Minggu, 30 Maret 2014

JEDA


Setelah dua hari tersuntuk pada badan yang kurang sehat, kemudian disambut libur akhir pekan, ditambah bonus libur hari raya Nyepi dari saudara-saudaraku yang merayakannya, daku menghabiskan waktu di mukimku. Dalam aura Nyepi, Sang Guru mentasbihkan satu soal: " Han..., hidup memang terus berjalan, dikau ikut atau tidak pastilah ia berlalu. Tapi ragamu butuh jeda, meski hanya sejenak. Semua makhluk punya jedahnya masing-masing, sebab itulah cara Pencipta merancangnya. Jadi kalau ada makhluk yang tidak berjedah, maka keluarlah ia dari rancangan-NYa."

TEKAD




kutunggu wartamu di masa datang

joloklah bulan
genggamlah surya
lukisilah pelangi
cungkillah gunung

barulah kau tergolong:
pemahat masa depan

TAKDIR


Aku sering bertengger di bibir pantai ini
menikmati senja demi senja
selalu berbeda

memahamkan pada diri akan
ketidakjenuhan surya berpulang
ketidakbosanan buih memutih
kesetian kepiting pada batu

surya padamulah kutitip asaku
wartamu menggelisahkan esokku
kepastian kepastian belum terpahat

buih putihmulah menguatkanku
merindu takdir pasti fitrawi

kepiting tetaplah lebih lembek dari batu
biar benderang takdirmu
di situlah jatidirimu

Rabu, 26 Maret 2014

PILIHAN (2)


Oh... Sang guru, seruanmu untuk tidak memilih salah satu di antara mereka atau sekalian memilih semuanya, rupanya dipahami bahwa aku akan golput. Padahal, aku tetap ingin memilih. Apa argumenmu untukku? Selang berlaksa waktu, Ia pun menegaskan maksud terangnya: " Han..., manakala dikau memilih karena mereka itu sanak-kerabatmu, karib-kawanmu, seniormu, juniormu, kolegamu, gurumu dan pertalian silaturrahim lainnya, maka itulah motif nepotis yang nyata, senyata langit terang dan mengandung kecemburuan satu sama lain, yang berujung pada bubarnya silaturrahim. Negerimu bukanlah negeri yang dibangun di atas perkawanan ataupun kekerabatan. Bukankah para pendiri negerimu telah bersepakat akan hal itu? Mendirikan negeri untuk kepentingan orang banyak? Selaiknya dikau memilih orang-orang yang berkomitmen bisa mengurus negerimu, meskipun ia bukan siapa-siapa bagi dirimu."

Selasa, 25 Maret 2014

PILIHAN (1)



Hari-hari makin dekat dengan pesta demokrasi, jelang pemilihan anggota legislatif, saya dibingungkan oleh para calon yang mesti kupilih. Ada sanak-kerabatku, karib-kawanku, seniorku, juniorku, kolegaku, guruku dan pertalian silaturrahim lainnya. Oh... Sang Guru, tolong daku yang menderita ini, maka Ia pun menyeru: " Han..., semua yang dikau sebutkan itu adalah manusia pilihan buatmu, maka berlaku adillah pada mereka untuk tidak memilh salah satu di antaranya. Plihanmu adalah tidak memilih, atau sekalian pilih semuanya, moga mereka mengerti akan kebingunganmu."

Senin, 24 Maret 2014

MASALAH


Kala pagi menyembul, surya mulai unjuk terik, aku dan kekasihku mulai was-was akan masalah yang bakal menohok. Limbunglah dalam penantian, akhirnya yang kami tunggu datang jua, tak ada alasan yang bisa kudepankan, namun Sang Guru ikut menenangkan kisruh jiwa, dengan tuturnya: " Han..., tenangkanlah dirimu, jangan lari darinya, hadapi saja apa adanya, bayanganmu tentangnya belum tentu menyata senyata di benakmu." Kali ini benar-benar keajaiban menampak, seperti yang dibilangkan padaku, setidaknya sepenggal masalah terselesaikan.

Kamis, 20 Maret 2014

POSITIF-NEGATIF


Seperti biasanya, Jumat Mubarak selalu membawa berkah, kali ini samar-samar pagi menyongsong, aku anteng saja menunggu kibasan pikiran-pikiran bertuah, saat itulah Sang Guru berkelebat, mengurapi dengan kasih, lewat nasehatnya: " Han mulailah harimu dengan tersenyum, sebagai cerminan dari pikiran positif. Pikiran positif akan saling menghidupkan, meninggikan sesama makhluk. Sebaliknya, pikiran negatif, hanya memastikan saling mematikan, mengusung peniadaan mahkluk, menegasikan jatidirimu."

Rabu, 19 Maret 2014

BEKU-CAIR


Sanakku bertandang ke mukimku, membagikan gundahnya akan perjodohannya yang belum menemukan titik terang. Pasalnya, keluarga terdekatnya belum memberikan restu atas pilihannya. Kebekuanpun melanda ruang-ruang rumahnya, dingin sedingin es yang beku, es batu yang kaku nan keras. Sang Guru berminat menyela perbincangan, bisiknya: " Han..., kebekuan hati mesti dicairkan. Ibarat es batu yang mengeras-dingin beku, dapat dicairkan dengan memblendernya, mendiamkan apa adanya hingga meleleh sendiri, menjemurnya di terik matahari, atau masaklah hingga ia mencair. Pilihanmu akan cara-cara itu, akan beriringan dengan resiko yang akan tertuai."

Selasa, 18 Maret 2014

WAKTU


Aku punya seorang karib yang merintis jalan kepenulisan, dan novelnya sudah terbit dan telah berjanji pada dirinya untuk mewujudkan novel-novel berikutnya di tahun ini. Namun, di tengah jalan rintisan itu, tulisan lain menyalibnya. Itulah sejenis godaan sekaligus gangguan dalam perjalanan jiwa kepenulisannya. Kelihatannya, karibku itu mulai resah, beruntung Sang Guru ikut berempati, tuturnya: " Han..., buah karya jiwa akan punya momen khusus untuk mengalir, mendaras derasnya keindahan jiwa. Percayalah itu . Yang tiga tahun bisa jadi tiga bulan, yang tiga bulan jadi tiga puluh hari, yang tiga puluh hari jadi tiga hari, tiga hari jadi tiga jam, tiga jam jadi tiga menit, tiga menit jadi tiga detik, tiga detik.... selesai. Waktu adalah sesuatu yang lentur, kuasa kitalah yang memanjangkan ataupun memendekkannya."

Rabu, 12 Maret 2014

ANAK



Saat berselancar di dunia maya, tiba-tiba saja seorang karib, yang baru saja melahirkan anaknya, meminta padaku agar Sang Guru membilangkan perkara anak keturunan. Lalu aku menjawab, tidak selalu Ia datang untuk menyapa, tidak seperti guru di sekolahan yang setia menyambangi murid-muridnya. Namun pagi yang penuh barakah ini, Sang Guru rupanya berkenan hadir, lalu bertutur: " Han..., setiap anak diberi karunia oleh Tuhan, dan dengan karunia itulah ia akan melata di atas bumi, menjalani hidup dan kehidupannya. Bagi orang tua, haruslah mengenali karunia itu, memberinya ruang agar karunia itu tumbuh subur. Buatlah ladang yang memungkinkan karunia itu berkembang. Dengan cara itulah tanggungjawab sebagai orang tua tertunaikan."

KEBAHAGIAAN


Di perhelatan para relawan, aku menyaksikan wajah-wajah bahagia. Aku dan mereka diselimuti aura kebahagiaan. Momentumnya tepat, meski tak berlangsung lama. Maka Sang Guru pun menegaskan sabdanya: " Han..., dikau sudah merasakan kebahagiaan, kebahagiaan sesaat, namun rasanya berbunga-bunga, memekarkan kelopak-kelopak kehidupan. Tidakkah ingin merasakan kebahagiaan yang permanen? Cara yang paling praktis untuk berbahagia adalah membahagiakan orang lain. Melihat orang lain bahagia karena dikau turut memantiknya, maka pastilah kebahagiaan itu menyapamu. Cicillah kebahagiaan itu dengan cara membahagiakan orang lain."

Selasa, 11 Maret 2014

DALAM-DANGKAL


Salah seorang putriku mengadukan prihal kehidupan kampusnya. Banyak di antara kawan-kawannya yang menunjukkan prilaku mau benar sendiri, memonopoli kebenaran, khususnya dalam hal beragama. Sang Guru menimpali, agar tuturnya tersampaikan: " Han..., bercerminlah pada laut. Laut yang dalam permukaannya tenang, teduh wujudnya, padahal di kedalamannya arus tetap bergemuruh, tak terhingga binatang-tumbuhan damai bersamanya. Sebaliknya, lihatlah laut yang dangkal, airnya keruh kecoklatan, permukaannya penuh gelombang, berkejaran-berlomba seolah semuanya ingin dilumat, padahal yang dia giring hanyalah sampah."

Senin, 10 Maret 2014

SUKARELA


Di mukimnya seorang kawan, daku terlibat perbincangan tentang aktivitas yang bermotif kerelawanan. Pada puncak-puncak diskusi, Sang Guru ikut nimbrung bertutur: " Han..., bersyukurlah tiada henti, sebab di kala serba keterbatasan materialmu, dikau masih dikaruniai hidayah bersukarela dalam mengayomi negerimu. Tidak banyak orang yang bisa melakukannya, bahkan orang yang berkelimpahan material sekalipun. Kerelawanan tidak terikat pada dunia material, karena ia adalah sesuatu yang bersifat spiritual."

Senin, 03 Maret 2014

OMBAK-PANTAI



Seorang anak muda rusuh hatinya, berdiri di penghujung sore, senja yang kelabu menawan rasanya, menurungku jiwanya. Ia mengadukan resahnya padaku, aku tak sanggup berbuat, tapi Sang Guru berbijak pikir, lalu kebajikan dituturkannya: " Han..., jadilah bibir pantai, yang setia mengecup setiap gulungan ombak, yang menghempaskan dirinya. Gelora dan gejolak atau amarah ombak akan damai-tenang-pasrah setelah kecupan itu."