Sabtu, 30 Agustus 2014

KISRUH - RUSUH


Secangkir kopi hitam-pahit, menemani bincang sore dengan kekasih, tentang kisruh pikiran dan rusuh hati yang berkeliaran di sekitar, baik dunia nyata maupun dunia maya. Sulit sekali mencari kejernihan, sebab sikap reaksioner lebih dikedepankan tinimbang ketenangan. Di kedalaman perbincangan, Sang Guru menabalkan diri dengan tuturan: " Han..., belajarlah pada secangkir kopi yang dikau seruput itu. Dikau meminumnya setelah terendap beberapa saat, hingga ampasnya mendasar di pantat cangkir. Hanyalah airnya yang dikau minum, namun tetap rasa kopi. Bayangkanlah, jikalau minum secangkir kopi yang baru saja diaduk, sulit dinikmati, sebab ampasnya masih ikut. Kekisruhan pikiran dan rusuh hati dalam bertindak, sama halnya dengan minim kopi yang baru saja diaduk."

Kamis, 28 Agustus 2014

MATAHARI


Entah mengapa, selalu saja getar-getar Jumat Mubarak selalu menggoda untuk diresapi keistimewaannya. Di tapal batas subuh-pagi, pada selasar jiwaku, kuberdepan-depan dengan Sang Guru, disilanya daku merunduk khusyuk. Dihidunya daku wejangan: " Han..., jadilah matahari. Meski awan dan malam menampak, ia tidak hilang. Awan hanyalah sekadar penghalang sesaat, di baliknya matahari tetap bertahta. Apalagi malam, usah dirisaukan, sebab matahari masih terpatri jejaknya di bulan. Tak elok matahari menganggap awan dan malam sebagai pesaingnya, melainkan pelengkap untuk menyempurnakannya. Kala awan dan malam menyata, matahari pasti dicari bukan? "

KEBAIKAN


Duduk-duduk rileks, menikmati senja yang kilau, damai mengiringi pikiran dan keteduhan bersemayam di hati, bukan berarti Sang Guru tak datang menyambangi. Justeru karena suasana kedirian seperti inilah, Ia menghiduku sebait pengertian: " Han..., tidak banyak orang yang mampu melihat kebaikan, tanpa ada keburukan sebagai lawannya. Bahkan baginya, dalam keburukan sekali pun, terterangkan kebaikan. "

Rabu, 27 Agustus 2014

Gede Prama - PUISI BELAS KASIH



PUISI BELAS KASIH
Gede Prama

Tidak semua kesedihan berujung pada kehancuran. Asal membekali diri dengan ketulusan dan keikhlasan, sebagian kesedihan bisa menghantar seseorang pada gerbang pencerahan sempurna. Pesan ini yang mau disampaikan kehidupan melalui cerita seorang wanita dengan hati menawan bernama Kinh.

Suatu hari Kinh dinikahkan dengan seorang pria pilihan orang tuanya. Hanya karena bakti mendalam pada orang tua, ia menyanggupi niat baik ini. Kendati baru ia kenal, ia rawat dan sayangi suaminya lebih baik dari wanita mana pun yang menikahi suami pilihannya sendiri. Tapi keberuntungan tidak bisa dikejar, kesialan tidak bisa dihindari. Saat ia datang, tetap saja ia datang.

Di suatu sore tatkala Kinh menyulam di depan rumah, suaminya tertidur di pangkuannya. Melihat kumis suaminya tidak rapi, dia ambil gunting untuk merapikan. Tapi tiba-tiba ibu mertuanya datang, mengira ia akan membunuh suaminya. Tanpa memberikan kesempatan berargumen, Kinh langsung diusir tanpa ampun dari rumah suaminya.

Takut melukai perasaan orang tuanya, tidak mau baktinya kepada orang tua penuh noda, Kinh kemudian menyamar sebagai seorang pria dengan menggunduli rambutnya, dan menjadi murid sekaligus pelayan di jalan meditasi. Dan ketulusan, kejujuran, keikhlasan tidak selalu membuat seseorang damai. Kadang malah membuat seseorang sangat menderita.

Di suatu pagi, putri tunggal anak orang terkaya di desa tempat pusat meditasi di mana Kinh belajar meditasi ngotot sekali minta agar dia dinikahi. Tentu saja Kinh menolak karena ia sendiri seorang wanita. Tapi begitu ditolak, putri orang kaya ini tambah ngotot. Ia berhubungan intim dengan pembantunya, setelah hamil mengumumkan bahwa ia dihamili oleh Kinh. Setelah lahir anaknya diserahkan secara paksa pada Kinh.
Lagi-lagi musibah menimpa Kinh. Dan sebagaimana musibah terdahulu, dia terima bayi yang diberikan. Padahal, untuk membongkar skandal kebohongan ini mudah sekali. Cukup Kinh membuka rahasia dirinya bahwa ia seorang wanita, maka berakhirlah cerita sampai di sini. Tapi dasar penekun spiritual tingkat tinggi, ia kupas kesedihan selapis demi selapis.

Setelah anak yang ia asuh dewasa, Kinh mulai menua, kemudian ia menitipkan surat wasiat pada kepala pusat meditasi yang hanya boleh dibuka tatkala Kinh meninggal. Dan benar saja, tatkala Kinh wafat, surat wasiat dibuka, di sana terbongkar rahasianya ternyata Kinh seorang penekun meditasi yang dalam sekaligus mengagumkan.

Hanya ia yang penggalian meditasinya demikian dalam yang bisa melewati lapisan-lapisan kesedihan secara demikian mengagumkan. Dan indahnya kesedihan mendalam, ia menjadi gerbang terbukanya pintu belas kasih (compassion) yang indah tidak terbayang. Dan meminjam ajaran suci Tantra, bila orang seperti ini wafat maka langit menghormat melalui munculnya pelangi, bumi menghormat dengan gempa kecil.
Dan benar saja, tatkala Kinh dikremasi semua orang menangis sangat kehilangan. Tidak sedikit yang mengira Kinh adalah reinkarnasi Dewi Kuan Im. Dewi belas kasih yang dikagumi dunia. Seperti membenarkan isi buku suci, pelangi juga muncul di langit, bumi juga bergerak dengan gempa kecil. Pesan cerita ini sederhana, jalan spiritualitas mendalam bukan jalan senang-senang.

Meminjam pendapat psikolog Carl G. Jung, sebelum pencerahan seseorang akan melewati malam-malam gelap bagi sang jiwa. Isinya adalah kesedihan yang tidak terbayang beratnya. Mungkin cerita ini yang mau diungkapkan di zaman kita tatkala menyaksikan Nelson Mandela dipenjara selama 27 tahun, Martin Luther King Jr. serta Mahatma Gandhi wafat ditembak, YM Dalai Lama kehilangan negerinya di umur 15 tahun. Bimbingannya sederhana, siapa saja yang tekun membuka lapisan-lapisan kesedihan, ia tidak saja bisa memasuki gerbang pencerahan, tapi juga bisa menemukan wajah kehidupan sebagai puisi belas kasih.

Gede Prama - BAMBU KEDAMAIAN



BAMBU KEDAMAIAN
Gede Prama

Suatu hari bambu di pinggir hutan protes keras sama seruling. Terutama karena merasa diperlakukan tidak adil oleh kehidupan. Seruling dihargai demikian tinggi, sementara bambu di pinggir hutan tidak ada yang memperhatikan. Dengan tersenyum lembut seruling menjawab pelan. Dulunya, demikian seruling memulai cerita, kami juga bambu seperti kalian semua. Dan sebelum jadi seruling, kaki kami dipotong dengan kapak, badan kami dihaluskan dengan pisau. Dan yang paling menyakitkan, dada kami dilubangi.

Cerita ini adalah cerita klasik sekaligus legendaris di dunia pertumbuhan jiwa. Ia sama klasiknya dengan cerita kepompong yang harus berjuang dengan rasa sakitnya agar bisa terbang indah menjadi kupu-kupu yang mewakili keindahan. Pesan intinya sederhana, agar jiwa bertumbuh dewasa, apa lagi pulang ke rumah pencerahan, is harus melewati banyak sekali tangga kesedihan.

Sedihnya, entah siapa yang memulainya, kesedihan sering ditempatkan sebagai hukuman, kesalahan dan bahkan dosa. Sebagai akibatnya, kebanyakan manusia lari menjauh dari kesedihan sehingga kehilangan kesempatan untuk bertumbuh menjadi dewasa, kehilangan peluang untuk menempuh jalan pulang ke rumah pencerahan. Itu sebabnya, ada yang memberi judul karyanya dengan judul indah: “Pain, the gift that no body want”. Rasa sakit adalah berkah yang dikira musibah.

Siapa saja yang tekun dan tulus mendekap rasa sakit mengerti, awalnya semua membenci kesedihan dan kepedihan. Begitu kesedihan didekap dengan lembut, seseorang belajar tersenyum pada tiap dualitas. Tersenyum baik pada kesedihan dan kesenangan, berpelukan baik pada duka cita maupun suka cita. Dan sebagaimana cahaya listrik yang memancar terang karena memadukan negatif-positif, jiwa yang sudah mendekap lembut kesedihan juga memancarkan cahaya terang.

Salah satu sahabat spiritual yang jiwanya sudah memancar terang pernah “bercakap-cakap” dengan bambu. Bambu, demikian ia mengawali hasil percakapannya, bisa kuat dan kokoh karena berakar kuat ke dalam. Demikian juga dengan jiwa manusia, bila mau kuat dan kokoh, belajar berakar kuat ke dalam, ke dalam persahabatan, rasa syukur dan terima kasih mendalam pada kehidupan.

Sebagai hasil dari akar yang kuat, bambu bertumbuh meyakinkan menuju cahaya. Begitu ia dekat dengan cahaya, secara alamiah bambu merunduk rendah hati. Dan puncak perjalanan bambu indah sekali, tatkala ia dibelah di dalamnya kosong. Serangkaian simbol-simbol yang dekat sekali dengan pengalaman pencerahan.
Ia dimulai dengan tekad kuat untuk bergantung pada akar-akar kokoh di dalam seperti rasa syukur dan terimakasih pada kehidupan. Keikhlasan kemudian membimbingnya menuju cahaya. Dan ciri jiwa yang sudah dekat dengan cahaya, ia merunduk rendah hati. Kenapa bisa merunduk rendah hati, terutama karena sudah mengalami secara langsung (bukan mengerti secara intelek), semuanya ternyata kosong.

Kata kosong kerap disalah artikan sebagai tidak ada apa-apa. Sederhananya, kosong dari keakuan, kesombongan, kecongkakan. Tatkala seseorang kosong dari keakuan, ia langsung berpisah dengan tubuh personal yang membuat jiwa menderita, sekaligus tergabung dengan tubuh kosmik yang indah menawan.
Di tingkatan tubuh kosmik, seseorang mengalami langsung, ternyata kita semua terhubung. Meminjam ungkapan sebuah buku suci: “Anda adalah saya, saya adalah Anda”. Dalam keterhubungan seperti inilah kemudian mekar bunga-bunga cinta. Sebagai akibatnya, seluruh pertempuran ke dalam maupun ke luar berhenti.

Tatkala semua pertempuran ke dalam maupun ke luar berhenti, hidup kemudian berubah total menjadi puisi kedamaian. Ia memang kosong dan tidak menyisakan apa-apa. Sebagaimana ruang kosong yang memberikan tempat pada apa saja dan siapa saja untuk bertumbuh, kekosongan jenis ini menjadi simbol dari cinta dan belas kasih yang sempurna. Inilah kesimpulan cerita tentang bambu kedamaian.

Gede Prama - NYANYIAN SAKRAL HARMONI



NYANYIAN SAKRAL HARMONI
Gede Prama

Seorang murid meditasi pintar yang sudah belajar meditasi kesana dan kemari ragu akan pendekatan “terima, mengalir, senyum”, kemudian bertanya: “apakah kebodohan avidya juga diterima?”. Sayang sekali tidak boleh membuka rahasia Tantra di sembarang tempat dan waktu. Sehingga murid ini hanya bisa disarankan mencari Guru yang cocok untuk dirinya.

Kepintaran Sebagai Halangan

Bila di perguruan tinggi kepintaran diberi nilai sangat tinggi, di dunia spiritual mendalam kepintaran adalah serangkaian halangan yang sulit ditembus. Kebodohan jauh lebih mudah untuk ditembus, terutama karena perasaan bodoh kemudian membuat seseorang mau belajar dan mendengar. Kepintaran sebaliknya, ia duduk di kursi lebih tinggi, kemudian menolak untuk belajar.

Itu sebabnya, di dunia kebijaksanaan sudah lama dipesankan seperti ini: “Pikiran manusia serupa parasut. Ia hanya berguna kalau dibuka”. Dalam beberapa tingkatan pertumbuhan spiritual terjadi, seseorang seperti diminta “terjun” dari sebuah ketinggian. Tanpa parasut pikiran yang terbuka, dipastikan seseorang akan jatuh di tempat yang sangat berbahaya. Itu sebabnya, sejumlah Guru dan murid spiritual hidupnya menjadi sangat berbahaya.

Ini juga alasannya kenapa sejumlah murid seperti Milarepa, dihancurkan habis-habisan kepintarannya dengan pendekatan yang sangat keras oleh Gurunya Marpa. Naropa adalah murid yang sangat pintar. Ia bahkan berhasil menjadi Guru besar di universitas terkenal bernama Nalanda. Dan oleh Gurunya bernama Tilopa, Naropa juga juga disakiti dan dilukai, semata-mata agar ia keluar dari sangkar burung kepintaran.

Kepintaran Sebagai Jembatan

Suatu hari ada anak muda pintar yang banyak protesnya datang ke seorang Guru. Dengan lembut Guru ini meminta agar murid pintar ini mengambil gelas kecil, air, garam dan sendok. Setelah semuanya diaduk, kemudian murid ini diminta merasakan rasanya air. Dan tentu rasanya asin.

Kemudian percobaan dilanjutkan ke kolam besar dan luas. Di kolam besar dan luas ini, lagi-lagi murid pintar tadi diminta memasukkan jumlah garam yang sama serta diaduk. Setelah dirasakan airnya, ternyata rasanya tidak asin.

Pelajarannya sederhana, kepintaran serupa gelas yang kecil. Begitu ada garam perbedaan sedikit saja, maka seseorang kemudian merasa asin dan protes. Untuk itulah ia memerlukan kebijaksanaan yang luas. Kebijaksanaan (wisdom) inilah yang kerap disebut sebagai kepintaran yang menjembatani. Cirinya sederhana, tatkala ada orang yang kelihatannya berbeda, belum tentu salah dan jahat. Bisa jadi karena pikiran kita masih terlalu sempit untuk bisa mengerti.

Kehidupan Sebagai Nyanyian

Dengan bekal pikiran yang terbuka, lebih mudah seseorang melahirkan hati yang indah di dalam. Itu sebabnya kerap dipesankan pada banyak sekali sahabat di jalan meditasi: “Pikiran yang mengalir serta hati yang indah, itulah surga di bumi”. Pikiran menderita mirip dengan salju yang membeku, pikiran yang damai serupa air yang mengalir.

Dan kita semua tahu, semua air yang mengalir menuju samudra. Dengan cara yang sama, semua pikiran yang mengalir serta hati yang indah mengalir ke keindahan yang sama. Cinta, kebajikan, belas kasih adalah keindahan-keindahan yang dituju oleh pikiran mengalir dan hati yang indah.

Ini yang bisa menerangkan kenapa banyak orang suci di semua agama mewartakan pesan-pesan cinta, kebajikan, belas kasih. Dan ia baru bisa dimengerti kalau pikiran dibuka terlebih dahulu. Lebih dari itu, siapa saja yang sudah mengerti dan membadankan cinta, kebajikan, belas kasih, ia secara alamiah bisa melihat kehidupan sebagian nyanyian harmoni. Cirinya sederhana, semua yang ada di alam ini dari matahari, bulan, bunga, burung, anak-anak menyanyikan nyanyian harmoni.

Gede Prama - LANGIT KEDAMAIAN



LANGIT KEDAMAIAN
Gede Prama

Seorang murid meditasi yang penuh bakti bertanya, kenapa pikirannya sering dipenuhi awan? Ada awan keraguan, ketakutan, kemarahan. Dan semakin keras ia mengusir awan-awan itu, semakin sering ia datang dalam keseharian.

Mawar Tanpa Duri

Setiap sahabat yang kerap berjumpa jiwa-jiwa dalam bahaya mengerti, selalu ada aroma perkelahian di sana. Buruk melawan baik, salah melawan benar, kotor melawan suci. Seorang peserta meditasi remaja yang berteriak di tengah keheningan meditasi bersama-sama bercerita, di dalam dirinya ada setan.

Sejujurnya, semua pertempuran di dalam adalah bikinan kita sendiri. Persisnya, ia adalah buah pengkondisian yang berumur sangat tua. Pendidikan orang tua, lingkungan, sekolah hanya sebagian sumber pengkondisian ini. Dalam bahasa sederhana, pengkondisian yang membuat jiwa sakit ini mirip dengan berharap ada mawar tanpa duri. Ada kebahagiaan tanpa kesedihan, ada pujian tanpa cacian.

Dan meditasi mengajarkan untuk tersenyum pada setiap berkah kekinian. Tersenyum baik pada duri maupun mawar. Tersenyum baik pada duka cita maupun suka cita. Sebagai hasilnya, cengkeraman pengkondisian melonggar dari hari ke hari. Sampai suatu hari pencerahan membuat cengkeraman pengkondisian ini lepas sama sekali.

Mawar Kesempurnaan

Di meditasi mendalam sering terungkap rahasianya, kita semua adalah ramuan antara duri dan mawar yang sangat unik. Ada yang unsur durinya lebih banyak, ada yang unsur mawarnya lebih banyak. Dan meditasi adalah senyuman penuh pengertian baik kepada mawar maupun duri mana pun.

Itu sebabnya banyak pembimbing meditasi sepakat, meditasi merubah Anda dengan cara menerima diri Anda apa adanya. Kedengarannya aneh bagi telinga orang biasa, tapi yang sudah disentuh meditasi mendalam akan mengerti hal ini penuh permakluman.

Di tingkatan ini, mawar adalah wakil kesempurnaan. Tidak ada mawar tanpa duri. Dengan cara yang sama, tidak ada jiwa tanpa noda sama sekali. Dan kesempurnaan bukanlah keadaan tanpa noda, kesempurnaan adalah senyuman indah pada semua noda.

Matahari Indah Dalam Diri

Siapa saja yang tekun melatih diri seperti ini tidak perlu sedih dikunjungi oleh awan-awan kehidupan. Semua langit pernah dikunjungi awan, dengan cara yang sama semua jiwa pernah disentuh oleh noda.
Itu sebabnya, setiap jiwa yang luka selalu diminta menerima dirinya apa adanya. Penerimaan diri akan dalam jika seseorang mengerti kesempurnaan mawar. Terima duri-duri di dalam diri Anda. Dalam bahasa meditasi, Anda bukan mawar yang dibuat cacat karena ada duri, Anda adalah mawar yang dilindungi duri.

Dengan cara pandang seperti ini, mudah sekali bagi seseorang untuk melihat matahari terbit di dalam diri. Cirinya sederhana, semua ada waktunya, semua ada tempatnya. Musim hujan langit penuh awan. Musim kemarau langit berisi sedikit awan. Tersenyum pada kedua jenis langit ini, itulah langit kedamaian

Gede Prama - BERLIAN KASIH SAYANG



BERLIAN KASIH SAYANG
Gede Prama

Suatu hari di sebuah kawasan Afrika yang terpencil, ada seorang pria miskin yang tiap hari berdoa agar bisa memiliki berlian. Dan berapa kali pun ia berdoa, tetap tidak menemukan berlian di tanahnya yang kering. Frustrasi keinginannya tidak terpenuhi, ia kemudian menjual tanahnya, kemudian mencari berlian di negeri yang jauh.

Di negeri yang jauh pun nasib pria ini sama. Ia tidak bisa menemukan berlian yang ia cari. Kelelahan mencari, ia kemudian pulang ke kampung halamannya membawa rasa kecewa. Dan betapa terkejutnya ia sesampai di kampung halamannya menyaksikan, ternyata tanah yang ia jual sekarang sudah menjadi milik perusahaan tambang yang menambang berlian di sana.

Kisah ini adalah kisah tua. Ia setua pencarian manusia. Awalnya, banyak manusia tidak puas dengan apa yang ia miliki. Sebagai akibatnya, ia mencarinya di tempat yang sangat jauh. Dan di tempat yang sangat jauh, ia semakin tidak menemukan apa yang ia cari. Selalu ujungnya sama, di mana seseorang memulainya di sanalah sang rahasia disembunyikan.

Perjalanan spiritual banyak orang menemukan rumah (home) juga seperti ini. Tidak puas dengan tempat suci di negeri sendiri, banyak yang pergi ke India, Nepal, Tibet, Lourdes, Arab, Yerusalem, Peru, dll. Dengan sedih harus diungkapkan di sini, semua yang mencarinya di tempat jauh harus kecewa pada akhirnya.

Kesedihan, kemalangan, penderitaan datang lagi dan lagi sebagaimana pada awalnya.
Dan siapa saja yang tidak lari dari kesedihan, sujud hormat pada kesedihan seperti menghormati Guru suci, membaca rahasia yang disembunyikan di balik kesedihan, kemudian ada kemungkinan bisa menemukan berlian di dalam diri. Dan berlian itu bernama belas kasih (compassion).

Di zaman kita, dunia mengagumi Jalaludin Rumi, Kahlil Gibran, Nelson Mandela, Bunda Teresa, Mahatma Gandhi, YM Dalai Lama, Thich Nhat Hanh, Martin Luther King Jr., Lady Diana. Semuanya lahir di negeri berbeda, tumbuh dalam tradisi yang berbeda, tapi semuanya dibuka pintunya melalui kesedihan mendalam.

Ia seperti bercerita kisah yang sama, kebanyakan manusia lari dari kesedihan sebagai “tempat lahir” spiritualnya jiwa-jiwa di zaman ini. Setelah pergi jauh, mencarinya di tanah kesenangan, kebahagiaan, sukacita, kemudian jiwa-jiwa merasa terasing dalam tubuhnya sendiri. Keadaan terasing inilah yang membuat mereka kemudian pulang.

Dan di tempat asal, lagi-lagi jiwa disambut oleh kesedihan. Bukan karena dihukum, bukan karena banyak dosa, bukan karena punya banyak kesalahan. Sekali lagi bukan. Tapi karena kesedihan adalah bab penting dalam buku di dalam. Tanpa membaca bab kesedihan, semua bab lain dalam buku kehidupan tidak akan bisa dimengerti.

Rasa sakit, demikian cerita jiwa-jiwa yang sudah pulang, serupa pisau tajam yang menghaluskan jiwa dari berbagai bentuk baju palsu. Dari baju badan, pikiran, perasaan hingga kecerdasan. Tatkala semua baju palsu ini dikuliti oleh pisau tajam kesedihan, di sana ada kemungkinan jiwa bisa menemukan rumahnya.

Dan sesampai rumah, banyak yang terkejut, ternyata apa yang dicari juga mencari, apa yang dicari semuanya sudah tersedia di dalam. Makanya ada yang berpesan, berhenti mencari kemudian Anda langsung sampai. Sesampai di rumah, tidak ada apa-apa yang tersisa, terkecuali belas kasih (compassion) agar semua makhluk bisa menemukan berliannya di dalam.
Penulis: Gede Prama

Gede Prama - CINTA MEMPERCANTIK JIWA



CINTA MEMPERCANTIK JIWA
Gede Prama

Tatkala Nelson Mandela wafat beberapa tahun lalu, sulit membantah kalau dunia sedang kehilangan sebuah cahaya. Saat Lady Diana meninggal sekian tahun lalu, miliaran pasang mata di dunia meneteskan air mata. Tidak ada cerita lain di balik ini terkecuali cerita tentang jiwa yang indah.

Bagi setiap hati yang dihiasi bunga kepekaan, perjumpaan dengan jiwa-jiwa indah mudah membuat air mata menetes. Dalam bahasa Karen Armstrong, kapan saja hadir sesosok jiwa yang penuh dengan cinta, jiwa kita merasa terangkat. Dan salah satu tanda jiwa terangkat adalah air mata yang menetes.

Dari sini timbul pertanyaan, apa yang membuat segelintir jiwa jadi demikian bercahaya. Di Timur dikenal reinkarnasi roh-roh suci yang turun ke bumi untuk berbagi cahaya. Di Hindu dikenal Avatara alias Tuhan yang turun ke bumi. Di Buddha Mahayana dikenal Bodhisattva yang bersumpah untuk terus menerus lahir sampai alam samsara ini kosong. Di Barat orang mengenal malaikat.

Entah itu bawaan dari alam sana, atau dikembangkan di sini di muka bumi, terasa sekali kalau dekat dengan jiwa-jiwa indah di sana-sini tercium aroma cinta. Seorang sahabat dekat pernah berjumpa YM Dalai Lama, hanya dengan melihat mukanya saja, sahabat ini sudah menangis. Mencermati bahasa tubuh serta pancaran mata YM Dalai Lama, tidak ada cahaya lain selain cinta.

Bahan renungannya kemudian, bisakah orang-orang biasa memiliki jiwa yang bercahaya? Para sahabat di dunia spiritual yang menekuni energi mengerti, energi itu menular. Sedihnya, energi negatif itu menular secara sangat mudah dan cepat, sedangkan energi positif menularnya susah dan lambat. Kendati demikian, tidak ada pilihan lain bagi jiwa-jiwa yang mau pulang terkecuali menulari diri dengan energi positif.

Itu sebabnya di dunia psikologi sudah lama terdengar saran agar seseorang mengelilingi diri dengan sahabat-sahabat yang bisa mendukung pertumbuhan jiwa kita. Sekolah sebenarnya diniatkan untuk mengisi kebutuhan seperti ini, keluarga juga serupa, demikian juga dengan kelompok spiritual. Sayangnya, niat tetap niat, ia jarang menjadi kenyataan.

Itu sebabnya penekun-penekun spiritual yang serius kemudian lebih berpaling pada keluarga di dalam. Serupa keluarga di luar yang terkotori lingkungan, keluarga di dalam juga terkotori. Dan bila tekun, tulus, tidak mudah menyerah, keluarga di dalam bisa diajak bertumbuh menuju cahaya.

Kemarahan, ketersinggungan, dendam adalah bentuk-bentuk energi di dalam yang terkontaminasi. Dan kesadaran (awareness) serta perawatan (carefulness) adalah energi murni di dalam yang bisa dibangunkan sebagai kekuatan pengimbang. Kapan saja energi murni terakhir lebih kuat dari energi kemarahan, di sana matahari mulai terbit di dalam diri.

Memaafkan adalah tanda-tanda awal terbitnya matahari di dalam diri. Menerima kehidupan apa adanya adalah tanda kalau matahari mulai terbit di dalam. Cinta adalah cahaya terang yang lembut mendekap semuanya. Sesampai di sini, cahaya tidak saja menjadi miliki Avatara dan Bodhisattva, ia adalah milik semua jiwa.

Ia sama dengan matahari terbit di pagi hari. Ia bukan milik segelintir orang, ia adalah milik semua orang. Bedanya dengan orang kebanyakan yang lapar begini kurang begitu, jiwa-jiwa yang bercahaya hanya memiliki sebuah kerinduan yakni kerinduan untuk senantiasa mencintai.

Di kalangan jiwa-jiwa bercahaya kerap terdengar pesan seperti ini: “Sementara orang biasa menunggu untuk dicintai, jiwa yang bercahaya terus menerus menanam bibit-bibit cinta”. Anehnya, ia yang kerap menanam bibit-bibit cinta melalui memaafkan, menerima, menolong, dialah yang jiwanya pertama kali mekar. Inilah yang disebut sebagai cinta mempercantik jiwa.
Penulis: Gede Prama

Gede Prama - PUSAT KEDAMAIAN



PUSAT KEDAMAIAN
Gede Prama

Ahli mitologi Joseph Campbell pernah berpesan dalam bukunya yang berjudul The Power of Myth: “Ada titik pusat kedamaian di dalam. Bila Anda kehilangan kontak dengan titik pusat ini, Anda mengalami kejatuhan”. Pertanyaannya kemudian, di mana letak titik pusat ini di dalam?

Kepala

Di zaman kita, banyak sekali manusia mencari cahaya di kepala dalam bentuk kepintaran. Sekolah dan universitas kita menghabiskan waktu lebih dari delapan puluh persen untuk mengeksplorasi kepala. Tidak seluruhnya jelek, banyak kemajuan yang dihasilkan. Tapi sulit mengingkari, ada banyak jiwa yang terasing di dalam tubuhnya.

Rumah sakit jiwa penuh, konflik dan perang tidak mengenal tanda-tanda akan berakhir, institusi keluarga mengalami keruntuhan, sekolah dan lembaga keagamaan mengalami defisit karisma. Ini hanya sebagian kecil contoh yang menunjukkan kalau kepintaran bukan segala-galanya.

Membenci kepintaran bukanlah hal yang disarankan tulisan ini. Ada cahaya di kepala tentu saja. Tapi kepala bukanlah pusat kedamaian. Terutama karena cara kepala bekerja sangat dualistik. Malam hanya bisa dimengerti kalau ada siang. Salah kelihatan kalau ada benar. Pertentangan-pertentangan seperti ini jauh dari kedamaian.

Hati

Ia yang sudah lama panas hidup di kepala biasanya mencari cahaya di hati. Ada yang panas oleh perceraian, kehilangan pekerjaan, kehilangan orang yang dicintai. Intinya sederhana, kepintaran tidak memberikan semua jalan keluar, dari sini kemudian mereka mencari di dunia rasa yang menjanjikan keindahan.

Bila kepala kaya akan pengetahuan, hati kaya akan rasa. “Rasa adalah bahasanya jiwa”, demikian orang-orang di kelompok ini menyebutkan. Di tingkatan inilah seseorang tersentuh oleh cinta, kebaikan, belas kasih. Bukan cinta yang diucapkan, tapi cinta yang dilaksanakan.

Ini yang bisa menjelaskan kenapa orang-orang yang penuh cinta mukanya bercahaya, jiwanya bercahaya, hidupnya juga bercahaya. Terutama karena ada cahaya di hati. Sedihnya, ini juga bukan pusat kedamaian. Di tingkatan hati, cinta masih memiliki lawan bernama kebencian. Kebaikan masih punya musuh bernama keburukan. Itu sebabnya sebagian pencinta hidupnya kecewa. Terutama karena setelah mencintai berharap agar ia juga dicintai.

Pusar

Jika kepala kegiatan utamanya adalah mengetahui (knowing), hati kegiatan utamanya adalah merasakan (feeling), beberapa titik di bawah pusar adalah titik pusat keberadaan (being). Sayangnya, di zaman yang mengagungkan kepala ini menjelaskan rasa saja sudah sulit, apa lagi menjelaskan titip pusat keberadaan dekat pusar.

Titik pusat dekat pusar ini hanya bisa dijelaskan dan dicapai secara tidak langsung. Seks adalah sebuah contoh. Alasan utama kenapa seks demikian indah karena saat seseorang berhubungan seks energi terpusat dekat dengan pusar. Saat kita jadi bayi, kita terhubung dengan ibu melalui tali pusar. Begitu lahir tali ini diputus. Dan nanti tatkala seseorang mengalami pencerahan, ada tali pusar yang muncul yang menghubungkan jiwa dengan ibu yang bernama keberadaan.

Titik terdekat dengan pusat keberadaan adalah hati. Untuk itu, sesulit apa pun teruskan mencintai. Tiap jiwa yang mendekati titik pusat keberadaan akan terguncang. Guncangannya bahkan hebat sekali. Tapi ini bukan alasan untuk berhenti mencintai. Kapan saja cinta seseorang menjadi tidak bersyarat, di sana ia mendekati titik pusat keberadaan. Sekaligus, inilah titik pusat kedamaian.

Penulis: Gede Prama

Gede Prama - Nonviolent Soldier of Islam

Nonviolent Soldier of Islam
Oleh Gede Prama

Seorang sahabat Muslim mengirim buku indah berjudul “Nonviolent Soldier of Islam“. Ia ditulis oleh penulis buku terkenal Eknath Easwaran yang pernah menulis Bhagavad Gita sekaligus Dhammapada. Begitu melihat pembungkus depan dan belakang buku ini saja sudah terasa hawa sejuk dan lembut. Perhatikan salah satu kalimat indah yang ditulis di bungkus belakang: “Ia yang kuat, memilih bertindak tanpa kekerasan”. Sederhananya, kelembutan, kesejukan adalah sahabatnya manusia-manusia yang di dalamnya kuat. Ini sesungguhnya bukan pesan baru, karena sudah diwartakan para suci jauh sejak ribuan tahun yang lalu. Tapi ia terasa menyirami karena peradaban kekinian penuh dengan hawa panas kekerasan.

Bayangkan, tempat-tempat yang pernah melahirkan buku suci dan Guru suci (India, Pakistan, Palestina, Israel) semua panas oleh kekerasan. Bali yang pernah disebut the last paradise, angka bunuh dirinya menaik terus. Thailand yang lama disebut land of smile oleh majalah Time diganti menjadi land of coup. Di Barat sana bahkan ada yang tega menyebut agama sebagai sumber kekerasan dan kejahatan.

Holy water of compassion

Sehingga di tengah percikan-percikan panas api ini, bahkan setetes air pun sangat menyejukkan. Dan buku otobiografi tokoh Islam bernama Badshah Kahn (sahabat seperjuangan Mahatma Gandhi di India) ini, adalah salah satu air suci sejuk yang pernah dipercikkan di taman bunga agama-agama. Sejenis air suci (tirtha) kasih sayang. Sehingga komentar Christian Science Monitor yang dicantumkan di bungkus depan buku ini sangat mewakili isi buku sejuk ini: “Intisari kisah Khan…bahwa hakikat Islam yang sejati adalah antikekerasan”.

Seperti menemukan intisari kenabian di zaman ini, di halaman 103 buku ini berpesan sederhana sekaligus mendalam: “Manusia memetik banyak pelajaran di sekolah penderitaan”. Di zaman ini, jangankan manusia biasa, bahkan Nabi pun dihaluskan oleh amplas keras bernama penderitaan. Sulit membayangkan ada perjalanan spiritual mendalam tanpa melalui lorong-lorong gelap penderitaan Bagi orang biasa, penderitaan adalah hukuman. Bagi penggali ke dalam diri yang mengagumkan, penderitaan adalah kilatan cahaya bahwa jiwa mulai melihat arah jalan pulang. Saat menderita, di dalam sini terasa ada yang takut dan ragu.

Keadaannya serupa dengan anak balita yang bermain terlalu jauh dari rumah, kemudian takut dan ragu. Dengan demikian, makna lain penderitaan, penderitaan menjadi masukan kalau jiwa bermain terlalu jauh dari rumah. Sekaligus menjadi panggilan terang bagi sang Jiwa: “pulang, pulang, pulang”.

Senjata tidak terkalahkan

Jangankan setelah pulang, bahkan tatkala jiwa baru melangkah pulang pun kehidupan sudah menyediakan kilatan-kilatan cahaya kedamaian. Perhatikan apa yang ditulis buku lembut ini di halaman 149: “Aku akan memberikan senjata yang tidak akan dilawan tentara dan polisi. Senjata Sang Nabi ini bernama kesabaran dan kebenaran”. Hanya jiwa yang dibimbing Cahaya yang berani mengambil “senjata” jenis ini. Dalam terang Cahaya, kegelapan kekerasan tidak dilawan dengan kegelapan kemarahan, tapi diterangi secara lembut menggunakan lentera kesabaran. Dengan penggalian sedalam ini. bisa dimaklumi jika Khan yang lahir di keluarga Islam sangat dekat luar dan dalam dengan Mahatma Gandhi yang lahir di keluarga Hindu.

Berkali-kali Khan mengakui di buku ini: “Tatkala Gandhiji mau memutuskan hal-hal penting, tercium jelas sekali kalau saya sedang berjumpa dengan seorang hamba Allah yang sedang memasrahkan dirinya secara total kepada Allah”.

Pandangan terang seperti ini, tidak mungkin bisa dicapai oleh sembarang jiwa. Ia hanya mungkin didaki oleh jiwa yang sudah melewati banyak penderitaan, tunduk sujud di depan penderitaan, menggunakan penderitaan sebagai kekuatan yang menghaluskan. Ini terlihat terang di halaman 129: “Bagi seorang Muslim, mengikuti jalan hidup tanpa kekerasan bukanlah hal yang mengejutkan. Jalan ini sudah dilalui empat belas abad silam di Mekah oleh Sang Nabi”. Pernyataan ini mengingatkan pada ungkapan tua di dunia Sufi: “Perilaku buku suci seperti calon penganten wanita. Ia hanya membuka baju pada calon suaminya”.

Suami buku suci

Seluruh isi buku ini bercerita terang kalau Khan sudah menjadi “suami” buku suci. Buktinya, buku suci sudah membuka bajunya. Kemudian memancarkan cahaya kelembutan, kesabaran, kesantunan. Dan tiba-tiba Sang Nabi yang memancarkan cahaya tauladan sempurna berabad-abad lalu menjadi teramat dekat di hati. Ini salah satu ciri manusia yang sudah menyembah rumah Tuhan yang dibikin tangan Tuhan. Dalam totalitas, buku indah yang diterbitkan oleh kelompok penerbit Bentang (2013) ini sangat layak dibaca, tidak saja layak untuk sahabat Muslim tapi juga bagi setiap penekun spiritual mendalam.

Tidak semua bagian agama-agama itu sama, tidak semua unsur agama-agama boleh disamakan, tapi bagian yang tidak sama itu bukanlah bahan bakar kekerasan, melainkan warna-warni yang sebaiknya dilukis menjadi pelangi keindahan. Dalam konteks inilah, umat manusia memerlukan lebih banyak orang seperti Eknath Easwaran, yang menulis buku Nonviolent Soldier of Islam yang indah, ia sama indahnya tatkala beliau menulis buku Hindu berjudul Bhagavad Gita serta buku Buddha berjudul Dhammapada. Kita membutuhkan lebih banyak Guru serupa Karen Armstrong yang menulis autobiografi Nabi Muhammad yang sama indahnya dengan autobiografi Buddha. Kita juga merindukan lebih banyak penulis mirip Deepak Chopra yang menulis buku The Third Jesus sama indahnya dengan novelnya berjudul Buddha.

Melalui karya-karya tokoh seperti ini, agama-agama kemudian berhenti masuk ke dalam kotak kekerasan, sebaliknya menjadi sumber air sejuk kelembutan dan kedamaian. Inilah yang dilakukan tokoh Islam bernama Badshah Kahn. Ini juga yang dilakukan Mahatma Gandhi, Bunda Teresa serta YM Dalai Lama.

Selasa, 26 Agustus 2014

PENYAKIT (2)


Kisahku, masih saja dalam lilitan sakit ngilu pada persendianku. Sepertinya daku mulai mencurigai Tuhan, dan berspekulasi tentang-Nya. Apa mau-Nya? Omong-omongku dengan beberapa sanak mengingatkanku akan tak kuasanya melawan usia yang menua, dan kungkungan ragam penyakit itulah alamatnya. Tentu dalam balutan bijaknya, Sang Guru mengurapiku dengan sepenggal sabda: " Han..., usahlah gundah dengan penyakitmu. Adakalanya dibutuhkan, sebagai jalan tirakah, khususnya bagi para petirakah pemula di jalan-Nya. Penyakit adalah sejenis penerang terang yang akan menerangkan benderangnya jalan-jalan keterangan."

Senin, 25 Agustus 2014

PENYAKIT (1)


Sudah hampir sebulan daku merasakan ngilu di persendian lutut kanan. Setelah periksa darah, asam urat yang mungkin jadi biangnya. Menderita ngilu jadi sahabat yang setia hingga kini. Berobat pun daku tempuh agar bisa bercerai dengan si ngilu. Sang Guru menohokku lewat tuturnya: " Han..., jika dikau ingin bercerai dengan penyakit, janganlah makan pantangannya, dengan begitu maka penyakit itu akan lapar. Kalau penyakit tidak lagi mendapatkan makanannya pada dirimu, ia pun akan berlalu."

Sabtu, 23 Agustus 2014

Yudi Latif - Mengelola Negara Tanpa Melek Etika

Mengelola Negara Tanpa Melek Etika

Kompas, October 30, 2013 
Yudi Latif
Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan

Dalam demokrasi beradab, hukum berenang di lautan etika, sehingga defisit undang-undang selalu bisa ditutupi kecukupan moralitas. Dalam demokrasi lemah adab, hukum berenang di lautan para perompak, sehingga surplus undang-undang tak membuat tertib hukum, malah semakin membuka peluang bagi aksi-aksi kejahatan manipulatif.
Persoalan yang menyangkut politik dinasti sebagai sarang korupsi dan tsunami yang menimpa Mahkamah Konstitusi (MK) adalah gunung es yang menyingkap persoalan besar republik ini. Akar terdalam kebiadaban penyelenggara negara itu bersumber dari paceklik etika politik. Padahal, etika politik menghubungkan hukum dengan ideal kehidupan sosial-politik, kesejahteraan bersama, dan keadilan sosial. Seperti kata Paul Ricoeur, etika politik adalah kekuatan reflektif untuk membongkar argumen yang melegitimasi kebijakan publik dengan menempatkan diri dalam posisi dan dimensi moral orang lain.
Tidak ada yang lebih sempurna menggambarkan krisis etika politik ini seperti musibah yang menimpa MK. Para hakim konstitusi mestinya sadar benar akan sebuah diktum yang menyatakan, “tidak ada konstitusi tanpa moral”. Diktum inilah yang melandasi pernyataan Prof Soepomo di akhir penjelasannya tentang Rancangan Undang- Undang Dasar 1945. “Segala sistem ada baik dan jeleknya,.. sistem mana saja tidak sempurna.” Lantas ia tekankan, apa pun rancangan Konstitusi Indonesia, untuk kesempurnaannya sangatlah ditentukan semangat moral penyelenggara negara. Bahwa “yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hidup negara ialah semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun kita membikin undang-undang yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara negara, pemimpin pemerintahan itu bersifat perseorangan, undang-undang dasar tadi tentu tidak ada artinya dalam praktik.”
Alangkah tragisnya ketika ketidaksempurnaan konstitusi yang mestinya ditutupi moral penyelenggara negara, Ketua MK malah jatuh ke tangkup penguasaan tangan-tangan amoral. Namun, solusi atas kemelut MK yang ditempuh Presiden juga menggambarkan situasi yang lebih sinister. Krisis etika tidak ditutupi oleh solusi etis, tetapi oleh pelanggaran etis. Mengeluarkan perppu tanpa kegentingan yang memaksa selalu mengandung potensi susupan kepentingan lain dan melampaui batas etis.
Berbagai ekspresi ketidakpatutan etis yang diperagakan para pemimpin republik ini mengindikasikan meluasnya fenomena “buta moral” (moral iliteracy) yang melanda bangsa. Rendahnya tingkat melek moral inilah yang membuat para penyelenggara negara kekurangan rasa malu dan rasa kepantasan. Dalam kehidupan publik yang sehat, ada banyak hal yang tak bisa dibeli dengan uang. Namun, dengan menipisnya rasa malu dan rasa kepantasan, cuma sedikit yang masih tersisa. Hampir semua nilai, termasuk harga diri, bisa dibeli oleh uang.
Kehilangan terbesar bangsa ini bukanlah kemerosotan pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah, atau popularitas tokoh, melainkan kehilangan harga diri karena diabaikannya semangat moral kehidupan bernegara. Hilangnya harga diri dan prinsip kehidupan membuat para politisi dan penyelenggara negara tumbuh dengan mentalitas pengemis. Para pemimpin di segala lapis dan segi tak terbiasa lagi meletakkan tangan di atas, melainkan senantiasa di bawah. Mereka mengalami kemiskinan permanen karena tak pernah merasa cukup dengan yang telah ditimbunnya dari mencuri hak orang banyak.
Betapa banyak orang menyandang predikat pemimpin, tetapi dengan mentalitas pengemis. Dalih ketidakcukupan gaji sebagai pejabat negara dijadikan alasan terus menggelembungkan aneka tunjangan dan pencarian rente. Tabiat seperti ini melenceng jauh dari kesadaran etis pendiri bangsa. Di tengah impitan depresi ekonomi dan represi rezim pada dekade 1930-an, setegar baja Bung Hatta berkata: “Betul banyak orang yang bertukar haluan karena penghidupan, tetapi pemimpin yang suci senantiasa terjauh dari godaan iblis itu.”
Indonesia lahir karena perjuangan dan komitmen luhur memuliakan nilai dan martabat manusia. Dalam memperjuangkan harga diri manusia lewat kemerdekaan, Indonesia telah lolos dari berbagai ujian kemelaratan dan penderitaan. Namun, daya hidup dan karakter keindonesiaan itu justru goyah saat ketamakan dan kezaliman kuasa menari di atas penderitaan rakyat banyak.
Tanpa basis moral yang kuat, negara hukum Indonesia menyimpan banyak kemungkinan kebuntuan karena konstitusi memberikan kepercayaan besar pada moral penyelenggara negara. Pokok pikiran keempat Pembukaan UUD 1945 menyebutkan, “Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, mewajibkan pemerintah dan penyelenggara negara lainnya untuk memelihara budipekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.”
Pejabat publik adalah representasi rakyat yang harus memiliki kepekaan etis. Kepekaan etis senantiasa menempatkan keadilan di atas hukum. Dalam rasa keadilan, pejabat negara dalam perilaku dan gaya hidupnya harus menenggang simpul terlemah dari jutaan rakyat kecil yang terempas dan terputus. Para penyelenggara negara dalam mengemban tugasnya tidak hanya bersandar pada legitimasi hukum, tetapi juga legitimasi moral.

Yudi Latif -Tantangan Idealisme Muda

Tantangan Idealisme Muda

Kompas,October 30, 2013 in
Yudi Latif
Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan

Ada yang laju dan yang layu. Dalam rentang waktu 85 tahun sejak Kerapatan Besar Pemuda Indonesia (KBPI) II, 28 Oktober 1928, ada garis kontinuitas dan diskontinuitas antara generasi hari ini dan generasi Sumpah Pemuda.
Yang terus melaju adalah kualitas kecerdasan anak-anak muda negeri ini. Adapun yang melayu adalah kepeloporan politik kaum muda untuk merajut kecerdasan yang berserak menjadi kekuatan progresif.
Bayangkan, pada usia 25 tahun Bung Karno telah melahirkan pikiran-pikiran visioner untuk menyintesiskan antara “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”, yang menjadi bantalan vital bagi perumusan dasar negara. Pada usia 26 tahun, Bung Hatta telah memikirkan dasar-dasar “Indonesia Merdeka” (Indonesia Vrije). Pada usia 25 tahun, Muhammad Yamin telah menyodorkan gagasan “Persatuan dan Kebangsaan Indonesia”, dalam KBPI II, dengan secara visioner melihat kemustahilan negeri seluas Indonesia hanya memiliki satu bahasa; sehingga yang dituntut oleh persatuan kebangsaan bukanlah berbahasa satu, melainkan “menjunjung bahasa persatuan”, bahasa Indonesia. Pikiran-pikiran cemerlang generasi muda pada dekade 1920-an ini mencerminkan kegeniusan respons minoritas kreatif yang sepadan dengan tantangan zamannya.
Kualitas pemuda saat ini
Dalam konteks yang berbeda, minoritas kreatif pemuda hari ini juga tak kalah cemerlangnya. Tanda-tandanya bisa dilihat dari keberhasilan delegasi seni dan sains Indonesia dalam kompetisi antarbangsa. Dalam berbagai ajang olimpiade internasional di bidang matematika, fisika, kimia, dan robotik, para pelajar dan mahasiswa Indonesia bukan saja bisa bersaing dengan utusan negara-negara terpandang seperti Amerika Serikat, Jepang, China, dan India, bahkan berulang kali memecundangi mereka. Ratusan genius muda Indonesia memainkan peran penting di pusat-pusat pengetahuan dan industri dunia.
Kantong-kantong kreatif negeri ini, seperti Bandung, Yogyakarta, dan Bali, juga seperti tak pernah mati akal, terus-menerus melahirkan kreativitas baru yang memberi nilai tambah. Bukanlah suatu isapan jempol apabila Prof Yaumil Agoes Achir (almarhum) pernah memperkirakan, sekitar 2 persen dari manusia Indonesia masuk dalam kategori genius. Lebih dari itu, Indonesia sebagai masyarakat multi-etnis tampaknya mengandung potensi multi-inteligensia dan multi-talenta, yang memberikan potensi kejayaan kepada bangsa.
Pada setiap generasi, kuantitas pemuda sebagai pemikir dan pelopor itu selalu merupakan minoritas kreatif. Tahun 1926, pada masa puncak aktivitas politik Perhimpunan Indonesia (PI), dari 673 lebih mahasiswa Indonesia di Belanda pada saat itu, hanya 38 orang yang menjadi aktivis PI (Ingleson, 1979: 2). Demikian pula hanya dengan situasi kepemudaan di Tanah Air. Menyusul berdirinya tiga perguruan tinggi pada 1920-an (THS, RHS, dan GHS), beberapa klub mahasiswa universitas bermunculan di Hindia, dengan arus utamanya bersifat rekreatif. Namun, di sela arus utama klub-klub berorientasi rekreasi, muncullah sekelompok kecil mahasiswa sadar politik yang mendirikan perkumpulan berorientasi politik dengan pengikut yang sangat terbatas, seperti Algemene Studieclub, yang dipimpin Soekarno. Sejarah mencatat, minoritas kreatif inilah yang menjadi pelopor perubahan, yang mengonseptualisasikan “Indonesia” sebagai simpul persatuan dan kemerdekaan.
Alhasil, tidak perlu terlalu diratapi jika kebanyakan anak muda hari ini lebih suka menghabiskan waktu dengan chatting di media sosial, bersenang-senang di pusat belanja, atau pelesiran ke tempat-tempat wisata. Toh, masih ada minoritas pemuda kreatif yang terlibat dalam kerja-kerja inovatif, kewirausahaan, dan aksi-aksi politik. Malahan, sesuai dengan struktur demografis Indonesia saat ini, minoritas kreatif masa kini jumlahnya jauh lebih besar dengan varietas bidang kreatif yang lebih beragam ketimbang generasi sebelumnya.
Struktur demografis Indonesia membengkak pada penduduk berusia muda. Jika definisi pemuda mengikuti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, yakni mereka yang berusia 16 sampai 30 tahun, maka jumlahnya pada saat ini menurut SUPAS 2005 sekitar 62,24 juta, atau setara dengan 25 persen dari total penduduk Indonesia. Jika satu persen saja dari total pemuda itu bersifat kreatif, kita akan mendapatkan gambaran pemuda kreatif dengan magnitude yang tiada tara dibandingkan generasi Sumpah Pemuda.
Letak masalahnya, jika minoritas kreatif pada generasi Sumpah Pemuda mampu mempertautkan dan mengorganisasi potensi-potensi kreatif yang berserak menjadi kesatuan generasi perubahan, generasi hari ini belum menunjukkan kesanggupan seperti itu dengan risiko bisa menuju “generasi yang hilang” (the lost generation). Pengertian generasi dalam sosiologi tidak sekadar merepresentasikan kolektivitas atas dasar kesamaan usia, tetapi juga kesamaan pengalaman, visi, dan panggilan kesejarahan yang membentuk kekuatan perubahan. Ron Eyerman menyatakan, “Konsepsi sosiologis mengenai generasi mengimplikasikan lebih dari sekadar terlahir pada masa yang hampir sama. Konsepsi itu menyatakan sebuah kesamaan pengalaman sehingga menciptakan sebuah dasar bagi cara pandang yang sama, orientasi tujuan yang sama, sehingga bisa mempersatukan para pelaku, bahkan meskipun mereka tak pernah saling bertemu.”
Dalam pandangan Karl Mannheim, sebuah generasi membentuk identitas kolektifnya dari sekumpulan pengalaman yang sama, yang melahirkan “sebuah identitas dalam cara-cara merespons, dan rasa keterikatan tertentu dalam suatu cara di mana semua anggotanya bergerak dengan dan terbentuk oleh kesamaan pengalaman-pengalaman mereka”. Tidak ada generasi perubahan tanpa usaha kesengajaan. Generasi Sumpah Pemuda secara sengaja merespons tantangan kolonialisme dan feodalisme lewat penciptaan ruang publik, wacana publik, dan organisasi aksi kolektif yang mempertautkan minoritas kreatif yang berserak menjadi blok nasional pengubah sejarah (historical bloc).
Dengan mendirikan rumah penerbitan, koran, studieclub, sekolah dan jaringan pergaulan lintas kultural, mereka membentuk ruang publik baru sebagai
wahana collective social learning. Ruang publik ini menjadi tempat pertemuan minoritas kreatif yang tercerahkan, ajang perseorangan terhubung ke dalam jaringan memori kolektif lewat komunikasi intersubyektif, dengan ikhtiar membebaskan diri dari dominasi kuasa dan uang. Di dalam kehadiran ruang publik baru ini, minoritas kreatif membangun agenda setting lewat pengarusutamaan agenda bersama sebagai wacana dominan di ruang publik. Melalui penciptaan ruang publik, wacana publik dan kekuatan nalar publik, terbentuklah suatu konektivitas kolektivitas yang dalam kekuatan artikulatifnya menjadi katalis bagi perwujudan politik perubahan.
Adapun minoritas kreatif generasi hari ini, ibarat matahari, rerumputan dan pepohonan yang bergerak dalam sunyi. Tanpa usaha sengaja untuk mengangkat partikularitas sel-sel kreatif menjadi komonalitas jaringan kreatif, kekuatan minoritas kreatif terpencar ke dalam unit-unit yang terkucil. Munculnya media sosial baru dengan kencenderungan individuasi yang sangat kuat semakin memperkuat tendensi ke arah atomisasi kekuatan-kekuatan kreatif. Sesekali jaringan kesadaran yang merambat melalui media sosial ini memang bisa melahirkan kekuatan korektif. Namun, kekuatan korektif ini, tanpa keberadaan agenda dan pengorganisasian bersama, sering kali hanya sekadar kekuatan reaktif yang akan segera padam begitu daur isu memudar.
Tampak jelas, kemampuan mengorganisasikan gagasan secara publik-politiklah yang bisa mengangkat partikularitas kekuatan kreatif menjadi kekuatan perubahan kolektif. Seperti kata Hannah Arendt, politiklah yang menjadi “ruang penampakan” (space of appearance) bagi ide-ide yang terpendam. Tanpa kesanggupan mengorganisasikan diri secara politik, kekuatan-kekuatan kreatif hari ini, betapapun besar jumlahnya, tak membuat ide-ide mereka terungkap secara publik; tak mampu membangkitkan inspirasi kreatif bagi banyak orang; dan tak mendorong pengikatan bersama kekuatan-kekuatan progresif untuk bangkit bersama membentuk generasi perubahan.
“Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki pemuda,” ujar Tan Malaka. Masalahnya, setiap zaman memiliki tantangannya tersendiri yang menuntut respons yang berbeda. Seturut dengan itu, idealisme pemuda juga harus diletakkan dalam konteks tantangan zamannya.
Pemuda dan politik
Tantangan idealisme hari ini adalah bagaimana mentransformasikan individu-individu yang baik dan kreatif menjadi kolektivitas yang baik dan kreatif. Seperti kata Aristoteles, kebaikan manusia sebagai manusia tidak selalu identik dengan kebaikan manusia sebagai warga negara. Keidentikan antara manusia yang baik dan warga negara yang baik hanya bisa berlangsung dalam suatu negara yang baik. Karena dalam suatu negara yang buruk, manusia baik dan kreatif bisa saja menjadi warga negara yang buruk dan destruktif.
Negara yang baik memerlukan perpaduan antara warga negara yang baik dan institusi negara yang baik. Untuk yang pertama, tantangan generasi hari ini adalah memperjuangkan nation and character building melalui pendidikan kewargaan (civic education) yang baik. Untuk yang kedua, tantangannya memperjuangkan visi restorasi dan transformasi institusi-institusi kenegaraan lewat pendalaman dan perluasan demokrasi. Visi restorasi berisi konsepsi untuk memulihkan kembali kondisi bangsa agar bisa merasa lebih sehat, lebih kuat dan lebih bersemangat setelah mengalami kelemahan, kemurungan, dan keputusasaan, dengan cara menjangkarkan kembali pilihan-pilihan kebijakan dan pembangunan pada nilai-nilai luhur bangsa. Visi transformasi berisi konsepsi untuk mengubah keadaan dengan jalan menawarkan hal-hal baru yang lebih baik, lebih sehat dan lebih kuat, dengan tetap mempertimbangkan koherensinya dengan basis nilai kebangsaan.
Semuanya itu memerlukan keterlibatan pemuda secara politik. Politik dalam arti ini bukanlah politik sebagai bahasa teori “pilihan rasional”, bahwa rasionalitas kepentingan individual harus dibayar oleh irasionalitas kehidupan kolektif. Politik dalam konsepsi kaum muda merupakan usaha resolusi atas problem-problem kolektif dengan pemenuhan kebajikan kolektif. Mirip dengan pemahaman Aristotelian, politik dipandang sebagai seni mulia untuk meraih harapan dan memelihara kemaslahatan umum.
Peran politik kaum muda seperti itu kini dipanggil kembali oleh sejarah, ketika politik sebagai seni mengelola republik demi kebajikan kolektif mulai tersisihkan oleh apa yang disebut Machiavelli sebagai raison d’état (reason of state) yang berorientasi kepentingan sempit. Jika “politik” sejati memiliki kepedulian untuk mempertahankan kepentingan kolektif melalui perbaikan otoritas publik, reason of state memprioritaskan kepentingan elite dan kelompok penguasa dengan mengatasnamakan “kebajikan publik”.
Manakala elemen-elemen kemapanan menjadikan politik sebagai seni memerintah dengan menipu rakyat, pemuda-pemuda kreatif hari ini perlu secara sadar menghadirkan suatu creative destruction dengan menawarkan ide-ide progresif dalam semangat republikanisme. Tendensi menuju “generasi yang hilang” harus dicegat dengan secara sadar membangun kebersamaan pengalaman, visi, dan panggilan kesejarahan lewat penciptaan ruang publik, wacana publik, dan aksi publik yang mempertautkan minoritas kreatif yang berserak menjadi kolektivitas progresif generasi perubahan.
Di hadapan mahkamah sejarah, generasi muda hari ini dihadapkan pada “wajah janus” (janus face) keberadaannya sendiri. Kehadiran penduduk usia muda dalam jumlah besar, jika berhasil mengelolanya, bisa menjadi “bonus demografis” yang menjanjikan kejayaan bangsa; tetapi jika gagal meresponsnya secara kreatif bisa menjelma menjadi “bencana demografis” yang melumpuhkan bangsa. Dalam titik persilangan seperti itu, idealisme muda kembali dipanggil untuk “bersumpah”, seperti tekad yang pernah diikrarkan Bung Hatta: “Di atas segala lapangan Tanah Air aku hidup, aku gembira. Dan di mana kakiku menginjak bumi Indonesia, di sanalah tumbuh bibit cita-cita yang tersimpan dalam dadaku.”

Yudi Latif - Kematian sebagai Harapan

Kematian sebagai Harapan

Kompas, Okctober 30, 2013 in
Yudi Latif
Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan

Kematian tidak selamanya bermakna kekelaman, tetapi bisa juga menandakan harapan. Kepergian Ustaz Jefri Al Buchori (Uje) sebagai tokoh masyarakat sipil dan Taufiq Kiemas sebagai tokoh politik, yang mengundang begitu banyak simpati dan apresiasi, menyiratkan masih ada pelita penerang dalam gulita perjalanan bangsa.
Tidak ada manusia yang sempurna. Namun, tidak ada pula manusia yang diciptakan untuk keburukan. Setiap pemulia memiliki masa lalu, dan setiap pendosa punya masa depan. Dengan segala kekurangan dan jejak nodanya, kedua tokoh itu berjuang menuliskan skenario kematian yang indah; berakhir husnul khatimah. Keduanya meninggal sebagai pelajaran bagi yang hidup, bahwa setiap orang bisa meninggal sebagai pahlawan. Yang diperlukan hanya niat baik, welas asih, sedikit pengorbanan, dan konsistensi.
Semuanya bermula dari diri sendiri. Dikatakan oleh Imam Ali kepada Malik al-Asytar, walinya di Mesir, “Barangsiapa diangkat atau mengangkat dirinya sebagai pemimpin, hendaklah ia mulai mengajari dirinya sendiri sebelum mengajari orang lain. Dan hendaknya ia mendidik dirinya dengan cara memperbaiki tingkah lakunya sebelum mendidik orang lain dengan ucapan lidahnya. Orang yang menjadi pendidik dirinya sendiri lebih patut dihormati daripada yang mengajari orang lain.” Mawas diri merupakan kewajiban pertama pemimpin. Lao Tze menyatakan, “Apa yang kuharap dari anakku, sudahkah kuberikan teladan baginya. Apa yang kuharap dari rakyatku, sudahkah kupenuhi harapan mereka.”
Bermula dari tobat, Ustaz Jefri mendayagunakan sedikit pengetahuan keagamaan yang dikuasainya untuk menebarkan kabar baik dan kasih sayang bagi yang lain. Pesan keagamaannya menyapa semua orang tanpa prasangka buruk; dengan tak kenal lelah blusukan mendatangi berbagai majelis taklim tanpa mempersoalkan tarif; dan menggalang solidaritas sesama dai sebagai simpul jaringan moral. Kehadirannya menjadi kritik bagi kemerosotan wibawa moral tokoh masyarakat sipil karena kehilangan kekuatan spontanitas pengayoman dan kesukarelaannya karena gerusan politik uang.
Bermula dari “kekalahan” dan keterpinggiran, Taufiq Kiemas (TK) berusaha menerima kekalahan dan penderitaan dengan menjadikan “musuh” sebagai mitra dan mengembangkan sikap positif pada yang beda. Pandangan hidupnya mengingatkan kita pada ungkapan James Allen, “Pemikiran mulia akan melahirkan pribadi mulia, pemikiran negatif akan melahirkan kemalangan.” Dengan mengembangkan prasangka baik, ia menjadikan dirinya sebagai jembatan komunikasi dan rekonsiliasi antarunsur kebangsaan; yang mampu mencairkan kebekuan dan melunakkan ekstremitas.
Meski pemikiran dan artikulasi politiknya terbatas, kekuatan perhatiannya cocok untuk mengeluarkan bangsa dari situasi limbung antara bayangan kelam masa lalu dan pesimisme masa depan. Gaya kepemimpinannya yang positive thinking dan merangkul semua kalangan menjadi kritik terhadap sikap kepemimpinan yang anarki (mengedepankan kepentingan pribadi), tradisionalisme (mendominasi dengan memarjinalkan yang lain), dan mengembangkan apatisme (demokrasi yang mengabaikan rakyat) menuju penciptaan pemimpin publik yang sadar. Dalam memperjuangkan politik harapan, TK menggunakan kekuasaan untuk memotivasi dan memberikan inspirasi kepada bawahan dan memberikan kesempatan kepada yang muda.
Kehadiran kedua tokoh tersebut memberikan tanda masih ada mutiara-mutiara pemimpin yang tersimpan di perut bumi bangsa ini, yang memberi kita secercah harapan akan masa depan bangsa. Tantangannya, bagaimana merangkai mutiara-mutiara positif bangsa ini menjadi rantai moral kolektif yang dapat membawa bangsa keluar dari kubangan krisis. Yang dikehendaki bukan sekadar kualitas moral individual, melainkan juga kemampuan politik untuk menginvestasikan potensi kebajikan perseorangan ini ke dalam mekanisme politik yang bisa memengaruhi tingkah laku masyarakat.
Untuk menjawab tantangan itu, Pancasila sebagai basis moral publik harus mengalami “radikalisasi” (pengakaran) dalam segala dimensinya: keyakinan (mitos), pengetahuan (logos), dan tindakan (etos). Pada dimensi mitos, radikalisasi Pancasila diarahkan untuk meneguhkan kembali Pancasila sebagai ideologi negara. Pada dimensi logos, radikalisasi Pancasila diarahkan untuk mengembangkan Pancasila dari ideologi menjadi ilmu.
Pada dimensi etos, radikalisasi Pancasila diarahkan untuk menumbuhkan kepercayaan diri dan daya juang agar Pancasila mempunyai konsistensi dengan produk-produk perundang-undangan, koherensi antarsila, dan korespondensi dengan realitas sosial. Dalam kaitan ini, Pancasila yang semula hanya melayani kepentingan vertikal (negara) menjadi Pancasila yang melayani kepentingan horizontal, serta menjadikan Pancasila sebagai kritik kebijakan negara.
Dalam terang kesadaran itu, kematian Uje dan TK bukanlah pertanda akhir yang kelam, melainkan awal kehidupan yang penuh harapan, sejauh kita mampu meneruskan jejak langkahnya.

YUDI LATIF - "Keadilan bagi Partai Keadilan Sejahtera"

"Keadilan bagi Partai Keadilan Sejahtera"

YUDI LATIF
Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan


“Keadilan adalah kebenaran dalam tindakan." Ungkapan Benjamin Disraeli itu bisa menjadi panduan bagi para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Dalam tuntutan untuk menjalankan kebenaran dalam tindakan itu, penegak hukum, seperti digariskan oleh Magna Carta "Tidak pada siapa pun akan menjual, atau menolak, atau menunda hak atau keadilan."

Bagi penegak hukum, bertindak benar berarti melihat masalah dari sudut pandang hukum dan keadilan. Penegak hukum yang benar akan melihat politik sebagai masalah hukum-keadilan, bukan melihat hukum-keadilan sebagai masalah politik. Ketika hukum-keadilan dipandang sebagai masalah politik, penegakan hukum menjadi masalah selera dan kepentingan; bisa dijual kepada yang kuat, bisa disangkal kepada yang lemah, bisa ditunda kepada yang bisa tawar-menawar. Buahnya adalah ketidakadilan.

Tendensi seperti itu sangat mencemaskan bila tebersit dari perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjadi tumpuan harapan rakyat. Dalam kasus mega-korupsi dengan bobot politik yang tinggi seperti skandal Bank Century, KPK bertindak kelewat lambat, terkesan menjadikan masalah hukum sebagai masalah politik dengan "menjual" keadilan kepada yang kuat. Dalam kasus dugaan korupsi impor daging sapi, KPK malah bertindak kelewat bersemangat melampaui batas, dengan menjadikan masalah "kelamin" yang berdimensi politis sebagai masalah hukum.

KPK harus bertindak atas dasar realitas hukum. Tak peduli ulama dan partai Islam sekalipun, jika fakta hukumnya terbukti melakukan tindakan korupsi, sudah seharusnya mendapatkan hukuman. Namun, KPK tidak boleh bertindak atas dasar hiper-realitas, menghukum orang/institusi dengan fakta nonhukum; lewat rekayasa kesan (impression management) untuk menghukum orang/institusi dengan persepsi publik. Apalagi, jika pengelolaan kesan ini menabrak kepatutan etis, political corectness, yang dapat melecehkan jenis kelamin tertentu atau menghancurkan reputasi dan masa depan orang yang belum tentu bersalah.

Asas keadilan menyatakan, "Jangan sampai kebencianmu pada suatu kaum membuatmu berbuat tidak adil." Dengan tindakan KPK yang melampaui batas, individu atau partai yang pantas mendapat hukuman publik karena perbuatan korupsinya bisa saja justru mendapatkan simpati publik. Jika itu yang terjadi, KPK gagal menegakkan hukum karena hukuman harus melahirkan efek jera dan disosiasi publik kepada yang bersalah, bukan efek simpati publik.

Apa yang tebersit dari perangai KPK beserta perluasan kejahatan korupsi yang ditanganinya itu sesungguhnya sekadar puncak gunung es dari krisis yang lebih mendalam, yakni lemahnya kekuatan "melek moral" (moral literacy) pada bangsa ini. Peningkatan semangat beribadah dan rumah peribadatan serta perkembangbiakan undang-undang tidak disertai oleh penguatan sensitivitas pada nilai-nilai etika-moralitas.

Rendahnya tingkat melek moral ini membuat bangsa Indonesia kekurangan rasa malu dan rasa kepantasan sehingga ambang batas moral semakin tipis. Dalam kehidupan publik yang sehat ada banyak hal yang tak bisa dibeli dengan uang. Namun, dalam kenyataan hari ini, cuma sedikit yang masih tersisa. Hampir semua hal cenderung dikonversikan dengan nilai uang.

Memberi harga pada institusi-institusi kebajikan publik mengandung daya korosif dan koruptif bagi perkembangan bangsa. Hal itu karena uang (pasar) bukan saja mengalokasikan barang tetapi juga memengaruhi sikap manusia dan nilai barang yang diperjualbelikan. Melelang bangku sekolah kepada pembayar tertinggi memang bisa meningkatkan keuntungan, tetapi juga melunturkan integritas dunia persekolahan dan nilai ijazahnya serta merusak prinsip kesetaraan meritokratis. Menyewakan "kenyamanan" sel tahanan kepada koruptor berduit tidak bisa diterima karena tahanan bukanlah tempat pelesiran, melainkan tempat hukuman-rehabilitasi sosial. Memberi kenyamanan kepada tahanan menempatkan kejahatan sebagai sesuatu yang mulia.

Pilihan politik bukan untuk diperjualbelikan. Kewajiban kewargaan tidak sepatutnya dianggap sebagai properti perseorangan yang bisa dijual, tetapi harus dipandang sebagai pertanggungjawaban publik. Menjual hak pilih menjadikan urusan publik dikendalikan kekuatan privat. Ayat-ayat kitab suci bukan untuk diperjualbelikan karena pemanipulasian pesan-pesan keilahian bagi kepentingan murahan mencerminkan korupsi terdalam terhadap sumber moralitas. Sebab, hal itu akan membuat warga kehilangan kepercayaan kepada apa pun dan siapa pun.

Tanpa basis moral kuat, negara hukum menyimpan banyak kemungkinan kebuntuan karena konstitusi kita memberikan kepercayaan besar kepada moral penyelenggara negara. Pokok pikiran keempat Pembukaan UUD 1945 menyebutkan, "Ketuhanan yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab mewajibkan pemerintah dan penyelenggara negara lainnya untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur." Profesor Soepomo mengatakan, “Sudah tentu orang-orang menjadi Staatman, menjadi pegawai negara yang begitu tinggi harus mempunyai perasaan tanggung jawab, bukan saja kepada diri sendiri, akan tetapi juga kepada umum."

Krisis penyelenggaraan negara kini terletak pada krisis moral. Krisis moral penyelenggara negara itu mencerminkan rendahnya tingkat literasi moral di masyarakat. Bangkit dari keterpurukan harus dimulai dari gerakan "keutamaan budi", Budi Utomo. Itulah khitah sejarah kebangkitan kita!


*sumber: KOMPAS cetak (28/5/2013) hal. 15

Dorothea Rosa Herliany - Pentingnya Sastra di Sebuah Bangsa

Pentingnya Sastra di Sebuah Bangsa

Dorothea Rosa Herliany, Sastrawan

Dikutip dari kolom SENI – FRANKFURT BOOK FAIR
KOMPAS, MINGGU, 06 OKTOBER 2013

Frankfurt Book Fair merupakan pameran buku terbesar di dunia, juga salah satu event budaya paling penting di Eropa. Diselenggarakan sekali setahun, pada bulan Oktober (9-13 Oktober). Pameran ini menjadi perhatian ribuan media dan publik di negara-negara berbahasa Jerman, juga di seluruh Eropa, bahkan dunia internasional.

Ribuan penerbit dan perusahaan media dari seluruh dunia menghadirinya. Jumlah pengunjung sampai ratusan ribu. Pameran buku paling bersejarah (mulai menjadi tradisi sejak 500 tahun lalu ketika Johannes Gensfleisch zur Laden zum Gutenberg, penemu mesin cetak, menjual bukunya yang pertama Gutenberg Bible di Pameran Buku Frankfurt tahun 1456) itu merupakan tempat bertemunya ribuan agen, pustakawan, penerjemah, penerbit, pencetak, wartawan, budayawan, seniman, sarjana, dan tentu saja sastrawan dari seluruh dunia. Sastra akan menjadi fokus utama pameran buku ini.

Mengapa sastra yang menjadi fokus utama di sana? Karena dunia mengukur peradaban sebuah bangsa itu melalui novel yang ditulis para sastrawan. High level culture is high level novel. Mengapa? Sebab melalui bacaan itulah orang dari berbagai negara bisa mengetahui watak dan jati diri manusia dalam sebuah bangsa secara lebih jujur dan utuh. Ada watak dan peristiwa di dalamnya, juga pembaca bisa menenggelamkan diri ke dalam jiwa dan batin manusia Indonesia yang nyata.

Di dalamnya ada cita-cita manusianya, perjuangannya, cinta, iman, tanggung jawab, persahabatan, kebebasan, kehormatan, dan lain-lain. Hal ini tidak bisa ditemukan pada bacaan lain semisal buku politik, sejarah, bahkan antropologi atau buku seni lain. Melalui novel, segala permasalahan kemanusiaan yang lebih dalam dan lebih kompleks akan mampu diketahui oleh pembaca dengan lebih tenang dan jernih.

Puisi juga ada dalam posisi yang sama. Bahkan, isi puisi lebih menampilkan semangat, spirit, keindahan bahasa, dan kreativitas manusia dalam sebuah bangsa. Hanya bedanya, puisi itu di mana saja di dunia ini, ia hanya bisa dinikmati oleh sedikit orang saja. Lain dengan novel yang lebih banyak orang bisa menikmatinya.

Oleh karena itu, novellah akhirnya yang menjadi primadona. Film atau teater bisa saja mengambil peran yang sama dalam konteks ini, tetapi ia tidak bisa dibolak-balik, dibaca-baca ulang dengan mudah bagian-bagian pentingnya untuk direnungkan, sebagaimana watak sebuah buku. Sayangnya di Indonesia sastra sepertinya hanya dipandang dengan sebelah mata saja.

Tamu kehormatan


Bulan Juni 2013 sudah diputuskan Indonesia akan menjadi tamu kehormatan dalam Frankfurt Book Fair 2015. Kesepakatan tentang kerja sama itu sudah ditandatangani antara pihak Indonesia, dalam hal ini diwakili oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan pihak Jerman yang diwakili oleh Direktur Frankfurt Book Fair Juergen Boos.

Bagaimana Indonesia menyiapkan hal ini semua? Saya, kebetulan sedang di Berlin, sudah ditanya banyak pihak Jerman tentang hal ini. Sebab, berdasarkan Road Map to Indonesia as Guest of Honour at the Frankfurt Book Fair 2015, Indonesia seharusnya sudah membuat beberapa kegiatan, seperti menyiapkan program utama menyangkut penulis, penerjemah, seniman, dan penerbit pada sejumlah acara. Kemudian menerjemahkan buku dan membuat acara peluncuran pada Frankfurt Book Fair, mengundang para penulis Indonesia ke Frankfurt Book Fair 2013 dan 2014.

Indonesia juga harus menyajikan buku yang telah diterjemahkan dari bahasa Indonesia ke bahasa Jerman, menyiapkan dana untuk program terjemahan buku sastra Indonesia, baik untuk keperluan pameran buku itu dan mungkin juga di berbagai kota Jerman, dengan melibatkan para sastrawan Indonesia. Para penulis juga mengunjungi pameran buku Leipzig atau pameran lain di Berlin yang berhubungan dengan festival sastra di Jerman untuk menjajaki kemungkinan bagaimana bisa menampilkan para penulis Indonesia, menyiapkan acara peluncuran buku disertai dengan acara seperti pembacaan karya.

Saya kira yang paling penting dan mendesak untuk dikerjakan Pemerintah Indonesia adalah menerjemahkan novel Indonesia kontemporer karena pengerjaannya akan memakan waktu. Karena itu harus dikerjakan sekarang! Sementara untuk bisa tampil di FBF 2015 minimal 30 judul novel sudah harus diterjemahkan dalam bahasa Jerman. Tak hanya itu, juga sudah perlu dicari sejak sekarang kontak kerja sama dengan penerbit di Jerman. Penerbit mana yang kiranya akan sedia menerbitkan terjemahan itu. Penerjemah sastra dari bahasa Indonesia ke bahasa Jerman saja hanya sedikit. Bisa disebutkan yang paling aktif dan sudah menjadi sahabat para sastrawan Indonesia bertahun-tahun, Berthold Damshäuser yang selama ini utamanya menerjemahkan puisi. Lalu Peter Sternagel yang menerjemahkan novel Saman dan Laskar Pelangi. Juga ada Katrin Bandel yang bisa banyak diharapkan karena dia bermukim di Indonesia atau Silke Behl di Jerman dan Dudy Anggawi yang tinggal di Jerman, tapi ulang-alik Indonesia. Selebihnya di luar itu? Susah menyebutkan penerjemah sastra lain.

Lalu setelah diterjemahkan, buku itu harus diterbitkan penerbit di Jerman. Tidak bisa diterbitkan sendiri oleh penerbit Indonesia lalu diboyong ke Jerman karena kaitannya dengan distribusi di negara-negara berbahasa Jerman (selain Jerman, juga Swiss dan Austria) atau Eropa pada umumnya. Manakah kiranya penerbit di Jerman yang mau menerbitkan buku sastra Indonesia hasil terjemahan itu nanti? Mungkin Horlemann yang selama ini memang fokus ke Asia Tenggara dan sudah cukup banyak juga menerbitkan karya-karya sastra Indonesia, seperti Armijn Pane, Mochtar Lubis, Rendra, Pramoedya Ananta Toer, dan Ahmad Tohari. Bisa pula penerbit yang masih baru mulai merintis terbitan buku-buku Asia, Regiospectra atau Union Publisher, penerbit berbahasa Jerman di Swiss yang menerbitkan lebih banyak lagi buku-buku Pramoedya Ananta Toer.

Syukur kalau bisa diterbitkan Hanser Berlin, penerbit besar yang menerbitkan Laskar Pelangi yang di Indonesia belakangan kemenangannya di ajang Internationale Tourismus-Börse (ITB) Berlin 2013 sempat memancing perdebatan di media Indonesia. Hanya itu kemungkinannya. Tapi, kalau saja biaya penerjemahan (dengan standar tarif Jerman) ditanggung Pemerintah RI, semuanya bisa cukup mudah, bisa kerja sama sebagaimana layaknya juga terjadi di Indonesia.

Frankfurt Book Fair jelas akan menjadi ajang pertukaran budaya Indonesia di Jerman. Eslandia, negara kecil dengan jumlah penduduk hanya 300.000 dan luas wilayah 100.000 kilometer persegi, sebuah negara bersalju dengan banyak gunung berapi, serta negara perikanan dan pertanian yang mengalami masalah ekonomi (mirip Indonesia), telah mempersiapkan diri dengan sangat baik saat tampil sebagai tamu kehormatan FBF 2011. Pameran buku benar-benar dikemas bernuansa buku, budaya, dan tradisi membaca di Eslandia. Sontak semua pengunjung menaruh perhatian pada Eslandia.

Bagaimana sebetulnya masalah pertukaran budaya antara Jerman dan Indonesia ini? Tanpa banyak diketahui umum pada tahun 1997 telah didirikan Komisi Indonesia-Jerman untuk Bahasa dan Sastra atas petunjuk Presiden RI dan Kanselir Jerman. Anggotanya antara lain lembaga kenegaraan Indonesia, Departemen Luar Negeri RI, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Badan Bahasa. Sejak saat itu, pihak Jerman diwakili Goethe Institut, bisa kita lihat di pasaran buku pembaca Indonesia bisa menikmati puisi-puisi karya para penyair legendaris Jerman, mulai dari Rainer Maria Rilke, Bertolt Brecht, Paul Celan, Johann Wolfgang von Goethe, Hans Magnus Enzensberger, Friedrich Nietzsche, dan penyair Austria berbahasa Jerman, Georg Trakl.

Penerjemahan karya sastra dalam bahasa Inggris juga mengalami nasib sama. Selama lebih dari 25 tahun Yayasan Lontar dibiarkan aktif berusaha sendiri memperkenalkan sastra Indonesia ke dunia luar. Tak pernah ada campur tangan pemerintah dalam soal itu. Agaknya benar sastra Indonesia merupakan yatim piatu, tak terurus. Apalagi membayangkan sastra Indonesia juga diterbitkan ke dalam bahasa-bahasa di dunia lain: Jepang, Mandarin, Korea, Spanyol, Rusia, dan Perancis misalnya. Lontar sudah memulai dalam bahasa Inggris.

Penerjemahan ke bahasa Jerman hingga 100 judul (jika memungkinkan memang jumlah ini yang disyaratkan FBF, plus buku nonsastra lain, seperti art, nature,  dan history), mungkin bisa ”dipercepat” dengan ”memanfaatkan” buku-buku hasil terjemahan Yayasan Lontar dalam bahasa Inggris meski itu bukan pekerjaan ideal tapi apa boleh buat? Waktu sudah tinggal sedikit dan pekerjaan masih banyak, bahkan saat ini belum dimulai.

Frankfurt Book Fair 2015 kiranya perlu menjadi titik tolak bagi Pemerintah Indonesia untuk lebih agresif memperkenalkan sastra Indonesia kepada dunia. Memang selama ini sudah ada langkah-langkah menyebarkan budaya Indonesia di berbagai negara dengan misalnya menyajikan tarian, musik gamelan, angklung, wayang kulit, dan seterusnya yang lebih merupakan budaya tradisional dan budaya lisan. Perlulah diperkenalkan bahwa Indonesia tak hanya itu, tapi juga merupakan bangsa yang telah berhasil mengembangkan budaya aksara modern, seperti telah lama terbukti melalui Kesusastraan Indonesia Modern.