Kamis, 24 Januari 2013

WACANA FUNDAMENTALISME DAN HMI MPO


WACANA FUNDAMENTALISME DAN HMI MPO
Oleh Sulhan Yusuf

Gerakan-pemikiran fundamentalisme bisa dijinakkan secara intelektual, dan intelektualisme yang liberal bias menemukan basis normatifnya oleh pemahaman yang fundamentalis.


Wacana Fundamentalisme-Neo Fundamentalisme (Pra-Modern dan Kontemporer) sebagai suatu istilah, dalam banyak hal dan sudut pandang, sering juga diberikan padanan istilah lain, yaitu Revivalisme (Paham Kebangkitan). Sehingga, ketika kita berbicara tentang Revivalisme  Islam, maka sesungguhnya yang dimaksud adalah bangkitnya kaum Fundamentalisme Islam[1]
Memasuki abad ke-15 H, sering dinyatakan sebagai abad kebangkitan umat Islam, tepatnya ketika sejumlah Negara Islam dalam Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam I pada tahun 1969 di Rabbat, Maroko, dimana KTT tersebut memutuskan sebagai abad kebangkitan Islam. Mengapa KTT itu dijadikan momentum?[2]
Setidaknya, menurut Asep Syamsul, bahwa ada dua yang melatarinya. Pertama, ada semacam keyakinan di kalangan umat Islam bahwa kejayaan suatu umat atau bangsa akan terjadi bergiliran selama kurun waktu tujuh abad. Umat Islam telah berjaya selama tujuh abad pertama hijriah, yang kemudian jatuh dan digantikan umat lain (Barat). Setelah tujuh abad kejayaan Barat (VII-XV), maka mulai abad XV merupakan ”giliran” umat Islam berjaya kembali. Keyakinan boleh merupakan “tafsiran” atas QS.3:140, “Demikianlah hari-hari (kebangkitan dan kejatuhan) kami pergilirkan  di antara umat manusia…”. Dengan demikian, pergiliran “bangkit dan jatuh” suatu kaum merupakam sunnatullah.
Kedua, memasuki abad ke XV ada peristiwa besar yang mengguncang dunia Islam, yakni dibakarnya mesjid al-Aqsa di Yerussalem oleh kaum Yahudi pada 21 Agustus 1967. Peristiwa tersebut menggemparkan sekaligus membuat marah, dan peristiwa itulah yang melahirkan suatu perasaan yang mendalam di kalangan umat Islam sedunia.
Giliran issu dan gagasan kebangkitan inipun menjalar masuk ke Indonesia, sehingga seorang Fazlur Rahman[3] – sosok intelektual Muslim kaliber internasional asal Pakistan— pun mengatakan bahwa kebangkitan Islam telah  dimulai di Indonesia. Dan cendekiawan Muslim Indonesiapun dalam hal ini Muhammad Natsir segera menegaskan bahwa kebangkitan umat Islam di Indonesia akan dimulai dari tiga tempat, yaitu; pesantren, masjid dan kampus [4]
Selanjutnya, rasa percaya diri umat Islam pun semakin nampak – termasuk pengaruhnya terhadap umat Islam yang ada di Indonesia—setelah peritiwa spketakuler terjadi pada tahun 1979, di belahan bumi Timur Tengah, yaitu suksesnya Revolusi Islam Iran di bawah komando Imam Khomaeni.[5]
Bagi kaum muda Muslim di Indonesia, nafas kebangkitan Islam ini pun  terasa sangat  berpengaruh. Sehingga kaum muda Muslim pun ambil bagian dalam proses-proses kebangkitan ini. Maka tidaklah mengherankan jikalau pada paruh tahun 1980-an lahirlah fenomena baru berupa hadirnya sejenis gerakan yang cukup fenomenal, yang dalam peristilahannya saya sebut sebagai Gerakan Religi.[6]
Sebagai bahan pemikiran, saya kutipkan sebagai berikut:

“Bagi kaum muda mahasiswa , telah lahir pula fenomena baru sejak dekade 80-an hingga 90-an, dalam wujud Gerakan Religi, dengan konotasi pada terjadinya pencerahan pemikiran di kalangan kaum muda mahasiswa. Tema dasar dari gerakan ini adalah upaya untuk senantiasa menegentalkan kembali semangat religiusitas (keberagamaan) yang hampir lepas, dikarenakan oleh gencarnya injeksi dari proses sekularisasi terhadap kaum terpelajar sejak pertama kali mengecap pendidikan dasar, hingga ke pendidikan tinggi. Fenomena ini terjadi hampir secara umum berlaku di kalangan semua pengikut agama. Indikasi-indikasinya dapat dilihat pada adanya keinginan untuk mempelajari persoalan-persoalan keagamaan di kampus yang nota bene pendidikan umum (non-agama). Difungsikannya tempat-tempat kuliah di beberapa ruangan kampus misalnya tempat kebaktian bagi kaum muda mahasiawa Kristiani, atau pengoptimalan fungsi masjid-mushallah kampus sebagai tempat pengkajian aneka ragam persoalan agama Islam, yang diikuti oleh kaum muda Muslim secara serius, adalah hal yang tak boleh dinapikan sebagai salah satu sisi gerakan yang sementara berlangsung di kalangan kaum muda mahasiswa.”[7]

            Latarbelakang  apa yang menyebabkan bangkitnya semangat religiusitas di kalangan kaum muda mahasiswa itu, khususnya di kalangan kaum muda-mahasiswa Muslim. Apa semangat itu datang begitu saja secara tiba-tiba? Kita ikuti paparan lebih lanjut seperti berikut ini: 

”Sesungguhnya, apa yang terjadi pada saat ini di kalangan kaum muda mahasiswa Muslim itu, tidak bisa dilepaskan dari adanya pengaruh gerakan Islam secara mondial. Gerakan yang dimotori oleh aktvis-aktivis Jamiat Islami di Pakistan, Ikhwanul Muslimin di Mesir, maupun kesuksesan Revolusi Islam di Iran, telah memberikan kontribusi yang cukup banyak terhadap terjadinya proses kontinutas gerakan religi, yang bersifat pencerahan pemikiran sekaligus pencerahan spiriutual. Olehnya, tidaklah mengherankan jikalau kaum muda mahasiswa Muslim terpelajar, disamping menekuni buku-buku pelajarannya, juga menjadikan tulisan-tulisan dan buku-buku semisal Abu ‘Ala al-Maududi, Syed Ahmad Khan, Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, Muhammad Qutb, Yusuf Qardhawi, Murtdha Mutahhari, Muhammad Husaini Bahesti, Javad Bahonar, Imam Khomaeni dan Ali Syariati, sebagai rujukan pergolakan-pergolakan pemikirannya dan juga keresahan-keresahan spiritualnya, dalam merakit rintisan langkah awal menuju ke suatu proses pencerahan pemikiran-spiritual.”[8]

Konteks HMI

            Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sebagai salah satu dari gerakan kaum muda Muslim terbesar dan paling berpengaruh, pun tidak luput dari pengaruh gagasan akan kebangkitan Islam ini. Sehingga pada kepengurusan Abdullah Hahemahua, sebagai Ketua Umum Pengurus Besar HMI (l979-1981), gagasan kebangkitan Islam ini menjadi topik yang akatual di HMI. Sehingga, di HMI sendiri terjadi proses Islamisasi, tepatnya adalah ideologisasi Islam.
Nilai Dasar Perjuangan (NDP) sebagai paradigma gerakan HMI, pun tidak bisa luput dari pengaruh gagasan kebangkitan Islam ini. Sehingga menurut Hasanauddin M.Saleh, perlakuan terhadap NDP terjadi perbedaan antara sejak diputuskannnya pada Kongres ke-9, 1969 di Malang – sebagai tafsir asas  HMI—hingga 1980-an dan sesudah tahun 1980-an. Saya kutipkan hasil risetnya:

NDP menjadi pedoman dasar gerakan Islamisasi di HMi sampai dengan tahun 1980-an. Akan tetapi, terdapat perbedaan perlakuan terhadap NDP antara HMI tahun 1960-an dan 1970-an dengan HMI tahun 1980-an. HMI sebelum tahun 1980-an memperlakukan NDP sebagai satu pokok bahasan dalam latihan kepemimpinan HMI. Itupun masih dilihat secara filosofis, belum ada upaya merumuskan dalam tindakan operasional, sehingga Islamisasi pada masa ini masih dalamn strata keinginan yang belum terwujud. Perlakuan terhadap NDP itu berbeda dengan HMI tahun 1980-an. Pada masa ini semangat mengintergrasikan nilai-nilai yang terumus dalam NDP ke dalam seluruh aktivitas HMI secasra organisatorios maupun terhadap prilaku anggota-anggota HMI secara individual cukup besar. Hampir semua materi latihan di HMI merupakan bagian penjabaran NDP. Akan tetapi, sebenarnya bukan kajian terhadap NDP itu sendiri yang sangat berpengaruh terhadap gairah keislaman yang sangat tinggi pada komunitas HMI, melainkan sentuhan mereka secara langsung dengan semangat keislaman yang tengah berkembang di Indonesia, bahkan di dunias Islam.”[9]

Akibat lebih jauh dari proses ini adalah munculnya kritikan terhadap NDP.Tulisan Syafinuddin al-Mandari telah merekam dan memaparkan bagaimana dinamika intelektual itu terjadi. Yang pada dasarnya, kritikan itu berkisar pada pembahasan yang menyeluruh terhadap pokok-pokok pikiran yang ada dalam NDP, seperti; pembahasan tentang Dasar-Dasar Kepercayaan, Konsepsi Ilmu Pengetahuan, sistem sosial.[10]
Gelombang studi kritis terhadap NDP tersebut, pada akhirnya melahirkan rekomendasi untuk melakukan penyempurnaan di bidang perkaderan. Walhasil, pada tahun 1983 dilaksanakanlah lokarya perkaderan di Surabaya, dan pada tahun 1984 diformalkan secara nasional, yang menghasilkan pola perkaderan dengan muatan Islamisasi yang cukup dominan, baik pada tataran landasan maupun materi-materi trainingnya.[11]
Sesungguhnya usulan perubahan dalam artian penyempurnaan terhadap NDP, bukanlah suatu aksi sepihak dari tuntutan kader-kader HMI yang terpengaruh oleh gagasan-gagasan kebangkitan Islam, yang menginginkan adanya Islamisasi ideologisasi Islam di HMI. Seorang Nurcholis Madjid  yang dianggap sebagai tokoh yang sangat berperan dalam merumuskan NDP, juga telah menganjurkan agar supaya NDP itu diubah dalam pengertian dikembangkan. Nurcholis Madjid menuturkan:

“Saya disebut-sebut sebagai orang yang merumuskan NDP (sekarang NIK), meskipun diformalkan oleh Kongres Malang. Itu terjadi 17 tahun lalu. Jadi artinya sebagai dokumen organisasi, apalagi organisasi mahasiswa, maka NDP itu cukup tua. Oleh Karena itu, ada teman yang berbicara tentang NDP dan kemudian mengajukan gagasan misalnya untuk tidak mengatakan mengubah—mengembangkan dan sebagainya, maka saya selalu menjawab, dengan sendirinyamemang mungkin untuk diubah, dalam arti dikembangkan. Values (nilai-nilai) tentu saja tidak berubah-ubah. Kalau di situ misalnya ada nilai Tauhid, tentu saja tidak berubah. Akan tetapi pengungkapan dan tekanan pada implikasi itu bias diubah. Sebab sepanjang sejarah, Tauhid pun tetap wujudnya sama, yitu paham pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Akan tetapi tekanan implikasinya itu berubah-ubah…Jadi artinya implikasi dari Tauhid itu bias berubah-ubah mengikuti perkembangan zaman. Sebab itu, juga menyangkut masalah interpretasi. Pengungkapan nilai itu sendirimemang tidak mungkin berubah, tetapi harus dipertahankan apalagi nilai seperti Tauhid. Akan tetapi karena ada kemungkinan mengubah tekanan, implikasinya, maka ada ruang dan kesempatan dengan sendirinya untuk suatu dokumen semacam NDP. Tidak hanya namanya saja diubah NDP ke NIK. Dan itu adalah tugas/pikiran yang sah dari adik-adik disini. Maka dari itu saya persilahkan kalau misalnya memang ada yang ingin menggarap bidang ini.” [12]

Bersamaan dengan menguatnya tuntutan akan Islamisasi atau ideologisasi Islam di HMI, hadirlah lima paket UU yang dikeluarkan oleh rejim despotik ORBA. Keharusan HMI untuk merubah dan me3nerima asas Pancasila berakibat fatal, karena menyebabkan HMI terpecah menjadi dua kubu, yaitu HMI DIPO (Diponegoro, inisial karena bersekretariat di jalan Diponegoro Jakarta dan HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi). Yang pada akhirnya, HMI DIPO menerima asas Pancasila – meski setelah reformasi asasnya kembali ke Islam, sedangkan HMI MPO tetap mempertahankan asas Islamnya.
Sebagai konsekuensi dari perpecahan itu adalah HMI DIPO merubah NDP menjadi Nilai Identitas Kader (NIK), meski kandungannya tidak berubah, tetapi memberi memori penjelas tentang sejalannya, dalam artian tidak adanya pertentangan  antara Islam dan Pancasila.[13] Tetapi pada konteks ini, satu pertanyaan krutis sering dan amat perlu diajukan, jikalau memang tidak ada masalah dengan asas antara Pancasila dan Islam, mengapa setelah reformasi terjadi, --dan asas tunggal pancasila dianggap menjadi salah satu biang kerok kerusakan di negeri ini – HMI DIPO harus memilih dan menetapkan kembali ke asas Islam ?
Akan halnya dengan HMI MPO, dengan mempertahankan asas Islam, maka konsekuensi yang dihadapi adalah harus berhadapan dengan kekuasaan rejim ORBA. Dan pada saat yang sama gagasan-gagasan kebangkitan Islam mendapat tempat dan lahan yang subur di HMI MPO. Akibatnya adalah NDP pun yang memang sudah banyak dikritik, semakin menemukan kristalisasinya dengan lahirnya Khittah Perjuangan HMI sebagai pengganti NDP.
Pada konteks ini, menjadi jelaslah kerumitan yang dihadapi oleh HMI ketika ada keinginan untuk melakukan rekonsiliasi. Sebab, awalnya memang hanya peristiwa politik yang menyebabkan perpecahan, tetapi kemudian berkembang menjadi perpecahan kelembagaan, yang kemudian masing-masing berjalan dengan sistem penjelas yang dirumuskan, agar tetap survive. HMI DIPO merumuskan dan melakukan penyesuan-penyesuan terhadap pola-pola yang dikembangkan oleh penguasa, sedangkan HMI MPO, harus mengeluarkan energi ekstra untuk merumuskan konsep-konsep, pola-pola dan sistem penjelas organisasi.

Khittah Perjuangan

Bagi HMI MPO, Khittah Perjuangan merupakan sumber inspirasi, motivasi dan aspirasi bagi segala aktivitas yang dilakukan oleh organisasi, serta merupakan tafsir integral dari Asas, tujuan dan Independensi. Dan untuk melakukan studi yang memadai, maka kita dapat membagi ke dalam dua tahapan perjalanannya sebagai sebuah konsep. Pertama, sejak terjadinya perpecahan hingga kepengerusan PB HMI, H.Masyhudi Muqarrabin, Periode 1990-1992. Kedua, setelah penyempurnaan hingga saat ini.
Karateristik dari KHittah Perjuangan pada tahap pertama, sering didentifikasi dengan beberapa catatan seperti;  muatan-muatan pemikirannya sangat fundanetalis dan terkesan reaksioner. Hal ini menjadi absah saja, sebagai salah satu wujud penegasan eksistensi diri-kelompok, karena: Pertama, pengaruh gagasan-gagasan kebangkitan Islam – tepatnya fundamentalisme Islam – cukup dominan dalam pemikiran-pemikiran kader HMI yang bergabung dalan HMI MPO. Kedua, tekanan dari pihak-pihak eksternal, baik dari penguasa rejim Orba naupun dari kalangan alumni HMI yang tidak setuju dengan HMI MPO, cukup kuat dan tak bersahabat.
Sebagai konsekuensi dari perjalanan konsepsi KHittah Perjuangan ini, dapat kita lihat dari prilaku kader-kader awal HMI MPO, yang menemukan bentuk artikulasinya yang berwatak fundamentalis. Sehingga, model-model interaksi dan pola-pola perjuangan yang muncul kepermukaan menemukan bentuknya seperti halaqah-halaqah atau usro-usro, yang memang menjadi gejala umum gerakan Islam pada masa itu.
Artikulasi dari semagat fundamentalisme ini menjadi sangat tajam ketika semuanya mau di-Islmamisasi-kan. Sebagai contoh: himne HMI diganti dengan mars jihad, adanya keinginan untuk merubah tanggal kelahiran HMI dari kalender masehi ke kalender Hijriah,  istilah-stilah pun diganti, dies natalis menjadi milad, saudara-saudari menjadi ikhwan dan akhwat, tatacara bergaul yang dibatasi oleh hijab, pemandu akhwat tidak boleh bicara di depan peserta ikhwan, pakaian jilbab bagi perempuan dan gamis bagi laki-laki, dan masih banyak lagi yang lainnya.
   Perkembangan selanjutnya dari Khittah perjuangan sebagai suatu konsep, ketika memasuki tahapan penyempurnaan, sebagai konsekuensi logis dari semakin luasnya ruang gerak dan makin artikulatifnya potensi para kader. Sehingga diselenggarakanlah lokakarya penyempurnaan Khittah Perjuangan di Yogyakarta. Dan selanjutnya, untuk menjabarkan konsep ini, maka dilaksanakan pula lokakarya penyempurnaan perkaderan di Jakarta, yang kemudian hasil-hasil lokarya tersebut ditetapkan pada Kongres ke-19, 1992 di Semarang.[14]
Dengan adanya Khittah Perjuangan yang baru, sebagai hasil penyempurnaan, maka dengan serta merta nuansanyapun berbeda. Jika diperbandingkan dengan Khittah Perjuangan sebelumnya, maka Khittah Perjuangan yang ada sekarang ini lebih komprehensif dan tidak lagi mencerminkan karakter yang sangat fundamentalistik, apalagi reaksioner.[15]
Terjadinya pergeseran nuansa konsep tersebut menjadi sangat logis, karena: Pertama, pergeseran-pergeran pemikiran di kalangan kader turut mempengaruhi cara memahami realitas yang dihadapi oleh HMI MPO. Kedua, Karakteristik dari gagasan-gagasan fundamentalisme yang reaksioner, terasa tidak cukup memadai untuk memberikan jawaban solutif bagi permasalahan keummatan yang lebih komprehensif. Ketiga, bangkitnya kembali taradisi intelektual di HMI MPO, yang memang merupakan trade merk dari HMI sejak masa yang lalu.
Pada konteks ini menjadi menarik untuk dikemukakan hasil riset yang dilakukan oleh Rusli Karim dalam tesisnya , bahwa :
Akhirnya, dapatlah ditarik  suatu kesimpulan bahwa dalam perjalanan HMI MPO  yang sudah memasuki usia kurang-lebih 25 tahun ini telah menampakkan sebuah profil yang lebih komprehensif. Warisan fundamentalisme tidak hilang sama sekali, tetapi mendapat tafsiran baru, maksudnya, fundamentalisme yang begitu garang telah dijinakkan oleh sebuah tradisi intelektual. Sedangkan tradisi intelektual yang begitu liberal di HMI, mendapatkan pijakan normatif yang cukup kokoh. Paling tidak ini tercermin dari profil prilaku kader yang cukup berakhlak tidak secara hitam-putih, dan mereka tidak ketinggalan wacana intelektual. ***














[1] Lihat misalnya uraian singkat dari Rifyal Ka’bah, Islam dan Fundamentalisme, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984 hal.31-32.
[2] Sulhan Yusuf, Tanggung Jawab Kaum Muda Muslim Dan Kebangkitan Umat Islam, Medium, Edisi I, September-Oktober 1997, hal.22
[3] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual, Bandung: Pustaka, 1985, hal.150-154.
[4] Sulhan Yusuf, of cit, hal.22-23
[5] Ibid, hal  23.
[6] Lihat artikel-polemik Sulhan Yusuf, Membedah Tema Gerakan Kaum Muda Mahasiswa, pada harian Fajar, 18 Nopember 1992, dengan M.Arief Hakim.
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Hasanuddin M.Saleh,  HMI Dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila, Yogyakarta: Pustaka Pelajar1996 hal.103
[10] Syafinuddin al-Mandari, HMi dan Wacana Revolusi Sosial, Jakarta: Hijau Hitam-PSPI, 2004, hal.
[11] Hasanuddin M.Saleh, of cit, hal.104-105
[12] Penuturan Nurcholis Madjid ini dapat dilihat pada buku Muchridji Fauzi (penyunting) HMI dalam Tantangan Zaman, Jakarta: Gunung Kulabu, 1990, hal.3-4.
[13] Memori Penjelasan PB HMI DIPO dapat dilihat pada ketetapan-ketepan Kongres ke-19, 1992 di Pekanbaru, hal.141-144.
[14] lihat Laporan pertanggung Jawaban PB HMI Periode 1990-1992, hal 43-42.
[15] Untuk memahami substansi kandungan dari Khittah Perjuangan yang telah disempurnakan, uraian mendalam yang merupakan tafsiran dariSuharsono dapat ditelaah lewat bukunya HMI Pemikiran dan Masa Depan,Yogyakarta: CIIS Press, 1997, hal.73-105.

0 komentar:

Posting Komentar