Selasa, 30 Desember 2014

WAL-AKHIRIN


Kita sudah berada di penghujung tahun 2014. Karib, sanak, keluarga, kawan, kekasih, dan sahabat berkumpul bersama di pelataran jiwa. Saling berdepan-depan dengan imajinasi masing-masing, hujan deras mendaras negeri kami, sederas itu pula airmata kami mengucur. Betapa tidak, Sang Guru hadir di antara kami lalu menuturkan sabda: " Han..., dan juga kalian yang hadir di perhelatan jiwa. Seiring dengan berakhirnya tahun ini, kebersamaan kita kurang lebih 3 tahun, kucukupkan pula tutur-tuturku kepadamu. Aku tidak menghilang, melainkan jiwaku menubuh tumbuh pada jiwa-jiwa kalian. Dan, pada kesempatan ini pula, kumaklumatkan untuk menegaskan bahwa Han telah kutasbihkan menjadi Sang Guru. Bolehlah kalian menyapanya sebagai Sang Guru Han, mogalah Ia berkenan bertutur di masa depan."

Selasa, 23 Desember 2014

NATAL


aura Natal mengharu biru di kisaranku
teringat dengan kawan-kawan Kristianiku
semasa masih kanak-kanak dan usia sekolah
Johannis, Feri, obet, Tabita, Rifka, Adriana, Lasarus
berada di mana kalian?


ada sejumput rindu untuk bertemu
sebisa mungkin kita main bersama lagi
penuh keceriaan nan bahagia
masihkah mungkin di usia jelang separuh abad
merasakan masa kanak-kanak dan usia sekolah?

sengaja ini kutanyakan padamu
dan pada diriku
sebab dalam mengarungi kemelataan hidup
tidak sedikit pengalaman yang mengharuskan
saling benci bahkan saling meniadakan

pada sisa jatah usia kita masing-masing
kedewasaan tentulah makin menghampiri
dan puncaknya menjadi kanak-kanak kembali

aku benar-benar berharap
kala kita bertemu kembali
kita semua sudah mendewasa dalam wujud kekanakan
biar keceriaan nan bahagia itu menerungku kita

dalam terungku itulah
kita bisa saling berbagi
sebab kita berada pada nasib yang sama
ditakdirkan sebagai sesama manusia
yang mesti saling memelihara kehidupan
sebagai buah dari kelahiran
bukankah Natal berarti kelahiran?

kehidupan diawali oleh kelahiran
bagi pecinta kelahiran manusia agung
baik bagimu maupun untukku
memelihara kehidupan adalah titahnya

pengalaman hidup yang saling benci
hanyalah beternak permusuhan
pangkal permusuhan adalah benci
muaranya akan saling mematikan
mari di tengah perayaan kelahiran
kita kubur kematian

Senin, 22 Desember 2014

LUPA


Akhir pekan, daku merencanakan ke luar kota. Kupesanlah oto angkutan umum langgananku. Namun ia lupa menjemputku. Maka kucarilah oto pengganti sebagai alternatif meski tidak kukenal sopirnya. Di atas lajunya oto, kecewa campur aduk atas kejadian ini. Tentulah Sang Guru tak rela melihatku tenggelam dalam kegundahan, sabdanya pun menuntunku: " Han..., jangan kesal hanya karena lupa. Sebab, kali lain dikau butuhkan lupa untuk melupakan hal-hal yang sulit dilupakan. Jadi lupanya orang itu sebagai pengingat bagimu untuk melupakan kejadian ini agar dikau melupakannya. Mohon maaflah padanya, karena dikau menyebabkan ia merasa bersalah. Normalkanlah rasamu seperti sediakala, Itulah tandanya dikau sudah lupa akan peristiwa ini."

Jumat, 19 Desember 2014

KELIMPAHAN


Pohon jeruk yang kutanam di sudut pekarangan mukimku, sudah berbuah, melimpah berbutir-butir. Saban hari selalu ada saja yang mengambil daun dan buahnya tanpa meminta, mencuri. Gundah daku dibuatnya, sebab tidak punya waktu untuk menungguinya. Karenanya, Sang Guru pun menghujamkan tuturnya: " Han..., kelimpahanmu itu telah menjadi bencana bagi orang lain dan dirimu. Dikarenakan kelimpahan menyebabkan orang jatuh ke lembah dosa, mencuri. Dan bagimu menjadi bencana sebab tidak membagikannya pada yang mencuri itu."

PENYESALAN


adakah rasa bersalah yang lebih suntuk
dari melaparkan sekawanan burung?

jalak, pipit, kutilang
terbang ke mana kalian?

memang perlakuanku niradab
selaku sesama penghuni semesta

pohon kersen yang kutanam
telah kutebang
hanya karena khawatir
ditumbagkan angin
lalu menimpa rumah tetangga

padahal belumlah tentu
angin sejahat itu

bukankah pohon kersen itu
telah menjadi istanamu?

menyantap buahnya
bersendragurau sesamamu
gala berkasih-kasihan
tempat bercinta yang paling indah

akulah yang menanam
tapi kala tumbuh
telah jadi milik bersama

sepatutnya daku menahan diri
dari ego kepemilikan

kesegaran udara
sulit kurasakan
kerindangan di kala terik
kini tiada lagi

oh....aku sudah berlaku zalim
pada diriku
juga padamu

Kamis, 18 Desember 2014

PERCAYA


Setiap pekan, daku sering membersihkan selokan di samping-depan rumah. Namun, selalu saja ada yang membuang sampah setelah kubersihkan. Pening juga kepalaku, memikirkan ulah oknum tersebut, penasaran ingin bersua dengannya. Pada rasa penasaranku, mewujudlah Sang Guru dengan sepenggal sabda: " Han..., orang itu tau persis, bahwa dikau mampu menyelesaikan masalah sampahnya. Maka berbahagialah, sebab ia memercayaimu untuk membuangkan sampahnya. Tidak banyak orang yang bisa dipercayai pada tingkatan percaya terendah seperti itu. Bahkan, ia sendiri tidak percaya pada dirinya sendiri untuk membuang sampahnya sendiri."

Selasa, 16 Desember 2014

DION


hari ini karibku
Dion Syaif Saen berulang tahun
burung-burung berkicau
ikut mengucapkan selamat


walakin burung-burung itu
terbang jauh dan tertawan sangkar
tetaplah mereka mengirimkan salam

sebab karibku ini
telah memahat asa di sudut hatinya

seperti halnya aku
tetap merindu
walau di kejauhan
salam kulayangkan

sebab pahatannya
terukir dalam lukisan jiwa

Sabtu, 13 Desember 2014

JIWA-RAGA


bersoleklah
apa guna gedung yang dikau bangun
gelap gulita
nircahaya


kutawarkan sekunang sinar
selaku penerang
dikau menampiknya

sila tenggelam dalam kegelapan
hantu siap menyetubuhimu
nikmatilah kebinalan hasrat senggama

jiwaku makin azali
butuh raga buat bingkainya
mestinya dikau menyiapkan raganya
biar jiwaku tidak liar

kesempurnaan jiwa manakala beraga
kepatutan raga tatkala berjiwa

jika jiwaku meliar
maka tunggulah aku

di pelataran kantormu
di selasar rumahmu
pada beranda tidurmu
pada pekarangan mimpimu

karangan bunga telah kusiapkan
akan kujejer di bahu jalan
searal perintang lajumu
sebentuk penanda kematianmu

AIRMATADARAH


airmataku airmatamu airmatakita
dan darah mereka
tertampung di danau kesedihan

taklah pernah cukup
membasahi padang itu

walakin sang padang
dengan lakon kibasan pedang
akan bersaksi kelak

airmata dari berbagai penjuru
taklah lelah mengalir
mencari darah selaku kembarannya

padang tangisan airmata
pedang cucuran darah
airmatadarah

Kamis, 04 Desember 2014

SETIAKAWAN


Hari masih pagi, teriknya semenjana saja, menghangatkan tubuh. Sebisa biasaku, saban pagi di perempatan lampu merah, mampir sejenak beli koran pavoritku pada loper langgananku. Namun kali ini, ia menyorongkan temannya, diiringi ucapan: " Dia baru datang, beli saja sama dia, belum ada pembelinya pak." Daku benar-benar terkesimak, hadirlah Sang Guru bertutuir: " Han..., kesetiakawanan lebih mudah tumbuh di kalangan orang kecil. Mereka yakin akan rejeki yang terbagi, kelapangan dada mengusir keserakahan jauh darinya. Mereka percaya Tuhan dalam tindakan. Wajah Tuhan jelas di rautnya, keikhlasan menubuh padanya. Karena merekalah Tuhan menunda kiamatnya."

Sabtu, 29 November 2014

BUNTUT


Pada malam minggu dan tanggal tua semisal malam ini, sulit rasanya menolak ajakan seorang kawan lama, untuk bersantap malam. Kurang lebih 10 tahun baru bersua, nampaknya ia lebih sejahtera dari sebelumnya. Ditraktirnya daku pada sebuah warung sop buntut. Kunikmatilah sekhusyuk mungkin, ternyata benar-benar nikmat. Tiba-tiba saja Sang Guru mengada, mencecarkan tutur: " Han..., memang menyantap buntut itu nikmat tak bertara. Sama halnya sebuah peristiwa-demonstrasi, yang menarik bagi sebagian orang adalah buntutnya. Makin panjang buntut unjuk rasa makin beruntung, meski banyak pula yang buntung nasibnya. Maka cermatilah selalu, rona wajah antrian para penikmat buntut peristiwa. Mereka akan selalu menuntut buntut. Penuntut buntut."

Selasa, 25 November 2014

TIDUR





Semediku di tempat kerja makin suntuk, tenggelam dalam kedalaman pusaran hikmah. Sembari bekerja, iringan tembang lawas dari sebuah band legendaris tanah air, Koes Plus, mengalun, “Betapa megah hidupmu kau bilang, dalam tidur semuanya akan hilang”, demikian sepotong bait lagunya. Sang Guru ikut menikmati dendang itu, sambil mengurai tutur: “ Han..., tidak ada bedanya orang berpunya dan tak berpunya dalam tidur. Orang berpunya dan segala kepunyaannya tak berarti saat tidur. Orang susah dan kesusahannya akan raib kala tidur. Jelang tidur pun sama pula, susah tidur karena kesusahannnya, dan tak bisa tidur karena keberpunyaannya. Yang lebih dahsyat lagi, selagi tidur bisa bertukar posisi, orang susah bisa berkelebihan, orang berpunya jatuh berkekurangan. Maka tidur adalah cara membebaskan diri.”

Senin, 24 November 2014

DEMONSTRAN


Negeriku adalah negeri yang subur bagi tumbuhnya para demonstran, sebab setiap orang-kelompok begitu mudah mendemo apa yang tidak sejalan dengan kepentingannya. Apatahlagi pasca reformasi, ruang kebebasan menyatakan pendapat sangat terbuka. Namun setiap demonstrasi berakhir, ada simpulan Sang Guru yang dituturkan: " Han..., manakala sebuah demonstrasi-ricuh berakhir, akan menghasilkan dua macam sosok pada diri demonstran: Martir-Pahlawan dan Pecundang-Pengkhianat.Jadi amat sederhana memahaminya, sisa mengelompokkan keduanya."

Minggu, 23 November 2014

REAKSIONER





Begitu banyak berita, opini dan gambar di dunia maya yang tujuannya bukan menerangkan masalah, malah menggelapkan persoalan. Inikah sejenis tipudaya guna memperdayai yang tak berdaya? Oh ... , bagaimanalah daku menghadapi ketakberdayaan ini? Sang Guru menyahut dalam tutur: “ Han..., ketidakberdayaan dalam suatu soal tapi ingin mengambil untung terhadapnya, dengan cara berpendapat seolah cukup ahli, hanya akan mewujudkan sikap reaksioner. Gegabah, mudah percaya, tak menimbang di kedalaman pikiran adalah setumpuk tanda seseorang yang reaksioner. Kedangkalan pikiran, sesungguhnya tiang utama sikap reaksioner.”

Sabtu, 22 November 2014

NEGOSIASI





Nampaknya hari ahad kali ini cerah, hujan berhenti mengiringi jedahnya gejolak kaum muda-mahasiswa karena memprotes pengurus negeri ini yang dianggap abai terhadap orang kecil. Sang Guru duduk santai di serambi pengharapan, meminum kopi sambil bertutur: “Han..., kaum muda-mahasiswa yang bergolak itu adalah sebuah keniscayaan. Malah menyimpang dari wataknya jikalau tidak ada gejolak padanya. Bayang-bayang  masa silam dan obsesi masa depan adalah jebakan baginya. Maka ajaklah mereka untuk menegosiasikan pengalamanmu dengan tebakan masa depannya. Sambil mengingatkan, hanya dalam jedah ketenangan, kejernihan nampak terkuak.”

Jumat, 21 November 2014

HUJAN (3)


Hujan mulai bergegas turun, mensucikan semua yang kotor, makhluk berpesta menyambutnya. Sang Guru membimbingku agar tersenyum, sambil bersabda:
“ Han..., nilai hujan terletak di awal dan di akhir musim. Di awal, betapa banyak makhluk yang merindu padanya, karena kesejukan segera menyata. Di akhir, tak sedikit yang bersedih sebab akan segera kembali bersembunyi di lilitan awan. Dan, kerinduan pun padanya akan meluap-luap. Di awal musim, hujan datang menggenapkan kebutuhan. Di akhir musim, hujan pergi mengganjilkan suasana. Belajarlah pada awal-akhir hujan.”

ARSENAL





Arsenal dan Arsene Wenger. Ini bukan soal klub sepakbola dan pelatihnya an sich. Namun ini masalah gudang senjata ( arsenal) dan racun mesiu (arsen), dalam kaitannya dengan pikiran dan olah pikir. Bagi Sang Guru, seperti yang dituturkannya padaku: “ Han...pikiran itu ibarat senjata. Ia harus ditembakkan, jangan disimpan dalam arsenal pikiran, akan beku jadinya bahkan bisa berubah menjadi arsen-racun bagi yang menggudangkannya. Seperti pada permainan sepak bola, keindahannya terletak saat bola itu bergulir ke sana ke mari, dan akan menjadi masalah ketika terjaringkan dalam jala gawang. Akan menjadi racun bagi penjaga gawang, bahkan menular pada tim secara keseluruhan.”

Senin, 17 November 2014

ABDI-ABADI



Seorang tokoh panutan di negeriku berpulang pada keabadian. Ramai nian pelayat, menyemut di mukimnya, mengular pengantar ke makamnya. Setiap orang ingin mengurus jasadnya, sebagai tanda pengabdian terakhir padanya. Di tengah pusaran takjubku, Sang Guru berbisik halus di relung batinku: " Han..., tokoh panutan itu memetik buah dari pohon kehidupan yang ditanamnya. Bukankah sepanjang hidupnya, ia telah mengabdikan hidupnya untuk mengabadikan kehidupan? Semasa hayatnya, tak lelah mengumpulkan khalayak, guna menerangkan jalan-jalan abadi. Kumpulan orang itu adalah penanda abadinya dalam pengabdian. Mengabdilah agar mengabadi."

Minggu, 16 November 2014

HUJAN (2)


Hujan turun lagi, kesal dan gerutu serta umpatan nyaris terbetik dari hatiku. Soalnya, urusanku terhambat dan tertambat pada keterlambatan dalam urat nadi putaran roda kehidupan. Sang Guru tak rela melihatku terjerumus dalam sakit hati, maka tuturnya pun meluncur sederas hujan: " Han..., dikau mungkin tak berkepentingan pada hujan kali ini, bahkan menghalangi keperluanmu. Tapi ingatlah, betapa banyak orang yang membutuhkannya. Janganlah menganggap sesuatu itu tidak penting, hanya karena dikau tidak membutuhkannya. Sungguh, dalam hakekat kehidupan, kebutuhan orang lain adalah kebutuhanmu. Mungkinkah dikau hidup tanpa butuh orang lain? "

Sabtu, 15 November 2014

HUJAN (1)


Ba'da Juma'at, kupacu kuda besiku ke arah selatan kota, guna memenuhi undangan bertukar pengetahuan dengan sekelompok kaum muda yang merumuskan masa depan organisasinya. Di tengah perjalanan, guyuran hujan menderas, mendaras aspal jalanan yang panas. Perjalananku terhambat, menepilah aku, berteduh pada sebuah gubuk di pinggir jalan. Api cemburu mulai berkemas menjilati jiwaku, melihat mobil lalu lalang tak terhambat oleh derai hujan, menerobos angkuh menantang hujan. Sang Guru menepuk pangkal kesadaranku, mecegatku dengan tutur: " Han..., padamkanlah api cembutumu itu, jiwamu akan mutung akibat jilatannya. Sebab, kudengar orang-orang di atas mobil itu berbincang tentang betapa beruntung dan bahagianya seseorang yang diberi waktu jedah, berteduh karena hujan, menyilahkan hujan menunaikan tugasnya, sambil menikmati keindahan mobil lalu lalang, yang keindahannya tak sanggup diresapi oleh orang yang berada di dalamnya."

Kamis, 13 November 2014

KEADILAN


Jumat mubarak kali ini kembali mengurai aura keberkahan. Pada kemelataanku di atas semesta, bersama terungkunya cobaan masalah yang belum juga usai bersahabat denganku, Sang Guru meliukkan selaksa tutur yang tersimpulkan: “ Han..., masing-masing seorang punya paket cobaan masalahnya, begitupun wujud keberhasilannya. Tidaklah elok jika kita meminta masalah-cobaan yang sama selaku jalan tirakah, apalagi menuntut keberhasilan hasil yang sama. Keadilannya terletak pada, apakah setiap orang sanggup berdamai dengan cobaan masalah itu, lalu menjalaninya dan menikmati hasilnya, serta berbagi bahagia atasnya? “

Rabu, 12 November 2014

SEPADAN





Aku masih saja terombang-ambing dengan gejolak masalah. Di sisi yang lain, aku juga mengimpikan melata di atas bumi selaku manusia luar biasa. Kelihatannya sangatlah paradoks untuk mewujudkannya. Sang Guru pasti punya sabda akan hal ini, maka dengan gamblang pun bertutur : “ Han..., janganlah pernah berharap, apalagi bermimpi untuk menjadi manusia luar biasa, jikalau cobaan masalahmu  masih biasa-biasa saja. Setiap hasil yang tergapai, selalu bertolak pada kesepadanan. Sepadannya antara kualitas cobaan masalah dan buahnya sebagai hasil akhirnya ”

Selasa, 11 November 2014

AJAL





Selepas kutunaikan maghribku, aku bertemu dengan seorang nenek yang menunggui jualannya. Kutanyakan kesehatannya, semuanya baik-baik saja, meski kurang lebih sebulan yang lalu kurang fit dan harus makan bubur, padahal usianya sudah seratusan tahun, kisaran seabad. Baginya, pasrah saja, kapan pun ia harus pulang pada ke kekalan. Selang beberapa saat, aku dikejutkan warta dari seorang karib, atas berpulangnya putra seorang karibku yang lain, pada usia yang masih muda, kurang dari seperempat abad, sekitar 20-an tahun. Singkapan rahasia pun terkuak dari tutur Sang Guru: “Han..., itulah kedudukan ajal bagi setiap anak cucu Adam, ada yang bersiap menunggunya namun tak kunjung datang. Ada pula yang kelihatannya belum siap, sertidaknya bagi orang sekitar yang terkaget akan hadirnya ajal yang tiba begitu saja.”

Minggu, 02 November 2014

WARISANKU


anak cucuku
kelak kan kuceritakan
risaurisauku akan negeri
yang wakil rakyatnya
mempertontonkan keserakahan
pada kuasa


cucu anakku
tumpukan carikcarik kertasku
telah menggunung
lahar katakata telah kukalimatkan
pun sudah kuparagrafkan

kala waktunya tiba
akan kumuntahkan di selasar jiwamu
menjadikannya dongeng mengerikan
biar tidurmu tidak nyenyak
sebab memikirkan pendahulumu
yang tak layak melata di negeri ini

TARIAN


Masih saja saya berkutat pada soal-soal hidup dan kehidupan. Terungkunya mengular, melilit diri bagai tak berujung. Walau upaya tak jemu jua kutangguhkan, berusaha keluar dari kubangannya. Oh... Sang Guru, mungkinkah dikau menerlantarkanku, hingga cukup lama tak menyapa? Rengekanku menusuknya, hadirlah sabdanya: " Han..., belajarlah pada para peselancar. Mereka tetap bisa menari di atas gejolak ombak. Menaklukkannya, lalu mempertontonkan keindahan gerak, kelenturan tubuh beradaptasi pada liukan keseimbangan. Seharusnya demikian pula dengan jiwamu yang resah, rusuh hati akibat tekanan masalah. Menarilah di dalamnya dengan tarian jiwa."

Kamis, 23 Oktober 2014

WASPADA


Entah apa sebenarnya yang kupikirkan, kala keliaran asa menari-nari di selasar jiwa, namun tiba-tiba saja Sang Guru menerobos tanpa permisi, guna membabarkan tutur : " Han..., jangan pernah membiarkan suatu tempat tak bertuan, sebab penjarah akan merompak tanpa takut akan Tuhan apalagi penjara."

Minggu, 19 Oktober 2014

SELAMAT


kusobek secarik kertas
dari buku bekas yang sudah usang
kutuliskan sesuatu
serupa ucapan selamat


lalu kujadikannya perahu kertas
pun kuberjongkok di tubir pantai
merelakan perahu kertasku berlayar
kuyakin akan sampai tujuan

entah berapa lama waktu yang dicukupkan
hingga perahu kertasku tiba di istananya
mungkin lima tahun pun belumlah tiba
bahkan kala ia telah meninggalkan istananya

selamat bekerja
demikian nama perahu kertasku

TITIAN


Pagi masih buta, saling bercakap lewat telpon dengan seorang karib, tentang reski yang kadang masih tertunda. Ia menebakku kurang sehat, sebab suaraku tidak seperti biasanya. "Mungkin kena influensa", katanya. Betul sekali tebakannya, dan Sang Guru menyela percakapan, tuturnya: " Han..., kali ini Tuhan barulah memberimu influensa sebagai reski, selanjutnya akan diberinya kamu pembeli obat, dan itulah reski yang sebenarnya. Bukankah setiap sesuatu harus punya titian?"

INDONESIA


di tubir pantai seruni bantaeng
hempasan ombak laut flores tertambat

geloranya mendesakkan asa
hanya kelapangan pantai seruni
terlalu damai untuk dicabik

luluh sudah gejolak
sebab kecupan lembut pantai seruni
merasuk dingin membekukan panas hati laut flores

hanyalah kedinginan sebagai penawar kepanasan
sekali lagi kelembutan menaklukan kekerasan
dalam keteduhan selayak lautan teduh
pesta rakyat layak digelar

pesta memang hingar bingar
tapi kalau rakyat menginginkan
pastilah damai menjadi asasnya

esok senin bersejarah
pada 20 oktober 2014
delapan hari sebelum perayaan sumpah pemuda
kaum muda menancapkan harap
pada indonesia hebat
dengan iringan kibaran merah putih

Sabtu, 18 Oktober 2014

OPTIMIS


Ahad pagi yang semenjana teriknya, daku berkasih-kasihan dengan kekasih, pada ruang batin percakapan tentang hidup dan kehidupan, yang cukup membelenggu asa. Terpuruk dalam tubi masalah, membincangkannya adalah sebentuk terapi jiwa. Sang Guru menimpali kami, sebentuk tutur meluncur: " Han..., tidak banyak orang yang masih bisa menggapai bahagia, kala keterpurukan materi melilit. Justeru karena lilitannyalah, bahagia menjadi benderang. Bukankah di balik keredupan, menjanjikan keterangan? "

Rabu, 15 Oktober 2014

KEMBARA


Seorang karibku makin kencang melanglang buana, menjajaki negeri-negeri di seantero jagat. Lalu apa yang bisa dipetik dari seorang pengembara? Pada kedalaman batin, Sang Guru menerobos lewat tutur: " Han..., seperti halnya burung yang terbang meninggalkan sarang, ada dua jenis pengembara. Pertama, yang terbang sekadar mengangkangi buana, terbang berkeliling di atasnya. Kedua, pengembara yang mencari pengalaman untuk balik ke kandang, lalu membagikan apa yang diperolehnya. Membumikan yang di angkasa, memizankannya dengan situasi kampung halaman."

Selasa, 14 Oktober 2014

SOAL


Terus terang, akhir-akhir ini aku uring-uringan. Pasalnya, lagi kebingungan memulai dari mana menangani persoalan yang melanda salah satu tempat aktivitasku. Namun, Sang Guru sejak dini menasehatkan: " Han..., memulai aktivitas yang baru, sangatlah mudah memulainya. Sebab, belumlah ada beban-beban capaian yang senantiasa menghantui. Sebaliknya, aktivitas yang sudah mapan, lalu kemudian bermasalah, jauh lebih sulit menanganinya. Dibutuhkan kapasitas berlipat-lipat."

Senin, 13 Oktober 2014

DIKAULAH



cintaku memang buta
cahaya-Mu-lah penerangnya

pikiranku liar tak bertepi
sinar-Mu-lah labuhannya

imajiku terbang nirbatas
kepastian-Mu-lah tenggernya

hasratku meluap tumpah ruah
tutur-Mu-lah tuntunannya

di-Kau-lah pualamku
tergelincir pun daku rela

walau harapku
berselancar di kilaunya

Selasa, 07 Oktober 2014

POHON


Aku terkesima dalam takjub, berdepan-depan dengan pepohonan yang dihiasi lampu, kerlap-kerlip batang-tangkainya. Sungguh heran Sang Guru memerhatikan lakuku yang amat kekanak-kanakan ini, maka ditohoknya daku dengan sebilah tutur: " Han..., maksud dari orang yang menghias pepohonan itu ingin memperindahnya, padahal justeru mengasingkannnya. Tidakkah dikau dengar jeritan pohon sepanjang malam, yang seharusnya sudah tidur, tapi masih dipaksa untuk melek, berhias demi berbagai pasang mata yang serakah pada keindahan tipuan mata? "

SUDAHILAH


malam ranum disiram cahaya rembulan
walau dingin tak ingin menepi

masamu di ujung nasib
takdir dikau pahat sendiri

pada bongkahan keluguan
nasib memang beda dengan nasi

sebab nasib mengundang rakdir
sedang nasi memanggil basi

basa basi bisa berbisa
mematikan di sisamu

waktumu berakhir
sudahilah sudah yang memang berkesudahan

di tanganmu nasibmu tergenggam
pada jiwamu takdir menanti

penjara raga berhingga
terungku jiwa nirhingga

Kamis, 02 Oktober 2014

HAJI (2)





aku  ingin berhaji
demikian mulanya
untung belum sampai wujudnya

lalu kuhanya butuh haji
bersama Ali Shariati
itulah akhirnya

walakin belum terwujud butuhku
tubuhku sudah menggenapkannya

cukuplah menamatkan risalah Hajinya Ali Shariati
jiwaku telah tiba di tanah suci
walau ragaku masih terterungku di negeri sendiri

Rabu, 01 Oktober 2014

HAJI (1)


aku belum bisa berhaji pada tahun ini
tahun-tahun depan juga belum pasti

aku ingin sekali dipanggil Haji
maka kuputuskan untuk menggaib
selama musim haji
atas anjuran bisikan pembisik
meski berisik di pikirku

pergi meninggalkan kampung
lalu kutelusuri pasar-pasar
banyak nian pernak-pernik haji
buat tandamata kala pulang

di pasar Butung aku terdampar
kukulaklah songkok, tasbih, sajadah, karpet dan cincin
kusampari pula mal-mal
buat nambah cendramata

ini semua kulakonkan
demi suatu panggilan : pak-bu Haji

Senin, 29 September 2014

BIJI (2)


Sang Guru berkhotbah di selasar jiwaku: " Han..., tahukah dikau bahwa tidak semua orang layak ditanam bijinya? Orang-orang yang hanya selalu menjadikan dirinya sebagai pusat dari sebuah pusaran kegusaran hidup itulah yang harus dicegah untuk tumbuh. Orang demikian akan mematikan kehidupan, sebab hanya bijinyalah yang selalu ingin ditumbuhkan."

BIJI (1)


Terkagum-kagum daku memandang pohon mangga yang lagi ranum buahnya. Pelajaran apa yang paling mungkin bisa kugapai dari ketakjubanku ini? Lamat-lamat Sang Guru menyata dalam bisik, di sela-sela berisiknya aneka burung pemakan buah, tuturnya: " Han..., tidak semua biji dari buah bisa tumbuh. Hanya biji pilihanlah yang menumbuhkan kehidupan."

Jumat, 26 September 2014

TUA


Aku bercermin, nampak uban pada rambutku yang rontok. Kuperhatikan raut muka rupanya keriput mulai membentuk bak petak-petak sawah. Kuberlari, nampaknya tulang belulang bunyi mengilu. Kumemandang hamparan, rabun pula yang menampak. Usia makin tua jawabannya. Meski demikian, Sang Guru tetap setia menghibur dengan tutur: " Han..., usahlah risau pada usiamu yang makin menua. Tua bukan untuk dilawan, tapi diakrabi. Uban, keriput, ngilu adalah sejenis alamat yang diberikan Tuhan, sebagai penanda agar bersiap, sewaktu-waktu buat kembali padaNya. Bersyukurlah, sebab Dia masih memberi alamat padamu, moga dikau tidak kesasar, tak mengerti jalan kembali."

PANGGUNG


apa yang bisa kukisahkan
pada anak cucu kelak

kala mereka bertanya

apa yang buyut bikin
saat karut marut kehidupan negeri
hanya ditentukan oleh segelintir orang?

akankah kujawab dengan jujur
bahwa daku tak mampu berbuat
tak lebih dari sekadar penonton
atas orang-orang yang kehilangan panggung

bagi orang yang akan kehilangan
apatah kehilangan panggung
bakal menempuh bermacam cara
demi sintas panggungnya

sebagai jawabku buat anak cucu
inilah tuturku sebagai penyambung
walau tak kuat berhadapan
dengan para pemanggung

sebab daku tidak lebih
dari seorang pemanggul panggung

Kamis, 25 September 2014

PENDAM



Jumat Mubarak kali ini lain dari biasanya bagiku. Pada jumat-jumat terdahulu, selalu saja ada yang bisa kungkapkan sebagai pelipur lara atas suasana sekitar. Kali ini benar-benar buntu. Memang pekan ini adalah pekan yang kalut, kacau pikiran dan rusuh hati melilitku. Sang Guru menyambut hangat keadaanku ini dengan sejumput tutur: " Han..., yang dikau alami itu mestinya memang harus dipendam. Sebab jangan sampai dikau menulis atau bertutur masih dalam suasana kacau. Kekacauan akibat tulisan dan tuturmu jauh lebih berbahaya dari keadaan kacau di kisaranmu, sebab engkau telah ikut menambahkannya."

Senin, 22 September 2014

DAENG LITERE (3): GEDUNG PERTIWI

Entah siapa awalnya yang memberi nama gedung itu dengan nama Pertiwi. Yang pasti, makna pertiwi adalah berarti bumi. Mungkin makasud si pemberi nama dimaksudkan agar gedung itu membumi bagi masyarakat, atawa tempat masyarakat membumikan maksud dan tujuaannya.

Gedung Pertiwi Bantaeng, terletak bersebelahan dengan rumah jabatan Bupati Bantaeng. Selama ini, Gedung Pertiwi memang berfungsi sebagai tempat hajatan, membumikan maksud dan tujuan masyarakat Bantaeng. Pernah  dipakai  sebagai tempat resepsi perkawaninan, tapi belakangan lebih berfungsi sebagai tempat pertemuan, seminar-diskusi-lokakarya-konfrensi dan pementasan bagi organ-organ kemasyarakatan, khususnya organ-kounitas kaum muda Bantaeng.

Namun gedung itu kini beralih fungsi. Oleh Pemerintah Kabupaten Bantaeng disulap menjadi Ruang Pamer Investasi. Awalnya, saya biasa saja menanggapinya. Nanti setelah saya sampaikan pada seorang kawan pegiat literasi-seni-sastra, Dion Saef Saen barulah saya serius memikirkannya. Apa pasal? Ketika berita ini kuutarakan pada Dion, sejenak ia tertegun, menghela nafas lalu menarik nafas panjang, dan matanya berkaca-kaca. Ada bening kristal yang ingin menyembul keluar dari kelopak matanya, tapi malu, hingga hanya meleleh saja. Air matanya meleleh, sedih tak terkira, galau tak terduga.

Saat itu juga kuajak Dion mencari udara segar. Meski malam itu agak sejuk, tapi dalam jiwa ada panas yang menggeliat. Maka kuajaklah ke tempatnya Daeng Sido, warung sarabba legendaris, telah ada sejak tahun 1972, guna minum sarabba, biar hawa sejuk dan jiwa panas melarut dalam sedapnya seruputan demi seruputan sarabba. Malam itu, tidak ada perbincangan serius dengan gedung itu, saya takut melarutkan Dion dalam kesedihan yang berlipat-lipat.

Saya membatin, lebih baik masalah gedung ini kuobrolkan dengan Daeng Litere, siapa tau ada terobosan-terobosan pemikiran yang lebih mendalam, tinimbang larut dalam sedih.

Tiga hari kemudian, saya bertandang ke mukimnya Daeng Litere. Saya pilih waktu sore, agar perbincangan lebih santai, dan tak mengapa jikalau saja berlanjut hingga larut malam. Toh, memang kebiasaanku dengan Daeng litere, makin suntuk makin dalam pula kualitas perbincangan.

Basa-basi pun mengawali percakapanku dengan Daeng Litere, dan dalam sekejap suguhan kopi hitam khas Bantaeng, kopi Banyorang-Ereng-Ereng pun sudah ikut tersaji. Awalnya, saya amat gelisah untuk mengutarakan maksud kedatanganku untuk berbincang tentang Gedung Pertiwi. Saya takut, jangan-jangan Daeng Litere sama saja rasanya dengan Dion. Betul saja dugaanku. Matanya berkaca-kaca menahan kegalauan. Sepertinya Daeng Litere kehilangan yang amat berarti baginya. Lalu saya pun bertanya tentang nasib para pengguna gedung itu.

Tutur-tutur bergetar keluar dari ucapannya. “ Bagiku gedung itu, bukan saja sebongkah bangunan. Bangunan yang sejenis itu mudah ditemukan bahkan segera bisa dibangun kalau ada kemauan. Tapi bukan di situ duduk soalnya. Pasal yang paling memengaruhiku adalah akan kemana lagi kaum muda untuk menambatkan asanya untuk mengembangkan diri, jikalau tempat untuk membumikan maksud idealnya hilang begitu saja?”

Setelah terdiam, jedah beberapa saat, Daeng Litere melanjutkan tuturnya, “Berapa banyak agenda yang telah terealisir, yang diwujudkan oleh kaum muda kita, rumusan-rumasan cerdas untuk negerinya dan juga pementasan-pementasan seni dan karya sastra yang mengasah kepekaan sosial-budaya anak negeri. Cukuplah tidak adanya gedung kesenian, pusat kebudayaan atau sejenis museum menjadi luka tersendiri bagi negeri yang abai terhadap nasib kebudayaannya. Jangan tambah lagi luka yang telah menganga ini.”

Sore makin terdesak, senja makin menua, malam bersiap menyambut, magrib pun tiba, perbincangan mesti jedah. Saya pamit dulu, pulang ke rumah, tunaikan kewajiban magrib, namun sebelumnya saya katakan pada Daeng Litere bahwa nanti malam obrolan dilanjutkan, tempatnya di beranda Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan. Ia pun mengiyakan ajakanku.

Malam makin mengental, sekental jiwaku yang menggebu karena ingin segera menikmati perbincangan dengan Daeng Litere. Tidak terlalu lama saya menunggu di beranda Boetta Ilmoe, Daeng Litere muncul setepat janji yang kami tunaikan. Sebelum perbincangan dimulai, Daeng Litere sudah mengajukan ‘proposal” pada saya, agar disediakan kopi dan tentu seperangkat laptop, guna memutar lagu-lagu kesayangannya, tembang-tembang lawas Koes Plus.

Sereput demi seruput kopi kami nikmati, alunan tembang-tembang lawas mengiringi khusyuknya perbincangan. Dan, tiba-tiba saja Daeng Litere meluncurkan kalimat-kalimatnya. “Pengalihan fungsi gedung memang sepenuhnya di tangan Pemerintah, apalagi kalau itu adalah asetnya. Namun selayaknya dipertimbangkan pula alternatif apa yang harus diberikan sebagai jalan keluar dari rasa kehilangan masyarakat yang sering menggunakannya.”

Saya lalu menimpali, bukankah ada beberapa gedung yang bisa dipakai sebagai pengganti? Semisal: Balai Kartini, Kantor BAZ, Aula Koperasi Beringin dan Gedung Korpri. Namun menurut Daeng Litere, semua gedung itu tidak merepresentasikan Gedung Pertiwi. Baginya, Gedung pertiwi adalah “tempatnya sederhana. Terjangkau sewanya, strategis tempatnya, dan mudah diformat sesuai kebutuhan acara. Tidak terlalu luas atau pun sempit.” Ujar Daeng Litere.

Sesekali perbincangan kami ngelantur tak karuan, selingan canda apalagi. Namun, ada pernyataan Daeng Litere yang menohokku. “Aku yakin ada hikmah di balik pengalihan fungsi gedung itu. Siapa tau dengan cara inilah pemerintah akan menyiapkan alternatif. Sebuah tempat atawa pusat kegiatan, yang memang betul-betul menjadi sentrum aktifitas berkebudayaan. Dimana gedung itu bukan saja sekadar tempat diskusi, seminar atau pementasan, tapi .... sekali lagi sebagai pusat kebudayaan.”

Saya paham sekali jikalau Daeng Litere sudah begini gaya tuturnya, dalam lubuk pikirannya, sesungguhnya Ia sementara menyindir, dengan menancapkan harapan yang begitu besar. Begitulah caranya menghibur kegundahan. Saya pun hanya sanggup berkata amin...amin.. amin...dan wallahualam.

Minggu, 21 September 2014

Putu Setia - SBY - Jokowi

SBY - Jokowi

Sabtu, 30 Agustus 2014 | 23:28 WIB
Putu Setia


BALI ibarat kedatangan dua kepala negara yang mengadakan KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) pada Selasa lalu. Keamanan di kawasan Nusa Dua diperketat. Hotel tempat pertemuan kedua tokoh itu dijaga berlapis. Wartawan, baik media cetak, televisi, maupun online, dan wartawan media sosial (jurnalis warga, ehm, keren) sudah menunggu sejak siang, padahal pertemuan dimulai malam hari.


Siapa kedua petinggi itu? Yang satu masih menjabat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, disingkat SBY. Yang satu lagi, Presiden terpilih Joko Widodo, dipopulerkan Jokowi. Ealah, kenapa begitu genting?

Karena pertemuan ini, menurut pengamat, bersejarah. Untuk pertama kali presiden yang akan lengser bertemu dengan presiden yang akan menggantikan. Sejarah mencatat-begitu kata pengamat yang belum kehilangan nyinyirnya di televisi-SBY telah menorehkan tradisi yang bagus dalam pergantian kepemimpinan nasional.


Soeharto menggantikan Sukarno dengan mengganjar "tahanan" untuk Sang Proklamator. Soeharto digantikan B.J. Habibie dengan "dipaksa" lewat aksi mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR. Habibie diganti Abdurrahman Wahid dengan menolak pertanggungjawabannya di MPR, dan Abdurrahman Wahid pun digantikan Megawati dengan "persekongkolan" di MPR juga. Mega digantikan oleh SBY dengan pemilihan langsung oleh rakyat tetapi hubungan keduanya beku. Nah, layaklah pertemuan SBY dan Jokowi jadi sejarah.


Rakyat yang lebih banyak di rumah menonton televisi-sulit keluar karena Premium sudah langka di sepanjang Aceh sampai Merauke-menunggu siaran langsung pertemuan itu. Jokowi pun terlihat tergopoh-gopoh menghampiri SBY, mengenakan baju batik, bukan baju putih yang lengannya digulung. Jokowi sadar ini bukan blusukan, tetapi pertemuan formal, harus berpakaian rapi sesuai dengan budaya Nusantara. Dia disambut SBY dengan kedua tangan, sesaat melakukan cipika-cipiki (ini ritual formal yang tak perlu dijelaskan), lalu menuju meja dengan dua kursi yang sudah disiapkan. Pertemuan empat mata.

Seusai pertemuan, kedua tokoh diberi mimbar yang bentuknya sama persis, dengan lambang Garuda Pancasila-bukan garuda yang lain. Keduanya menjelaskan apa yang dibicarakan. Apa? La, apa, ya? Ini adalah pertemuan awal yang akan dilanjutkan dengan pertemuan berikutnya, begitu inti penjelasan. Ya, formal banget.


Esoknya, dan esoknya lagi, beredar berita bahwa Jokowi mengusulkan agar SBY segera menaikkan harga bahan bakar minyak, tetapi SBY menolak. Berita ini terus digoreng sehingga apa benar hal itu dibicarakan dalam "empat mata" tak jelas. Atau hanya dibicarakan dalam "bukan empat mata", juga tak jelas. (Belum ada komentar dari Tukul Arwana, host Bukan Empat Mata). Tiba-tiba saja Jokowi mengatakan: "Saya siap tidak populer untuk menaikkan harga minyak."


Jika SBY takut (lebih bagus kata itu diganti hati-hati), tampaknya Jokowi sudah mantap menaikkan harga minyak, kompak dengan Jusuf Kalla, wakilnya. Tetapi tak sesuai dengan tuit dari Megawati (@MegawatiSSP) yang intinya lebih baik cari jalan lain, misalnya Premium bersubsidi dilarang untuk mobil dan sepeda motor di atas 150 cc. Tak sesuai pula dengan pernyataan Faisal Akbar, deputi tim transisi, yang menyebutkan: ada opsi lain seperti menaikkan pajak sepeda motor dan mobil, lalu mengoptimalkan pajak tambang. Bahkan tuit Rieke Diah Pitaloka (@Rieke_RDP) lebih keras: TOLAK KENAIKAN HARGA BBM (huruf kapital sesuai dengan aslinya).


Minyak mudah membakar atau membuat orang tergelincir. Sebelum saya tergelincir, lebih baik saya akhiri tulisan ini. Biarkan SBY dan Jokowi yang menulis sejarah.

Putu Setia - Yogya

Yogya

Koran Tempo-Sabtu, 06 September 2014 | 23:01 WIB
Putu Setia


Yogya istimewa. Irama rap yang mendominasi pentas From Republik Jogja with Love ini cukup jeli menggambarkan keistimewaan Yogyakarta. Dibawakan dengan riang dan jenaka, para penyanyi rap melantunkan berulang-ulang: Yogya, Yogya. Yogya istimewa. Istimewa makanannya, istimewa orangnya....

Pentas itu sudah lama, 29-30 Maret 2011 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Saat itu terjadi polemik apakah Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dipilih atau ditetapkan oleh pemerintah pusat dengan mengangkat Sultan sebagai gubernur dan Paku Alam sebagai wakil gubernur. Pentas ini mengkritik tajam tentang digugatnya keistimewaan Yogya.


Yogya memang istimewa. Bukan cuma makanan dan orangnya. Sampai sekarang pun orang Yogya tak pernah bisa menulis dengan seragam nama wilayahnya. Pemerintah Provinsi sudah menetapkan nama yang baku: Daerah Istimewa Yogyakarta. Kata itu diambil dari nama Keraton Hayogyakarta Hadiningrat. Tapi orang banyak menulis kata Jogja atau Jogya, bahkan Djogja. Padahal di Kepatihan, pusat pemerintahan tempat Sultan dan Paku Alam berkantor, nama provinsi ini jelas disingkat DIY, bukan DIJ, apalagi DID.

Orang Yogya terkenal halus bertutur kata, meski kadang terlontar kata seperti "asu". Kata ini, yang artinya anjing, dilontarkan bukan dalam bentuk umpatan, melainkan nuansa kekerabatan yang kental disertai tawa. Di media sosial pun, kata asu acap nongol dalam percandaan akrab, selain kata ndasmu.


Kini Yogya semakin istimewa ketika sumpah serapah Florence Sihombing muncul di media Path, sebuah laman pertemanan yang lebih bersifat pribadi. Florence, mahasiswi S-2 Fakultas Hukum UGM, tak mau antre saat hendak mengisi Pertamax di sebuah SPBU. Alasannya, ia membeli Pertamax kenapa harus antre bersama pembeli Premium? Flo benar. Tapi ia salah ketika ngamuk di masyarakat yang berbudaya halus dan mengumpat di Path dengan kata: tolol.


Flo, yang berasal dari Medan, tak menduga kata tolol itu menusuk hati orang Yogya. Ada 15 LSM mengadukan Flo ke polisi, dan polisi pun sangat tanggap. Flo diperiksa dan ditahan. Tapi warga Yogya juga kesal atas penahanan Flo. Tak seharusnya kata tolol membawa mahasiswi ini ke tahanan. Polisi dikecam. Sultan HB X dan permaisuri Ratu Hemas turun tangan. Flo meminta maaf, dan Sultan pun meminta masyarakat Yogya memaafkan, sementara Ratu Hemas meminta LSM itu menarik pengaduannya. Pemimpin LSM tidak mau. Perkara jalan terus meski Flo hanya wajib lapor.


Apakah tolol lebih kasar dari asu atau ndasmu? Kehalusan (dan kekasaran) kata tergantung budaya dan kepada siapa kata ditujukan. Fahri Hamzah menggunakan kata sinting dan bodoh untuk Jokowi, tapi tak ada yang menuntut politikus ini. Apakah beda bodoh dengan tolol?


Sikap LSM Yogya menarik, bahwa muncul kelompok fundamentalis di berbagai budaya yang justru berdalih mempertahankan budaya lokal. Di Bali, ada LSM anak-anak muda yang memprotes pemakaian peci dan kerudung karena dianggap "propaganda agama". Ketika protes ini menyebar dan seolah mewakili Bali, betapa repotnya tokoh-tokoh Bali menjelaskan ke publik. Anak-anak muda itu tak tahu bahwa peci adalah lambang nasionalisme yang bahkan dipakai pejabat di Bali pada hari tertentu. Kerudung itu budaya leluhur pertanda wanita terhormat, lihat tokoh-tokoh wanita dalam sinetron Mahabharata, semuanya berkerudung.

Munculnya kelompok fundamentalis di berbagai daerah seperti mewabah. Dalih mempertahankan budaya lokal justru menjadi bumerang untuk keluhuran budaya itu sendiri. Dalam kaitan ini, Yogya tak lagi istimewa, karena sama saja dengan daerah lainnya. ANI

Putu Setia - Pemimpin

Pemimpin

Kora Tempo-Sabtu, 13 September 2014 | 23:41 WIB
Putu Setia


Apa lagi yang mau ditulis soal Ahok? Semuanya sudah terbuka. Caranya marah, caranya membela diri, intonasi suaranya, gesture tubuhnya saat bicara, semuanya telanjang. Apakah dia pemimpin ideal?

Pemimpin ideal itu tergantung masyarakat yang dipimpinnya. Gaya kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pas untuk Jakarta. Kekerasan yang jadi watak Jakarta memerlukan pemimpin yang bergaya preman. Kalau marah menggebrak dan tak segan mengajak orang berduel. Di mana ada pemimpin yang mengajak orang berduel?


Ahok berani keras dan mengecam perilaku pejabat yang korup karena ia tahu dirinya bersih. Ia berani menantang karena tahu lawan-lawannya bermasalah. Ada yang pernah dibui dalam kasus korupsi. Ada yang preman suka memalak hak orang. Belajar dari pengalaman gubernur sebelumnya, Jakarta hanya sukses dipimpin gubernur yang juga keras kepala. Ada Ali Sadikin. Dan sekarang Ahok memberi harapan.

Gaya kepemimpinan Ahok pasti tak cocok untuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Masyarakat Yogya tak perlu dimarahi dengan menggebrak meja. Jika Sultan HB X kesal, dengan sorot mata tajam sudah membuat "yang disorot" sadar. Sultan tak mungkin mengajak berduel.


Di Bali pun, Ahok pasti tak cocok. Di sini Mangku Pastika, yang mantan jenderal polisi, diterima dengan baik. Berpuluh tahun ia di luar Bali dan tentu melihat ketimpangan lebih jernih, lalu ia datang membangun Bali tanpa ada beban disekat oleh faktor klan-penyakit pemimpin Bali. Pendekatannya kepada masyarakat tepat. Bertutur halus tidak menuding seperti Ahok.


Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya, pun punya gaya yang khas. Ia tak segan memungut sampah di jalanan dan bisa marah-marah ketika taman kotanya dirusak gara-gara ada perusahaan yang menggelar promo. Ia meledak seperti Ahok, namun ia bisa meratap seperti Mangku Pastika ketika kedatangan orang-orang malang yang perlu dibantu.


Negeri ini bergerak ke arah yang lebih baik seolah-olah alam ikut menyeleksi pemimpin dan menempatkannya di mana diperlukan. Ridwan Kamil, arsitek yang sudah populer itu, ditempatkan "alam" di Bandung untuk mengembalikan kejayaan Kota Kembang yang dulu asri. Kota Lautan Api yang menyimpan sejarah bangsa harus dikembalikan ke budaya Padjadjaran yang luhur. Ketika ada yang mengejek Kota Bandung di media sosial, Ridwan bisa marah dan melaporkan pemilik akun itu ke polisi. Namun kemarahan Ridwan tak sampai menantang si pemilik akun untuk berduel. Ridwan justru ingin berdialog. Ridwan bukan Ahok.


Ada Ganjar Pranowo di Jawa Tengah, lemah lembut sebagaimana orang Jawa, tetapi tegas tak kepalang tanggung ketika melihat penyimpangan di jembatan timbang. Masih banyak contoh pemimpin yang ternyata pas dengan ritme budaya di mana dia memimpin.


Sayang sekali, kini tertutup pemimpin seperti itu kalau saja RUU Pilkada disahkan DPR pada 25 September nanti. Rakyat dicabut haknya untuk memilih pemimpin yang disediakan alam. Semua pemimpin yang disebutkan di atas, kecuali Sultan HB X, adalah "pemimpin pilihan alam". Ahok yang mendampingi Jokowi sulit terpilih kalau bukan rakyat yang memilihnya. Apalagi Mangku Pastika, tak mungkin menjadi Gubernur jika yang memilihnya anggota DPRD. Pastika diusung Demokrat, dan Bali mayoritas PDI Perjuangan.

Para wakil rakyat membawa demokrasi kita kembali ke Orde Baru, sedikit demi sedikit. Ya, rakyat "keliru" memilih wakilnya, tak mengira kalau wakilnya punya "program terpendam" seperti itu. Sepuluh tahun pemerintahan Presiden Yudhoyono yang dikenang hanya masa-masa akhirnya: hak rakyat untuk memilih pemimpin telah dirampas.

Putu Setia - Kabinet

Kabinet

Koran Tempo-Minggu, 21 September 2014 | 00:37 WIB
Putu Setia

Kaget juga saya ketika dipanggil Romo Imam untuk membicarakan masalah pekerjaan. Mau bekerja apa lagi sudah tua begini? Ternyata yang dimaksudkan adalah rencana anaknya yang akan membuat percetakan kecil-kecilan dan pembuatan papan nama. "Begitu Jokowi dilantik sebagai presiden, usaha ini akan kebanjiran order," kata Romo.


Saya biarkan Romo menjelaskan lebih gamblang. "Jokowi sudah mengumumkan struktur kabinetnya. Beberapa kementerian berganti nama dan ada kementerian baru. Semua ini mempengaruhi hal-hal kecil tetapi besar biayanya. Papan nama semua sekolah berganti huruf. Dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Di Bali ada dua ribuan desa, kalau di setiap desa ada tiga sekolah dasar, itu sudah berapa ribu papan nama berganti."


"Tapi kan tak harus ganti, Romo, tinggal dihapus dan ditulis ulang," kata saya seadanya. Romo tertawa: "Papan namanya sudah rusak terlalu sering diganti. Dulu Departemen Pendidikan Nasional, lalu Kementerian Pendidikan Nasional, terus Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan."


Saya baru sadar ada hal sepele begini. "Surat-menyurat pasti diganti pula. Kop surat, amplop, map, kuitansi, juga kartu nama para guru," kata Romo. "Cetak-mencetak yang kecil ini tak praktis di percetakan besar. Pasti yang dicari percetakan dengan mesin kecil. Ini baru satu kementerian. Belum lagi kementerian baru seperti Kementerian Agraria. Berapa juta brosur akta transaksi tanah harus dibuat ulang untuk mengganti Badan Pertanahan Negara menjadi Kementerian Agraria. Wow, bisnis yang menguntungkan."


"Apakah Jokowi tak menghitung biaya ini?" saya bertanya. Romo menjawab, "Saya kira Jokowi terlalu idealis sehingga lupa hal-hal kecil. Bahkan dia juga lupa betapa sulitnya menyusun kabinet dalam sistem politik di Indonesia di mana partai-partai berjuang untuk kekuasaan dan bukan berjuang untuk kesejahteraan rakyat. Jokowi boleh berkata: jangan pisahkan saya dari rakyat, akan menjadi presiden rakyat dan seterusnya. Tapi kenyataan yang sudah dan akan dia hadapi lain. Dia adalah presidennya partai, karena partai yang mendukungnya dan partai pula yang menentukan apakah programnya untuk rakyat berjalan atau tidak. Parlemen itu kan perpanjangan partai."


Karena Romo sudah "berpolitik", saya lebih baik diam. "Jokowi merampingkan kabinet saja gagal. Koalisi tanpa syarat juga gagal karena partai sudah dijatah 16 menteri. Rangkap jabatan menteri dengan pengurus partai pun bisa gagal. Muhaimin Iskandar dan Puan Maharani sudah jelas menolak. Mau melawan Muhaimin ya pasti riskan, kalau dia ngambek, kekuatan Jokowi di parlemen makin ambruk. Justru Jokowi harus merangkul partai di seberang untuk memperkuat parlemen dan untuk itu iming-imingnya apalagi kalau bukan kursi menteri. Bagaimana bisa bilang tanpa syarat? Di negeri ini, syarat dan ketentuan berlaku."


Romo tertawa dan saya hanya tersenyum. "Jokowi lebih baik bicara soal penghematan yang riil. Misal, enggak usah beli mobil baru untuk menteri, memangkas perjalanan dinas dan rapat menteri. Iritlah bicara soal figur menteri, nanti bisa jadi bumerang. Untuk bicara profesional pun saya pikir tak usah diteruskan. Kriterianya sulit. Ada bankir sukses ternyata insinyur elektro. Ada wartawan profesional ternyata lulusan institut pertanian dengan skripsi tahi kambing untuk pupuk. Apalagi profesional partai, ini istilah mengada-ada. Jokowi lebih baik membangun komunikasi dibanding terjebak istilah-istilah sesaat."


Saya terus diam dan menduga Romo lupa kenapa saya datang.

Sabtu, 20 September 2014

GALAH-GALA


Pada minggu pagi nan cerah ini, secercah harapan melangit, membiru di angkasa. Bersama putriku, dengan kuda besiku, melaju menerobos asa, guna mengasah minatnya bermain basket. Di pusat olah raga, ada satu olah raga yang mencuri mataku, Lompat Galah. Kala suntukku tajam memerhatikan, bagaimana sebatang galah dengan indahnya membantu si Atlit melewati mistar, saat itulah Sang Guru menyerudukkan hikmah: "Han..., galah adalah pengungkit untuk menyeberangi rintangan. Ibaratnya, sejenis gala yang melicinkan jalan untuk mencapai tujuan. Maka menjadi wajiblah bagi setiap orang untuk mencari galahnya, yang berfungsi sebagai galanya, agar segala tujuan hidup lebih mudah tergapai."











































 
Narsis







Launching buku : Dari 12 Menjadi 127

Kamis, 18 September 2014

BATAS


Duduk-duduk di waktu dini, pada kecerahan Jumat Mubarak. Hari ini surya memang terik, hanya keteduhan pikiran dan kelembaban hati yang bisa menaklukannya. Bersyukur adalah wujudnya. Lakuku ini kupersiapkan guna menyambut Sang Guru, yang mewujud dengan sepenggal sabda: " Han..., Setiap sesuatu yang berhubungan dengan laku makhluk ada batasnya. Lakon-lakonnya akan berujung pada keterbatasan. Kejayaan dan keterpurukan punya titik batas. Kejayaan ada puncaknya, keterpurukan punya kedalaman. Yang terpenting, bagaimana lakumu, manakala batas-batas itu sudah menyata."

Selasa, 16 September 2014

API


aku bukanlah seorang pemuja api
walakin hasratku menggebu
untuk bertutur sepenggal cerita
tentang nasib api yang penasaran


baru saja negeriku usai hajatannya
perhelatan Porda XV dan Paralimpic III Bantaeng
diawali pengoboran api tanda mulai
pemadaman api sebagai akhir

api porda demikian nama ditasbihkan
adanya amat menentukan
awal dan akhir maksud

mulanya dilahirkan layaknya bayi
sepenuh hati membujuknya
mantra pemantik dilantunkan
biar lidahnya menjulur membakar tungku

jilat liar api meliuk
pesemaian pun digelar
pada sebuah wadah sakral
lalu disemayamkan menunggu perayaan

api porda api murni
hasil gesekan seorang empu
buah mantra leluhur
sederhana dalam laku

kala pengoboran disulut
api mengembang sesungging senyum
khalayak histeria
bagi api saat itu ibarat aqiqah baginya

sepekan gelaran hajatan bergelora
tibalah masa yang menggetarkan
menggetirkan bagi api
nasib apa yang menghadang di depan

perhelatan usai
api mesti dipadamkan
pesta harus diakhiri
sang api kelimpungan

minus ritus
tanpa mantra penjinak
nirlaku bujuk
ia dimatikan

riwayat api tamat
dipaksa mati meski penasaran
bersama kesetiaan senja yang pulang

aku sebagai makhluk
di dalam tubuhku ada kembaran api
kurasakan sedih tak terkira

apiku bergumam
setiap yang dipaksa mati
kelak nanti memberi warta
datang menagih janji

Senin, 15 September 2014

MAINAN-KEKUASAAN


Di depanku, seorang anak kecil sangat larut dengan mainannya. Kadang ia peluk, tatap, takjub, dan terkesima. Namun yang pasti, ia takut kehilangan mainan itu, bahkan akan begitu sintas hingga tangisan terakhir. Dalam permenunganku padanya, Sang Guru melintas, sambil membabar tutur: " Han..., tahukah dikau, mengapa si anak kecil amat sintas terhadap maianannya? Sebab ada kuasa memilikinya. Pada seorang dewasa sekalipun, manakala ada hasrat memiliki kuasa, maka ia pun bagai anak kecil. Orang dewasa dan anak kecil, cukup tipis bedanya, tatkala hasrat kekuasaan telah melilitinya."

Sabtu, 13 September 2014

GULA-MANIS


Kudengar karibku dalam keadaan hamil, dan suka minum kopi. Sejak dini ia telah mengenalkan kopi pada janinnya, biar lebih awal menyatu dengan kepahitan dan kehitaman. Kopi memang layak dijadikan penanda akan hal itu. Lalu, ia berharap ketinggian akhlaknyalah, sebagai simbol kesucian yang akan melengkapi jalan hidupnya, sehingga terwujudlah sajian kopi nikmat, berupa manusia tegar nan berkarakter lembut. Bila ada wicara seputar kopi, Sang Guru juga selalu ingin terdepan dalam bertutur: " Han..., janin bakal bayi karibmu itu, hanya satu yang penting sebagai tugasnya, menjadilah gula, agar tercipta rasa manis. Sehingga, siapapun yang membutuhkan rasa manis akan datang padanya. Cukuplah ia menjadi gula saja, biar manisnya kehidupan mengepul ke buana."

Kamis, 11 September 2014

NIRTAMPAK


Pada suasana hidup bermasyarakat, tepatnya berpolitik untuk meraih kuasa, politik pencitraan menjadi ujung tombaknya, Semua mau menampakkam diri seolah ia menjadi faktor penentu kejayaan, ingin pula numpang kesuksesan. Sang Guru bernasehat, agar jedah dulu sejenak dalam diam, merenungkan sabdanya: " Han..., tirulah angin, ia menggoyangkan yang tertiup olehnya, namun tetap tak menampakkan diri. Ia memilih nirtampak, walau sesungguhnya, tiupannyalah penyebab goyangan itu."

MATAHARI-BULAN


Secara tak terduga, daku bersua dengan sosok yang semulanya kusangka memilih cara hidup apa adanya. Ternyata, diam-diam ia menyimpan ambisi yang tak terkira. Sang Guru amat suka menyindir sosok yang semisal ini, dengan sebait permisalan: " Han..., usahlah memaksakan diri jadi matahari, jikalau kualitasmu hanyalah sebatas bulan. Matahari mampu memancarkan sinarnya, dengan kemampuan yang dimilikinya. Sementara bulan, hanya mampu bersinar manakala matahari rela memantulkan sinarnya pada bulan."

Rabu, 03 September 2014

MARAH-RAMAH


Melata di hamparan bumi, pada ragamnya kehayatan bermasyarakat, amat mudah menjumpai kemarahan, begitu susah menemui keramahan. Padahal, sekali waktu Sang Guru telah bersabda: " Marah muaranya mematikan, ramah kualanya menghidupkan. Anehnya, orang ramai lebih memilih kematian daripada kehidupan."

Selasa, 02 September 2014

SUAMI-ISTERI


Sepasang keluarga muda, yang baru saja mengikrarkan tekadnya untuk berumah tangga, datang di mukimku, guna berbincang tentang kehidupan keluarga. Beberapa waktu sebelumnya, seorang kerabat juga bertandang, menumpahkan keluh kesahnya seputar masalah rumah tangganya. Gugup juga aku dibuatnya, sebab mereka seolah menjadikanku sebagai konsultan rumah tangga-keluarga, walakin Sang Guru menolongku dengan sejumput khotbah: " Han..., sampaikan kepada mereka, baik yang sementara berbunga-bunga hatinya, karena baru saja menikah, maupun yang kisruh pikirnya-rusuh jiwanya karena perahu keluarganya retak, bahwa suami isteri itu, bukan saling meniadakan, tapi saling menegaskan. Perbedaan itu keniscayaan, sunnatullah. Dan, di atas perbedaan itulah tiang-tiang penyangga rumah tangga dipancangkan. Tiang-tiang yang berbeda fungsinya, menguatkan bangunan yang utuh."

Senin, 01 September 2014

Emha Ainun Najib - Ketika Kita Berselisih Faham

Ketika Kita Berselisih Faham

Emha Ainun Najib

Kita semua, Saudaraku, seaqidah. Selalu bersatu dalam tauhidillah dan tak sebuah macam makhluk pun yang mampu memisahkan kesatuan kita itu kecuali kekeruhan rokhani kita sendiri: ‘marodhun fii quluubina’.

Tapi mungkin kita tak sefaham. Tak sepengertian pemikiran. Tak sependapat. Tak seanutan. Saudaraku menganut ini dan aku menganut itu, sementara saudara kita yang lain barangkali suatu unikum tertentu dari kepribadiannya berdasarkan kodrat kelahiran dan mungkin latar belakang kebudayaannya. Kita kemudian saling bisa bermusyawarah, dan hasil musyawarah itu sebagian bisa kita putuskan menjadi suatu kesepakatan tunggal, tetapi sebagian yang lain mungkin harus kita biarkan berbeda-beda. Kita juga bisa saling menilai, saling mengkritik, bahkan saling menghakimi: tetapi yang terpenting harus kita ingat ialah tindak penghakiman itu selayaknyalah dilandasi oleh keinsyafan kita akan keterbatasan dan relativitas kemampuan kemakhlukan kita. Selebihnya keyakinan yang tak bisa ditawar-tawar bahwa Allah-lah yang Maha Kuasa dan Maha Mampu untuk menyelenggarakan penilaian yang sehakiki-hakikinya.

Demikianlah, Saudaraku, bahwa mungkin saja kita tak sefaham, hal itu tidaklah perlu dirisaukan benar. Pertama, kata Pak Guru: seribu kepala punya seribu pendapat. Ketika Allah berfirman wa ja’alnaakum syu’uuban wa qobaa-ila, lita’aarofuu…., kukira yang dimaksud, Insya Allah, bukan sekedar perbedaan bangsa-bangsa dan suku-suku saja, melainkan lengkap dengan analoginya, dan konotasinya. Yakni bahwa disamping bangsa-bangsa dan suku-suku selalu memiliki unikum-unikum tersendiri yang membedakan alam hidup mereka, cara berpikir mereka atau kebiasaan psikologis tertentu mereka; juga tentulah ada pengertian yang lebih meluas, ada syu’uub dan qobaa-il pemikiran yang mencerminkan tipologi internalisasi keagamaan yang berbeda-beda. Dan diantara yang berbeda-beda itu dianjurkan untuk ta’aarofu, saling kenal-mengenal, saling mengerti, saling memberi ruang, saling toleran, sepanjang tak sampai menyangkut perbedaan prinsipil tentang aqidah. Sebagian dari perbedaan itu bisa kita runding untuk membawa kita ke kondisi ‘sepengertian’, tapi sebagian yang lain mungkin tidak. Kemudian kalau toh tetap juga timbul keruwetan dari proporsi yang demikian, toh kita masing-masing tetap bisa berserah diri kepadaNya, kaanal-ilahu bi-kulli syai-in ‘aliimaa. Ini sebab kedua kenapa perbedaan-perbedaan faham diantara kita tak selalu harus kita risaukan. Berulangkali aku mengatakan kepada saudaraku bahwa kita memang harus berusaha agar perbedaan diantara kita bisa menjadi seperti yang dikehendaki Allah, yakni menjadi rahmat, bukan malapetaka.

Bukan Musyawarah, tapi Konsensus

Namun betapa susahnya hal itu kita capai, Saudaraku, kita telah mengalami bersama.

Kita ini bukan masyarakat musyawarah, tapi masyarakat konsensus. Bukan masyarakat diskusi, tapi masyarakat kompromi. Tentu saja tidak sepenuhnya demikian, tapi itulah frekuensi terbesar dari praktek komunikasi sosial kita. Kalau kita bermusyawarah, kita telorkan kebijaksanaan — itu seringkali berarti ‘tahu sama tahu’ yang tak jarang disifati kemungkaran-kemungkaran tertentu. Kita suka damai, tapi itu acapkali berarti kita mengkompromikan, atau menganggap klop apa yang sesungguhnya bertentangan. Kita menyogok dengan sejumlah uang untuk kelancaran suatu urusan, dan kita sebut itu perdamaian. Kita putuskan sesuatu yang tak bijaksana untuk rakyat banyak dan kita sebut ketidakbijaksanaan itu sebagai kebijaksanaan. Kita bisa menganggap kekejaman-kekejaman tertentu sebagai tindakan luhur yang menegakkan hukum dan harkat kemanusiaan. Kita membiasakan diri untuk sedemikian luwes dan retoris untuk mendorong diri beranggapan, bahwa sesuatu hal itu ma’ruf, bukan mungkar. Dalam praktek urusan kenegaraan dan kemasyarakatan seringkali kita menjumpai kenyataan seperti itu.

Kita tak membiasakan diri untuk melihat dan memahami perbedaan dalam proporsi yang wajar. Sistim politik negeri kita jelas mendorong suatu keadaan untuk ‘tunggal’ seperti kehendak Pemerintah. Mafhumlah kita terhadap perilaku kaum establishment itu. Namun lebih menyedihkan hati jika dalam praktek kehidupan beragama kita juga menjumpai kecenderungan sikap otoriter yang secara sadar atau tak sadar cenderung memaksakan pendapat dan kehendaknya sendiri. Ummat sukar akan berangkat dewasa dalam iklim seperti itu. Tentulah Saudaraku tak usah memintaku untuk menyebut-nyebut contoh kongkrit itu, sebab kita sudah sama-sama mengetahui dan mangalami.

Aku meyakini sepenuhnya bahwa kecenderungan itu tidak muncul dari niatan sengaja untuk bersikap otoriter. Paling jauh itu adalah ungkapan naluri manusia untuk senantiasa mempertahankan diri. Diri harus selalu dipertahankan, termasuk semua keyakinan dan pengertian-pengertian pikirannya, sebab seseorang tak bisa hidup jika tidak dengan keyakinan dan pengertian pikirannya sendiri. Namun persoalannya bahwa ia tak harus ‘menyuruh’ semua orang untuk berpendapat seperti ia, dan hendaknya ia yakin juga bahwa tanpa seorang pun yang lain yang sependapat dengannya: ia tetap syah untuk menghidupi keyakinan dan pengertiannya. Saudaraku mengalami, terkadang ada saudara kita merasa ‘gugur’ gara-gara orang lain tak sependapat dengannya, lantas ‘gugur diri’nya itu memanifestasi liwat kata-katanya bahwa yang gugur seakan-akan adalah kebenaran Islam. Ia hanya bisa hidup dengan mengidentifikasikan dirinya dengan kebenaran Islam, sehingga siapa saja yang tak sependapat dengan dia, maka ia anggap melanggar Islam. Ia memperlakukan seolah-olah agama Islam hanyalah sebuah benda mati bagaikan seonggok batu yang ‘verbal’ dan miskin. Ia tidak menyediakan ruang dan tenaga untuk membayangkan bahwa pribadi-pribadi manusia yang berbeda-beda, kondisi kehidupan yang berbeda-beda, jika ditumbuhkan dengan Islam, maka ia akan memunculkan mozaik kekayaan-kekayaan yang tiada batasnya, bagaikan percikan dari kekayaan Allah yang tak bisa diperkirakan. Ia juga tak bersiap, karena itu, untuk bersikap tawadldlu’, rendah hati, sadar akan keterbatasan kita bersama, ditengah mozaik yang hanya sedikit saja mampu kita lihat dan rumuskan itu.

Kukira, Saudaraku, hakekat dari kesemuanya itu ialah kesadaran kita bersama, bahwa hidup kita ialah bergerak mengidentifikasi diri dengan kebenaran Islam. Akan tetapi sosok tubuh kebenaran diri kita tidaklah identik dengan sosok tubuh kebenaran kita. Sebab kebenaran Islam sangat luas dan besar, seluas alam semesta yang Ia ciptakan, dan kita sekedar bergabung kepadanya. Ya, kita yang amat kecil ini, hanya bergabung kepadanya. Mengolah pribadi kemusliman tidaklah berarti membangkitkan egosentrisism dimana seseorang menyerap ‘seluruh Islam’ dan ia menganggap diri persis dengan kebenaran Islam itu sepenuhnya. Itu suatu takabbur. Padahal kita tidak lebih berarti dari dzarrah: jika kita dilahirkan untuk menjadi khalifah dimuka bumi, maka kekhalifahan itu mustilah dengan penuh tawadldlu’; kesadaran akan kefaqiran dihadapan Allah.

Hal ini, Saudaraku, persis dengan kenyataan bahwa tak seorangpun mampu menguasai Al Qur’an. Paling jauh ia hanya menguasai penguasaaanya sendiri atas Al Qur’an. Cakrawala Al Qur’an tak akan selesai ditempuh, jalah lurusnya tak bakal habis dikembarai. Segala yang mampu diucapkan oleh pikiran dan hati kita dari dan tentang Al Qur’an, hanyalah sebatas relativitas pengetahuan dan pengalaman pribadi kita, dan Al Qur’an tak bisa engkau hitung berapa kali lipat kekayaannya dibanding kekecilan kita yang sering sombong ini. Maka tak ada pilihan lain kecuali tawadldlu’. Dan memang itu yang terbaik.

Cepat Berburuk Sangka

Saudaraku, kita tak jarang mengalami betapa kita terjebak untuk bersikap mutlak-mutlakan ditengah perbedaan pendapat. Ini karena kita amat possesif terhadap pemilikan kita atas pengertian-pengertian kita sendiri. Bagai seorang perawan yang tak mau secuil pun lelaki pujaannya dijelek-jelekkan oleh orang lain. Kita begitu romatik, karena memang pada dasarnya kita begitu mencintai dan bahagia dengan Islam kita. Begitu rupa romantiknya sehingga dalam beberapa hal kita menjadi buta. Kita jadi cepat tersinggung, cepat mangkel, cepat berang dan naik pitam jika sedikit saja hal tentang ‘pacar’ kita itu disentuh orang. Secara rasional kita menjadi tidak objektif. Dan secara spiritual-psikologis kita menjadi tidak dewasa, tidak rendah hati. Keduanya bergabung dan menghasilkan suatu sikap yang tak menyiapkan untuk membuka diri dan menerima kemungkinan-kemungkinan kebenaran baru atas diri kita.

Dalam keadaan begitu kita tanpa sadar, sering melangkahi peringatan Allah, ijtanibuu katsiiron minazh zhonni, inna ba’dhodh zhonni istmun, walaa tajassasuu walaa yaghtab ba’dhukum ba’dhoo. Kita sering cepat berburuk sangka, cepat cenderung mencari hanya kesalahan-kesalahan saudara kita ynag lain. Bahkan ada prototype mentalitas kita yang kurang biasa berbeda dalam berhadapan ini, mendorong kita mengungkapkan perbedaan itu dengan cara ‘yaghtab ba’dhukum ba’dhoo’. Dengan begitu akan gampang terjerumus pula kita untuk tergolong dalam kata-kata Allah ‘yashkor qoumun minqoumin’, sedangkan bisa-bisa saja kaum yang dicerca itu yakuunuu khoiron minhum.

Lebih ‘lucu’ lagi, Saudaraku, didalam saling mencerca itu, masing-masing kita merasa benar, dan sungguh-sungguh dengan khusyu’ menyandarkan kebenaran masing-masing itu ke hadirat Allah, sehingga masing-masing meras innalloha ma’anna. Tidakkah, Saudaraku, engkau pernah menangkap dan merasakan getaran keadaan yang seperti itu ditengah perselisihan faham diantara kita semua? Bahkan ada Saudara kita yang dalam keadaan itu lantas saling mengemukakan kata-kata seperti yang diungkapkan Al Qur’an: …i’maluu ‘alaa makaanatikum innii ‘aamil, wantadhiru inni muntazhirun…, atau …lanaa a’malunaa wa lakum a’maalukum, salamun ‘alaikum laa nabtaghil-jaahilin… atau fanistakbaruu fal-ladziina ‘inda robbika yusabbihuuna bil lili wan-nahaari wa hum laa yas-amuun…, bahkan …idz ja’alalladziina kafaruu fii qulubihimul-hamiyyata hamiyyatal-jaahiliyati fa-anzalallahu sakinatahu ‘alaa rosuulihi wa ‘alal mukminina wa alzamahum kalimatat-taqwa.

Tentu saja, Saudaraku, itu benar. Dan mungkin saja memang diantara beribu pikiran kita atau diantara sikap-sikap hidup kita terdapat unsur kekufuran tertentu (seperti juga silau mata kita yang berlebihan terhadap keduniawian dewasa ini bisa dianggap meng-ilah-kan yang selain Allah); akan tetapi, tentu akan lebih afdhol, apabila kita mengusahakan suatu keterbukaan dan kedewasaan komunikasi, justru untuk membuka kedok kemungkina kekufuran pribadi kita masing-masing dan melenyapkannya. Saudaraku mungkin pernah mendengar aku beberapa kali mengalami berbagai perselisihan faham dengan berbagai kalangan Muslim dalam pentas-pentas atau pembicaraan-pembicaraanku diberbagai tempat, dan aku gagal menemui keinginanku akan keterbukaan dan kedewasaan komunikasi seperti itu. Aku sering berkata kepada saudara-saudara kita: “Jika Saudaraku melihat aku sesat, dan bersedia mengishlah membawaku kepada jalan yang benar, maka alangkah besar rasa syukurku”. Namun, aku justru sering menghadapi berbagai sikap tertutup seperti kuungkapkan diatas: sikap tertutup itu bukan karena Islam, tetapi karena faktor mentalitas, keterbatasan-keterbatasan psikologis. Sampai pada suatu saat aku berkata kepada diriku sendiri: Kalau saja aku ini seorang muallaf, maka dengan menghadapi sikap jumud seperti itu, tak mustahil aku terlempar kembali ke luar Islam. Namun, Alhamdulillah, justru karena itu maka Allah berkenan menganugerahiku tenaga untuk makin mencintai-Nya serta lebih dalam meyelami samudera nilai Islam yang demikian luas dan dalam.

Saudaraku tahu mungkin kemusliman kita ini belum apa-apa dan sungguh masih amat jauh dari yang dikehendaki Allah, karena itu betapa kita semua harus senantiasa siap terbuka atas nilai-nilai kebenaran Islam yang mungkin saja kemarin masih belum kita insyafi. Banyak hal kita ketahui, namun jauh lebih banyak lagi yang belum kita ketahui. Allah telah memaparkan segalanya, tapi barangkali mata kita masih cukup buta dan telinga kita masih agak tuli. Segala yang ‘kita kuasai’ itu pastilah sedzurroh saja dibanding realitas dan nilai yang sesungguhnya yang disediakan oleh Allah Yang Maha Kaya.

Kita semua adalah khalifah fil-ardh, tetapi engkau atau aku bukanlah satu-satunya khalifah. Dan aku kira tidak benarlah apabila kita mempunyai sikap seperti itu: seakan-akan kita adalah langsung mewakili Allah dimana setiap orang musti sependapat dengan kita, betapapun secara subjektif kita amat meyakini dan menganggap luhur keyakinan serta kebenaran pikiran kita sendiri itu. Saudaraku Insya Allah sudah membaca buku Dialog Sunnah Syi’ah: surat-menyurat antara ‘Kyai Sunnah’ asy-Syaikh al-Bisri al-maliki dengan ‘Ulama Jumhur’ as-Sayyid Syarafuddin al-Musawi al-‘Amili itu amat memberi informasi berharga kepada kita tentang percaturan faham yang berbeda antara Sunnah yang mayoritas dan Syi’ah yang minoritas. Akan tetapi yang tak kalah bermaknanya dibanding informasi itu ialah bagamana cara dan watak mereka didalam berdialog. Bagaimana keterbukaan sikap pribadi mereka, seberapa kematangan dan kedewasaan yang menjadi ruh komunikasi antara mereka, betapa tawadhu’ dan rendah hati mereka, serta betapa besar gairah murni untuk sungguh-sungguh mencari kebenaran: tanpa sikap defensif dalam arti emosional, tanpa menonjolkan ‘gengsi’ atau ‘harga diri’ pada proporsi yang tak wajar, atau tanpa etos ‘mempertahankan pendapat secara membabi- buta’ seperti yang sering menjadi watak dari dialog-dialog moderen dewasa ini, yang acapkali terkotak pada dimensi ‘intelektual’ belaka. Semua perwatakan dialog itu tentu saja merupakan ‘dimensi tersembunyi’ dibalik formalitas informasi yang dipaparkan oleh buku tersebut.

Demikianlah, Saudaraku, kita yang masih faqir ini semoga dibimbing oleh Allah untuk menumbuhkan kekayaan-kekayaan seperti itu. Kita Kaum Muslimin Insya Allah akan menyongsong kemenangan, tetapi itu tak bisa tidak harus dimulai dari kesediaan kita semua untuk memerangi berbagai marodhun didalam diri kita sendiri. In dholaltu fainnamaa adhillu ‘alaa nafsii, wa-inihtadaitu fabimaa yuuniya ilayya robbil innahu samii’un qorlib.

Menturo Jombang, Agustus 1983.

Sumber: http://chirpstory.com/li/189677

PENSIUN



Malam makin pekat, canda gurau dengan orang-orang yang lebih berumur dariku makin kencang. Mereka berceloteh akan ketakberdayaannya lagi, sehingga mereka pensiun dari pekerjaan. Waktunya dihabiskan hanya untuk menunggu pindah pada keabadian. Dalam keriangan itulah, Sang Guru menimpali nasehat : " Han..., mereka boleh pensiun dari kehidupan raga, namun selayaknya bergiat di kehayatan jiwa."

Sabtu, 30 Agustus 2014

KISRUH - RUSUH


Secangkir kopi hitam-pahit, menemani bincang sore dengan kekasih, tentang kisruh pikiran dan rusuh hati yang berkeliaran di sekitar, baik dunia nyata maupun dunia maya. Sulit sekali mencari kejernihan, sebab sikap reaksioner lebih dikedepankan tinimbang ketenangan. Di kedalaman perbincangan, Sang Guru menabalkan diri dengan tuturan: " Han..., belajarlah pada secangkir kopi yang dikau seruput itu. Dikau meminumnya setelah terendap beberapa saat, hingga ampasnya mendasar di pantat cangkir. Hanyalah airnya yang dikau minum, namun tetap rasa kopi. Bayangkanlah, jikalau minum secangkir kopi yang baru saja diaduk, sulit dinikmati, sebab ampasnya masih ikut. Kekisruhan pikiran dan rusuh hati dalam bertindak, sama halnya dengan minim kopi yang baru saja diaduk."

Kamis, 28 Agustus 2014

MATAHARI


Entah mengapa, selalu saja getar-getar Jumat Mubarak selalu menggoda untuk diresapi keistimewaannya. Di tapal batas subuh-pagi, pada selasar jiwaku, kuberdepan-depan dengan Sang Guru, disilanya daku merunduk khusyuk. Dihidunya daku wejangan: " Han..., jadilah matahari. Meski awan dan malam menampak, ia tidak hilang. Awan hanyalah sekadar penghalang sesaat, di baliknya matahari tetap bertahta. Apalagi malam, usah dirisaukan, sebab matahari masih terpatri jejaknya di bulan. Tak elok matahari menganggap awan dan malam sebagai pesaingnya, melainkan pelengkap untuk menyempurnakannya. Kala awan dan malam menyata, matahari pasti dicari bukan? "

KEBAIKAN


Duduk-duduk rileks, menikmati senja yang kilau, damai mengiringi pikiran dan keteduhan bersemayam di hati, bukan berarti Sang Guru tak datang menyambangi. Justeru karena suasana kedirian seperti inilah, Ia menghiduku sebait pengertian: " Han..., tidak banyak orang yang mampu melihat kebaikan, tanpa ada keburukan sebagai lawannya. Bahkan baginya, dalam keburukan sekali pun, terterangkan kebaikan. "

Rabu, 27 Agustus 2014

Gede Prama - PUISI BELAS KASIH



PUISI BELAS KASIH
Gede Prama

Tidak semua kesedihan berujung pada kehancuran. Asal membekali diri dengan ketulusan dan keikhlasan, sebagian kesedihan bisa menghantar seseorang pada gerbang pencerahan sempurna. Pesan ini yang mau disampaikan kehidupan melalui cerita seorang wanita dengan hati menawan bernama Kinh.

Suatu hari Kinh dinikahkan dengan seorang pria pilihan orang tuanya. Hanya karena bakti mendalam pada orang tua, ia menyanggupi niat baik ini. Kendati baru ia kenal, ia rawat dan sayangi suaminya lebih baik dari wanita mana pun yang menikahi suami pilihannya sendiri. Tapi keberuntungan tidak bisa dikejar, kesialan tidak bisa dihindari. Saat ia datang, tetap saja ia datang.

Di suatu sore tatkala Kinh menyulam di depan rumah, suaminya tertidur di pangkuannya. Melihat kumis suaminya tidak rapi, dia ambil gunting untuk merapikan. Tapi tiba-tiba ibu mertuanya datang, mengira ia akan membunuh suaminya. Tanpa memberikan kesempatan berargumen, Kinh langsung diusir tanpa ampun dari rumah suaminya.

Takut melukai perasaan orang tuanya, tidak mau baktinya kepada orang tua penuh noda, Kinh kemudian menyamar sebagai seorang pria dengan menggunduli rambutnya, dan menjadi murid sekaligus pelayan di jalan meditasi. Dan ketulusan, kejujuran, keikhlasan tidak selalu membuat seseorang damai. Kadang malah membuat seseorang sangat menderita.

Di suatu pagi, putri tunggal anak orang terkaya di desa tempat pusat meditasi di mana Kinh belajar meditasi ngotot sekali minta agar dia dinikahi. Tentu saja Kinh menolak karena ia sendiri seorang wanita. Tapi begitu ditolak, putri orang kaya ini tambah ngotot. Ia berhubungan intim dengan pembantunya, setelah hamil mengumumkan bahwa ia dihamili oleh Kinh. Setelah lahir anaknya diserahkan secara paksa pada Kinh.
Lagi-lagi musibah menimpa Kinh. Dan sebagaimana musibah terdahulu, dia terima bayi yang diberikan. Padahal, untuk membongkar skandal kebohongan ini mudah sekali. Cukup Kinh membuka rahasia dirinya bahwa ia seorang wanita, maka berakhirlah cerita sampai di sini. Tapi dasar penekun spiritual tingkat tinggi, ia kupas kesedihan selapis demi selapis.

Setelah anak yang ia asuh dewasa, Kinh mulai menua, kemudian ia menitipkan surat wasiat pada kepala pusat meditasi yang hanya boleh dibuka tatkala Kinh meninggal. Dan benar saja, tatkala Kinh wafat, surat wasiat dibuka, di sana terbongkar rahasianya ternyata Kinh seorang penekun meditasi yang dalam sekaligus mengagumkan.

Hanya ia yang penggalian meditasinya demikian dalam yang bisa melewati lapisan-lapisan kesedihan secara demikian mengagumkan. Dan indahnya kesedihan mendalam, ia menjadi gerbang terbukanya pintu belas kasih (compassion) yang indah tidak terbayang. Dan meminjam ajaran suci Tantra, bila orang seperti ini wafat maka langit menghormat melalui munculnya pelangi, bumi menghormat dengan gempa kecil.
Dan benar saja, tatkala Kinh dikremasi semua orang menangis sangat kehilangan. Tidak sedikit yang mengira Kinh adalah reinkarnasi Dewi Kuan Im. Dewi belas kasih yang dikagumi dunia. Seperti membenarkan isi buku suci, pelangi juga muncul di langit, bumi juga bergerak dengan gempa kecil. Pesan cerita ini sederhana, jalan spiritualitas mendalam bukan jalan senang-senang.

Meminjam pendapat psikolog Carl G. Jung, sebelum pencerahan seseorang akan melewati malam-malam gelap bagi sang jiwa. Isinya adalah kesedihan yang tidak terbayang beratnya. Mungkin cerita ini yang mau diungkapkan di zaman kita tatkala menyaksikan Nelson Mandela dipenjara selama 27 tahun, Martin Luther King Jr. serta Mahatma Gandhi wafat ditembak, YM Dalai Lama kehilangan negerinya di umur 15 tahun. Bimbingannya sederhana, siapa saja yang tekun membuka lapisan-lapisan kesedihan, ia tidak saja bisa memasuki gerbang pencerahan, tapi juga bisa menemukan wajah kehidupan sebagai puisi belas kasih.