Selasa, 21 Februari 2017

WASSALAM

Kini, sahaya sudah memasuki usia 50 tahun. Tidak sanggup menghitung jumlah yang memanjatkan doa, harapan dan apresiasi, baik lewat media daring maupun luring. Guru Han pun tak ketinggalan, dilantunkannya ucapan HBD, lalu memberi hadiah spesial berupa tuturan dan ajakan: "Lima puluh tahun jatah usiamu dikau mangsa, anggaplah itu sebagai perjalanan kembara. Saatnya balik haluan, rintis jalan pulang. Sembari menapaki kepulangan, mampir dulu di selasar jiwa Sang Guru, menimba bekal pulang. Jadi, ke depannya, bakal ramai dunia, sebab kita bertiga akan menggelar persamuhan. Bertigalah kita selaku kunang-kunang, yang bakal memberikan kilauan, waima hanya sekunang. Kini, jeda dulu. Wassalam."

Senin, 13 Februari 2017

KUNANG-KUNANG

Tatkala seorang kisanak bertanya, “Apa yang indah dalam kegelapan?” Tanya ini membuncah sebagai bentuk ketidakpuasan atas kegelepan, sebagai efek mati lampu. Sahaya kikuk menjawab, untunglah Guru Han unjuk bicara: “Yang indah dalam kegelapan adalah kunang-kunang. Tiadalah arti kunang-kunang di terang benderang. Jadi, jikalau terjadi kegelapan, termasuk karena mati lampu, sesungguhnya itu adalah doa kaum kunang sejagat, agar punya kesempatan untuk memperunjukkan keindahannya.”

Jumat, 03 Februari 2017

PALSU

Berlama-lama mengasingkan diri dari persamuhan pikiran, ada baik dan buruknya. Berita baiknya, tidak pusing dengan segala urita yang bisa mengaduk-aduk jiwa. Kelemahannya, terasing dari dunia luar, seperti kataklah di bawah tempurung. Karenanya, sahaya pun pergi menghadiri persilatan pikiran, yang membincang soal-soal kekiwarian. Menyalaklah salah seorang narasumber, tentang bahayanya berita palsu. Guru Han yang hadir pula, menembakkan peluru tuturnya: "Amat mudah menghadapi berita palsu, cukup dengan menggunakan telinga palsu. Atau, bikinlah saluran pipa dari telinga kanan ke kiri, sehingga berita itu, hanya numpang lewat saja. Dan, selebihnya, kabar itu akan terbang bersama angin."

Kamis, 02 Februari 2017

TERPERANJAT

Sudah lebih sepekan surya tak menampakkan batang cahayanya. Rada sulit membedakan pagi, siang, dan sore. Sekotahnya ingin menjadi malam. Warga kota beragam sikapnya atas terungku gelap, yang diselingi hujan deras dan liukan angin kencang. Sahaya lebih banyak di mukim, mendaras buku kehidupan dan mengeja kitab kehayatan. Dalam khusyuk yang suntuk, tetiba saja Guru Han berbisik lirih: "Apa yang bisa dikau perbuat, bila saja surya terbit, dan memilih arah barat sebaga titik mula edarnya? Bukankah itu selaku penanda semesta sudah mau bubar? Akhir dunia menyata?"

Rabu, 01 Februari 2017

NU

Kita hidup di era yang terbirit-birit dan terburu-buru. Hayat kita penuh keterbiritan dan keterburuan dalam menyikapi keadaan yang ada. Di majelis malam jum'atan, sekaum bakal berjamaah lagi, membincang topik yang hangat di seputar. Dan, kali ini pastilah tentang NU (Nahdatul Ulama), yang keruh kejernihan airnya, gegara diaduk-aduk. Istilahnya, mendadak NU, ada demam NU. Sahaya berdegup jelang persamuhan itu, waima Guru Han telah membekali sikap, sebentuk pengetahuan, bahwa, "NU itu bukan serupa ranting pohon yang mati jiwanya, sehingga mudah patah atau dipatahkan. NU itu, serona ranting pohon yang jiwanya hidup, sehingga amat lentur dan dilenturkan. Berbedalah ranting kering kerontang dan tangkai hidup menghidupkan. Satu sebagai ranting kayu bakar, lainnya, tangkai yang menumbuhkan bibit kehidupan."