Minggu, 28 Februari 2016

GILA


Ada seorang warga, yang mendatangi kendaraan dinas, berplat merah. Mobil orang no.1, berangka 1 di daerah itu. Warga lain menganggap orang tersebut gila, sebab saban waktu, tatkala bertemu oto itu selalu hormat padanya, walau orangnya tidak ada. Sahaya mencolek Guru Han, tutur pun melantun: " Orang itu tidak gila, dia orang yang paling sehat pikirannya, karena selalu menghormati sang kendaraan, bukan orang yang di dalam kendaraan itu. Makanya, amat banyak orang berebut kuasa untuk menaiki kendaraan itu, guna mendapatkan kehormatan. Bukankah siapa saja yang menaiki mobil itu pasti dihormati oleh orang ramai? Bahkan, tidak sedikit menjadi gila hormat karenanya? Jadi, mending hormati saja otonya, sebab gara-gara mobil itu, seseorang menjadi terhormat."

Senin, 22 Februari 2016

Catatan-Catatan Abba




Jujur, saya terperanjat, kaget bercampur haru, tidak menyangka mendapatkan ucapan selamat atas usia yang ke-49 tahun, di tengah berlangsungnya acara resmi sebuah organisasi. Tatkala sang Ketua BKPRMI (Badan Komunikasi Pemuda Remaja Mesjid Indonesia) Bantaeng, Sopyan Yasri, memberi sambutan pada acara launching program Gerakan Ayo Ke Mesjid, pada tanggal 20 Februari 2016 di Baruga Karaeng Latippa Pantai Marina Bantaeng, sang ketua mengucapkan selamat panjang usia, walaupun disambung dengan ucapan yang sama untuk dirinya sendiri. Karena memang, saya dengan beliau bertepatan tanggal dan bulan kelahiran, meski selisih usia tujuh tahun.

Sesungguhnya, saya bukanlah orang yang terlalu perhatian pada tradisi ulang tahun, baik untuk orang lain, terlebih untuk diri sendiri. Terkadang, saya lupa mengucapkan selamat ulang tahun pada keluarga terdekat, isteri dan anak-anak. Tapi, mereka semua maklum, sebab menurutnya, ulang tahun saya sendiri saja, lebih banyak lupanya. Saking kurang perhatiannya saya pada ulang tahun diri sendiri, saya tetap meninggalkan mukim di Makassar menuju Bantaeng, sehari sebelum ulang tahun saya dan nanti dua hari kemudian baru pulang. Itupun tak ada kue ulang tahun. Hanya peluk cium dari segenap anggota keluarga.

Seingat saya, memberi kesan pada ulang tahun diri sendiri sangat langka. Kalau lagi teringat, barulah saya memberi penanda. Dan, itu pun tidak merepotkan, baik untuk diri sendiri apatah lagi orang lain. Sebab, saya cukup beli sebuah buku, yang kemudian saya sekuat hasrat membacanya sampai tamat. Namun, ada yang saya ingat benar, ketika saya diberi hadiah oleh anak-anak di rumah, dengan mengkadokan sebuah dompet berlambang Arsenal, klub sepakbola pavorit saya. Saya terharu sejadi-jadinya.

Nantilah belakangan ini, tepatnya, sejak saya bergabung di media sosial, Facebook, barulah kemudian perkara ulang tahun ini menyita perhatian saya. Soalnya, yang paling setia mengingatkan saya dan juga memberi tahu semua teman-teman adalah media sosial ini. Tangkiyu mister feisbuk, atas budi dan jasa baikmu, yang telah bersusah payah memberi tahu semua teman saya di jejaringmu. He..he.. koq.... Facebook, maksud saya bung Mark Zuckerberg, sang pencipta media sosial ini.

Saking perhatiannya saya pada pasal ulang tahun ini-- dua hari setelah ulang tahun-- saya buka akun, alamak.... banyak nian pemberitahuan seputar ulang tahun ini. Panjatan doa, harapan dan kiriman tutur rahayu, mengantri untuk disahuti. Maka langkah praktis pun saya dedahkan, sekali bikin status, satu untuk semua, semua untuk satu. Kata orang Inggris, One for all, All for one, seperti semboyan dalam film Three Musketeers, yang soundtracknya ditembangkan oleh Brian Adams.

Lalu, apa kaitannya antara cerita ulang tahun dengan judul tulisan ini? Yang berlema, Catatan-Catatan Abba. Apa ini sejenis ulasan atas sebuah group band legendaris, ABBA , atau yang biasa disebut dengan panggilan Eybibi'e - (1972-1982),dengan tembang lawasnya Fernando, yang berasal dari tanah Swedia, seasal dengan bintang sepakbola tersohor, Zlatan Ibrahimovic? Bukan kawan-kawan. Tidak pula teman-teman, melainkan Abba yang saya maksudkan di sini adalah panggilan saya terhadap bapak saya.

Sesarinya memang, mungkin karena pengaruh usia yang makin menumpuk, soal ulang tahun ini, saya tak bisa abaikan lagi. Betapa tidak, ucapan rahayu yang saya terima, menyatakan umur semakin bertambah, padahal jatah usia saya melata di bumi ini makin berkurang. Bukankah, setiap hari saya berjalan pada arah kematian? Setiap waktu yang saya lewatkan, sama saja saya mengambil lagi jatah usia yang disediakan? Ini pula yang menyebabkan, seakan berburu waktu, atas apa yang mesti dibikin dengan limit kala yang dijanjikan.

Mulailah saya menelisik ulang, keakuratan tanggal, bulan dan tahun kelahiran saya. Apa memang benar adanya tanggal 20 Februari 1967? Kenapa begitu serius menyoalnya? Sederhana saja, betapa banyak orang yang tidak sepadan antara waktu kelahiran yang sesungguhnya dengan tempat tanggal lahir yang dicantumkan secara resmi. Itu semua bisa karena rekaan semata, atawa tujuan lainnya. Apalagi orang yang sepadan usia saya ini, 49 tahun, pastilah banyak yang tidak akurat.

Beruntunglah saya seuntung-untungnya. Prihal kelahiran saya benar-benar akurat. Ini semua karena Abba saya sadar literasi, sehingga mencatatnya dalam sebuah buku catatan, yang mungkin oleh orang sekarang menyebutnya diary. Sejak Abba saya wafat kurang lebih lima tahun yang lalu, saya sering menyempatkan diri masuk ke kamarnya, membongkar benda-benda peninggalannya. Ada beberapa buah buku, puluhan batu cincin permata, dan benda-benda pribadi lainnya.

Namun yang membuat saya betul-betul takjub, ketika mendapatkan dua buah buku catatan, yang tulisannya adalah tulisan tangannya sendiri. Tulisan-tulisan itu, ada yang beraksara Latin, Lontara dan Arab. Saya mendefenisikan tulisan-tulisannya sebagai catatan-catatan atas berbagai peristiwa, yang menurutnya, tentu sangat penting. Meski tidak beraturan, jauh dari klasifikasi, tetapi setiap item yang dicatatkan sangat jelas maksudnya.

Catatan-Catatan Abba saya, di dua buku tersebut mencantumkan berbagai peristiwa. Mulai dari peristiwa pribadinya, keluarganya dan lingkungan sosialnya. Sebagai misal, saya kutipkan: Peringatan!!! Pada tgl 2 Nopember 1955 saja djam tangan merek Royce harga Rp 375,- dan saja djual 14 Djuni 1956 dengan harga Rp 400,-

Atawa saya kutipkan juga catatannya ini: “ Peringatan!!! Pada tgl 27-10-1956 ongkos akikat Muhd. Wildan sedjumlah Rp 875,- Ongkos akikat A. Umajja sedjumlah Rp 798,-" Dan, yang membuat saya lebih terperangah lebih dalam lagi, ketika saya menemukan rincian peralatan rumah tangga beserta harga dari setiap benda itu.

Peristiwa sosial pun dicatatnya, tak elok kalau saya lewatkan catatan ini: Dalam bulan Radjab malam Rabu tahun 1956 mulai kedjadian yang hebat pembakaran rumah2 diseluruh kab: Bonthain jaitu perbuatan dari Gorombolan! merugikan besar kepada penduduk negeri Bonthain! “

Dan, catatan-catatan yang paling mengharukan saya adalah dicatatnya semua waktu dan tempat kelahiran setiap anaknya yang berjumlah delapan orang dengan sangat rinci. Saya dan tujuh saudara saya dengan mudah mengkonfirmasi ke buku catatan ini. Baiklah, saya tuliskan catatannya mengenai kelahiran saya : “ Tjatatan. Pada tgl 20/2-1967 malam senin djam 1. 10 bulan Zulkaida dilahirkan anak laki-laki yang bernama Muh: Sulhan di Tompong Letta. Bantaeng.”

Pada buku catatan Abba saya, di bawah nama saya yang beraksara Latin, disertakan pula aksara Arabnya. Bagi saya ini penting, agar antara nama yang dicitakan dengan arti yang dimaksudkan sepadan. Dan, begitupun juga dengan semua saudara saya, selalu disertai dengan aksara Arab.

Jadi, makin yakinlah saya, bahwa waktu kelahiran saya sangat akurat. Seakurat ketika bung Sopyan Yasri mengucapkan ucapan selamat buat saya dan juga untuk dirinya. Keakuratan akan sebuah informasi, manakala diverifikasi keasliannya, salah satunya adalah pada catatan peninggalan. Pada konteks inilah, sekali lagi saya nyatakan, pentingnya sebuah tradisi literasi dalam keluarga, sesederhana apapun itu. Jujur, saya nyatakan lagi, guru literasi pertama saya, tiada lain adalah Abba saya. Lewat catatan-catatannya, spirit literasi itu, ibarat darah segar yang mengalir di setiap nadi saya. Alfatihah untuk Abba. Dan, ewako akan tradisi literasi.

Minggu, 14 Februari 2016

Javid dan Segelas Teh

Ahad malam ini, belumlah larut. Semangat saya untuk menuntaskan editan kumpulan tulisan untuk sebuah buku lagi menggebu. Usai sembahyang isya saya tunaikan bersiaplah kembali di depan komputer. Seperti kebiasaan saya, sore hari telah menghabiskan segelas kopi. Lantaran malam ini ingin menuntaskan editan, maka saya minta  segelas lagi kopi buat doping, agar lebih khusyuk dalam mengeja huruf-huruf. Saya tawarkanlah permintaan ini pada seisi rumah, siapa gerangan yang bersedia membuatkan doping? Segelas kopi pahit?

Dari uminya Javid terlontar jawaban, prihal persediaan kopi yang makin menipis. Pada toples kopi yang sempat  saya intip, memang sudah hampir mendekati dasar pantat toples. Berarti, besok kopi mungkin akan habis. Bagi saya, dan juga beberapa orang di rumah, ini sejenis "gempa" manakala persediaan kopi habis dan belum ada pasokan dari kampung. Memang sedianya akhir pekan ini aku mau ke Bantaeng, menuntaskan beberapa urusan, tapi urusan yang paling penting untuk saya bawa ke sana belum tuntas, maka saya surutkan hajat dan entah berapa hari ke depan baru bisa terwujud.

Memang ada masalah sedikit sebulan terakhir ini di rumah. Pasalnya, berjebah waktu yang lalu, aku hanya peminum tunggal kopi. Belakangan, mulai ada saingan. Uminya Javid mulai ikut menikmati kopi, nyaris sama dengan saya. Yang lebih dahsyat lagi, putri pertama saya pun sudah mulai menikmati kopi, bahkan nyaris lebih kental dari kopi saya. Ini benar-benar ancaman serius bagi saya selaku peminum tunggal. Dan, benar saja, jatah yang seharusnya saya siapkan untuk sebulan, dalam dua pekan terancam habis. Yang lebih menyulitkan lagi, sebab kopi saya ini, harus saya beli di kampung, namanya kopi Ereng-Ereng. Dalam petualangan saya meminum kopi, sisa jenis kopi inilah yang masih ramah dengan lambung saya, yang lainnya sudah menimbulkan efek samping, mual.

Akhirnya, solusi yang terpikirkan malam ini adalah segelas teh, agar esok hari dan sehari setelahnya masih bisa minum kopi, sambil menunggu pasokan dari kampung. Pada alternatif minum teh inilah yang tak terduga bagi saya. Ternyata, yang membuatkanku segelas teh adalah Javid, putra saya  yang sementara masih duduk di kelas 3 SD. Dimasaknyalah air dan kemudian tehnya dimasukkan dan tentu pelengkapnya seiris jeruk nipis sebagai penyedap seperti permintaan saya. Walhasil, setelah Javid tuangkan dalam gelas, rupanya gelas itu tidak penuh. Taksirannya meleset antara air yang dimasak dengan besaran gelas yang mendekati jumbo.

Berkatalah Javid kemudian, " wah gelasnya tidak penuh". Saya kemudian mendekatinya, mungkin Javid merasa bersalah, atau paling tidak kurang sreg dengan buatannya. lalu ia sambung lagi tuturnya, sebagai usulan jalan keluar, "abi, kita pakai gelas yang lebih kecil saja, biar penuh." Sebuah jalan keluar yang cukup lantip bagi seorang anak seusia dia. Berhasil memenuhkan gelas, artinya tersedia segelas teh, dan pada saat yang sama berarti telah memenuhi harapan saya, segelas teh harum rasa kecut manis.  Javid dan segelas teh seduhannya ini, menunjukkan dirinya sebagai anak lantip dalam mencari jalan keluar.

Sejatinya memang, kelantipan seorang anak mesti diberi ruang untuk tumbuh berkembang. Ibarat tanaman, perlu dipersiapkan lahan yang subur, memupuknya dan mencegahnya dari berbagai macam ancaman hama penyakit dan tangan-tangan jahil yang bakal mengkerdilkan pertumbuhannya. Suasana rumah yang memberi ruang kelantipan teraktuil, sesungguhnya, inilah salah satu tujuan dari hadirnya pendidikan informal yang bertumpu pada keluarga.

Akhirnya, pada pucuk-pucuk waktu yang menggelinding, ketukan-ketukan jam dinding berpacu dengan hentakan-hentakan suara keyboard, editan tulisan saya  pun meluncur, lancar selancar peselancar yang berburu angin, secepat seruput tegukan teh yang mengalir ditenggorokan saya. Tindakan solutif dari seorang anak lantip dan hasil editan yang mewujud menjadi buku nantinya, bakal semakin melantipkannnya, tatkala Javid membacanya di masa datang. Kelak, kala usianya berlipat dua kali dari detik ini.

Jumat, 12 Februari 2016

KITA


kita telah berlayar
tepatnya dua puluh tiga tahun hari ini
hasil selisih tiga belas Februari
seribu sembilan ratus sembilan puluh tiga
dengan dua ribu enam belas


usia kita masing-masing berkepala empat
beberapa penyakit sudah minta jatah mukim di badan

sering dikau menyebut kolestrol, darah tinggi
namun takut ke dokter karena vonisnya
daku suka menggerutu tentang asam urat, pegalpegal
walau sama saja tak kunjung ke dokter

tabungan pengalaman hidup menggunung
sesekali kita melinggis, memacul dan mencangkul

karena di perutnya ada :
lahar panas kemarahan,
bijibiji kerikil keramahan
butir pasir kelembutan

sewaktuwaktu muntah menggilas
menghidu suasana sekitar
memayungi altar citacita

sebab letupan batuk keadaan
kadang didahului deheman gempa himpitan
desakan tuntutan kehidupan

menyapa semua itu
kita samasama menempuh jalan

dikau membadan pada dakuku
dakuku menubuh pada dikaumu

dakuku dan dikaumu melebur
menjadi kita

kita bukan bermaksud dikaumu raib
tidak pula bermakna dakuku gaib

pada pikiran dan hati kita
kaki dan tangan kita
lumat sekotahnya
tamat risalahnya

Bersatunya Dua Sejoli Literasi


Hampir dua bulan lamanya saya tidak ke Bantaeng. Terhitung sejak acara launching buku Djarina, buah karya Atte Shernylia Maladevi, sebelum lebaran haji , hingga akhir pekan penghujung bulan Oktober 2015. Maklumlah, sejak saya kembali menggawangi Papirus Tokobuku Dan Komunitas, sepertinya saya masuk dalam sebuah “penjara” yang membatasi ruang gerak untuk bertandang seleluasa waktu sebelumnya. Yah..., saya diterungku olehnya, namun dari balik meja kerja, saya tiada henti memuntahkan peluru ujar-ujar sebagai terapi jiwa. Ibarat Arsenal yang bertubi-tubi menggelontorkan gol-gol indah dari meriamnya di London Utara.
 
Kuatnya rasa ingin segera ke Bantaeng, jujur saya katakan karena rindu. Ada sejenis desakan yang membuncah di bancuh hati dan pikiran saya. Mau bersua dengan kerabat, karib dan tentu saja segenap kawan di Komunitas Literasi Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan. Apatah lagi, beberapa hari sebelum berangkat, seorang sianakku dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Saleh Al-Fachry meminta saya untuk menjadi moderator pada acara diskusi publik dalam rangka Musda PKS Bantaeng, walau diurungkan sebab Bupati Bantaeng, Nurdin Abdullah berhalangan hadir.
 
Ala kulli hal, postingan Kepala Suku Komunitas Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan, Dion Syaif Saen yang makin mengencangkan tekad saya untuk segera meluncur ke Bantaeng. Betapa tidak, Dion memposting berita dan gambar kebakaran di Bissampole yang menewaskan tiga orang anak. Kejadiannya malam Jumat, 29 Oktober 2015, sekitara pukul 20.00. Walau nanti esok harinya baru saya baca postingan itu. Dan, saya langsung telpon Dion tentang lokasi persisnya dan keluarga siapa yang korban. Ternyata korbannya adalah anak-anaknya Naping yang tiada lain adalah kawan sepermainan dulu waktu saya masih kanak-kanak.
 
Jumat malam. saya meluncur ke Bantaeng dengan mobil langganan. Sejak di perjalanan, sang sopir sudah berbicara sedikit informasi tentang kebakaran di Bissampole itu. Pukul setengah dua belas saya tiba di rumah, langsung istirahat. Esok harinya, bertemulah saya dengan Agusliadi, Dion Syaif Saen, Emha Alahyar dan Afdan di Warung Pojok Bissampole milik kakak saya. Banyak yang kami diskusikan, temanya menjalar kemana-mana. Dan pada waktu diskusi inilah Agus mengingatkan akan pesta pernikahan rekan kami, Kasma Kompable dengan Emilk Azis. Pesta digelar di kediaman Kasma hari Sabtu, 31 Oktober, sedang di rumah Emil keesokan harinya, Ahad 1 Nopember 2015.
 
Bersepakatlah saya dengan Dion Syaif Saen dan Emha Alahyar untuk pergi bersama, ke rumah Kasma di Parammuloroa. Seperti biasanya, kalau ada karib saya yang amat dekat dengan tradisi literasi, maka saya selalu menyatakan kehadiran saya dengan sebuah kado: buku. Kali ini, di pesta Kasma pun saya bawa kado buku yang di halaman paling awalnya saya tuliskan tutur: “ Laki-laki eksis karena maskulinnya. Perempuan mengada sebab feminimnya. Dalam keluarga, maskulinitas dan feminitas bersatu.” Saya menikmati kebahagiaan kedua karibku itu, saya jabat tangannya Emil dengan erat, lalu saya panjatkan shalawat pada kanjeng Nabi, walakin saya tidak jaharkan.
 
Pesta itu makin asyik, sebab rengekan saya pada Dion agar menyumbangkan lagu buat mempelai atas permintaan saya dipenuhinya. Maka tembang lawas Koes Plus pun membuai kami, Andaikan Kau Datang judul lagu yang dilantunkan Dion dan satu bonus tembang Makassar Ampe Ampea Rilino yang menghanyutkan para pendengar, terlebih lagi yang menyanyikannya. Bersama tembang Koes Plus, saya larut dalam perhelatan yang auranya masih terasa hingga kami pulang dan bersepakat untuk menikmati senja bersama-sama di pelataran Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan.
 
Sengaja saya tidak bikin janji dengan siapapun di malam minggu kali ini. Soalnya, saya ingin menyaksikan pertandingan bola liga Inggris. Lewat chanel Bein Tv, saya menonton Chelsea dipecundangi oleh Livervool di Stamford Bridge, dan lanjut hasil seri antara Manchester United dengan Crystal Palace. Malam minggu ini agak larut baru saya tertidur, soalnya membayangkan bagaimana nasib Chelsea yang eksis di urutan ke-15 klasemen dan MU yang kurang beruntung serta kemenangan fantastis The Gunners, sang meriam London Utara, Arsenal. Benarlah yang dibilang Yusuf Kalla, “ bersentuhan dengan urusan bola, kita tidak bisa tidur nyenyak. Sebab kalau kita kalah maka akan dicerca sampai pagi dan kalau menang kita akan pesta sampai pagi.”
 
Tibalah pada hari Ahad, matahari beranjak meninggalkan subuh. Teriknya barulah semenjana saja, sehangat hati saya yang masih menari riang menikmati kejayaan Arsenal. Saya bertandang ke mukimnya Dion, guna janjian ke pesta pernikahan di rumahnya Emil. Walhasil, sepakatlah saya dengannya untuk berangkat siang sesudah shalat dhuhur. Sepulang dari mukim Dion, saya melewati lokasi kebakaran yang memang jaraknya hanya seratusan meter dari rumah Dion.
 
Saat berangkat, tiba-tiba HP saya berdering, darinya saya dikontak oleh Ahmad Rusaidi yang ternyata bermaksud sama untuk ke acara itu. Beringanlah kami, saya dibonceng Dion dan dipertengahan jalan, ikut pula Haedir Haedir Thumpaka yang punya tujuan sama, mentunaikan undangan pestanya Emil. Dengan tiga motor, berempatlah kami meluncur ke belakang kantor desa Bontojai, lokasi rumahnya Emil.
 
Oh.. ya... nyaris lupa. Sebelum saya berangkat meninggalkan rumah, saya dan Dion membungkus kado, satu dari Dion dan satunya lagi dari saya. Dua buku itu saya satukan saja dalam bungkusan kado. Pada buku yang saya kadokan, tutur-tutur pun saya tuliskan buat Emil dan Kasma, “ Dalam sebuah keluarga, hendaklah benih keilmuan tetap disemaikan. Dan, buku ini sekadar sebagai pengingat.” Kira-kira kurang lebih begitu yang saya tuliskan.
 
Di perjamuan pestanya Emil, banyak nian kerabat dan karib saya jumpai. Ada rombongan dari KPU Bantaeng, Balang Instute, pentolan FMBT dan banyak lagi yang kalau saya sebutkan satu persatu bakal panjang dan tidak ada jaminan pasti ada nama yang bakal luput. Baik pesta di rumah Kasma maupun Emil, tamu-tamu yang berpapasan dengan saya dominan dari kawan-kawan aktifis kaum muda Bantaeng yang terserap dalam berbagai corak kelembagaan. Ini menandakan dua sejoli ini, dominan domain perkawanannya dalam ruang lingkup aktivisme.
 
Saya sendiri mengenal Emil dan Kasma amat dalam. Bagi saya, keduanya adalah figur-figur terdepan dalam gerakan literasi. Hampir semua perhelatan di Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan, keduanya selalu menjadi salah satu tekongnya. Dan, saya mencurigainya, salah satu tempat memupuk tali kasihnya adalah di Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan. Tentulah dugaan saya kurang akurat, tapi saya amat sering memperhatikannya, bahwa kelak dua sejoli ini bakal melarut dalam satu ikatan keluarga. Dan, doa-doa terbaikku selalu saya panjatkan agar dijabah oleh Yang maha Pengijabah.
 
Bagi saya, Emil bukanlah anak kemarin sore yang saya kenal. Sudah bertahun lalu saya mengenalnya, apatah lagi ketika Emil menjabat selaku Ketua Umum FMBT, saya selalu diajak untuk menjadi narasumber kajian, baik di forum formal maupun informal. Dan, rumah yang ditempati pesta itu adalah rumah yang pernah saya tempati kajian intelektual hingga larut malam, dan pernah pula menjadi tempat mampir makan kelapa muda sewaktu pulang dari survey untuk Kelas Inspirasi Bantaeng.
 
Dari interaksi yang begitu sering dengan Emil dalam kajian-kajian, batin saya biasa membetik, bahwa anak muda yang satu ini adalah seorang yang terdepan dalam berburu ilmu pengetahuan. Setiap buku referensi yang saya nyatakan sebagai buku yang layak dibaca, pasti Emil memburunya, memilikinya dan tentu membacanya. Sebab, saban waktu selalu saja Emil mengkonfirmasikan hasil bacaannya untuk dibincangkan. Dunia literasi menawannya, ilmu telah menerungkunya.
 
Demikian pula dengan Kasma, kini sudah menjadi isterinya, juga seorang aktivis yang tumbuh dalam dunia persyarikatan Muhammadiyah. Saat ini Kasma menjabat Ketua Nasyiatul Aisyiah. Dalam banyak persamuhan di berbagai forum yang melibatkan Kasma, saya yang juga hadir bisa menerka keberisian inteketual di pikirannya. Tidaklah mungkin warga Nasyiatul Aisyiah mendapuknya selaku ketua, jikalau tak menghitung kapasitas yang dimiliki oleh Kasma.
 
Bersatunya dua sejoli literasi ini dalam ikatan pernikahan, mewujud pada bangunan keluarga baru memberikan optimisme dini bagi saya secara pribadi. Selaku pegiat literasi, bagi saya ini adalah kesempatan emas untuk selalu mengingatkan pada keduanya agar tetap bersetia pada tradisi literasi yang dapat diinisiasikan lebih khusyuk lagi dalam otonomi keluarga. Saya membayangkan, Emil dan Kasma segera membuat sudut baca di dalam rumahnya, sepetak surga buat menyemaikan aura keilmuan yang bakal meninggikan derajat penghuninya. Surga bisa kita ciptakan dalam rumah, sesudut atau sepetak dan tentu saja kado buku dari saya dan Dion bakal menjadi salah satu penghuninya.
 
Di selingan lantunan irama kasidah-elekton yang mengiringi pestanya Emil, saya merengek lagi ke Dion, agar melantunkan tembang lawas. Tapi Dion angkat tangan, dan saya maklum sebab pengiring musiknya bergenre kasidah. Dan, pastilah Dion tak berdaya di hadapan para penyanyi perempuan yang berkasidah ria. Walau ada juga dua penyanyi perempuan yang bernyanyi bukan lagu kasidah tapi diiringi dengan irama kasidah yang salah satunya ternyanyikan, saat saya beranjak pulang, judulnya: Sakitnya tuh di Sini. Begitu beranjak meninggalkan pesta, saya menyapa Adam Kurniawan dan kawan-kawan dari Balang Institut, saya berucap pada mereka, kalau mereka yang nyanyi itu menunjuk hatinya yang sakit, kalau saya berkata sakitnya tuh di sini, sambil saya menunjuk kepala yang baru tiga hari lalu saya plontos. Tawa pecah di antara kami, pamit pulang dengan sejumput bahagia dari arena perjamuan, hingga tulisan saya torehkan, masih saja meluap-luap.

Literasi untuk TPA di Paradigma Institute


Assalamu alaikum.... assalamu alaikum..... Ustadzah... ustadzah... Ucapan salam itu, saban pagi senantiasa terlantunkan oleh anak-anak yang bertandang ke rumah saya yang sekaligus menjadi markasnya Paradigma Institute dan juga Toko Buku Paradigma Ilmu. Rumah buat mukim keluarga, markas kajian dan toko buku adalah satu paket bangunan yang sudah sejak tahun 1994 saya tinggali. Belakangan ini, tepatnya lima tahun terakhir makin ramai disambangi oleh para cilik dari santri Taman Pendidikan Al-Qur”an (TPA) Mesjid Babuttaubah dekat rumah.
 
Awal dari makin merapatnya santri-santri itu ke Paradigma, disebabkan oleh keterlibatan pasangan saya, Mauliah Mulkin menjadi pengajar di TPA tersebut. Pun, terlibatnya mengajar tidaklah dengan sebuah proses kesengajaan dalam artian melamar menjadi tenaga pengajar. Semuanya bermula hanya karena ikut bantu-bantu sebagai akibat dari kekuarangan tenaga pengajar. Dan yang lebih mendesak lagi oleh karena anak ketiga dan keempat kami ikut jadi santri di TPA itu.
 
Dari sekadar ikut bantu, menjadi sukarelawan, malah akhirnya diminta untuk menjadi pengajar tetap. Berundinglah kami akan permintaan pengurus TPA. Akhirnya, kami pun merestui permintaan itu. Apatah lagi, saya sendiri sejak datang ke kampung itu sudah menjadi jamaah mesjid, bahkan belakangan ikut menjadi pengurus selaku seksi dakwah yang salah satu fungsi vitalnya adalah menjaga stok dai khutbah Jumat dan ceramah bulan Ramadhan, serta imam shalat dengan status cadangan. Kayak pemain bola, berfungsi selaku cadangan yang sewaktu-waktu harus main kala para pemain yang dijadwalkan berhalangan.
 
Sebagai konsekuensi dari keterlibatan mengurus dan mengajar di TPA itulah, Mauliah Mulkin selalu dipanggil sebagai Ustadzah oleh para santrinya. Dan, panggilan itu pun juga menulari saya, karena oleh mereka pun saya dipanggil Ustadz. Apatah lagi karena sering menjadi pengganti khatib, penceramah dan imam. makin melengketlah gelar Ustadz. Sehingga, banyak karib, kerabat bingung, lalu berceloteh: “ ...bisa-bisanya dipanggil Ustadz.” Mungkin karena para karib dan kerabat tidak melihat pada diri saya sebuah profil seorang Ustadz, sebagaimana yang mereka sering lihat secara konvensional. Walau akhirnya, banyak di antara mereka ikut-ikutan panggil Ustadz.
 
Dalam perkembangannya kemudian, saya mulai diskusi dengan ustazah Mauliah Mulkin, tentang bagaimana caranya mengelolah TPA itu tidak secara konvensional, sebagai tempat belajar mengaji saja. Maka dengan segala macam pengetahuan dan pengalaman bersentuhan dengan anak-anak, lalu kami, khususnya ustzdah Mauliah Mulkin mulai memberikan sentuhan baru dalam mengajar santri, lebih variatif pendekatannya dan bernuansa parenting, kepengasuhan.
 
Sebagai instutusi, TPA Babuttaubah tentunya sudah punya standar pengelolaan. Dan, itu kami tidak mengganggunya. Tugas pokok mengajar santri baca-tulis Al-Quran adalah harga mati. Nanti di luar jadwal pokok itulah kami merancang beberapa paket kegiatan yang bernuansa literasi, sebagaimana visi kami di Paradigma Institute sebagai wadah gerakan literasi. Sebab, bagi kami gerakan literasi ibarat flashdisk yang bisa dicolok kemana saja, termasuk di TPA.
 
Kemitraan yang kami bangun tidaklah dituangkan secara formil, melainkan komitmen moril saja sebagai bagian dari kerelawanan untuk melihat para santri itu meningkat kapasitas literasinya, baca tulisnya yang tidak sekadar bisa baca tulis, terbebas dari buta huruf dan tulis. Peningkatan minat baca dan menulis bagi seorang cilik, bagi kami adalah sebuah lahan yang amat menggiurkan. Sebab manakala berhasil ditanam sejak dini, maka besar kemungkinan kebiasaan baca-tulis itu, menjadi tradisi literasi pada diri sang anak.
 
Sebagai wujud kongkritnya dapat dilihat pada setiap saban pagi. Setelah mereka para santri TPA itu selesai mengaji, maka bergrombollah ke rumah saya, markasnya Paradigma, di sela-sela rak buku dan halaman yang terbatas mereka memulai aktifitas yang kesemuanya dalam bingkai literasi. Mereka langsung saja mengambil buku-buku yang ada untuk dibaca, ada juga minta gambar untuk diwarnai atawa sesekali mereka dibacakan dongeng dan pada momen tertentu diputarkan film anak-anak yang memang bertujuan untuk menumbuhkan karakter pada diri anak-anak, santri.
 
Bahkan tidak sedikit dari para santri itu meminta bantuan untuk memahami pelajaran sekolahnya. Terutama Matematika dan Bahasa Inggris. Selain itu, dan ini yang lebih mendasar juga adalah sentuhan parenting yang diberikan. Seringkali masalah dialami di rumahnya mereka ceritakan pada Ustadzah Mauliah Mulkin. Dan, tentu ini akan semakin mengayakan selaku pengajar, sebab sang pengajar juga adalah seorang pegiat parenting di Paradigma.
 
Membaca, menggambar, mewarnai, mendengar cerita-dongeng, nonton film dan bermain di halaman adalah aktifitas saban pagi yang bergandengan dengan semanagt gerakan literasi. Ke depannya nanti, mereka sudah harus diarahkan untuk mulai menulis cerita. Cerita mereka sendiri yang mungkin akan sangat menarik untuk diceritakan di antara sesama mereka.
 
Saya pun kadang membatin kala menyaksikan mereka di saban pagi, mungkinkah 15 hingga 20 tahun yang akan datang, saat mereka harus memanggul tanggung jawab negeri ini adalah generasi yang dijanjikan sebagi bonus demografi buat negeri ini? Saya amat yakin, manakala mereka tumbuh bersama tradisi literasi, maka bonus demografi benar-benar menjadi berkah bagi negeri ini. Sambil berharap, moga di antara mereka ada yang jadi ilmuan, novelis, cerpenis, penyair dan penulis yang menuliskan di buku-buku dan karya-karya mereka bahwa, “ saya mulai bersentuhan dengan tradisi literasi sejak usia dini, masih belia sekali, kala sering menyambangi rumah, Paradigma Institute dan toko buku milik ustadzahku, Mauliah Mulkin beserta suaminya, dan semua kakak-kakakku penghuni rumah dan pegiat literasinya.”

Rumahku Duniaku


Hari Kamis, 14 januari 2016, pasangan saya, Mauliah Mulkin bermilad, ulang tahun yang ke-44. Selalu saja ada persembahan buatnya. Kali ini, sebagai bingkisannya, saya serahkan hasil editan bakal bukunya yang berjudul : Rumahku Duniaku untuk dikurasi kembali. Salah satu kebiasaan saya, saat ada anggota keluarga yang bermilad, selalu saja saya memberikan hadiah. Bentuknya macam-macam. Ucapan selamat, peluk cium, bait-bait puitis yang menyerupai puisi, atau apa sajalah yang menurut saya mengesankan.
 
Soal apa si penerima bingkisan-hadiah itu memahami atau tidak, bagi saya itu urusan belakangan. Pernah putri ketiga saya, kala miladnya, saya karangkan puisi buatnya. lalu saya tanya apa mengerti atau tidak, dijawabnya, “tidak mengerti, karena terlalu banyak majasnya.” Pun putra keempat, saya membuat yang serupa, sebongkah puisi yang saya tujukan padanya, pastilah dia belum mengerti, sebab usianya baru kelas dua SD, sementara puisi itu kira-kira dia bisa mengerti ketika umurnya dua puluhan tahun nanti.
 
Lain halnya dengan putri pertama saya, ia mengalami kegirangan yang meluap-luap, tatkala seorang kawannya membaca puisi saya yang ditujukan padanya. Ia awalnya tidak percaya, bahwa dalam buku sehimpun puisi yang saya bukukan memang ada satu puisi yang saya dedikasikan padanya. Hal mana puisi itu saya tulis ketika ia bermilad. Dan, saya tidak pernah memberi tahunya. Demikian juga dengan putri yang ketiga, saya pun tak luput menganggit satu puisi buatnya ketika ulang tahun. Ia merasa bangga karena ada namanya pada sebuah puisi yang terkumpul satu buku, yang terbit pada 2015, tepatnya ketika saya bermilad yang ke-48, dengan judul AirMataDarah.
 
Kembali pada soal miladnya pasangan saya. Seperti yang saya dedahkan di awal cerita, bahwa kali ini saya pun tetap menghadiahkan hasil editan yang bakal jadi buku. Perkiraan terbitnya, akhir Februari atau awal Maret. Sesarinya, hadiah penerbitan bukunya ini diniatkan bersamaan dengan milad ke-44 ini, tapi karena banyak aral yang melintang, sehingga baru hasil finishing editan yang saya mampu tunaikan.
 
Riwayat hadiah milad berupa penerbitan buku untuk pasangan saya, bukanlah baru kali ini. Di tahun 2012, kala ulang tahunnya yang ke-40, saya mengedit bukunya untuk diterbitkan. Buku itu berjudul: Dari Rumah untuk Dunia. Meski buku ini diterbitkan secara indie dan untuk kalangan terbatas, tetapi permintaan akan buku ini lumayan banyak, sehingga ada niatan untuk menerbitkannya kembali di waktu nanti. Gara-gara sering mengedit tulisan-tulisannya itu, pasangan saya menabalkan gelar sebagai special editor. Tak banyak yang tahu, bahwa saya bermekar-mekar bahagia dengan penabalan ini.
 
Saya pun pernah mempersembahkan sejumput puisi buat pasangan saya, di miladnya yang ke-41. Judulnya: Per-Empua-an. Puisi ini kemudian juga menjadi penguat di buku AirMataDarah pada halaman 128-129. Tak ada salahnya kalau saya tuliskan kembali, sebagai penghangat kasih.
 
Per-Empu-an
 
Buat Mauliah Mulkin, di hari ulangtahunnya. 14 Januari 2014.
Hanya ujar-ujar yang kupersembahkan pada miladmu kali ini. Sekadar bertutur untuk menegaskan hadirmu, di masamu pada kedinian dan kedisinian.
 
Di usiamu yang ke-41, mengalamatkan perjalanan sudah lebih separuh. Berarti, semakin berkuranglah jatah hidup, dan semakin dekat dengan keabadian.
Saatnyalah berburu dengan masa, pada sisa jatah usia yang masih ada untuk mengempu pada marcapada, alam dunia.
 
Mengempu bermakna menjadilah Empu. Sosok Empu, keberadaannya ada pada personanya, yang memesona lalu semesta terpesona. Sehingga ke-Empu-anmu menjadi nyata. Sebab, dikau telah menghormati, memuliakan, mengasuh dan membimbing di kisaran sekitar.
Bagiku, sebagai yang terpesona akan ke-Empu-anmu, sungguh-sungguh telah menjadi per-Empu-anku.
 
Per-Empu-an, menurutku adalah tempat kembali kala semesta mengusik pikir dan menggundah hati. Dan itu dikau telah nyatakan, lewat laku, sikap dan tindakan.
 
Meski aku bukan seorang lelaki yang hebat, terkenal dan paripurna, namun kutetap yakin bahwa di setiap lelaki yang berguna bagi kehidupan , ada sosok perempuan yang menjadi per-Empu-annya.
Pada keberhasilan anak-anak yang tumbuh menjadi manusia berguna, ada sosok ibu yang menjadi per-Empu-annya.
 
Rumahtangga yang di dalamnya beragamam karakter beredar, jika mau menjadi baiti jannati, tempat memancarnya aura kebahagiaan, hanya bisa mewujud manakala ada perempuan yang meleburkan segenap asa menjadi rasa, karena padanya ada sentuhan Empu di tungku per-Empu-an
 
Sedangkan memasuki usianya yang ke-43, saya pun tak luput mendapukkan bait-bait puitis, yang tetap kusebut sebagai puisi cinta untuknya, berjudul:
 
Mauliah Mulkin
 
di januari yang basah genaplah usiamu empatpuluhtiga
tidaklah perlu berhenti meneteskan airmata
 
sebab airhujan dan airmatamu menghidu sajadah kehayatan
menjadi mataair mengaliri altar kehayatan

Mungkin sebagaian orang bertanya pada saya, mengapa hanya buku dan penggalan-penggalan puisi yang dipersembahkan? Jawaban diplomatisnya sederhana saja, hanya inilah yang saya punya dan mampu saya serahkan. Apatah lagi, lima tahun terakhir ini, seabrek aktivitasku selalu saya biangkai dalam gerakan literasi (baca-tulis). Membaca adalah rumah batin saya dan menulis adalah ruang dunia saya. Gerakan literasi telah menjadi rumahku-duniaku. Dan, ini pula yang bakal ditegaskan oleh pasangan saya, dengan terbitnya nanti bukunya: Rumahku Duniaku.

Lisa, Mas Her dan Free Writing


Lima hari terakhir ini, saya membaca catatan Lisa Mulkin (Muchlisa Mulkin) di media sosial, tepatnya facebook. Rupanya ia lagi mengikuti program free writing (menulis bebas) dari Hernowo Hasim. Dalam postingan di media yang sama, belakangan ini Mas Her, sapaan yang saya selalu sematkan kepada pak Hernowo Hasim, amat rajin berbagi catatan tentang kiat-kiat menulis dengan gaya free Writing. Bagi saya, dua sosok ini amat dekat, setidaknya dalam rasa subjektivitas saya, sebab saya mengenal keduanya. Apatah lagi, kedua sosok ini bersua dalam satu lema free writing. Lisa memposisikan diri laksana murid dan Mas Her didaku sebagai guru.
 
Seperti penabalan saya, bahwa Lisa amat dekat dengan saya karena ia tiada lain dari adik pasangan saya, Mauliah Mulkin. Sejak mula saya bergabung ke keluarga pak Haji Mulkin AT dan bu Hajja Mariana Mulkin selaku anak mantu, Lisa waktu itu barulah mulai masuk di Universitas Hasanuddin tahun 1993. Singkat cerita, kami bertiga ditambah seorang karib tinggal dalam satu rumah yang disewakan oleh orangtua. Dari situlah saya mulai takjub akan keluarga pak Haji Mulkin, sebab mereka tumbuh dalam suasana rumah yang sangat kuat tradisi bacanya. Mulai dari pasangan bapak dan ibu mertua, maupun seluruh anak-anaknya yang berjumlah tujuh orang, suka membaca. Dan, hingga kini, tradisi baca itu masih melekat kuat, bahkan berkembang menjadi tradisi literasi.
 
Singkat cerita lagi, Lisa sendiri setahu saya punya kemampuan menulis yang memadai. Setidaknya, ia pernah buktikan tatkala menulis di sebuat koran lokal, Harian Fajar Makassar beberapa tahun yang silam. Selain itu, ia juga sesosok aktifis semasa kuliah dan belakangan ikut dalam gerakan keperempuanan. Dan, lebih dari itu, ia bersama suaminya, Abu Bakar, mewakafkan sebidang tanah untuk membangun pesantren mahasiswa, bernama Panrita. Di bangunan itu pula, ia menginisiasi sekolah untuk anak-anak kurang beruntung, Sekolah Cakrawala.
 
Belakangan, mungkin ingatan saya kurang akurat, tiga atau empat tahun yang lalu, memutuskan untuk pindah mukim ke Bandung. Ia memboyong keluarganya, empat orang buah hatinya. Meski sang suami, masih bolak-balik Bandung-Makassar untuk urusan perusahaannya,. Lisa sendiri masih sering ke Makassar, persuaan paling mutakhir kala libur Natal-Tahun Baru 2015 . Ponakan-ponakan saya rupanya pada beranjak remaja. Lalu saya membatin, esok-esok nanti, saya bakal punya teman diskusi yang handal, tentu dengan spirit literasi yang telah diwarisinya dari kakek-nenek dan orangtuanya.
 
Keputusan Lisa pindah ke Bandung, diambilnya sebagai bentuk keinginan untuk menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah yang lebih sesuai dengan obsesinya. Dan, tentu juga alasan lain, karena memang Bandung adalah salah satu kota pelajar yang senantiasa diburu oleh para pembelajar. Saya sendiri hanya menginjak Bandung kurang lebih 15 tahun yang lalu. Kala itu, suasana keilmuan bercampur adukan kota metropolitan lagi menyeruak. Entah kini, saya tak punya nubuat untuk memastikannya. Namun, suatu kala nanti, ingin ke kota Bandung lagi.
 
Saya tinggalkan dulu Lisa, ingin menyua Mas Her. Maafkan saya, ingatan mulai kurang akurat. Paling tidak, sudah lebih sepuluh tahun lewat, di tahun 2004, pertama kalinya saya berjumpa Mas Her. Kala itu, ia ke Makassar untuk memperkuat misi literasi dari sebuah penerbit garda depan, penerbit Mizan yang berpusat di Bandung. Mengingat waktu itu penerbit Mizan punya lini khusus yang digawanginya, yakni Mizan Learning Centre (MLC). Dari lini inilah Mas Her memberondongkan amunisi, berupa peluru-peluru tradisi literasi, bak kesebelasan Arsenal yang memuntahkan gol-gol indah lewat meriam-meriamnya dari kota London Utara.
 
Sepadan dengan Mas Her di MLC Bandung, penerbit Mizan di tahun 2004 membuka perwakilan di Makassar. Lewat dua lini pemasaran buku, dengan bendera bertajuk: Mizan Direct Selling (MDS) yang dikepalai oleh seorang karib saya, ibu Olle Hamid (Andi Olle Mashurah) -- hingga kini masih di MDS -- dan Mizan Media Utama (MMU) yang diamanahkan kepada saya selaku kepala perwakilannya. Lini MDS memasarkan buku-buku bernuansa ensiklopedis, sementara MMU bertugas menjual buku-buku yang bersifat umum. Walakin, saya hanya tiga bulan bergabung di MMU -- mengundurkan diri karena tak kuasa membagi waktu -- namun ilmu industri perbukuan banyak saya dapatkan. Salah satunya adalah bersua dengan Mas Her, yang kemudian saya dakukan sebagai resi dalam gerakan literasi.
 
Saya tidak tau persis berapa kali Mas Her ke Makassar. Akan tetapi, paling tidak saya dua kali mengikuti acara yang digelar, sebentuk workshop dan Mas Her yang jadi nara sumber tunggalnya. Dari momentum acara inilah, saya menimba ilmu dari sumur yang tak pernah kering air ilmunya, terkhusus pada ilmu dan keterampilan baca-tulis. Hingga kini, ketika saya bergiat di gerakan literasi, ilmu dan keterampilan yang saya dapatkan darinya, masih saya pakai untuk menopang pelatihan dan acara yang serupa, saat saya didapuk selaku pembicara.
 
Selain itu, saya sangat terbantu agar tetap berguru pada resi literasi ini. Buku-bukunya yang sudah puluhan diterbitkan, menjadi arena saya untuk tetap menimba ilmu dan keterampilannya. Buku semisal: Mengikat Makna, Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza, Quantum Reading, Quantum Writing, Langkah Mudah Membuat Buku yang Menggugah, Main-Main dengan Teks sembari Mengasah Kecerdasan Emosi, Mengikat Makna untuk Remaja, Self-Digesting: “Alat” untuk Mengurai dan Mengenali Diri, Vitamin T: Bagaimana Mengubah Diri lewat Membaca dan Menulis, Membacalah Agar Dirimu Mulia: Pesan dari Langit, Mengikat Makna Update: Membaca dan Menulis yang Memberdayakan, adalah rujukan-rujukan utama saya dalam menegakkan pelatihan-pembicaraan baca-tulis, demi kokohnya tradisi literasi.
Secara ragawi, sudah lama sekali rasanya tak jumpa dengan Mas Her. Lebih dari satu dasawarsa. 
 
Terkadang ada kerinduan untuk menatap, mendengar ketika ia bicara. Soalnya, ia adalah sosok yang cool, tidak meledak-ledak, apalagi berapi-api seperti pada umumnya para politisi ketika musim kampanye tiba. Walau begitu, dari lubuk jiwa, saya tetap mengikutinya, berguru terus secara berkesinambungan, melalui catatan-catatan yang dianggitnya, lewat facebook.
 
Saya tetap memburu catatan-catatan Mas Her di facebook. Seperti halnya Lisa, yang sementara berguru padanya dengan tajuk kelas menulis Free Writing. Jadi, percayalah Lisa pada saya, kita sama-sama menulis, menganggit catatan-catatan harian lewat program ini. Saya dari Makassar dan Lisa mukim di Bandung, dalam kuali catatan-catatan Mas Her ketemua jua. Dan, catatan ini saya bikin, tiada lain untuk menandai permuridan kita pada Mas Her. Dan, sebelum lupa, salam literasi yang hangat dari kakakmu, Mauliah Mulkin yang tetap berjibaku dengan tulisan-tulisannya, yang tak lama lagi lahir menjadi sebuah buku, Rumahku Duniaku. Lisa,di hari kelima dan hari-hari berikutnya, saya tetap mau baca catatanmu. Lisa, ewako.

Ini Sulhan Yusuf, Bukan Syech Yusuf


Berulang kali saya dengar tentang legenda-legenda di seputaran sesosok ulama legendaris asal Gowa-Makassar, Syech Yusuf. Tentang keramat-keramatnya maupun sepak terjang kejuangannya dalam melawan kolonial Belanda. Namun, yang selalu terpatri di benak saya adalah legenda beliau yang bisa berada pada tempat yang berbeda dalam waktu yang sama. Kekeramatan ini, sudah amat mafhum di masyarakat yang bersuku makassar-bugis. Bahkan, bila pikiran kita melompat, maka salah satu bukti asumsinya, yakni terdapatnya, paling tidak tiga kuburan beliau. Di Afrika Selatan, pulau Jawa dan Gowa.
 
Sesungguhnya, tidaklah mengherankan. Saya ajukan analogi sederhana saja. Bukankah saat ini, terlalu banyak orang yang bisa berada pada tempat yang berbeda dalam waktu yang sama? Tengoklah para penceramah di televisi. Para penceramah kondang, yang jadi rebutan beberapa chanel televisi, biasanya menyiarkan penceramah yang sama, pada waktu yang sama, tapi berbeda chanel. Itu semua bisa terjadi, berkat capaian teknologi komunikasi yang makin canggih. Meski tidak persis sama, antara kasus penceramah dan Syech Yusuf, sekali lagi, ini hanya analogi. Fungsi analogi tidak lebih dari upaya memudahkan yang rumit.
 
Gara-gara legenda kekeramatan Syech Yusuf ini, saya menjadi bulan-bulanan terhadap diri sendiri. Pasalnya, ingin sekali rasanya seperti beliau, bisa berada dalam tempat yang berbeda dalam waktu yang sama. Apa motifnya? Walakin saya ini bukan orang penting, tapi saya suka mementing-mentingkan diri. Suka mencari-cari kesibukan. Sok ingin kesana-kemari. Apatah lagi, bila didapuk untuk menyahuti sebuah persamuhan, perhelatan ataupun acara-acara lainnya, yang waktunya tabrakan. Padahal ingin sekali menyanggupi, untuk berada di setiap acara itu. Berkali-kali saya mencoba mencari guru tarekat yang bisa memenuhi harapan saya ini. Suatu ilmu yang bisa berada pada tempat yang berbeda dalam waktu yang sama. Persis semisal Syech Yusuf.
 
Ambil saja sekadar contoh kesibukan saya akhir pekan ini, Sabtu-Ahad di penghujung Januari 2016. Guna menunjukkan bahwa saya memang butuh ilmunya Syech Yusuf. Pagi masih semenjana teriknya, saya sudah ke terminal Mallengkeri Makassar, cari angkutan umum, mobil langganan saya ke Bantaeng. Tiba di Bantaeng bertepatan dengan tergelincirnya surya, kira-kira setengah satu siang. Baru saja melepas penat, seorang karib dari seberang pulau, tepatnya dari pusat kota metropolitan, Jakarta, menelpon saya, yang tidak sempat saya dengar. Akhirnya, saya telpon balik. Dan, karib saya ini, yang baru saja meraih gelar doktornya, Din Mandar (DR. Syafinuddin Al-Mandari) mewartakan bahwa ia sementara ada di Makassar. Allamak... ini bencana bagi saya.
 
Mengapa? Soalnya, saya lagi butuh-butuhnya akan karib ini. Saya lagi memburunya untuk minta prolog buat buku yang bakal terbit, Rumahku Duniaku, yang dianggit oleh bu Uli (Mauliah Mulkin). Pastilah bakal tidak ketemu, walau bisa kontak-kontakan. Tapi, bagi saya, tatap muka adalah barang antik yang sangat sulit kita dapat di era serba praktis proses komunukasi. Suaranya, tidaklah mewakili keutuhan ekspressi raut mukanya kalau beliau memberikan wejangan. Di pucuk peromongan, saya berharap pada beliau agar mampir esok hari, Ahad 31 Januari 2016, untuk silaturrahim dengan para murid Kelas Literasi Paradigma Institute. Setelahnya, saya langsung kontak sang ketua kelas, Bahrulamsal, mendapuknya untuk segera berkoneksi dengan beliau mengatur persamuhan.
 
Saya tinggalkan sejenak dulu cerita yang di Makassar. Saya mau lanjut yang di Bantaeng. Dengan beriring segenap kegalauan pikiran, kecamuk perasaan, saya lalu menuju markas Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan, untuk menuntaskan agenda yang telah dijadwalkan. Sekitar pukul 15.00, sesudah shalat Ashar, ada pak Saenal Asri dan istrinya yang memang amat setia menjaga markas kami. Dan, satu persatu karib datang. Muncullah bung Emha Alahyar, bu Yosi Kifni Chaniago, Dion Syaif Saen dan Bu Atte Shernylia Maladevi. Persamuhan ini membahas persiapan Bantaeng Literasi Festival (BLF) dan Kelas Inspirasi Bantaeng (KI-B). Di selanya, kami menyanyikan lagu happy birthday secara spontan, sebab salah seorang dari kami ulang tahun, bu Atte Shernylia Maladevi. Acara sederhana, namun memadai untuk membahagiakannya, paling tidak dari tutur pendakuannya.
 
Selepas maghrib, malam minggu mulai mencubit cari perhatian. Selalu saja menawarkan sensasi sebagai malam istimewa. Lalu sensasi itu benar-benar mewujud. Seorang komisioner KPU Bantaeng, Hamzar Hamna merapat ke markas Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan. Tidak lama kemudian, seorang mantan anggota DPRD Bantaeng yang kini memangku selaku Kepala Desa Labbo Bantaeng, Sirajuddin Siraj mengada pula. Terjadilah diskusi-diskusi tak bertema, namun menajam pada maraknya perbincangan kandidat bupati Bantaeng, yang kemudian nyerempet pula pada gerakan literasi.
 
Hasrat baik pun menaungi kami. Sensasi malam Minggu mengajak kami bergeser ke areal kuliner di Pantai Lamalaka Bantaeng, lokasinya memang hanya berdepanan dengan markas Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan. Perbincangan makin mengular tak berujung. Dan, di sela-sela perbincangan, Dion Syaif Saen bergantian Hamzar Hamna melantunkan lagu yang disediakan oleh cafe. Andaikan Kau Datang, tembang lawas Koes Plus pun didendangkan oleh Dion Syaif Saen. Ia tahu betul selera saya. Di manapun dan acara apapun, kalau ada unsur nyanyinya dan saya ikut denganya, pastilah lagu ini ditembangkan.
 
Kira-kira setengah sebelas kami bubar. Sebelum bubar, Kepala Desa Labbo, Sirajuddin Siraj, ke kasir menuntaskan hajatan. Sebelum pisah, saya mengingatkan kembali, pentingnya mencari variasi baru model pengelolaan Perpustakaan Desa Labbo. Mengingat perpustakaan ini adalah perpustakaan garda depan di Bantaeng, sebab menjadi contoh perpustakaan desa secara nasional. Dan, lain lagi Hamzar Hamna, ia mengingatkan saya akan acara esok, Ahad 31 Januari 2016, mengisi materi pelatihan di acaranya BKPRMI Bantaeng. Okedeh...sip, saya mengiyakan.
 
Matahari enggan menampakkan diri. Lebih mementingkan awan untuk mementaskan keindahannya. Dan, setelah itu, awan menyilakan hujan untuk merintik. Basahlah kota Bantaeng walau seadanya. Sekadar merapatkan debu untuk bersetubuh kembali pada tanah. Tepat pukul 09.00 pagi, saya meluncur menunaikan ajakan Hamzar Hamna semalam. Dengan motor yang dipinjamkannya, saya menempuh perjalanan, menaklukkan tanjakan-tanjakan yang semadya tingginya. Memang lokasi pelatihan kali ini adalah jalan poros menuju ke pegunungan.
 
Desa Bonto Mate’ne, tepatnya kampung Moroa tempat pelatihan digelar. Saya tiba di lokasi sekitar pukul 09.30. Rupanya, acara pembukaan baru saja dipersiapkan. Saya pun menikmati acara pembukaan. Pelatihan BKPRMI atas Remaja Mesjid se-Moroa ini di buka oleh Kepala Desa. Terus terang, di acara pembukaan, konsentrasi agak terpecah. Betapa tidak, dihadapan saya, ada bosara, yang berisi kue-kue tradisional. Salah satunya adalah apang paranggi, kue kesukaan saya. Kue ini terbikin dari tepung beras ketan dan gula merah. Amboi, nikmatnya... langsung saya sabet setelah protokol menyatakan acara istirahat.
Tepat pukul 10.10, saya didapuk untuk mengantarkan materi pelatihan yang bertajuk: Cara Belajar Dahsyat. 
 
Kandungan materi ini lebih mengarah pada pengenalan cara belajar yang berbasis pada cara kerja otak dan sekaligus menggambarkan kecerdasan majemuk. Peserta yang ikut cukup beragam, mulai dari siswa SLTP, SLTA, Mahasiswa dan Sarjana. Dan, beberapa orang siswa SD yang ikut nguping. Beragamnya jenjang pendidikan peserta, merupakan tantangan tersendiri bagi saya. Bagaimana menerapkan metode pelatihan yang bisa memenuhi hasrat keingintahuan mereka, di situlah letak tantangannya.
 
Pukul 12.00 siang lewat beberapa menit, presentasi saya selesai. Tapi sebelum saya benar-benar mengakhiri perbincangan, terlebih dahulu saya menghadiahi dua orang peserta yang bertanya dengan buku: Titisan Cinta Leluhur, buah karya bu Atte Shernylia Maladevi. Dan satu lagi saya berikan ke salah seorang peserta yang saya nilai minat bacanya lagi moncer. Penandanya, dia lagi membaca sebuah novel berjudul: Dylan. Saya mengapresiasi semangat bacanya, lalu tak lupa mengajaknya untuk senantiasa bertandang ke Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan.
 
Sehabis shalat dhuhur, saya diajak oleh panitia untuk makan siang di rumah seorang warga. Nafsu makan saya agak menggila. Di hadapan saya sudah tersaji, kari kepiting, sayur daun ubi dan sambel petai. Sejujurnya, semua jenis makanan itu adalah pantangan saya yang sementara belajar diet atas penyakit asam urat, yang mulai minta kamar di tubuh saya. Asam urat mulai indekos, di lutut dan sesekali ke telapak kaki, lalu bertengger di ujung jari kaki. Karena dia mulai numpang, maka ia pun minta jatah. Dengan memakan semua yang tersaji itu, sama artinya saya telah melunasi jatah yang diminta oleh asam urat. Memang, asam urat ini, sejatinya bakal menjadi sahabat setia saya.
 
Jelang Ashar, saya pulang ke kota. Istirahat sejenak. Ada niat untuk menikmati senja di Pantai Seruni Bantaeng. Saya pun bergerak ke sana. Tengok sana-sini, cari-cari kawan yang bisa bincang bareng sambil menikmati sajian-sajian kuliner yang menjamur. Saya pun kembali pada kebiasaan saya, mengontak karib yang masih jomblo, Dion Syaif Saen. Ternyata, dia lagi di rumahnya, lagi suntuk dengan arsiran beberapa lukisannya. Saya pun mengarahkan motor ke rumahnya. Hingga hampir pukul 21.00, barulah saya pamit pada Dion Syaif Saen. Selama di mukimnya, saya agak intim berbincang, sesekali saya bacakan puisinya Soni Farid Maulana, sambil memandang tajam pada lukisan-lukisannya, yang kesemuanya lukisan perempuan.
 
Dari rumah Dion Syaif Saen, saya langsung pulang ke rumah. Oleh saudara saya ditawari makan malam dengan menu ikan tembang. Saya langsung saja mengokekan, tapi saya harus bakar sendiri. Sebuah tantangan yang amat ringan. Setelah makan, duduk-duduk sejenak nonton televisi, akhirnya tertidur hingga subuh. Pasca shalat Subuh, mempersiapkan segala keperluan untuk balik ke Makassar, termasuk mengemas kue ulang tahun pesanan Javid Morteza, yang dibikinkan oleh tantenya. Seperti biasa, pukul 06.00 pada penghujung Subuh, mobil langganan datang menjemput, buat memulangkan ke Makassar.
 
Sekarang tibalah saya di Makassar. Rupa-rupanya, di akhir pekan ini pada mukimku yang sekaligus sebagai markas Paradigma Institute, tidak sekadar berlangsung Kelas Literasi. Selain kedatangan Din Mandar yang memberi pencerahan di kelas literasi, tak terduga pula ada karib lain, Muhammad Chozin Amirullah, Staf khusus Mendikbud, yang bertandang ke markas, sekaligus mengadakan persamuhan dengan para ibu yang tergabung dalam Forum Komunikasi Muslimah (FKM) Makassar. Banyak yang diresolusikan oleh persamuhan ini, baik di kelas literasi maupun FKM, yang keduanya tak bisa saya ikuti. Padahal, semuanya menjadi amat penting bagi saya.
 
Keseringannya saya tidak berada di mukim, sebagai markas Paradigma Institute, padahal banyak acara penting, dan tamu penting yang datang, menyebabkan saya gusar, segusar-gusarnya. Pada titik inilah, urgensi ilmu dari legenda Syech Yusuf mendesak untuk saya miliki, bisa berada pada tempat yang berbeda dalam waktu yang sama. Bukankah saya ingin ada di Bantaeng dengan seabrek agenda acara dan tetap mewujud di mukim untuk mengawal kegiatan-kegiatannya? Benar-benarlah saya butuh ilmu kanuragan ini, bukan untuk mengkeramatkan diri, tapi sebuah jalan keluar dari rasa ingin memenuhi semua kemauan yang terbatas kemampuannya. Inilah realitasnya, karena saya adalah Sulhan Yusuf, bukan Syech Yusuf.

Dari Komunitas ke Institute


Seorang karib, Bahrulamsal, yang saat ini menggawangi Kelas Literasi Paradigma Institute Makassar, selaku ketua kelasnya, pernah menuturkan hasil risetnya terhadap komunitas baju hitam, masyarakat Kajang Bulukumba. Satu poin penting yang saya ambil, bahwa masyarakat Kajang adalah masyarakat yang berupaya secara gigih menghadapi gelombang modernisasi. Maka, masyarakat Kajang pun membelah diri menjadi dua kelompok. Pertama, yang tetap memilih mempertahankan segala macam warisan tradisinya. Hidup sebagai masyarakat tradisional dengan segala tatanan bermasyarakat yang dianutnya.
 
Kedua, kelompok yang mencoba merespon dan beradaptasi dengan dunia luar. Berusaha hidup sebagaimana masyarakat sekitar pada umumnya. Dan, untuk membedakan keduanya, dibikinlah pagar demarkasi, wilayah adat dan luar adat. Masyarakat Kajang yang bermukim dalam kawasan adat tetap menjujnjung tinggi, memelihara tradisi hidup berkomunitas. Sebagai anutan hidup, rujukan pandangan dunianya, world view, nyaris tidak berubah sejak awal mula. Walakin hasil riset menunjukkan begitu banyak temuan yang bersifat misterius.
 
Sesungguhnya, masyarakat Kajang yang membelah diri seperti itu adalah suatu keharusan untuk tetap bertahan hidup berdasar pada nilai-nilai anutan. Serang kawan, Emha Alahyar (Mahbub), pegiat di Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng, mengilustrasikan dengan sangat indah akan realitas itu. Bahwasanya, seekor kupu-kupu, demi kelanjutan generasi harus mengulatkan diri terlebih dahulu, lalu bertahan dalam selimutan kepompong, lalu ketika saatnya tiba, muncullah kupu-kupu yang indah sebagai makhluk baru.
 
Dua pijakan dasar dari kisanak saya itu, mungkin menjadi dasar untuk menjelaskan perkembangan mutakhir dari Komunitas Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan. Sebab, di situasi kiwari ini, ada geliat baru yang nampak menghiasi dinamika hidup berkomunitas. Pada usianya yang ke-6, Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan mencoba merespon perkembangan yang terjadi di luar komunitas, dengan cara beradaptasi secara mekanistis tapi tetap dengan semangat berkomunitas. Singkatnya, setelah mengulatkan diri, kemudian berkepompong, selanjutnya berkupu-kupu.
 
Maksudnya apa? Sebagaimana telah diketahui, Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan yang lahir 1 Maret 2010, dengan tiga pilar: Toko Buku, Institute dan Komunitas telah mengkonsolidasikan diri dengan segenap tradisinya yang berwatak komunitas. Azas utama pengikatnya, kerelawanan (altruisme), solidaritas (setiakawan) dan compassion (welas asih). Azas itulah yang menjadi saridiri komunitas. Dari sinilah peluru-peluru program ditembakkan dalam berbagai macam bentuk kegiatan.
 
Program pelatihan, penerbitan, pagelaran adalah bentuk-bentuk umumnya, yang termanifestasi dalam pelatihan literasi, penerbitan buku, pagelaran seni budaya, ikut mendorong aktivitas komunitas lain yang senafas dengan, diskusi literasi, membuat rumah baca dan mengadvokasi rumah baca, sudut baca dan perpustakaan desa.
 
Kurun perjalanan selama lima tahun, amat banyak ajakan kerjasama dan tawaran program yang dialamatkan kepada Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan. Sayangnya, ini hanyalah komunitas, yang tidak mempunyai persyaratan-persyaratan formal, layaknya sebuah institusi yang distandarkan oleh pihak luar. Dan, inilah sejenis problem yang menjadi diskursus kurang-lebih setahun, antara adanya keinginan untuk memformalkan komunitas agar bisa bersentuhan langsung dengan pihak luar. Namun, komunitas menyepakati agar komunitas ini sebagaimana saja adanya, sejenis tempat kembali untuk merajut keliaran-keliaran para penyokong komunitas.
 
Walhasil, di usianya yang ke-6, disepekatilah sebuah institusi sebagai sayap untuk menyahuti kepentingan luar itu. Lahirlah Bonthain Institute, sejenis kupu-kupunya Komunitas Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan. Maka inilah yang bakal terbang kesana kemari untuk menebar pesona, memberi keindahan, guna menyahuti keinginan berbagai pihak agar para penyokong Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan berkontribusi secara lebih taktis. Ini sejenis toleransi hidup di sebuah negeri yang amat sangat mengutamakan jaminan formalistik. Dan, memang demikianlah adanya, surat-surat kehidupan bermasyarakat sangat urgen untuk menopang peradaban literasi.
 
Saya sendiri ikut mensupport Bonthain Institute selaku badan pendiri. Hanya sampai di situ saja, tidak terlibat dalam urusan teknis, sebab sudah ada personil penanggung jawabnya. Diantaranya bung Rahman Ramlan selaku direkturnya. Saya tetaplah di Komunitas Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan selaku CEOnya, yang tetap seperti sediakala, tak punya surat-surat kelengkapan. Biarlah nilai-nilai itu yang menjadi suratan takdir bersama di Komunitas. Seorang kawan langsung nyelutuk penuh kelakar, “ kalau di Kajang ada Ammatoa, maka di Komunitas ada CEO, keduanya menjadi penjaga tradisi”.
 
Bonthain Insiitute, seumpama kupu-kupunya Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan, yang saya umumkan pada Milad ke-6 Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan kelahirannya, adalah sejenis hadiah terbagus sebagai persembahan dari Komunitas untuk masyarakat. Agar komunitas dan masyarakat bisa bersinergi, maka diperlukanlah institusi sosial sebagai jembatannya. Jadi, inilah strategi komunitas literasi untuk masyarakat literasi. Bukankah tagline Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan selama ini adalah: Bantaeng Menuju Masyarakat Literasi. Kehadiran Bonthain Institute adalah jawaban strategisnya. Dan, ini bermakna pula, dari komunitas ke institute.
 
Langkah kongkrit pertama dari Bonthain Institute adalah melaksanakan rapat kerja pada tanggal 7 Februari 2016. Menurut informasi -- masih perlu penegasan lagi -- dari direkturnya, bung Rahman Ramlan, waktunya pukul 14.00 bertempat di kisaran markas Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Lamalaka. Di kawasan Lamalaka ini banyak tempat persamuhan yang bakal memancing lahirnya pikiran-pikiran bernas. Dan, saya tak punya kuasa untuk menentukannya, biarlah para penopangnya yang menentukan lebih jauh tehnisnya.

Kopi, Pisang Goreng dan Al-Syifa


Pagi masih malas menyata. Awan berkuasa penuh di langit Ereng-Ereng. Sesekali butiran air hujan malu-malu melompat dari dekapan awan, beraninya cuma merintik. Saya mencoba berdamai dengan semuanya. Toh, kita sebagai sesama makhluk penghuni jagat, memang ditetapkan untuk saling bergilir unjuk takdir. Kalau saja semuanya saling menyila untuk menjalani ketetapan, maka damailah buana.
 
Demikianlah kiranya, kala saya tiba di Ereng-Ereng, sebuah kampung yang terdaftar dalam wilayah kuasa administratif, Kelurahan Ereng-Ereng, Kecamatan Tompo Bulu, Kabupaten Bantaeng. Jarak tempuh dari kota Bantaeng, kisaran setengah jam lebih kalau ngebut, atawa kira-kira kurang lebih 15 km jauhnya. Di sinilah letaknya sebuah sudut baca yang bernama Sudut Baca Al-Syifa. Usia sudut baca ini, jelang tiga tahunan. Dan, kali ini, untuk kesekian kalinya saya mampir, jeda melepas dingin, mencari kehangatan bersama secangkir kopi, pisang goreng plus sambutan ramah pengelolahnya.
 
Sehari sebelumnya, saya sudah kontak bung Ahmad Rusaidi, seorang guru SMA di Takalar, yang sekaligus suami dari Elma Malewa sang penanggung jawab sudut baca. Mereka baru saja dikaruniai seorang putra, sebagai hasil dari pernikahan mereka, lebih dari setahun yang lalu. Saya ikut memprovokasi keduanya agar bersatu dalam ikatan keluarga, sebab keduanya adalah sosok yang konsern dengan tradisi literasi. Bagi saya, bertemunya sepasang anak keturunan Adam-Hawa ini, adalah perkawinan literasi. Dan, benar saja adanya, hingga kini sudut baca tetap eksis, apatah lagi dibantu oleh beberapa orang srikandi setia sebagai pengurus.
 
Pertelponan dengan bung Ahmad, saya sampaikan bahwa ingin mampir di sudut baca, sebelum melanjutkan perjalanan ke kampung berikutnya, Desa Labbo, guna meladeni permintaan pemerintah desa, melakukan pelatihan pengelolaan perpustakaan desa dengan spirit budaya literasi. Persinggahan ini, sejenis aji mumpung, sekadar mengamalkan pepatah lama, sambil menyelam minum air, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.
 
Hampir pukul sembilan pagi, saya sudah berada di Sudut Baca Al-Syifa. Di bawah kolong dekat tangga, senyum sumringah dan sapaan langsung menghidu saya. Menyilakan saya agar naik ke rumah. Memang sesarinya, sudut baca ini bertempat di sudut ruang tamu pada rumah panggung yang dihuni oleh keluarga besar bung Ahmad dan Elma Malewa. Srikandi yang menyilahkan saya itu, tiada lain adalah Analda Malewa Pazhak, adik dari Elma, yang juga sekaligus ujung tombak keberadaan sudut baca ini.
 
Pada sudut ruang tamu dari rumah yang disulap menjadi sudut baca, saya langsung melapangkan diri. Tuan rumah seolah memaksa saya agar duduk di kursi tamu. Tapi saya lebih memilih melantai di karpet sudut baca. Lebih rileks, dan sejatinya memang saya mampir untuk menikmati sepetak surga dari rumah panggung ini. Saya selalu menabalkan, bahwa ruang baca pada sebuah rumah adalah sepetak surga bagi penghuninya yang punya tradisi literasi.
 
Kehadiran saya di sudut baca ini, tentulah bukan sekadar melepas rindu atawa silaturrahim biasa. Melainkan, saya punya hidden agenda, agenda terselubung. Saya benar-benar ingin memastikan keberadaan beserta aktivitasnya. Dan juga beberapa kiat-kiat yang pernah saya rekomendasikan. Maklumlah, oleh pengelolah sudut baca, saya didapuk sebagai konsultannya. Sambil berbincang tentang capaian-capain program, penambahan koleksi buku, antusias pengunjung, tak lupa pula saya mengemukakan beberapa ancangan program yang mungkin bisa dilaksanakan ke depannya.
 
Tak terasa, hampir sejam saya berdiskusi dengan bung Ahmad, Elma Malewa, Analda Malewa Pazhak dan sesekali menikmati kesucian sang bayi yang dipangku secara bergilir, gara-gara seringkali ia tersenyum, tangannya melambai. Dugaan saya, senyuman dan lambaian tangannya, seolah ingin menegaskan pada saya bahwa kepala kita sama, plontos. Ya.. bung kecil, memang kita sama-sama plontos, dikau plontos sebab baru mengenal dunia, sementara saya plontos karena sudah hampir setengah abad melata di atasnya.
 
Ribuan detik yang saya habiskan di Sudut Baca Al-Syifa ini memang membahagiakan. jiwa raga saya terpenuhi. Berbincang tentang gerakan literasi, hasrat-hasrat keberaksaraan menyebabkan jiwa ini terasupi gizi kehidupan untuk semakin menguatkan jiwa kejuangan yang senantiasa pupus ditelan godaan pragmatisme. Pun hal yang sama bagi raga saya, disuguhi secangkir kopi pahit asli Ereng-Ereng, dengan penganan sepiring pisang goreng. Amboi nikmatnya, mengusik dingin yang bersetubuh dengan saya. Dan, lebih dari itu, saya dapat tambahan energi untuk melanjutkan perjalanan, ke tempat yang semestinya, Desa Labbo.

Kembali ke Labbo


Ini sekadar mengadaptasi judul tembang lawas Koes Plus, Kembali ke Jakarta, dengan mengganti Jakarta menjadi Labbo. Apa itu Labbo? Ia hanyalah salah satu desa di Kabupaten Bantaeng. Ya... Desa Labbo, saya kembali ke Labbo, setelah sekian lama tak mengunjunginya, sekitar tiga tahunan. Padahal, desa ini tersimpan rapi di peta batok pikiran saya dan terpahat kuat dalam sudut hati saya. Masih ingat tulisan saya bertahun yang lalu? Tentang desa ini, dengan tajuk: Mari Belajar ke Desa Labbo.
 
Pada tulisan itu, saya membabarkan perkembangan Desa Labbo, khususnya perestasi di bidang literasi, dimana perpustakaan desanya menjadi garda terdepan untuk dijadikan sebagai percontohan perpustakaan desa secara nasional. Dan, perpustakaan desa ini menjadi juara dua lomba perpustakaan desa se provinsi Sulawesi-Selatan. Menurut desas-desus, seharusnya juara satu, tapi ada faktor X yang mengganjalnya. Bagi saya, tidak penting berdebat posisinya, yang terpenting adalah perpustakaan ini masih eksis hingga detik ini.
Kembali ke Labbo, ya... saya kembali lagi atas ajakan kepala desanya yang baru, bung Sirajuddin Siraj. Beliau barulah setahun lebih menjabat. Dan, hubungan saya dengan beliau tergolong dekat, beliau adalah junior saya di organisasi daerah, Koskar PPB dan HMI-MPO Makassar. Seperti juga kepala desa sebelumnya, Subhan Yakub, juga junior saya. Jadi, untuk urusan melibatkan diri dalam membangun perpustakaan desanya bukanlah hal yang rumit.
 
Sesarinya saya menikmati liburan Imlek yang kali ini jatuh pada hari Senin, 8 Februari 2016. Tapi, karena permintaan untuk merevitalisasi kembali perpustakaan desa didapukkan pada saya, maka saya tangguhkan liburan Imlek ini. Saya meluncur ke Labbo, masih pagi sekali, dan sebelum sampai, singgah dulu di Ereng-Ereng, tepatnya di sebuah komunitas literasi, Sudut Baca Al-Syifa. Melakukan silaturrahim, berbincang dengan pengelolah, sambil minum secangkir kopi pahit asli Ereng-Ereng dan sepiring pisang goreng.
 
Sekitar pukul 10.00 pagi, saya sudah tiba di areal kantor Desa Labbo. Saya tidak langsung ke aula pertemuan, melainkan saya menyusup masuk ke gedung perpustakaan Fajar Desa Labbo. Memang demikian adanya, bangunan perpustakaan desa sudah terpisah dari kantor desa. Dulu, waktu pertama sekali saya datang, hampir sepuluh tahun yang silam, masih menyatu dengan bagian kantor desa. Belakangan, di periode kedua Subhan Yakub sebagai kepala desa, ia telah membangun gedung tersendiri. Dalam perpustakaan desa yang saya susupi itu, semuanya masih seperti pada kunjungan saya yang terakhir.
 
Bung Sirajuddin Siraj, sang kepala Desa Labbo, langsung menyambut saya dengan ramah, penuh senyum sumringah. Warga yang hadir pun demikian, menebarkan senyum ke saya sebagai penanda kebersediaan menerima kehadiran saya. Sebagian besar dari warga itu saya kenali, begitu pun sebaliknya, hampir semuanya mengetahui sepak terjang saya selaku pegiat literasi. Seperti yang saya tuturkan, bahwa kehadiran saya di Desa Labbo ini, atas undangan sang kepala desa untuk semakin memperkuat keberadaan perpustakaan desa, yang bakal membuka cabangnya ke enam dusun di wilayah administratif Desa Labbo.
 
Acara kali ini berbentuk pelatihan, dengan tajuk acara: Strategi Pengelolaan Perpustakaan Desa yang Berorientasi Budaya Literasi. Peserta yang hadir, kurang lebih 40an orang dengan latar belakang pustakawan desa, pustakawan SD, MTs dan MA yang ada di wilayah Labbo. Tak ketinggalan pengurus Karang Taruna dan beberapa kaum muda potensial Labbo, yang tergabung dalam berbagai organ kemasyarakatan. Jujur saya tabalkan, bahagia sekali rasanya berbagi pengetahuan dengan mereka, sebab saya menganggap bahwa mereka, para peserta itu adalah para penjaga peradaban yang bermukim di pelosok desa.
 
Hampir empat jam saya habiskan dalam pelatihan itu. Saya senang sekali, karena aparat desa, mulai dari kepala desa dan sekretarisnya, beserta aparatus lainnya ikut mendengarkan. Ini penting, agar nantinya, paska pelatihan banyak yang bisa dikoneksikan terkait dengan kebijakan-kebijakan yang bakal diputuskan, berkaitan dengan pengembangan Perpustakaan Fajar Desa Labbo. Saya mendedahkan materi sajian, mulai dari filosofi mengapa kita harus punya perpustakaan, isi atau koleksi perpustakaan, hingga program-program kerjanya.
 
Di pucuk acara pelatihan, saya sabdakan pada mereka, bahwa saya bakal datang lagi untuk mewujudkan program-program yang bisa kita tunaikan secara bersama. Sebut saja salah satu program yang akan saya wujudkan, Pelatihan Literasi, yang didalamnya akan memberikan sajian bagaimana membaca sebagai sebuah kebutuhan dan menulis sebagai terapi jiwa. Selain itu, saya juga menjanjikan kepada mereka hendak mendatangkan penulis, berdiskusi dengan pengarang, sambil membedah karya-karya mereka. Dengan begitu, saya berharap perpustakaan Desa Labbo ini selalu menjadi terdepan dalam unjuk tradisi literasi, seperti halnya motor Yamaha, yang selalu menyatakan dirinya terdepan dan semakin di depan.
 
Boleh saja di antara kita ada yang tidak percaya, bakal terwujudnya program-program itu. Namun, bagi saya, ada optimisme yang membuncah. Sebab, kapasitas tradisi literasi kepala desanya lebih dari cukup, ditambah lagi dengan fasilitas yang ada, sumberdaya manusia pengawalnya tersedia, semuanya mendukung proses perwujudan program perpustakaan desa. Apatah lagi, sebagai langkah awal, sang kepala desa telah menambah koleksi buku, melakukan pembelian buku lewat ADD, dan berjanji akan mengucurkan lagi dana untuk meningkatkan fasilitas pendukung perpustakaan.
 
Sekitar pukul 16.00, jelang sore, saya beranjak meninggalkan Desa Labbo. Kabut menampak, hujan rintik-rintik mengiringi kepulangan saya. Dengan motor yang dipinjamkan oleh seorang karib, saya menikmati liukan tikungan jalan penurunan. Banyak yang tersisa dari setiap tapak jalan yang saya lewati, kenangan demi kenangan berhamburan menyeruak, mengingat-ingat tahun-tahun silam, kala merintis tapak-tapak gerakan literasi di Labbo. Hujan yang mengguyur, apatah lagi kalau sekadar merintik, taklah kuat menghapus jejak literasi itu. Jejak literasi yang saya tapakkan, tidaklah seperti daki yang melengket di kulit, begitu mandi hilanglah pula.

Orang-Orang yang Bertandang ke Surga


Walhasil, telah tercipta sepetak surga di mukim saya. Penghuninya amat beragam, bisa saling berkawan, namun boleh pula bermusuhan. Mereka terkadang berdiri berhimpitan, sering pula tergeletak bertindihan. Jalan pikirannya beraneka, mulai dari yang rumit melangit, hingga hal sederhana sehari-hari. Fisik pun berbeda, ada yang besar, gemuk tebal, dan tidak sedikit yang kurus tipis. Di surga inilah, semuanya menjadi adem. Dari setiapnya, punya tempat masing-masing. Sangat boleh berbeda, tapi tidak saling meniadakan. Terkadang gaduh, ribut berdebat, saling tohok pikiran, tatkala diberi jiwa. Walakin sekali lagi, muaranya tetap tenang, damai bersemayam.
Teringatlah saya akan tutur bijak dari Marcus Tullius Cicero, yang disabdakan ulang oleh Muhary Wahyu Nurba, pada tulisannya yang berjudul Rumahku Surgaku, dalam buku Esai Tanpa Pagar, “ Jika Anda memiliki taman dan perpustakaan, Anda telah memiliki semua yang Anda butuhkan.” Atau apa yang dinubuatkan oleh Jorge Luis Borges (1899-1986), "I have imagined that paradise will be a kind of library." Bahwa apa yang diimajinasikan, suatu surga, layaknya seperti perpustakaan.
Di pekan kedua bulan Februari 2016, tepatnya tanggal sebelas, tiga hari setelah hari raya Imlek, pada siang setelah duhur, hingga jelang ashar, mukim saya disambangi oleh seorang jurnalis dan fotografernya dari sebuah media cetak, harian Fajar Makassar. Maksud kehadirannya, ingin menulis sebuah feature, sejenis liputan tentang orang-orang yang punya perpustakaan pribadi, para kolektor buku. Dan menurutnya, saya salah seorangnya. Maka, saya pun dengan tangan terbuka menyambutnya, lalu menggiring ke sudut rumah bagian belakang, melewati areal Toko Buku Paradigma Ilmu, pada sebuah ruang baca, yang sering saya sebut sebagai, “sepetak surga”.
Terjadilah percakapan -- sembari saya mengawasi pengunjung toko buku Paradigma Ilmu -- seputar awal mula koleksi buku yang jumlah kisaran 3000 judul. Bukan saja tentang jumlah, melainkan merambah pada koleksi-koleksi lama, cara mendapatkannya, tahun memulainya, jenis-jenis buku, tema-tema pemikiran dari setiap buku. Hasil perbincangan dengan sang jurnalis, Muhammad Nursam, kemudian dituangkan dalam liputan Metropolis harian Fajar, berjudul: Dominan Filsafat, Tak Bisa Bawa Pulang.
Sesarinya memang, judul tulisan itu amat tepat. Dominan buku-buku di pojok surga saya adalah filsafat. Meskipun begitu, tema-tema pemikiran lain semisal agama, sosial, budaya, sastra, motivasi dan keluarga-kepengasuhan bercokol pula. Kesemuanya bersatu dalam ruang baca, yang antara satu dengan lainnya bisa saling bertentangan. Saya terbiasa mengoleksi dan membaca buku yang saling bertentangan, sehingga sudut pandang akan satu persoalan bisa lebih komprehensif. Sebab, tidak sedikit muncul perbedaan pendapat yang intoleran, dikarenakan oleh tunggalnya sudut pandang, apatah lagi ditambah sikap ngotot benar sendiri.
Beragamnya pemikiran yang ada dalam perpustakaan keluarga saya ini, bukan tanpa resiko. Banyak orang di luar sana yang menganjurkan untuk tidak mengunjungi mukim saya. Menurutnya, ini salah satu tempat pesemaian bibit-bibit pikiran sesat dan menyesatkan. Tuduhan itu saya abaikan saja, karena saya lebih berpihak pada orang-orang yang datang untuk berdiskusi, membaca dan menulis. Lagi pula, kurang lebih enam bulan terakhir, pada ruang baca ini diselenggarakan program Kelas Literasi, Kelas Logika-Epistemologi dan Kelas Parenting di bawah bendera Paradigma Institute, sebuah lembaga yang saya dirikan sejak tahun 1994.
Riwayat pojok perpustakaan keluarga, sepetak surga saya ini cukup panjang. Saya mengumpulkan buku sejak tahun 1985, ketika mulai masuk kuliah. Masih teringat benar buku pertama dan kedua yang saya beli secara bersamaan, Biografi Empat Imam Mahzab dan I’tiqad Ahlu Sunnah Waljamaah, yang kedua-duanya telah raib, dipinjam tak kembali lagi. Dan, sebenarnya, lumayan banyak buku-buku saya yang terpinjam, tidak kembali sampai detik ini. Benarlah anekdot yang amat populer, “orang bodoh yang meminjamkan bukunya, tapi lebih bodoh lagi, orang yang meminjam lantas mengembalikannya.”
Selama menempuh kuliah yang lumayan lama, sehampiran tujuh tahun, saya sudah mengumpulkan buku ratusan judul. Dan sebongkah keberkahan datang menghampiri, tatkala di tahun 1993, saya menikah dengan seorang perempuan, Mauliah Mulkin, yang kecintaannya pada buku begitu khusyuk. Bersatulah minat yang sama dalam keluarga baru. Dari sinilah pertambahan koleksi buku kami menjadi berlipat. Ribuan buku menjadi koleksi perpustakaan keluarga kami. Salah satu perundingan yang memenuhi kata sepakat adalah ketika perpustakaan keluarga ini, kami beri nama Raushanfekran. Artinya, orang-orang yang tercerahkan. Terinspirasi dari istilah yang dipopulerkan oleh Ali Syariati, seorang intelektual asal Iran.
Perpustakaan keluarga kami, awalnya sangat bersifat pribadi, tepatnya perpustakaan pribadi. Tempatnya di ruang keluarga dan hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu. Saya biasa menyaksikan, bilamana para tetamu datang, hanya ngiler melihat buku-buku itu yang bisa diintip dari ruang tamu. Lamat-lamat seiring berjalannya waktu, sikap saya mulai melunak. Perundingan pun dengan seisi penghuni rumah dilakukan untuk menyepakati pola baru berkenan dengan akses terhadap perpustakaan pribadi ini, termasuk perubahan nama menjadi Miraculum, maksudnya keajaiban, karena kami begitu banyak mendapatkan keajaiban dari membaca buku-buku tersebut.
Hasil lainnya, lima tahun yang lalu, kami memindahkan ke ruang belakang, yang juga berfungsi sebagai ruang kerja merangkap ruang baca. Namun, tidak semua orang bisa mengaksesnya, hanyalah orang-orang tertentu yang boleh menikmatinya. Barulah dua tahun belakangan ini, aksesnya diperluas untuk siapa saja, seiring dengan dijadikannya sebagai tempat untuk menunaikan program-program yang diusung oleh Paradigma Institute. Walaupun sebenarnya, sudah lama rumah kami sebagai salah satu pusat diskusi, pesemaian pemikiran sejak 1994, seiring dengan berdirinya Paradigma Instute.
Kini, di waktu kiwari, lumayanlah orang-orang bertandang ke pojok perpustakaan kami. Sepetak surga yang saya siapkan buat orang-orang yang berkepentingan. Banyaklah mahasiswa, aktivis, kawan-kawan gerakan, kolega sering larut bersama di surga bikinan kami. Sesekali kedatangan orang-orang penting, tokoh pergerakan, pengarang buku, penulis untuk berbagi keprihatinan akan masalah hidup dan kehidupan. Membaca, menulis, berdiskusi, rapat terbatas, bincang lepas adalah lipatan-lipatan peristiwa yang tertabung di pojok surga ini. Dan, di atas segalanya, orang-orang boleh datang bertandang, namun tak boleh bawa pulang isi dari sepetak surga ini. Kalau ada yang ingin bawa pulang buku, silahkan ke petak yang lain, ruang sebelahnya, pada Toko Buku Paradigma Ilmu.