’ Khonghucu, tercerabut begitu saja sebagai akibat dari keserakahan kekuasaan politik. Bapak Efendi Sinyo (Baba’ Cangkeng) dan Ci Heng, adakah mereka sebagai The Last Khonghucu di Bantaeng? Wallahu a’lam bissawab. Lalu saya teringat dengan sebuah filem yang cukup dramatis, yang berjudul The Last Mochikhan, yang sudah beredar beberapa waktu yang lalu.***

Kamis, 21 Februari 2013

46 

Wejangan Miladku, surat buat diri, 20 Februari 1967-2013

Empat Puluh Enam tahun sudah terlewati, makin dekat pada keabadian.
Ke depan baru itu yang pasti, di tengah ketidakpastian hidup

Karena raga makin lemah, maka kebutuhannya pun makin berkurang. Tubuh mulai memilih butuhnya.

Justeru jiwalah yang makin bergolak menuntut butuhnya yang menggila. Kelaparan jiwa mengancam diri, jika tidak disahuti.

Empat Puluh Enam tahun perjalanan, telah menjadi kepastian, sebab sudah terjalani, itulah kemestian hidup.

Tak perlu ada ratap, sebab itu miliknya masa silam. Yang paling mungkin, hanyalah mengambil yang perlu untuk perjalanan berikutnya.

Empat Puluh Enam tahun perjalanan, menjadi pupuk kehidupan bagi diri, jikalau ada hasrat baik untuk menerimanya, berkompromi dengan masa lewat.

Baik-buruk, di mata seorang pejalan, sama saja adanya, sebagai pemandu jalan agar tidak tersesat.

Diri hanya perlu dibujuk, agar makin mengerti bahwa di sisa usia adalah mencari kepastian hidup, meski yang dijumpai barulah penandanya. Alamat pastinya belum terasa, apalagi teraba.

Yang pasti, hanyalah janji pastinya keabadian pada masa dan alam berikutnya.

Empat Puluh Enam tahun sudah tunai dijalani, cukup memadai untuk menapaki jalan keruhanian, yang telah didedahkan oleh-Nya.

Senin, 28 Januari 2013

DUPA


Merindu pada harum wangi dupa, saat perhelatan maulid Baginda Nabi, di rumah kaum yang merayakannya. Makin hari makin jarang kutemui.

Selagi masih kanak-kanak, salah satu bulan yang kutunggu hadirnya adalah bulan Maulid, di samping bulan Ramadhan.

Apa pasal sehingga kedua bulan itu menjadi amat penting bagi masa kanakku? Sebab, pada kedua bulan itu, selalu kuhirup bau dupa yang harum mewangi.

Pada bulan Maulid, setiap acara barazanji dibacakan, kepulan asap dupa mengiringi lantunan para pembacanya. Sedangkan pada bulan Ramadhan, tepatnya saat menyongsong kedatangannya, ritus atas bulan agung itu, didupakan pula dengan segenap khusyuk dalam lautan wewangian asap dupa.

Bulan Maulid kali ini, belumlah ada rumah yang kusambangi untuk mengekstasi harumnya bau dupa. Atau karena memang kebiasaan ini sudah ketinggalan zaman? Menjadi milik masa silam, ketika masih kanak-kanak?

Jika demikian adanya, maka aku akan membakar dupa atas dukaku ini. Sambil mengkomat-kamitkan mantra: "Pada asap dupa yang terbakar, meliuklah ke masa silam, ke alam kanak-kanakku, saat wangi dupa masih menyelimuti diri."

Kamis, 24 Januari 2013

WACANA FUNDAMENTALISME DAN HMI MPO


WACANA FUNDAMENTALISME DAN HMI MPO
Oleh Sulhan Yusuf

Gerakan-pemikiran fundamentalisme bisa dijinakkan secara intelektual, dan intelektualisme yang liberal bias menemukan basis normatifnya oleh pemahaman yang fundamentalis.


Wacana Fundamentalisme-Neo Fundamentalisme (Pra-Modern dan Kontemporer) sebagai suatu istilah, dalam banyak hal dan sudut pandang, sering juga diberikan padanan istilah lain, yaitu Revivalisme (Paham Kebangkitan). Sehingga, ketika kita berbicara tentang Revivalisme  Islam, maka sesungguhnya yang dimaksud adalah bangkitnya kaum Fundamentalisme Islam[1]
Memasuki abad ke-15 H, sering dinyatakan sebagai abad kebangkitan umat Islam, tepatnya ketika sejumlah Negara Islam dalam Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam I pada tahun 1969 di Rabbat, Maroko, dimana KTT tersebut memutuskan sebagai abad kebangkitan Islam. Mengapa KTT itu dijadikan momentum?[2]
Setidaknya, menurut Asep Syamsul, bahwa ada dua yang melatarinya. Pertama, ada semacam keyakinan di kalangan umat Islam bahwa kejayaan suatu umat atau bangsa akan terjadi bergiliran selama kurun waktu tujuh abad. Umat Islam telah berjaya selama tujuh abad pertama hijriah, yang kemudian jatuh dan digantikan umat lain (Barat). Setelah tujuh abad kejayaan Barat (VII-XV), maka mulai abad XV merupakan ”giliran” umat Islam berjaya kembali. Keyakinan boleh merupakan “tafsiran” atas QS.3:140, “Demikianlah hari-hari (kebangkitan dan kejatuhan) kami pergilirkan  di antara umat manusia…”. Dengan demikian, pergiliran “bangkit dan jatuh” suatu kaum merupakam sunnatullah.
Kedua, memasuki abad ke XV ada peristiwa besar yang mengguncang dunia Islam, yakni dibakarnya mesjid al-Aqsa di Yerussalem oleh kaum Yahudi pada 21 Agustus 1967. Peristiwa tersebut menggemparkan sekaligus membuat marah, dan peristiwa itulah yang melahirkan suatu perasaan yang mendalam di kalangan umat Islam sedunia.
Giliran issu dan gagasan kebangkitan inipun menjalar masuk ke Indonesia, sehingga seorang Fazlur Rahman[3] – sosok intelektual Muslim kaliber internasional asal Pakistan— pun mengatakan bahwa kebangkitan Islam telah  dimulai di Indonesia. Dan cendekiawan Muslim Indonesiapun dalam hal ini Muhammad Natsir segera menegaskan bahwa kebangkitan umat Islam di Indonesia akan dimulai dari tiga tempat, yaitu; pesantren, masjid dan kampus [4]
Selanjutnya, rasa percaya diri umat Islam pun semakin nampak – termasuk pengaruhnya terhadap umat Islam yang ada di Indonesia—setelah peritiwa spketakuler terjadi pada tahun 1979, di belahan bumi Timur Tengah, yaitu suksesnya Revolusi Islam Iran di bawah komando Imam Khomaeni.[5]
Bagi kaum muda Muslim di Indonesia, nafas kebangkitan Islam ini pun  terasa sangat  berpengaruh. Sehingga kaum muda Muslim pun ambil bagian dalam proses-proses kebangkitan ini. Maka tidaklah mengherankan jikalau pada paruh tahun 1980-an lahirlah fenomena baru berupa hadirnya sejenis gerakan yang cukup fenomenal, yang dalam peristilahannya saya sebut sebagai Gerakan Religi.[6]
Sebagai bahan pemikiran, saya kutipkan sebagai berikut:

“Bagi kaum muda mahasiswa , telah lahir pula fenomena baru sejak dekade 80-an hingga 90-an, dalam wujud Gerakan Religi, dengan konotasi pada terjadinya pencerahan pemikiran di kalangan kaum muda mahasiswa. Tema dasar dari gerakan ini adalah upaya untuk senantiasa menegentalkan kembali semangat religiusitas (keberagamaan) yang hampir lepas, dikarenakan oleh gencarnya injeksi dari proses sekularisasi terhadap kaum terpelajar sejak pertama kali mengecap pendidikan dasar, hingga ke pendidikan tinggi. Fenomena ini terjadi hampir secara umum berlaku di kalangan semua pengikut agama. Indikasi-indikasinya dapat dilihat pada adanya keinginan untuk mempelajari persoalan-persoalan keagamaan di kampus yang nota bene pendidikan umum (non-agama). Difungsikannya tempat-tempat kuliah di beberapa ruangan kampus misalnya tempat kebaktian bagi kaum muda mahasiawa Kristiani, atau pengoptimalan fungsi masjid-mushallah kampus sebagai tempat pengkajian aneka ragam persoalan agama Islam, yang diikuti oleh kaum muda Muslim secara serius, adalah hal yang tak boleh dinapikan sebagai salah satu sisi gerakan yang sementara berlangsung di kalangan kaum muda mahasiswa.”[7]

            Latarbelakang  apa yang menyebabkan bangkitnya semangat religiusitas di kalangan kaum muda mahasiswa itu, khususnya di kalangan kaum muda-mahasiswa Muslim. Apa semangat itu datang begitu saja secara tiba-tiba? Kita ikuti paparan lebih lanjut seperti berikut ini: 

”Sesungguhnya, apa yang terjadi pada saat ini di kalangan kaum muda mahasiswa Muslim itu, tidak bisa dilepaskan dari adanya pengaruh gerakan Islam secara mondial. Gerakan yang dimotori oleh aktvis-aktivis Jamiat Islami di Pakistan, Ikhwanul Muslimin di Mesir, maupun kesuksesan Revolusi Islam di Iran, telah memberikan kontribusi yang cukup banyak terhadap terjadinya proses kontinutas gerakan religi, yang bersifat pencerahan pemikiran sekaligus pencerahan spiriutual. Olehnya, tidaklah mengherankan jikalau kaum muda mahasiswa Muslim terpelajar, disamping menekuni buku-buku pelajarannya, juga menjadikan tulisan-tulisan dan buku-buku semisal Abu ‘Ala al-Maududi, Syed Ahmad Khan, Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, Muhammad Qutb, Yusuf Qardhawi, Murtdha Mutahhari, Muhammad Husaini Bahesti, Javad Bahonar, Imam Khomaeni dan Ali Syariati, sebagai rujukan pergolakan-pergolakan pemikirannya dan juga keresahan-keresahan spiritualnya, dalam merakit rintisan langkah awal menuju ke suatu proses pencerahan pemikiran-spiritual.”[8]

Konteks HMI

            Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sebagai salah satu dari gerakan kaum muda Muslim terbesar dan paling berpengaruh, pun tidak luput dari pengaruh gagasan akan kebangkitan Islam ini. Sehingga pada kepengurusan Abdullah Hahemahua, sebagai Ketua Umum Pengurus Besar HMI (l979-1981), gagasan kebangkitan Islam ini menjadi topik yang akatual di HMI. Sehingga, di HMI sendiri terjadi proses Islamisasi, tepatnya adalah ideologisasi Islam.
Nilai Dasar Perjuangan (NDP) sebagai paradigma gerakan HMI, pun tidak bisa luput dari pengaruh gagasan kebangkitan Islam ini. Sehingga menurut Hasanauddin M.Saleh, perlakuan terhadap NDP terjadi perbedaan antara sejak diputuskannnya pada Kongres ke-9, 1969 di Malang – sebagai tafsir asas  HMI—hingga 1980-an dan sesudah tahun 1980-an. Saya kutipkan hasil risetnya:

NDP menjadi pedoman dasar gerakan Islamisasi di HMi sampai dengan tahun 1980-an. Akan tetapi, terdapat perbedaan perlakuan terhadap NDP antara HMI tahun 1960-an dan 1970-an dengan HMI tahun 1980-an. HMI sebelum tahun 1980-an memperlakukan NDP sebagai satu pokok bahasan dalam latihan kepemimpinan HMI. Itupun masih dilihat secara filosofis, belum ada upaya merumuskan dalam tindakan operasional, sehingga Islamisasi pada masa ini masih dalamn strata keinginan yang belum terwujud. Perlakuan terhadap NDP itu berbeda dengan HMI tahun 1980-an. Pada masa ini semangat mengintergrasikan nilai-nilai yang terumus dalam NDP ke dalam seluruh aktivitas HMI secasra organisatorios maupun terhadap prilaku anggota-anggota HMI secara individual cukup besar. Hampir semua materi latihan di HMI merupakan bagian penjabaran NDP. Akan tetapi, sebenarnya bukan kajian terhadap NDP itu sendiri yang sangat berpengaruh terhadap gairah keislaman yang sangat tinggi pada komunitas HMI, melainkan sentuhan mereka secara langsung dengan semangat keislaman yang tengah berkembang di Indonesia, bahkan di dunias Islam.”[9]

Akibat lebih jauh dari proses ini adalah munculnya kritikan terhadap NDP.Tulisan Syafinuddin al-Mandari telah merekam dan memaparkan bagaimana dinamika intelektual itu terjadi. Yang pada dasarnya, kritikan itu berkisar pada pembahasan yang menyeluruh terhadap pokok-pokok pikiran yang ada dalam NDP, seperti; pembahasan tentang Dasar-Dasar Kepercayaan, Konsepsi Ilmu Pengetahuan, sistem sosial.[10]
Gelombang studi kritis terhadap NDP tersebut, pada akhirnya melahirkan rekomendasi untuk melakukan penyempurnaan di bidang perkaderan. Walhasil, pada tahun 1983 dilaksanakanlah lokarya perkaderan di Surabaya, dan pada tahun 1984 diformalkan secara nasional, yang menghasilkan pola perkaderan dengan muatan Islamisasi yang cukup dominan, baik pada tataran landasan maupun materi-materi trainingnya.[11]
Sesungguhnya usulan perubahan dalam artian penyempurnaan terhadap NDP, bukanlah suatu aksi sepihak dari tuntutan kader-kader HMI yang terpengaruh oleh gagasan-gagasan kebangkitan Islam, yang menginginkan adanya Islamisasi ideologisasi Islam di HMI. Seorang Nurcholis Madjid  yang dianggap sebagai tokoh yang sangat berperan dalam merumuskan NDP, juga telah menganjurkan agar supaya NDP itu diubah dalam pengertian dikembangkan. Nurcholis Madjid menuturkan:

“Saya disebut-sebut sebagai orang yang merumuskan NDP (sekarang NIK), meskipun diformalkan oleh Kongres Malang. Itu terjadi 17 tahun lalu. Jadi artinya sebagai dokumen organisasi, apalagi organisasi mahasiswa, maka NDP itu cukup tua. Oleh Karena itu, ada teman yang berbicara tentang NDP dan kemudian mengajukan gagasan misalnya untuk tidak mengatakan mengubah—mengembangkan dan sebagainya, maka saya selalu menjawab, dengan sendirinyamemang mungkin untuk diubah, dalam arti dikembangkan. Values (nilai-nilai) tentu saja tidak berubah-ubah. Kalau di situ misalnya ada nilai Tauhid, tentu saja tidak berubah. Akan tetapi pengungkapan dan tekanan pada implikasi itu bias diubah. Sebab sepanjang sejarah, Tauhid pun tetap wujudnya sama, yitu paham pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Akan tetapi tekanan implikasinya itu berubah-ubah…Jadi artinya implikasi dari Tauhid itu bias berubah-ubah mengikuti perkembangan zaman. Sebab itu, juga menyangkut masalah interpretasi. Pengungkapan nilai itu sendirimemang tidak mungkin berubah, tetapi harus dipertahankan apalagi nilai seperti Tauhid. Akan tetapi karena ada kemungkinan mengubah tekanan, implikasinya, maka ada ruang dan kesempatan dengan sendirinya untuk suatu dokumen semacam NDP. Tidak hanya namanya saja diubah NDP ke NIK. Dan itu adalah tugas/pikiran yang sah dari adik-adik disini. Maka dari itu saya persilahkan kalau misalnya memang ada yang ingin menggarap bidang ini.” [12]

Bersamaan dengan menguatnya tuntutan akan Islamisasi atau ideologisasi Islam di HMI, hadirlah lima paket UU yang dikeluarkan oleh rejim despotik ORBA. Keharusan HMI untuk merubah dan me3nerima asas Pancasila berakibat fatal, karena menyebabkan HMI terpecah menjadi dua kubu, yaitu HMI DIPO (Diponegoro, inisial karena bersekretariat di jalan Diponegoro Jakarta dan HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi). Yang pada akhirnya, HMI DIPO menerima asas Pancasila – meski setelah reformasi asasnya kembali ke Islam, sedangkan HMI MPO tetap mempertahankan asas Islamnya.
Sebagai konsekuensi dari perpecahan itu adalah HMI DIPO merubah NDP menjadi Nilai Identitas Kader (NIK), meski kandungannya tidak berubah, tetapi memberi memori penjelas tentang sejalannya, dalam artian tidak adanya pertentangan  antara Islam dan Pancasila.[13] Tetapi pada konteks ini, satu pertanyaan krutis sering dan amat perlu diajukan, jikalau memang tidak ada masalah dengan asas antara Pancasila dan Islam, mengapa setelah reformasi terjadi, --dan asas tunggal pancasila dianggap menjadi salah satu biang kerok kerusakan di negeri ini – HMI DIPO harus memilih dan menetapkan kembali ke asas Islam ?
Akan halnya dengan HMI MPO, dengan mempertahankan asas Islam, maka konsekuensi yang dihadapi adalah harus berhadapan dengan kekuasaan rejim ORBA. Dan pada saat yang sama gagasan-gagasan kebangkitan Islam mendapat tempat dan lahan yang subur di HMI MPO. Akibatnya adalah NDP pun yang memang sudah banyak dikritik, semakin menemukan kristalisasinya dengan lahirnya Khittah Perjuangan HMI sebagai pengganti NDP.
Pada konteks ini, menjadi jelaslah kerumitan yang dihadapi oleh HMI ketika ada keinginan untuk melakukan rekonsiliasi. Sebab, awalnya memang hanya peristiwa politik yang menyebabkan perpecahan, tetapi kemudian berkembang menjadi perpecahan kelembagaan, yang kemudian masing-masing berjalan dengan sistem penjelas yang dirumuskan, agar tetap survive. HMI DIPO merumuskan dan melakukan penyesuan-penyesuan terhadap pola-pola yang dikembangkan oleh penguasa, sedangkan HMI MPO, harus mengeluarkan energi ekstra untuk merumuskan konsep-konsep, pola-pola dan sistem penjelas organisasi.

Khittah Perjuangan

Bagi HMI MPO, Khittah Perjuangan merupakan sumber inspirasi, motivasi dan aspirasi bagi segala aktivitas yang dilakukan oleh organisasi, serta merupakan tafsir integral dari Asas, tujuan dan Independensi. Dan untuk melakukan studi yang memadai, maka kita dapat membagi ke dalam dua tahapan perjalanannya sebagai sebuah konsep. Pertama, sejak terjadinya perpecahan hingga kepengerusan PB HMI, H.Masyhudi Muqarrabin, Periode 1990-1992. Kedua, setelah penyempurnaan hingga saat ini.
Karateristik dari KHittah Perjuangan pada tahap pertama, sering didentifikasi dengan beberapa catatan seperti;  muatan-muatan pemikirannya sangat fundanetalis dan terkesan reaksioner. Hal ini menjadi absah saja, sebagai salah satu wujud penegasan eksistensi diri-kelompok, karena: Pertama, pengaruh gagasan-gagasan kebangkitan Islam – tepatnya fundamentalisme Islam – cukup dominan dalam pemikiran-pemikiran kader HMI yang bergabung dalan HMI MPO. Kedua, tekanan dari pihak-pihak eksternal, baik dari penguasa rejim Orba naupun dari kalangan alumni HMI yang tidak setuju dengan HMI MPO, cukup kuat dan tak bersahabat.
Sebagai konsekuensi dari perjalanan konsepsi KHittah Perjuangan ini, dapat kita lihat dari prilaku kader-kader awal HMI MPO, yang menemukan bentuk artikulasinya yang berwatak fundamentalis. Sehingga, model-model interaksi dan pola-pola perjuangan yang muncul kepermukaan menemukan bentuknya seperti halaqah-halaqah atau usro-usro, yang memang menjadi gejala umum gerakan Islam pada masa itu.
Artikulasi dari semagat fundamentalisme ini menjadi sangat tajam ketika semuanya mau di-Islmamisasi-kan. Sebagai contoh: himne HMI diganti dengan mars jihad, adanya keinginan untuk merubah tanggal kelahiran HMI dari kalender masehi ke kalender Hijriah,  istilah-stilah pun diganti, dies natalis menjadi milad, saudara-saudari menjadi ikhwan dan akhwat, tatacara bergaul yang dibatasi oleh hijab, pemandu akhwat tidak boleh bicara di depan peserta ikhwan, pakaian jilbab bagi perempuan dan gamis bagi laki-laki, dan masih banyak lagi yang lainnya.
   Perkembangan selanjutnya dari Khittah perjuangan sebagai suatu konsep, ketika memasuki tahapan penyempurnaan, sebagai konsekuensi logis dari semakin luasnya ruang gerak dan makin artikulatifnya potensi para kader. Sehingga diselenggarakanlah lokakarya penyempurnaan Khittah Perjuangan di Yogyakarta. Dan selanjutnya, untuk menjabarkan konsep ini, maka dilaksanakan pula lokakarya penyempurnaan perkaderan di Jakarta, yang kemudian hasil-hasil lokarya tersebut ditetapkan pada Kongres ke-19, 1992 di Semarang.[14]
Dengan adanya Khittah Perjuangan yang baru, sebagai hasil penyempurnaan, maka dengan serta merta nuansanyapun berbeda. Jika diperbandingkan dengan Khittah Perjuangan sebelumnya, maka Khittah Perjuangan yang ada sekarang ini lebih komprehensif dan tidak lagi mencerminkan karakter yang sangat fundamentalistik, apalagi reaksioner.[15]
Terjadinya pergeseran nuansa konsep tersebut menjadi sangat logis, karena: Pertama, pergeseran-pergeran pemikiran di kalangan kader turut mempengaruhi cara memahami realitas yang dihadapi oleh HMI MPO. Kedua, Karakteristik dari gagasan-gagasan fundamentalisme yang reaksioner, terasa tidak cukup memadai untuk memberikan jawaban solutif bagi permasalahan keummatan yang lebih komprehensif. Ketiga, bangkitnya kembali taradisi intelektual di HMI MPO, yang memang merupakan trade merk dari HMI sejak masa yang lalu.
Pada konteks ini menjadi menarik untuk dikemukakan hasil riset yang dilakukan oleh Rusli Karim dalam tesisnya , bahwa :
Akhirnya, dapatlah ditarik  suatu kesimpulan bahwa dalam perjalanan HMI MPO  yang sudah memasuki usia kurang-lebih 25 tahun ini telah menampakkan sebuah profil yang lebih komprehensif. Warisan fundamentalisme tidak hilang sama sekali, tetapi mendapat tafsiran baru, maksudnya, fundamentalisme yang begitu garang telah dijinakkan oleh sebuah tradisi intelektual. Sedangkan tradisi intelektual yang begitu liberal di HMI, mendapatkan pijakan normatif yang cukup kokoh. Paling tidak ini tercermin dari profil prilaku kader yang cukup berakhlak tidak secara hitam-putih, dan mereka tidak ketinggalan wacana intelektual. ***














[1] Lihat misalnya uraian singkat dari Rifyal Ka’bah, Islam dan Fundamentalisme, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984 hal.31-32.
[2] Sulhan Yusuf, Tanggung Jawab Kaum Muda Muslim Dan Kebangkitan Umat Islam, Medium, Edisi I, September-Oktober 1997, hal.22
[3] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual, Bandung: Pustaka, 1985, hal.150-154.
[4] Sulhan Yusuf, of cit, hal.22-23
[5] Ibid, hal  23.
[6] Lihat artikel-polemik Sulhan Yusuf, Membedah Tema Gerakan Kaum Muda Mahasiswa, pada harian Fajar, 18 Nopember 1992, dengan M.Arief Hakim.
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Hasanuddin M.Saleh,  HMI Dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila, Yogyakarta: Pustaka Pelajar1996 hal.103
[10] Syafinuddin al-Mandari, HMi dan Wacana Revolusi Sosial, Jakarta: Hijau Hitam-PSPI, 2004, hal.
[11] Hasanuddin M.Saleh, of cit, hal.104-105
[12] Penuturan Nurcholis Madjid ini dapat dilihat pada buku Muchridji Fauzi (penyunting) HMI dalam Tantangan Zaman, Jakarta: Gunung Kulabu, 1990, hal.3-4.
[13] Memori Penjelasan PB HMI DIPO dapat dilihat pada ketetapan-ketepan Kongres ke-19, 1992 di Pekanbaru, hal.141-144.
[14] lihat Laporan pertanggung Jawaban PB HMI Periode 1990-1992, hal 43-42.
[15] Untuk memahami substansi kandungan dari Khittah Perjuangan yang telah disempurnakan, uraian mendalam yang merupakan tafsiran dariSuharsono dapat ditelaah lewat bukunya HMI Pemikiran dan Masa Depan,Yogyakarta: CIIS Press, 1997, hal.73-105.