WACANA FUNDAMENTALISME DAN HMI MPO
Oleh Sulhan Yusuf
Gerakan-pemikiran
fundamentalisme bisa dijinakkan secara intelektual, dan intelektualisme yang
liberal bias menemukan basis normatifnya oleh pemahaman yang fundamentalis.
Wacana
Fundamentalisme-Neo Fundamentalisme (Pra-Modern dan Kontemporer) sebagai suatu
istilah, dalam banyak hal dan sudut pandang, sering juga diberikan padanan
istilah lain, yaitu Revivalisme (Paham Kebangkitan). Sehingga, ketika kita
berbicara tentang Revivalisme Islam,
maka sesungguhnya yang dimaksud adalah bangkitnya kaum Fundamentalisme Islam[1].
Memasuki abad
ke-15 H, sering dinyatakan sebagai abad kebangkitan umat Islam, tepatnya ketika
sejumlah Negara Islam dalam Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam I pada tahun
1969 di Rabbat, Maroko, dimana KTT tersebut memutuskan sebagai abad kebangkitan
Islam. Mengapa KTT itu dijadikan momentum?[2]
Setidaknya,
menurut Asep Syamsul, bahwa ada dua yang melatarinya. Pertama, ada semacam
keyakinan di kalangan umat Islam bahwa kejayaan suatu umat atau bangsa akan terjadi
bergiliran selama kurun waktu tujuh abad. Umat Islam telah berjaya selama tujuh
abad pertama hijriah, yang kemudian jatuh dan digantikan umat lain (Barat).
Setelah tujuh abad kejayaan Barat (VII-XV), maka mulai abad XV merupakan
”giliran” umat Islam berjaya kembali. Keyakinan boleh merupakan “tafsiran” atas
QS.3:140, “Demikianlah hari-hari (kebangkitan dan kejatuhan) kami
pergilirkan di antara umat manusia…”.
Dengan demikian, pergiliran “bangkit dan jatuh” suatu kaum merupakam sunnatullah.
Kedua,
memasuki abad ke XV ada peristiwa besar yang mengguncang dunia Islam, yakni
dibakarnya mesjid al-Aqsa di Yerussalem oleh kaum Yahudi pada 21 Agustus 1967.
Peristiwa tersebut menggemparkan sekaligus membuat marah, dan peristiwa itulah
yang melahirkan suatu perasaan yang mendalam di kalangan umat Islam sedunia.
Giliran issu
dan gagasan kebangkitan inipun menjalar masuk ke Indonesia, sehingga seorang
Fazlur Rahman[3] – sosok
intelektual Muslim kaliber internasional asal Pakistan— pun mengatakan bahwa
kebangkitan Islam telah dimulai di
Indonesia. Dan cendekiawan Muslim Indonesiapun dalam hal ini Muhammad Natsir
segera menegaskan bahwa kebangkitan umat Islam di Indonesia akan dimulai dari
tiga tempat, yaitu; pesantren, masjid dan kampus [4]
Selanjutnya,
rasa percaya diri umat Islam pun semakin nampak – termasuk pengaruhnya terhadap
umat Islam yang ada di Indonesia —setelah
peritiwa spketakuler terjadi pada tahun 1979, di belahan bumi Timur Tengah,
yaitu suksesnya Revolusi Islam Iran
di bawah komando Imam Khomaeni.[5]
Bagi kaum muda
Muslim di Indonesia, nafas kebangkitan Islam ini pun terasa sangat berpengaruh. Sehingga kaum muda Muslim pun
ambil bagian dalam proses-proses kebangkitan ini. Maka tidaklah mengherankan
jikalau pada paruh tahun 1980-an lahirlah fenomena baru berupa hadirnya sejenis
gerakan yang cukup fenomenal, yang dalam peristilahannya saya sebut sebagai Gerakan
Religi.[6]
Sebagai bahan
pemikiran, saya kutipkan sebagai berikut:
“Bagi kaum muda mahasiswa , telah lahir pula fenomena
baru sejak dekade 80-an hingga 90-an, dalam wujud Gerakan Religi, dengan
konotasi pada terjadinya pencerahan pemikiran di kalangan kaum muda mahasiswa.
Tema dasar dari gerakan ini adalah upaya untuk senantiasa menegentalkan kembali
semangat religiusitas (keberagamaan) yang hampir lepas, dikarenakan oleh
gencarnya injeksi dari proses sekularisasi terhadap kaum terpelajar sejak
pertama kali mengecap pendidikan dasar, hingga ke pendidikan tinggi. Fenomena
ini terjadi hampir secara umum berlaku di kalangan semua pengikut agama.
Indikasi-indikasinya dapat dilihat pada adanya keinginan untuk mempelajari
persoalan-persoalan keagamaan di kampus yang nota bene pendidikan umum
(non-agama). Difungsikannya tempat-tempat kuliah di beberapa ruangan kampus
misalnya tempat kebaktian bagi kaum muda mahasiawa Kristiani, atau
pengoptimalan fungsi masjid-mushallah kampus sebagai tempat pengkajian aneka
ragam persoalan agama Islam, yang diikuti oleh kaum muda Muslim secara serius,
adalah hal yang tak boleh dinapikan sebagai salah satu sisi gerakan yang sementara
berlangsung di kalangan kaum muda
mahasiswa.”[7]
Latarbelakang apa yang menyebabkan bangkitnya semangat
religiusitas di kalangan kaum muda mahasiswa itu, khususnya di kalangan kaum
muda-mahasiswa Muslim. Apa semangat itu datang begitu saja secara tiba-tiba?
Kita ikuti paparan lebih lanjut seperti berikut ini:
”Sesungguhnya, apa yang terjadi pada saat ini di
kalangan kaum muda mahasiswa Muslim itu, tidak bisa dilepaskan dari adanya
pengaruh gerakan Islam secara mondial. Gerakan yang dimotori oleh
aktvis-aktivis Jamiat Islami di Pakistan, Ikhwanul Muslimin di Mesir, maupun
kesuksesan Revolusi Islam di Iran, telah memberikan kontribusi yang cukup
banyak terhadap terjadinya proses kontinutas gerakan religi, yang bersifat
pencerahan pemikiran sekaligus pencerahan spiriutual. Olehnya, tidaklah
mengherankan jikalau kaum muda mahasiswa Muslim terpelajar, disamping menekuni
buku-buku pelajarannya, juga menjadikan tulisan-tulisan dan buku-buku semisal
Abu ‘Ala al-Maududi, Syed Ahmad Khan, Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, Muhammad
Qutb, Yusuf Qardhawi, Murtdha Mutahhari, Muhammad Husaini Bahesti, Javad
Bahonar, Imam Khomaeni dan Ali Syariati, sebagai rujukan pergolakan-pergolakan
pemikirannya dan juga keresahan-keresahan spiritualnya, dalam merakit rintisan
langkah awal menuju ke suatu proses pencerahan pemikiran-spiritual.”[8]
Konteks HMI
Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI), sebagai salah satu dari gerakan kaum muda Muslim
terbesar dan paling berpengaruh, pun tidak luput dari pengaruh gagasan akan
kebangkitan Islam ini. Sehingga pada kepengurusan Abdullah Hahemahua, sebagai
Ketua Umum Pengurus Besar HMI (l979-1981), gagasan kebangkitan Islam ini
menjadi topik yang akatual di HMI. Sehingga, di HMI sendiri terjadi proses
Islamisasi, tepatnya adalah ideologisasi Islam.
Nilai Dasar
Perjuangan (NDP) sebagai paradigma gerakan HMI, pun tidak bisa luput dari pengaruh
gagasan kebangkitan Islam ini. Sehingga menurut Hasanauddin M.Saleh, perlakuan
terhadap NDP terjadi perbedaan antara sejak diputuskannnya pada Kongres ke-9,
1969 di Malang – sebagai tafsir asas
HMI—hingga 1980-an dan sesudah tahun 1980-an. Saya kutipkan hasil
risetnya:
“NDP menjadi pedoman dasar gerakan Islamisasi di HMi
sampai dengan tahun 1980-an. Akan tetapi, terdapat perbedaan perlakuan terhadap
NDP antara HMI tahun 1960-an dan 1970-an dengan HMI tahun 1980-an. HMI sebelum
tahun 1980-an memperlakukan NDP sebagai satu pokok bahasan dalam latihan
kepemimpinan HMI. Itupun masih dilihat secara filosofis, belum ada upaya
merumuskan dalam tindakan operasional, sehingga Islamisasi pada masa ini masih
dalamn strata keinginan yang belum terwujud. Perlakuan terhadap NDP itu berbeda
dengan HMI tahun 1980-an. Pada masa ini semangat mengintergrasikan nilai-nilai
yang terumus dalam NDP ke dalam seluruh aktivitas HMI secasra organisatorios
maupun terhadap prilaku anggota-anggota HMI secara individual cukup besar.
Hampir semua materi latihan di HMI merupakan bagian penjabaran NDP. Akan
tetapi, sebenarnya bukan kajian terhadap NDP itu sendiri yang sangat
berpengaruh terhadap gairah keislaman yang sangat tinggi pada komunitas HMI,
melainkan sentuhan mereka secara langsung dengan semangat keislaman yang tengah
berkembang di Indonesia ,
bahkan di dunias Islam.”[9]
Akibat lebih
jauh dari proses ini adalah munculnya kritikan terhadap NDP.Tulisan Syafinuddin
al-Mandari telah merekam dan memaparkan bagaimana dinamika intelektual itu
terjadi. Yang pada dasarnya, kritikan itu berkisar pada pembahasan yang
menyeluruh terhadap pokok-pokok pikiran yang ada dalam NDP, seperti; pembahasan
tentang Dasar-Dasar Kepercayaan, Konsepsi Ilmu Pengetahuan, sistem sosial.[10]
Gelombang
studi kritis terhadap NDP tersebut, pada akhirnya melahirkan rekomendasi untuk
melakukan penyempurnaan di bidang perkaderan. Walhasil, pada tahun 1983
dilaksanakanlah lokarya perkaderan di Surabaya, dan pada tahun 1984 diformalkan
secara nasional, yang menghasilkan pola perkaderan dengan muatan Islamisasi
yang cukup dominan, baik pada tataran landasan maupun materi-materi
trainingnya.[11]
Sesungguhnya
usulan perubahan dalam artian penyempurnaan terhadap NDP, bukanlah suatu aksi
sepihak dari tuntutan kader-kader HMI yang terpengaruh oleh gagasan-gagasan
kebangkitan Islam, yang menginginkan adanya Islamisasi ideologisasi Islam di
HMI. Seorang Nurcholis Madjid yang
dianggap sebagai tokoh yang sangat berperan dalam merumuskan NDP, juga telah
menganjurkan agar supaya NDP itu diubah dalam pengertian dikembangkan.
Nurcholis Madjid menuturkan:
“Saya disebut-sebut sebagai orang yang merumuskan NDP
(sekarang NIK), meskipun diformalkan oleh Kongres Malang. Itu terjadi 17 tahun
lalu. Jadi artinya sebagai dokumen organisasi, apalagi organisasi mahasiswa,
maka NDP itu cukup tua. Oleh Karena itu, ada teman yang berbicara tentang NDP
dan kemudian mengajukan gagasan misalnya untuk tidak mengatakan mengubah—mengembangkan
dan sebagainya, maka saya selalu menjawab, dengan sendirinyamemang mungkin
untuk diubah, dalam arti dikembangkan. Values (nilai-nilai) tentu saja tidak
berubah-ubah. Kalau di situ misalnya ada nilai Tauhid, tentu saja tidak
berubah. Akan tetapi pengungkapan dan tekanan pada implikasi itu bias diubah.
Sebab sepanjang sejarah, Tauhid pun tetap wujudnya sama, yitu paham pada
Ketuhanan Yang Maha Esa. Akan tetapi tekanan implikasinya itu berubah-ubah…Jadi
artinya implikasi dari Tauhid itu bias berubah-ubah mengikuti perkembangan
zaman. Sebab itu, juga menyangkut masalah interpretasi. Pengungkapan nilai itu
sendirimemang tidak mungkin berubah, tetapi harus dipertahankan apalagi nilai
seperti Tauhid. Akan tetapi karena ada kemungkinan mengubah tekanan,
implikasinya, maka ada ruang dan kesempatan dengan sendirinya untuk suatu
dokumen semacam NDP. Tidak hanya namanya saja diubah NDP ke NIK. Dan itu adalah
tugas/pikiran yang sah dari adik-adik disini. Maka dari itu saya persilahkan
kalau misalnya memang ada yang ingin menggarap bidang ini.” [12]
Bersamaan
dengan menguatnya tuntutan akan Islamisasi atau ideologisasi Islam di HMI,
hadirlah lima
paket UU yang dikeluarkan oleh rejim despotik ORBA. Keharusan HMI untuk merubah
dan me3nerima asas Pancasila berakibat fatal, karena menyebabkan HMI terpecah
menjadi dua kubu, yaitu HMI DIPO (Diponegoro, inisial karena bersekretariat di
jalan Diponegoro Jakarta
dan HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi). Yang pada akhirnya, HMI DIPO
menerima asas Pancasila – meski setelah reformasi asasnya kembali ke Islam,
sedangkan HMI MPO tetap mempertahankan asas Islamnya.
Sebagai
konsekuensi dari perpecahan itu adalah HMI DIPO merubah NDP menjadi Nilai
Identitas Kader (NIK), meski kandungannya tidak berubah, tetapi memberi memori
penjelas tentang sejalannya, dalam artian tidak adanya pertentangan antara Islam dan Pancasila.[13]
Tetapi pada konteks ini, satu pertanyaan krutis sering dan amat perlu diajukan,
jikalau memang tidak ada masalah dengan asas antara Pancasila dan Islam,
mengapa setelah reformasi terjadi, --dan asas tunggal pancasila dianggap
menjadi salah satu biang kerok kerusakan di negeri ini – HMI DIPO harus memilih
dan menetapkan kembali ke asas Islam ?
Akan halnya
dengan HMI MPO, dengan mempertahankan asas Islam, maka konsekuensi yang
dihadapi adalah harus berhadapan dengan kekuasaan rejim ORBA. Dan pada saat
yang sama gagasan-gagasan kebangkitan Islam mendapat tempat dan lahan yang
subur di HMI MPO. Akibatnya adalah NDP pun yang memang sudah banyak dikritik,
semakin menemukan kristalisasinya dengan lahirnya Khittah Perjuangan HMI
sebagai pengganti NDP.
Pada konteks
ini, menjadi jelaslah kerumitan yang dihadapi oleh HMI ketika ada keinginan
untuk melakukan rekonsiliasi. Sebab, awalnya memang hanya peristiwa politik yang
menyebabkan perpecahan, tetapi kemudian berkembang menjadi perpecahan
kelembagaan, yang kemudian masing-masing berjalan dengan sistem penjelas yang
dirumuskan, agar tetap survive. HMI DIPO merumuskan dan melakukan
penyesuan-penyesuan terhadap pola-pola yang dikembangkan oleh penguasa,
sedangkan HMI MPO, harus mengeluarkan energi ekstra untuk merumuskan
konsep-konsep, pola-pola dan sistem penjelas organisasi.
Khittah Perjuangan
Bagi HMI MPO,
Khittah Perjuangan merupakan sumber inspirasi, motivasi dan aspirasi bagi
segala aktivitas yang dilakukan oleh organisasi, serta merupakan tafsir
integral dari Asas, tujuan dan Independensi. Dan untuk melakukan studi yang
memadai, maka kita dapat membagi ke dalam dua tahapan perjalanannya sebagai
sebuah konsep. Pertama, sejak terjadinya perpecahan hingga kepengerusan PB HMI,
H.Masyhudi Muqarrabin, Periode 1990-1992. Kedua, setelah penyempurnaan hingga
saat ini.
Karateristik
dari KHittah Perjuangan pada tahap pertama, sering didentifikasi dengan
beberapa catatan seperti; muatan-muatan
pemikirannya sangat fundanetalis dan terkesan reaksioner. Hal ini menjadi absah
saja, sebagai salah satu wujud penegasan eksistensi diri-kelompok, karena: Pertama,
pengaruh gagasan-gagasan kebangkitan Islam – tepatnya fundamentalisme Islam –
cukup dominan dalam pemikiran-pemikiran kader HMI yang bergabung dalan HMI MPO.
Kedua, tekanan dari pihak-pihak eksternal, baik dari penguasa rejim
Orba naupun dari kalangan alumni HMI yang tidak setuju dengan HMI MPO, cukup
kuat dan tak bersahabat.
Sebagai
konsekuensi dari perjalanan konsepsi KHittah Perjuangan ini, dapat kita lihat
dari prilaku kader-kader awal HMI MPO, yang menemukan bentuk artikulasinya yang
berwatak fundamentalis. Sehingga, model-model interaksi dan pola-pola
perjuangan yang muncul kepermukaan menemukan bentuknya seperti halaqah-halaqah
atau usro-usro, yang memang menjadi gejala umum gerakan Islam pada masa itu.
Artikulasi
dari semagat fundamentalisme ini menjadi sangat tajam ketika semuanya mau
di-Islmamisasi-kan. Sebagai contoh: himne HMI diganti dengan mars jihad, adanya
keinginan untuk merubah tanggal kelahiran HMI dari kalender masehi ke kalender
Hijriah, istilah-stilah pun diganti, dies
natalis menjadi milad, saudara-saudari menjadi ikhwan dan akhwat, tatacara
bergaul yang dibatasi oleh hijab, pemandu akhwat tidak boleh bicara di depan
peserta ikhwan, pakaian jilbab bagi perempuan dan gamis bagi laki-laki, dan
masih banyak lagi yang lainnya.
Perkembangan
selanjutnya dari Khittah perjuangan sebagai suatu konsep, ketika memasuki
tahapan penyempurnaan, sebagai konsekuensi logis dari semakin luasnya ruang
gerak dan makin artikulatifnya potensi para kader. Sehingga diselenggarakanlah
lokakarya penyempurnaan Khittah Perjuangan di Yogyakarta. Dan selanjutnya,
untuk menjabarkan konsep ini, maka dilaksanakan pula lokakarya penyempurnaan
perkaderan di Jakarta , yang kemudian hasil-hasil
lokarya tersebut ditetapkan pada Kongres ke-19, 1992 di Semarang .[14]
Dengan adanya
Khittah Perjuangan yang baru, sebagai hasil penyempurnaan, maka dengan serta
merta nuansanyapun berbeda. Jika diperbandingkan dengan Khittah Perjuangan
sebelumnya, maka Khittah Perjuangan yang ada sekarang ini lebih komprehensif
dan tidak lagi mencerminkan karakter yang sangat fundamentalistik, apalagi
reaksioner.[15]
Terjadinya
pergeseran nuansa konsep tersebut menjadi sangat logis, karena: Pertama,
pergeseran-pergeran pemikiran di kalangan kader turut mempengaruhi cara
memahami realitas yang dihadapi oleh HMI MPO. Kedua, Karakteristik dari
gagasan-gagasan fundamentalisme yang reaksioner, terasa tidak cukup memadai
untuk memberikan jawaban solutif bagi permasalahan keummatan yang lebih
komprehensif. Ketiga, bangkitnya kembali taradisi intelektual di HMI MPO,
yang memang merupakan trade merk dari HMI sejak masa yang lalu.
Pada konteks
ini menjadi menarik untuk dikemukakan hasil riset yang dilakukan oleh Rusli
Karim dalam tesisnya , bahwa :
Akhirnya, dapatlah
ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam perjalanan
HMI MPO yang sudah memasuki usia
kurang-lebih 25 tahun ini telah menampakkan sebuah profil yang lebih
komprehensif. Warisan fundamentalisme tidak hilang sama sekali, tetapi mendapat
tafsiran baru, maksudnya, fundamentalisme yang begitu garang telah dijinakkan
oleh sebuah tradisi intelektual. Sedangkan tradisi intelektual yang begitu
liberal di HMI, mendapatkan pijakan normatif yang cukup kokoh. Paling tidak ini
tercermin dari profil prilaku kader yang cukup berakhlak tidak secara
hitam-putih, dan mereka tidak ketinggalan wacana intelektual. ***
[1] Lihat
misalnya uraian singkat dari Rifyal Ka’bah, Islam
dan Fundamentalisme, Jakarta :
Pustaka Panjimas, 1984 hal.31-32.
[2] Sulhan
Yusuf, Tanggung Jawab Kaum Muda Muslim Dan Kebangkitan Umat Islam, Medium, Edisi I, September-Oktober 1997,
hal.22
[3] Fazlur
Rahman, Islam dan Modernitas Tentang
Transformasi Intelektual, Bandung :
Pustaka, 1985, hal.150-154.
[4] Sulhan
Yusuf, of cit, hal.22-23
[5] Ibid,
hal 23.
[6] Lihat
artikel-polemik Sulhan Yusuf, Membedah Tema Gerakan Kaum Muda Mahasiswa, pada
harian Fajar, 18 Nopember 1992,
dengan M.Arief Hakim.
[7] Ibid
[8] Ibid
[9]
Hasanuddin M.Saleh, HMI Dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar1996 hal.103
[10]
Syafinuddin al-Mandari, HMi dan Wacana Revolusi Sosial, Jakarta : Hijau Hitam-PSPI, 2004, hal.
[11]
Hasanuddin M.Saleh, of cit, hal.104-105
[12]
Penuturan Nurcholis Madjid ini dapat dilihat pada buku Muchridji Fauzi
(penyunting) HMI dalam Tantangan Zaman, Jakarta : Gunung Kulabu, 1990, hal.3-4.
[13] Memori
Penjelasan PB HMI DIPO dapat dilihat pada ketetapan-ketepan Kongres ke-19, 1992
di Pekanbaru, hal.141-144.
[14] lihat
Laporan pertanggung Jawaban PB HMI Periode 1990-1992, hal 43-42.
[15] Untuk
memahami substansi kandungan dari Khittah Perjuangan yang telah disempurnakan,
uraian mendalam yang merupakan tafsiran dariSuharsono dapat ditelaah lewat
bukunya HMI Pemikiran dan Masa Depan,Yogyakarta : CIIS Press, 1997, hal.73-105.
0 komentar:
Posting Komentar