Senin, 30 Juni 2014

ME(DI)MASUKI-RAMADHAN


Hari ketiga puasa ramadhan, yang terasa barulah hal-hal yang besentuhan dengan ketidakbugaran jasmani, loyo, kurang fit. Dimensi keruhanian puasa ramadhan belumlah menampak, masih seperti sediakala. Sang Guru lalu mewujud dengan sepenggal sabda: " Han..., di awal ramadhan, dikaulah yang memasukinya sambil berharap di akhir puasa ramadhan, ramadhanlah yang memsuki dirimu, dimasuki oleh ramadhan. Buah dari perjalanan memasuki puasa ramadhan adalah dimasuki oleh puasa ramadhan."

Minggu, 29 Juni 2014

TV-RAMADHAN


Di hari kedua puasa ramadhan, aku lagi nonton televisi (TV), tersentaklah aku kala Sang Guru membisikkan prihal godaan bagi orang berpuasa, tuturnya: " Han..., benar-benar dahsyat godaan bagi yang berpuasa, apalagi kalau puasa yang dimaksud sekadar menahan rasa lapar dan haus, sementara si kotak ajaib, TV, mulai dari imsak hingga jelang buka sudah mengambil alih posisi iblis yang telah diikat itu (?), menggoda anak cucu Adam demgan mengeksploitasi selera makan minumnya."

SEKOLAH-RAMADHAN


" Han..., sebab puasa ramadhan berintikan dimensi-dimensi spiritual, maka layaklah menjadikannya sebagai titian membeningkan jiwa, sejenis sekolah bagi jiwa. Jiwa bening akan menerang jelaskan segalanya, terutama perbedaan antara kebaikan dan keburukan, kebenaran dan kesesatan" Demikian petuah di hari perdana puasa dari Sang Guru.

Rabu, 25 Juni 2014

PUASA-RAMADHAN


Beberapa hari lagi puasa ramadhan tiba. Beragam cara menyambutnya; Ada yang pergi rekreasi, ziarah kubur dan merencanakan libur lebaran. Industri tontonan lebih sigap lagi, berbagai stasiun televisi menyiapkan acara ramadhan dari pagi hingga pagi lagi, tentu tak ketinggalan iklan makan minum yang menggiurkan selera. Sang Guru hadir menginterupsi, sabdanya: " Han..., amat disayangkan, sebab umat lebih mempersiapkan hal-hal material daripada spiritual dalam menyongsong puasa ramadhan. Akibatnya, puasa ramadhan nantinya, tidak lebih dari sekadar menunda makan minum pada waktu tertentu, dan membalasnya di lain waktu. Puasa ramadhan itu intinya spiritualitas, penuh nilai-nilai spiritual dan sekaligus menampik dimensi material.”

BEDIL


wahai dikau yang punya kuasa atas bedil
usahlah bertengkar sesamamu
tak elok buat tontonan
jauh dari tuntunan


jangan dikau tipu kami
dengan saling menyudutkan
sudut batinku masih bening
tak mudah dikelabui

cukuplah kami yang tak berbedil
menjadi korban pembedilan
atau dikau ingin pula saling membedil
sesama pemegang bedil?

boleh juga dikau tempuh itu
biar tau rasanya dibedil
pembedil silih membedil
pasti jauh dari adil

malulah pada kami
yang membanggakanmu
selaku penjaga negeri
berbekal bedil dari negeri

Senin, 23 Juni 2014

KITA


kita sudah saling gigit
bisa mengalir dalam jiwa
kebinatangan mewajah diri

kita telah silih gugat
racun fitnah merasuk sukma
kejalangan menubuh di badan

semula kita binatang jinak
rukun dalam kandang yang sama
damai bersama beriring

kuasa datang menggoda
saling gigit, silih gugat meliarkan imaji
kita gagal mengolah kebinatangan
hanya mengedepankan kejalangan

Minggu, 22 Juni 2014

HILANG

ZIARAH
Jelang puasa ramadhan, aku ingin menyempatkan ziarah kubur ke makam kedua orangtuaku, kakek-nenekku dan juga keluarga lainnya. Ini sejenis rutinitas dalam menyongsong puasa ramadhan. Di tengah persiapan ziarah, terlintas dalam benakku akan bagaimana dengan orang-orang yang tidak dikenal kuburannya, kalau aku ingin menziarahinya? Sang Guru lalu memberi petunjuk, tuturnya: " Han..., kuburan adalah penanda untuk memudahkan bersilaturrahim dengan orang-orang yang telah mendahului. Adapun orang-orang yang tak berkubur, atau hilang entah kemana rimbanya, bolehlah dikau menziarihinya secara spiritual, dengan mendoakannya. Memang penandanya secara material tidak ada, tetapi penandanya ada dalam ingatan. Bukankah mereka hilang dan tak berkubur itu juga sudah merupakan tanda? Tanda bagi masyarakatmu, bagi negerimu, bahwa ada yang tak wajar dengan kematian mereka. Dan tanda mereka akan abadi, selalu diingat oleh anak-anak negeri, sebab makin abstrak sesuatu, makin multitafsir terhadapnya. Di negerimu, orang hilang atau dihilangkan dan tak berkubur, sudah menjadi bagian dari sejarah negerimu. Sejak zaman perjuangan dahulu, hingga di waktu kiwari ini tak berbilang yang hilang. Namun satu kesamaan diantara mereka, yakni mereka yang hilang tak berkubur itu adalah para pejuang."

Jumat, 20 Juni 2014

INGATAN


bertubi dayaku melupakan
tapi bekasnya terlalu jelas
sebab engkau menulisnya dengan bedil

darah engkaumuncratkan
boleh hilang dengan siraman air
tapi ingatan akan mengabadi
karena engkau memahatnya lewat sangkur

jiwa melayang gentayangan
hingga kini tak terkuak
lantaran engkau legalisir di carik kertas

Kamis, 19 Juni 2014

AGAMA


Kalut, benar-benar pikiranku kalut, musababnya agama hanya dijadikan sebagai penebas sesama dan dipakai seenak perut untuk menstigma. Apakah ini gara-gara kepentingan politik? Tidak juga. Karena ada pula yang menggunakan agama untuk menegaskan dirinya sebagai pemegang mandat untuk memasukkan seseorang ke dalam neraka atau surga. Agama macam apa ini? Sang Guru menegur: " Han..., bukan agamanya yang bermasalah, tapi cara memahamilah agama yang keliru. Memperkosa agama. Malulah pada generasi mendatang, pada anak cucu di negerimu, manakala mewariskan cara beragama demikian. Bisa-bisa anak cucumu tak sudi lagi memeluk agama, enggan menganut dan bahkan sekadar memegang pun tak minat."

Rabu, 18 Juni 2014

RAENI



negeri belum pupus
di pojok masih menyimpan mutiara

adamu mengisahkan banyak
cerita tentang keberkekurangan
tapi dirasakan cukup

terbalik sudah rona-rona
lebih dari cukup
namun dinyatakan kurang

putus asa atas negeri harus ditepis
sebab adamu menyatakan
akan keberlangsungan bernegeri

banyak yang ingin sepertimu
namun sebatas ingin
berbondong mau semisal ayahmu
walau hanya sekadar mau

dikau, ayahmu, ibumu dan keluargamu
sepotret anak negeri yang mewujud
menunda hasrat membubarkan negeri

Raeni
hadirmu menegaskan
berbuat masih lebih dahsyat dari bicara
apalagi berjanji pada negeri sekarat ini

TUA-MUDA


Di waktu kiwari ini, sering aku berkumpul bersama kawan-kawan yang doyan mendiskusikan tentang perubahan-perubahan, yang melibatkan aktor-aktor perubahan, dan sering tiba pada suatu titik perbincangan antara kaum muda dan kaum tua dalam kaitannya dengan perubahan. Sang guru cukup menggemari lema ini, lalu menyalib perbincangan: " Han..., dalam kerumunan kaum tua, selalu saja ada yang berfikir laiknya cara berfikir kaum muda, sangat progresif. Sebaliknya, dalam gerombolan kaum muda, tidak sedikit di antara mereka yang cara berfikirnya sebangun dengan cara berfikir kaum tua, senang pada kemapanan. Meski dikau nampaknya makin tua, moga pikiranmu senantiasa bersesuaian layaknya kaum muda. Raga boleh lapuk, namun jiwa tetap membara. Sesungguhnya, jiwa tak pernah pupus."

Jumat, 13 Juni 2014

KEHILANGAN


Aku memelihara beberapa ekor ayam, bahkan sudah beranak pinak. Sekali waktu, ada yang mati, sedih rasanya karena kehilangan. Tetapi berikut-berikutnya, selalu saja ada yang mati dan perlahan rasa sedih akan kehilangan tak ada lagi. Rasanya mulai kebal, kehilangan menjadi peristiwa biasa saja. Sang Guru menghentakku agar mengambil pelajaran darinya, dengan lembut Ia bertutur: " Han..., kehilanganmu itu masihlah kehilangan di luar diri. Cobalah resapi manakala kehilangan itu menyentuh hal-hal dalam diri, jatidiri. Kehilangan jatidiri, terkadang tidak sekaligus, perlahan jalannya. Semula mungkin pikiranmu, lalu akal sehatmu dan selanjutnya hatinuranimu. Saking terbiasanya kehilangan hal yang membentuk jatidiri, maka ketika jatidiri pun hilang, seperti tidak kehilangan apa-apa."

JILAT


Seorang kawan diskusiku nampaknya resah akan potret pemimpin negerinya. Betapa tidak, ia melihat pemipinnya berubah, sebab kebanyakan yang mengelilinginya adalah bekas musuh-musuhnya. Sang Guru ikut prihatin akan realitas itu, maka ia pun bersabda: " Han..., kalau saja dikau punya musuh, maka cara terakhir dari musuhmu untuk mengalahkanmu adalah dengan menjilat padamu. Dan, akibat pertama darinya, berupa tersingkirnya orang-orang terbaikmu. Sebab, orang terbaik bagimu tidak akan pernah menjilatmu. Menjilat itu, sejenis prilaku yang paling menjijikkan, akan menghabiskan segalanya, termasuk sisa-sisanya, demi menyenangkan tuannya dan memuaskan dirinya."

Rabu, 11 Juni 2014

KEHIDUPAN


Anak-anak negeriku saling cacimaki, aura negatif disemburkan bak lahar gunung berapi, membakar apa saja yang disuai. Kehidupan negeriku sangat kotor jiwanya, dan aku membatinkan diri akan semuanya, betapa kurang beruntungnya anak-anak negeri yang diasuh dengan keburukan. Sang Guru mendedahkan sabda, prihal kehidupan ini, tuturnya: " Han..., wajib mencintai kehidupan, apapun adanya, asalkan jangan tertawan di dalamnya, terterungku karenanya. Membebaskan diri adalah sebentuk cinta akan kehidupan. Mencintai kehidupan berarti menebarkan kebaikan di atasnya, dan itulah aura positif, energi kehidupan."

Senin, 09 Juni 2014

POLUSI


Pagi ini, aku menyandarkan harapan di pelataran jiwaku, berkompromi dengan selaksa kegelisahan, menyaksikan negeri yang sebentar lagi akan memilih pemimpinnya. Sang Guru rupanya amat paham akan gundahku ini, Ia pun menghibur dengan tuturnya: " Han..., sepintas memang dikau akan bingung. Sebab, demi perhelatan mencari pemimpin itu, banyak orang kehilangan jatidirinya, gara-gara terpaksa atau dipaksa memihaki calon pemimpin itu. Bahkan awan gelap berupa energi negatif menyelimuti negerimu. Aura cacimaki menyata, menjadi polusi bagi jiwa negerimu. Kesantunan menjadi barang langka, keteladan amat mahal dan kelapangan dada sangat sulit ditemukan. Memang polusi jiwa itu akan berlalu, namun bekas lukanya akan sulit dihilangkan, sebab ia telah menjadi penanda masih rendahnya keberadaban negerimu."

GERAK


pagi yang cerah
meski sisa gerimis subuh masih nampak

di beranda kududuk menerawang
memahami orang lalulalang

sunggukah mereka bergerak?
soalnya pemandangan ini berulang-ulang

sementara aku hanya duduk
namun jiwaku berkelana

sesungguhnya, siapakah yang bergerak?

Jumat, 06 Juni 2014

IMUN


Kali ini, benar-benar Sang Guru menohokku dengan ketajaman sabdanya: " Han..., beritahu pemimpin negerimu itu, jikalau ia sudah tidak ingin dikritik, berarti ia melemahkan dirinya sendiri. Kritik bagi seorang pemimpin negeri, sesungguhnya adalah proses imunisasi untuk mengebalkan jatidirinya dari kelupaan akan diri. Kritik memang menyakitkan, tapi dibutuhkan untuk menyembuhkan. Ibarat bayi yang diimunisasi, ia memang sakit demam, namun setelahnya ia akan imun terhadap berbagai macam penyakit."

Kamis, 05 Juni 2014

PEMIMPIN


Dalam suasana hingar bingar berbincang tentang pemimpin negeri, tiba-tiba saja Sang Guru menyata dengan tanya: " Han..., mungkinkah seorang pemimpin negeri yang mengatakan telah menyerahkan jiwanya, hartanya, tenaga dan pikirannya untuk membangun negerinya, namun di saat yang sama ia menyatakan pula tidak bahagia memimpin negerinya, bisa membahagiakan rakyatnya?"