Jumat, 17 November 2017

DAENG LITERE


Dia terlahir dengan nama Damai Tampan, kurang lebih 45 tahun yang lalu, di sebuah kampung pinggir laut, tepatnya di Tompong, Kelurahan Letta, Butta Toa -Bantaeng. Tompong sendiri merupakan daerah yang sudah cukup tua bagi peradaban Bantaeng. Di tempat inilah terdapat mesjid paling tua, Mesjid Towayya  yang dibangun pada tahun 1887 atas prakarsa Raja Bantaeng, Karaeng Panawang, di atas tanah wakab H. La Bandu, seorang pedagang sukses asal Wajo. Hingga generasi ketiga dari keluarga ini, tetap menjadi penanggungjawab. Saat ini, cucu pendiri mesjid ini, DR. Anis Anwar Makkatutu menjadi ketua yayasan.
Di kampung Tompong ini pula terdapat Balla Bassia, sebuah rumah peninggalan pendiri mesjid. Tidak jauh dari Masjid Toayya Tompong dan Balla Bassia, terdapat pula dua buah bangunan tua, Balla Lompoa di Lantebung sebagai rumah tinggal dan Balla Lompoa di Letta selaku Istana Raja Bantaeng.
Masa kecil Damai Tampan ditapaki di kampung ini. Suasana pantai yang indah, baik di pagi maupun sore menjadi pembentuk jiwanya. Jiwanya menjadi luas, seluas samudra. Bibir pantai kampung Tompong, senantiasa mengecup gelombang ombak dari laut Flores. Ombak laut Flores akan segera teduh, damai tak beriak lagi setelah mendapat kecupan lembut dari bibir pantai Tompong. Sebuah penyatuan abadi, yang hingga kini berlangsung.
Meski pantai ini sudah tak berpasir lagi, sebab sudah dibangun tanggul penahan ombak. Sekali waktu, Damai Tampan berbisik padaku; “masihkah pantai ini layak disebut pantai ketika tak berpasir lagi? Pasir selaku bibir pantai, begitu lembut mengecup gejolak ombak, telah berubah menjadi tanggul yang keras kokoh. Mampukah tanggul itu mengecup, selembut pasir mengecup gelora ombak laut Flores?”
Dari sekian banyak anak yang seusia dengan Damai Tampan, akulah yang paling dekat dengannya. Di samping kawan main, aku masih kerabatnya, sepupu duakali dari garis ibu. Bahkan saking dekatnya, aku pun sebenarnya saudara sesusuan dengan Damai Tampan. Pasalnya, ketika kami masih menyusu, ibunya pergi a’buritta (mengundang kerabat) karena tantenya akan kawin. Saat ditinggal itulah, Damai Tampan menangis ingin menete, maka ibuku pun menyusuinya, hingga jadilah kami saudara sesusuan. Cerita ini kuperoleh dari ibuku, saat usiaku menginjak belasan tahun.
Kala masih kanak-kanak, kami pun sering main ke sekitar Balla Lompoa. Banyak misteri yang belum kupahami hingga kini. Maklumlah, kami bukanlah keturunan keluarga Raja Bantaeng. Kami bukan bangsawan, hanyalah masyarakat biasa yang tak punya akses ke tempat tersebut. Kami hanya sering memandangi Balla Lompoa, atau sekadar lalu lalang di depannya.
Namun usiaku yang sudah kepala empat ini, disusul dengan perubahan-perubahan tata cara bermasyarakat memungkinkan misteri-misteri itu terkuak. Apatah lagi Damai Tampan, sangat mudah aksesnya saat ini untuk menguak kisah-kisah misteri Balla Lompoa. Dan Damai Tampan telah berjanji untuk itu, “ suatu waktu engkau akan baca tulisanku tentang Balla Lompoa dan segala misterinya. Demikian pula segala hal yang bisa kutuliskan tentang Butta Toa - Bantaeng”
Kini, Damai Tampan memang adalah seorang pegiat literasi, seorang aktifis yang mendedikasikan dirinya untuk mencerahkan masyarakat, lewat aktifitas peningkatan minat baca-tulis. Terlibat serius dalam gerakan literasi, nyaris hidupnya dihabiskan untuk gerakan literasi. Bahkan, aku dan kawan-kawanku menjulukinya Pendekar Literasi. Adapula kawan yang lebih dahsyat lagi menjulukinya sebagai Raja Literasi di Bantaeng. Apapun julukannya, sebagai Pendekar Literasi atau Raja Literasi, yang jelas istilah literasi begitu dekat dengan Damai Tampan.
Dari sinilah sesungguhnya, cerita Daeng Litere ini pun bermula. Damai Tampan berubah namanya menjadi Daeng Litere. Aku sendiri sebagai karib, dan juga kerabatnya akan banyak terlibat bersamanya. Senantiasa mendampinginya, mengiringi pengembaraannya selaku Pendekar Literasi.
Aku lupa kapan persis kejadiannya. Yang pasti, sekali waktu aku menemaninya bertandang ke sebuah kampung untuk meriset tentang budaya kampung itu. Ketemulah kami dengan tetua kampung itu. Aku sebagai guidenya, mengenalkan Damai Tampan pada tetua kampung. “Tabe Daeng, ini kawanku namanya Damai Tampan, dia seorang pegiat literasi”, kataku mengenalkan pada tetua kampung. Sebab tetua kampung ini sudah agak lanjut usia, perkataanku pun didengar secara samar. “ Ooo...I Litere “, ucap tetua kampung. Aku hendak menjelaskan lebih jauh kesalah dengaran itu, tapi kupendam saja. Toh, bukanlah yang penting saat itu.
Sepulang dari tandangan itu, saya berseloroh di atas motor, sambil bercanda pada Damai Tampan, “ I Litere ..., nama yang indah dan inspiratif ... he...he..he... daeng toa... daeng toa.”  Damai Tampan agak kesal menimpali, “memangnya saya ini liter, bentukku seperti liter?” Lalu kusambung, “sudahlah, malah menurutku ini nama yang tepat untukmu selaku Pendekar Literasi, apatah lagi sudah jadi Raja Literasi. Antara literasi dengan litere beda-beda tipislah. Dan bagiku julukanmu sebagai litere cukup tepat. Bukankah engkau memang cukup sering menimbang-nimbang segala persoalan, bahkan meliter-liter setiap pendapat yang ingin kau tuliskan, wahai Daeng Litere?
Sejak saat itulah aku selalu memanggil Damai Tampan sebagai Daeng Litere. Nama julukan ini lebih terasa lokal, setidaknya menyesuaikan dengan selera lokal dalam berbahasa, bahasa Makassar. Literasi sendiri akar katanya adalah literer, yang berarti berhubugan dengan tradisi tulis. “ Jika kata literer ini diadaptasi ke dalam istilah bahasa Makassar, jadilah ia litere, meski dengan pengertian yang berbeda.  Bisalah dicocok-cocokkan, semacam cocologi ( ilmu mencocok-cocokkan) he..he...” Candaku pada Damai Tampan, dan ia pun dengan hati yang berbunga-bunga menyukainya.
 Walhasil, julukan baru ini, Daeng Litere sebagai nama panggilan dari Damai Tampan, sangat populer dan merakyat. Kemanapun Damai Tampan merayap, orang-orang memanggilnya dengan Daeng Litere. Amat sangat populer panggilan ini di Butta Toa – Bantaeng. Sehingga, pernahlah terlontar dalam benakku, agar Daeng Litere mencalonkan diri sebagai Caleg DPRD. Dan dari rumor yang kudengar, amat banyak partai yang melamarnya. Namun Daeng Litere bertutur: “ Cukuplah bagiku untuk menjadi pegiat literasi saja, inilah caraku berkontribusi untuk tanah airku. Dan biarlah penaku yang bicara, menuliskan kata, sebagai senjata untuk menorehkan segala yang bisa kutulis, tentang tanah yang begitu kucintai ini.”
Memang, kecintaan Daeng Litere pada tanah kelahirannya, sungguh teramat dalam. Sekali waktu kutanyakan padanya, “ Daeng Litere, mengapa cintamu pada tanah Bantaeng ini begitu dalam? “
Ia pun bersabda bak seorang bijak bestari, “ tanah ini, Bantaeng wajib untuk kucintai. Laut, gunung, lembah, hamparan sawah, perkebunan semuanya ada. Semua jenis tanaman ada di sini. Banyak ragam jenis hasil laut mudah kutemui. Udara segar kuhirup dengan suntuk. Raga negeriku ini begitu molek untuk disetubuhi.”
“ Orang-orangnya begitu ramah, multi etnik. Sejarahnya sudah amat tua, masih lebih tua dari kota Makassar, maka julukan Butta Toa menjadi pantas untuknya. Bantaeng adalah sepetak surga di bagian selatan pulau Sulawesi. Bagiku, Butta Toa-Bantaeng adalah miniatur Nusantara, Indonesia. Bhineka Tunggal Ika telah tersemaikan di tanah ini. Dengan begitu, wajarlah manakala pelosok Nusantara yang lain bercermin ke Bantaeng.”
Sebegitu fanatikkah Daeng Litere pada tanah kelahirannya? Aku menohoknya agar jangan terlalu membanggakannya. Namun Daeng Litere malah makin bergairah meluapkan kecintaannya di hadapanku. Di raihnya handpone miliknya, lalu aku disuruh misscall. Aku pun melakukannya, lalu bunyilah handpone itu, memperdengarkan sebuah tembang lawas dari Koes Plus, Kolam Susu judulnya. Lalu Daeng Litere menatapku sambil berkata :“ Kolam Susu yang dimaksud dalam lagu itu adalah Bantaeng ini, tanah yang kita pijaki bersama.”
Tembang lawas Koes Plus ini kunikmati bersama Daeng Litere, sambil meresapi bait-baitnya.

Kolam Susu

Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
(Koes Plus)


Dari nada panggil handpone Daeng Litere, yang memperdengarkan lagunya Koes Plus, barulah kutahu pula, bahwa ia seorang penggemar Koes Plus. Sebuah kelompok band legendaris tanah air. Dalam banyak kesempatan kemudian, kebersamaanku selalu diiringi  dengan tembang-tembang lawas Koes Plus yang ratusan jumlahnya. Bagiku, sosok Daeng Litere lumayan komplit.  Simpulan sementaraku, “dia seorang pegiat literasi sekaligus fans Koes Plus. Dahsyat orangnya, aku mengaguminya” ucapku membatin. 

WARISAN


Kini, usia sahaya sudah melata pada hitungan setengah abad. Raga mulai keok. Beberapa organ tubuh mulai menyerah pada ketuaan. Pikiran makin meluap-luap ambisinya. Jiwa seolah mencari jalan abadinya. Melihat keadaan itu, bertuturlah Sang Guru,"saat tepat bincangkan warisan.Apa yang bakal dikau wariskan pada anak keturunanmu? Jika bicara harta benda, wariskanlah secukupnya. Sebab, bila berlebihan, hanya pertengkaranlah yang sesungguhnya terwariskan. Kecakapan hidup jauh lebih penting untuk diwariskan". Pun, Guru Han nimbrung rasa, "itu barulah dikau mewariskan sesuatu pada keturunan biologismu. Lalu bagaimana dengan anak-anak ideologismu? Wariskanlah kepada mereka pikiran-pikiran besar tentang masa depan negerimu. Biarlah bertengkar sejadi-jadinya. Kualitas pikiran, bisa diukur, tatkala generasi berikutnu masih mempertengkarkannya, tepatnya, mempercakapkannya".

Kamis, 02 November 2017

JARAK

Sesosok karib bertandang ke serambi pikiran sahaya. Pun, bertanyalah ia tentang seberapa dekat pada orang penting di negeri, hubungan dengan pejabat. Soalnya, ada keperluan memuluskan kepentingannya. Tak terduga, sebentuk interupsi menyata. Menyahutlah Guru Han, "kepada seluruh makhluk ciptaan, wajiblah dikau berjarak. Sebab, hanya dalam jaraklah pertayaan-pertanyaan dapa muncul". Umpan tutur ini, langsung disambar ujar oleh Sang Guru, "pada pencipta, jangan coba=coba membuat jarak. Karena, cuma jawaban yang mesti dipersembahkan pada-Nya. Bukan pertanyaan yang ditodongkan. Seberapa jauh jarak dikau bentangkan, sebegitu dekat pula Ia menjangkaumu. Bukankah Ia, tak pernah secuil pun berjarak denganmu?"

Rabu, 01 November 2017

MODAL (2)

Tetiba saja, ajang percakapan menjadi arena menguar satir. Setelah tak mengiyakan tawaran kisanak, yang ingin mensurvei sahaya sebagai calon kepala daerah, berdepan-depanlah dengan Guru Han, meminta penjelasan tentang berlaga dalam politik. Maka, tutur pun meluncur, "modal sosial adalah kerja-kerja sosial yang kemudian dicitrakan sebagai kerja politik. Penampakannya harus diumbar sedemikian benderangnya. Bila perlu, tambahlah pencitraan, karena iklim politik, sebentuk perlagaan citra". Dan, masalah modal uang, biarlah Sang Guru yang menabalkan, bahwa, "uang diperlukan untuk menyewa kendaraan politik. Pun, sewa-sewa lainnya. Jangan lupa pula, sewa buat tukang doa dan zikir. Bukankah di era kiwari ini, ritus keagamaan telah ikut menjadi industri politik?".

Selasa, 31 Oktober 2017

MODAL (1)


Seorang kisanak mengajak sahaya melibatkan diri dalam perhelatan politik. Maksudnya, ikut menjejaki peluang menjadi kepala daerah. Biaya surveinya sudah disiapkan olehnya. Sebelum mengiya, tetiba saja Sang Guru, berfatwa duluan, "bagaimana mungkin dikau terjaring survei, manakala sepak terjang hidupmu selalu memilih jalan sunyi? Survei hanya cocok bagi insan yang memang suka memajang dirinya, sekaligus mempertontonkan apa yang telah dibikinnya". Karenanya, Guru Han tak ketinggalan menimpali tutur, "pun, dikau mesti menyiapkan modal perlagaan politik persaingan. Berupa, modal sosial dan modal uang. Tanpa keduanya, tiada guna tampangmu ikut nangkring di lembaga survei".

Kamis, 19 Oktober 2017

BERBAGI

Jumat Mubarak yang mekar benderang. Aura keberkahan menghidu segenap kemelataan hidup dan kehidupan. Hari, di mana berjubel insan ingin berbagi kebaikan, buat menandainya. Bersedekah, dan yang serumpun dengannya, menjadi pilihan perdana. Pengemis, peminta sumbangan dan panitia masjid beriang gembira. Sahaya berdepan-depan dengan Sang Guru, yang segera saja mengeluarkan titah, "bila ingin berbagi, carilah orang buta. Kalau mau memberi temuilah sosok bisu. Manusia buta dan bisu, mencegahmu dari puja-pujinya". Guru Han, yang sedari awal ikut bersila, pun unjuk tutur, "Jika berbagi, membisulah. Kala berbuat baik, membutalah".

Rabu, 18 Oktober 2017

SENANG-BAHAGIA


Tetangga kiri-kanan, depan-belakang sahaya sedang moncer bersaing menyuntukkan diri dalam mengaktualkan hobi, memelihara binatang piaraan. Burung, anjing, kucing, ular, ayam, dan ikan, hanyalah sebagiannya. Biayanya, bisa melebihi anggaran pendapatan dan belanja keluarga menengah ke bawah. Sesekali ikut menikmati kegemaran mereka. Hingga, sekali waktu Guru Han mampir menengok, tutur pun menguar, "betapa mahalnya sejumput kesenangan, padahal yang dibiayai itu adalah terungku diri.". Sebab, kata Sang Guru, "begitu piaraan-piaraan itu raib dari tuannya, keriangan pun ikut gaib. Kalut pikir dan rusuh hati menyata. Alamat tidak bahagia. Sekali lagi, kesenangan dan kebahagiaan unjuk nyata dalam perbedaan". Lalu, Guru Han mengunci, "kesenangan serupa ruang memiliki, kebahagiaan sebentuk ranah menjadi".

Senin, 09 Oktober 2017

MATA

Sahaya telah menggunakan dua biji mata buat melihat kesempurnaan atas apa yang dibikin. Tetapi, apa lacur, nampak saja ada orang lain menemukan kekurangan dalam bikinan itu. Karenanya, Sang Guru bersabda, "semestinya, dibutuhkan mata orang lain guna menyempurnakan buatan diri". Pun, disambarlah oleh Guru Han umpan sabda itu, dengan penabalan tutur, "mata orang lain, lebih tajam telisiknya pada diri, tinimbang mata sendiri. Jika ada insan yang memataimu, bersyukurlah".

Jumat, 01 September 2017

KURBAN

Selepas tunaikan salat Idul Adha, Idul Kurban, beringanlah Sahaya, Guru Han, dan Sang Guru, menuju tempat pemotongan hewan kurban. Sahaya bertanya, mengapa mesti hewan yang disembelih, selain daripada maksud menyembelih diri sendiri, memotong sifat hewani pada diri? Sang Guru lalu bersabda, “Sesungguhnya, yang lebih penting dalam pelajaran ibadah kurban ini, meng-Ibrahim-kan diri. Meluapkan cintanya pada Sang Mahacinta.” Tak terduga, Guru Han ikut menegaskan, “menjadi penting pula meng-Ismail-kan diri, memasrahkan diri pada ketundukan atas cinta pada Sang Ayah, sebagai manifestasi cinta pada Sang Mahacinta”. 

Kamis, 31 Agustus 2017

BUKA (PUASA)

Tibalah buka puasa bersama. Persepakatan awal pun terwujud. Sehabis berbuka, sahaya kesulitan bergerak. Sama sulitnya, tatkala matahari mulai tergelincir. Apatahlagi, ketika senja mulai meranum, lelahnya berlipat-lipat. Melihat keadaan itu, Guru Han berucap lirih, “begitulah akibatnya bila puasa masih sebatas menahan lapar dan haus. Buka puasa menjadi arena balas dendam. Loyo saat berpuasa, karena lapar dan haus, loyo pula setelah berbuka, sebab kekenyangan. Makan dan minumlah secukupnya, sesuaikan dengan kebutuhan tubuhmu”. Sang Guru menyambar umpan ucap itu, dengan sabda yang mencengangangkan,”kalian yang berbuka, tapi akulah yang kenyang. Sebab, keterpenuhan butuhnya tubuhmu, menjadi syarat kebutuahnku pada tubuh tunai”.         

Rabu, 30 Agustus 2017

ARAFAH

Hari ini, seluruh jamaah haji, berkumpul di Padang Arafah. Inilah puncak ibadah haji. Semacam muktamar, setidaknya, dalam dimensi keruhanian. Pada belahan jagat lain, bertemu pula, beberapa sosok yang sudah lama saling mencari. Tersebutlah, Sang Guru, Guru Han, dan Sahaya. Mereka tidak berhaji, namun sama-sama berpuasa di hari Arafah. Ajaibnya, pahalanya mirip-mirip ganjarannya. Pada persuaan inilah, kerinduan meleleh, ibarat bongkahan es yang mencair. Perjumpaan ini melahirkan kesepakatan, berbuka puasa bersama. Dan, putusan lain, yang cukup penting, ketiganya berjanji, untuk senantiasa bertemu, kapan dan di mana pun. Mau di jenjang langit, pelataran pikiran yang gelisah, serambi hati yang bergejolak, dan pada jiwa yang merindu. Dari situasi merekalah, urita akan perbincangannya, perlu dinanti.

Jumat, 07 Juli 2017

HABILIAN

aku telah memilih jalan Habil
jalan segenap penempuh cahaya
yang ujung jalannya bermandikan cahaya-Nya
Jalan Habil, jalan sekotah kekasih-Nya
para Nabi, segelintir Ma'sumin, dan sekaum Insan Suci
telah meniti di jalan lurus nan purba ini
Selaku pemamah jalan purba
belenggu kegelapan senantiasa mengintai
tergelincir pun meniscaya
selaku pengikut jalan cahaya
terungku bias cahaya selalu menawan
terjerumus pun memungkin
Bagi para pejalan di jalan purba nan bercahaya
kegelapan dan bias cahaya sama saja adanya
keduanya penjara yang berbeda tampakan
aku sesekali tergelincir dalam kegelapan
aku sudah seringkali diterungku bias cahaya
namun masih saja abai untuk memerdekakan diri
padahal, janji paling mula nan mulia
memilih jalan Habi; menjadi Habilian
jalan cahaya

Sabtu, 01 Juli 2017

BERGANDENGAN

kita sudah bersetuju, saling bergandeng tangan, menyimpai petak demi petak surga di bumi, yang sementara digossipkan datar dan bulatnya

kita telah seikat, melebur jiwa pada gerakan mencicil peradaban sebagai bekal, bakal warisan buat sekaum pewaris di jagat

batu bata kita susun, sebagai pagar kokoh, dari patok surga, pertanda buah gandengan tangan, menyata senyatanya dalam kesunyatan

Pada mustahaknya perikatan, kita bisa tergelincir di mulusnya jalan juang

petakpetak bangunan surga, akan runtuh berantakan, karena ulahku dan ugalmu, mencungkil sebiji batu batanya

satu bata memang soal sepele, tiada berarti manakala masih berupa gundukan, tapi, jika serupa susunan, pasti runtuh tatkala sebijinya tercungkil dari satuannya

bedalah gundukan dan susunan apik batu bata, satu nirrencana, lainnya penuh rekayasa

bukankah jerih payah tak sua lelah, mengubah gundukan menjadi susunan?

cegalah susunan itu, kembali meruntuh jadi gundukan

bila perlu, tanganku dan tanganmu, tangan kita yang bergandengan itu, putus karena menguatkan simpainya.

Minggu, 25 Juni 2017

PANGGILAN

bermil jarak kutempuh
berliter keringat kutumpah
beribu ayunan kaki kulangkah

datang memenuhi panggilanmu
yang semula kukira panggilan tuhan
kini kumengerti hanyalah panggilan tuan

salahku yang tak mungkin kumaafkan
sebab kebodohanku meyakini tuan sebagai wakil tuhan
memahamkan diri tentang wajah tuhan ada pada tuan
ternyata tuan menista wajah tuhan

Makassar, 2017.

MUARA

harihari ini, meluapluap
harihari kini, terbiritbirit
harihari dini, terburuburu

luapan katakata
belum juga surut
biritan tuturtutur
tak jua reda
buruan uritaurita
tidak pula nyata

sungai tak sanggup lagi
menampung luapan, banjirlah
bengawan nirdaya
melapang biritan, bahlah
kali tiada sudi
merela buruan, kayaulah

sungai, bengawan, kali
banjir, bah, kayau
sungai kebanjiran kata
bengawan kebahan tutur
kali kekayauan urita

hanyalah muara harapan terakhir
pada lautan semua berakhir

tapi jangan menari di permukaan gelombang laut
menyelamlah pada kedalaman samudera

permukaan selalu menawarkan riak
kedalaman menyajikan hening

Makassar, 2017

TERUNGKU

bila saja dirimu sudah tiba
pada ketetapan putusan
terhukumlah dirimu
maka bukan soal benar salah yang terpenting

menjalaninya jauh lebih penting
bincang benar salah batasnya ada di jeruji terungku
di balik jeruji dirimu bisa lebih merdeka
sebab dirimu hanya berurusan dengan dirimu

pada kala demikianlah
aku ingin menandangi dirimu
entah dengan cara apa saja
setidaknya,  akan kubawakan pena dan kertas

torehkanlah segala kisah dirimu
tentang dirimu yang sejati-jatinya
soal dirimu yang sesari-sarinya
buat pelajaran bagiku yang di luar jeruji terungku

dirimu diterungku namun merdeka untuk menuliskan segalanya
diriku dimerdekakan tapi terterungku buat menuliskan sekotahnya
terterungku bisa mewujud arena baru menjajal kebebasan
terbebas boleh menjadi lahan memborgol terungkuan

Makassar, 2017.

ES

daku keliru sekeliru-kelirunya
telah mendapukmu sebagai kaum yang keras bagai batu
ternyata hanya serupa air dingin yang beku
es batu kata orang kampung

berkaum bak es batu
dikau menggempur musuh-musuhmu
sunyata cuma butuh udara terbuka agar mencair
meleleh kata orang kota

jikalau jatidirimu masih sebatas es batu
usahlah bertingkah seperti kerasnya batu
manakala saridirimu sebatas air beku
taklah perlu menabalkan diri selaku padatnya batu

air yang beku karena dingin yang memadatkannya
tetaplah air namanya
hakikatnya mencair-meleleh
mengalir ke posisi yang lebih rendah serendahnya tempat

musuh-musuhmu cukup buat kolam
merendahkanmu, menampungmu menjadi comberan
agar bau busukmu menyeruak ke berbagai penjuru mata angin
dan menjadi genangan buat beternak nyamuk

Minggu, 18 Juni 2017

Lailatulqadr

pernahkah dikau menyaksikan, cinta seorang perempuan bersahaja, yang ditubuhkan pada lelaki sederhana?
cintanya tiada berhingga 
apatah lagi bertepi.
melewati langit ketujuh
melampau luasnya samudra
itulah cintanya laila pada kadir
kala malam lailatulqadr
hanya perempuan yang berlaila dan lelaki berqadr
yang mewujudkan kesempurnaan percintaan
cintanya dan percintaannya
mewujudkan manifestasi ilahiah dalam keperempuanan dan kelelakian
kelembutan dan keperkasaan
kecantikan dan ketampanan
semulanya dipisahkan
kini disatukan
adakah yang melebihi, tatkala manifestasi ilahiah
mewujud dalam kebersatuan?
dia perempuan yang melelaki
dia lelaki yang memperempuan
perempuan dan lelaki tak ada lagi
pun laila dan kadir tiada jua
hanya lailatulqadr

Sabtu, 20 Mei 2017

UMPAN

Adalah para pegiat literasi di Pustaka Bergerak, mengumpan usulan, dan langsung disambar oleh penguasa. Lahirlah kebijakan bebas ongkos kirim untuk pengiriman buku buat komunitas literasi, via PT Pos Indonesia, setiap tanggal 17, pada bulan berjalan. Ini sebentuk contoh dari lemparan umpan pegiat literasi, dan kepekaan penguasa membijakinya. Pegiat literasi perlu memperbanyak dan mempermahir lemparan umpannya, pun , saat yang sama mesti penguasa memperpeka inderanya, agar mampu merasakan bongkahan umpan itu. Sinergi demikian, saya anggap sebagai kredo pegiat literasi.

Jumat, 19 Mei 2017

SILATURRAHIM

Pada kisanak-kisanak yang melelangkan diri dalam gerakan literasi, apa pun model yang kisanak pilih, perlulah berkali-kali menyuntik diri dengan spirit bergerak. Maka mendatangi persamuhan literasi, bertemu dengan begitu banyak sosok yang mewakafkan diri, demi kejayaan gerakan literasi, adalah salah satu bentuknya. Silaturrahim antar sesama komponen gerakan literasi, akan memperpanjang usia gerakan. Ungkapan yang sederhana ini, pun saya dedahkan sebagai kredo pegiat literasi.

Kamis, 18 Mei 2017

BUKU

Buku itu seperti makanan buat jiwa. Jadi, perlu menyantap makanan yang punya nilai gizi tinggi, agar bisa mengayakan jiwa. Jika segenap kisanak ingin jiwanya hidup, benderang auranya, maka bacalah buku yang menyalakan jiwa. Dan, bila berwakaf buku, sedapat mungkin yang menggerakkan jiwa, agar manfaatnya maksimal. Sebab, buku itu ada dua macam, yang menghidupkan dan yang mematikan jiwa. Sebentuk penegasan tutur ini, saya pun menabalkannya sebagai kredo pegiat literasi.

IBADAH

Pada segenap kisanak, yang sering bertanya, tentang bagaimana menumbuhkan tradisi literasi pada anak? Tiada jalan lain, dengan memberi teladan terlebih dahulu dalam membaca. Lalu tancapkanlah pada mereka, bahwa membaca itu adalah ibadah. Karenanya, membaca bagi mereka adalah harga mati, yang tak boleh ditawar. Dan, siapkanlah segala perngkatnya, untuk membentengi harga ibadah baca. Pun, yang demekian, saya serupakan dengan kredo pegiat literasi.

Minggu, 09 April 2017

SEBAB-AKIBAT

Wahai kisanak para pewakaf buku di komunitas-komunitas. Ragamu boleh tetap di mukimmu, tapi buku yang dikau wakafkan akan mengembara sejauh-jauhnya, setempuh komunitas itu bergerak. Janganlah kaget, jika kelak ada cubitan-cubitan kebaikan menghidumu. Sesungguhnya, semua itu sebagai akibat dari perbuatan baikmu dalam berwakaf buku. Peramalan ini, pun saya masih golongkan sebagai kredo pegiat literasi.

Kamis, 06 April 2017

PENGHAMBAT

Sebab setiap buku yang diwakafkan oleh para pewakaf, menyisakan harapan ganjaran pahala, yang mengalir tiada henti, maka selayaknya, segenap kisanak yang telah menikmati buku yang dipinjam itu dikembalikan pada komunitas literasi tempatnya meminjam. Pasalnya, tatkala buku-buku itu tertahan di mukim kisanak, dapat dipastikan buku itu tidak produktif dalam menghasilkan pahala buat pewakafnya. Maukah kisanak menjadi batu sandungan tersumbatnya aliran pahala para pewakaf? Tentulah tidak. Dengan begitu, jikalau di mukim kisanak masih tersimpan buku-buku yang dipinjam, segeralah memulangkannya pada komunitas asal muasal buku itu. Instruksi ini, saya pantaskan sebagai bagian dari kredo pegiat literasi.

Selasa, 04 April 2017

ALTRUISME

Jika altruisme, yang berlapikkan suka-rela, mewujud kesukarelaan, lalu menjadi asas berkomunitas di gerakan literasi, maka percayalah, itulah harta karun yang tak pernah habis sumber dan masa pakainya. Karena kisanak suka, maka tiada yang bisa menghalanginya. Sebab kisanak rela, maka tak ada yang mampu membendungnya. Asas dan artikulasi yang menguatkannya, benar-benar merupakan piranti penentu gerakan literasi. Sabda ini, saya pastikan sebagai kredo pegiat literasi.

Jumat, 31 Maret 2017

LAMA-BARU

Bagi para pengelola ruang baca, atau apapun namanya yang sepadan dengan perpustakaan di komunitas literasi, usahlah mempersoalkan buku bekas-lama atau baru yang diwakafkan oleh para dermawan. Soalnya, buku baru dan lama itu, relatif posisinya di mata para pembaca. Bisa saja buku itu sudah lama terbit, bekas pula, namun bagi pembaca yang baru menemukannya, atau membacanya, tetaplah buku itu baru baginya. Boleh jadi, buku itu baru secara fisik, namun merupakan cetak ulang, bagi kisanak yang sudah membacanya, tentulah buku itu tergolong lama. Jadi, terimalah semua jenis buku, soal kebaruan dan keusangannya, serahkan saja kepada para pembacanya. Sikap yang rada bijak ini, tetap saya tabalkan sebagai kredo pegiat literasi.

Kamis, 30 Maret 2017

KHATIB-KHUTBAH

Hari ini, Jumat bermekarkan berkah. Berharap sudilah kiranya, ada segelintir Khatib Jumat, dalam khutbahnya, menyampaikan penuh ajakan pada para jemaah, agar senantiasa berwakaf, khususnya berwakaf buku pada komunitas literasi, yang menyiapkan ladang ruang bacanya, untuk ditaburi buku-buku. Tegaskanlah, bahwa berwakaf buku, sama derajatnya dengan perbuatan menyumbang lainnya, sama-sama diganjar pahala oleh Yang Maha Pemurah. Harapan saya ini, pun tidak lepas dari kredo pegiat literasi.

Rabu, 29 Maret 2017

MOTIF

Tidaklah perlu bergundah gulana, tentang apa motif terdalam dari seorang pewakaf buku, tatkala berwakaf buku pada sekaum komunitas literasi. Sebab, yang dibutuhkan darinya adalah buku wakaf itu, bukan motif berwakafnya. Biarlah motif-motif berwakaf itu menjadi urusan dia dengan dirinya, dan penciptanya. Toh, yang kita catat adalah jumlah buku wakafnya sebagai bentuk pertanggungjawaban publik, sementara malaikat akan mencatat motif-motif itu. Pemilihan sikap dan pemilahan motif, yang saya ajukan ini, masih terkait langsung sebagai kredo pegiat literasi.

Selasa, 28 Maret 2017

BANK

Bila saja kisanak berinvestasi, atau menabung pada sebuah bank, bukankah akan mendapatkan imbalan keuntungan berupa bunga, bisa pula bagi hasil, dan lainnya? Makin besar investasinya, pun makin lebih baik program jasanya, jelas akan memberikan imbalan yang sepadan. Demikian pula, jika kisanak berinvestasi pada sekaum komunitas literasi, yang menyediakan program wakaf buku, sesungguhnya berwakaf buku padanya, serupa dengan berinvestasi itu. Makin banyak buku, apalagi kalau bukunya yang berkualitas, maka akan banyak pula imbalan yang bakal diterima oleh pewakaf. Ilustrasi ini, saya ajukan, agar lebih jelas maksud dari suatu tindakan berwakaf buku. Dan, ini saya masih meyakininya sebagai kredo pegiat literasi.

TEMAN

Saat ini, teman saya di facebook sudah penuh, berlapikkan jatah pertemanan. Lalu, terbayanglah sudah, jikalau saja setiap orang itu, berwakaf buku satu eksamplar saja, berarti ada 5000 eksamplar buku yang siap didonasikan ke komunitas-komunitas literasi. Dahsyat bukan? Bayangan saya ini, pun masih merupakan kredo pegiat literasi.

Rabu, 22 Maret 2017

BERBURU

Tiada bencana yang lebih menggelikan, tatkala sebuah perpustakaan, atau semacamnya, yang memilki buku, namun tidak ada yang datang membaca maupun meminjam buku . Karenanya, saatnyalah para pengelola berburu pembaca, seperti seorang gembala yang menggiring ternaknya agar masuk ke kandang. Boleh pula menandanginya ke tempat-tempat mereka berkaum. Kegelian saya ini, pun masih serupa dengan kredo pegiat literasi.

Senin, 20 Maret 2017

PENYAKIT

Jika komunitas literasi itu diibaratkan sebagai tubuh, maka ia pun senantiasa dijangkiti penyakit. Mulai dari yang ringan, hingga yang akut. Namun, bila mampu menjaga kesehatan tubuh, di mana setiap gejala sakit mampu diubah menjadi antibodi, maka tubuh menjadi kuat. Anggaplah ada proses imunisasi. Penyakit dalam yang paling berbahaya, kalau ada persona yang bersolo, padahal fitrahnya komunitas, sesarinya adalah komune. Penyakit luar yang mengancam, tatkala bantuan menjadi bencana, serupa bantuan tapi mematikan jiwa komunitas. Masalah-masalah yang muncul dalam komunitas, seharusnya makin menguatkan, bukan melemahkan. Risau-risau semacam ini, pun masih saya anggap sebagai kredo pegiat literasi.

Minggu, 19 Maret 2017

DIKTUM

Bagi komunitas literasi yang sudah tumbuh, berkembang bak tanaman yang subur, dan berbuah pula, menjadi kewajiban baginya untuk menularkan pengalaman, pengetahuan atau apa saja yang dapat menunjang kelangsungan hidup suatu komunitas literasi. Tiada yang lebih membahagiakan, bagi seorang pegiat literasi, yang mengabdi pada komunitas literasi, bila ikut membidani lahirnya, merawatnya, komunitas lain. Bagi sekaum pegiat di komunitas literasi, berlaku diktum suci, hadirnya komunitas lain merupakan cermin diri atas diri komunitasnya. Penegasan ini, saya maksudkan sebagai bagian dari kredo pegiat literasi.

Jumat, 17 Maret 2017

LAHAN

Bersyukurlah, wahai segenap kisanak. Bila di seputarmu ada komunitas literasi. Sebab, dengan begitu, telah tersedia lahan kebaikan buat menegakkan jalan-jalan juang. Pertanyaannya, bagian apa yang mesti kisanak ambil, saat memelatai lahan juang itu? Tanya yang saya ajukan ini, pun masih selaras dengan kredo pegiat literasi.

Kamis, 16 Maret 2017

PINJAM-KEMBALI

Meski ada ungkapan populer, "Orang bodoh yang meminjamkan buku, tapi lebih bodoh lagi, orang yang mengembalikan buku itu" sudah diimani begitu kukuh. Waima ungkapan itu bernada guyonan, namun banyak yang mewujudkannya. Mestikah kita sebodoh itu? Jadi, bila saja kisanak meminjam buku, di salah satu komunitas literasi, kembalikanlah! Sebab, yang meminjamkan itu adalah sekaum orang pintar, yang jika kisanak mengembalikannya, berarti kisanak telah menjadi pintar berlipat dua. Pintar karena membacanya, dan lebih pintar lagi sebab mengembalikannya. Bagi saya, penegasan ini, serupa dengan kredo pegiat literasi.

Rabu, 15 Maret 2017

WAKAF (LAGI)

Sudahkah kisanak berwakaf buku? Bila belum, atau sudah pernah, tapi ingin mengulangi perbuatan baiknya, segeralah sambangi komunitas-komunitas literasi di seputar kisanak. Nyatakanlah bahagia kisanak dengan berwakaf buku, maka kebahagian baru akan datang menyerbu bertubi-tubi. Percayalah! Pertanyaan ini saya ajukan, masih merupakan bagian dari rukun iman pegiat literasi.

Selasa, 14 Maret 2017

SUAKA

Semestinya, perpustakaan itu adalah tempat suaka bagi buku, yang aman dan nyaman. Karenanya, bila suatu komunitas lietarsi punya perpustakaan, terimalah semua jenis buku, baik buku itu sependapat ataupun berseberangan dengan pengelola. Toh, buku-buku yang berhimpitan di rak-rak buku, tidak pernah gaduh, meski antara yang satu dengan lainnya, berbeda isinya. Maklumat saya ini, masih merupakan bagian dari rukun iman pegiat literasi.

Senin, 13 Maret 2017

WAKAF

Berwakaflah buku ke komunitas-komunitas literasi dengan sepenuh jiwa, seolah yang menerimanya adalah dirimu sendiri. Jadi, bila berwakaf dengan buku yang baik kualitasnya, bernilai gizi tinggi, maka dikaupun bisa merasakan lezatnya hasil wakafmu itu. Sebab, sesungguhnya, jiwa itu saling beresonansi dalam kebahagiaan. Ujar saya ini, masih saya anggap sebagai rukun iman pegiat literasi.

Minggu, 12 Maret 2017

ADIL

Di dalam pelukan tradisi literasi, kedudukan setiap orang sama. Tradisi literasi bakal menghidu siapa saja, bila ia mengupayakannya. Dan, terkadang orang yang tinggi jenjang pendidikannya, lebih rendah tradisi literasinya tinimbang orang yang rendah tingkat pendidikan formalnya. Pun, bisa juga, orang yang di pelosok desa, jauh lebih maju tradisi literasinya, ketimbang yang di pusat kota metropolitan. Makanya, kita semua mestilah berlaku adil, tidak boleh melihat jenjang pendidikan seseorang, maupun wilayah mukimnya, dalam ajakan gerakan melek literasi. 

Selasa, 21 Februari 2017

WASSALAM

Kini, sahaya sudah memasuki usia 50 tahun. Tidak sanggup menghitung jumlah yang memanjatkan doa, harapan dan apresiasi, baik lewat media daring maupun luring. Guru Han pun tak ketinggalan, dilantunkannya ucapan HBD, lalu memberi hadiah spesial berupa tuturan dan ajakan: "Lima puluh tahun jatah usiamu dikau mangsa, anggaplah itu sebagai perjalanan kembara. Saatnya balik haluan, rintis jalan pulang. Sembari menapaki kepulangan, mampir dulu di selasar jiwa Sang Guru, menimba bekal pulang. Jadi, ke depannya, bakal ramai dunia, sebab kita bertiga akan menggelar persamuhan. Bertigalah kita selaku kunang-kunang, yang bakal memberikan kilauan, waima hanya sekunang. Kini, jeda dulu. Wassalam."

Senin, 13 Februari 2017

KUNANG-KUNANG

Tatkala seorang kisanak bertanya, “Apa yang indah dalam kegelapan?” Tanya ini membuncah sebagai bentuk ketidakpuasan atas kegelepan, sebagai efek mati lampu. Sahaya kikuk menjawab, untunglah Guru Han unjuk bicara: “Yang indah dalam kegelapan adalah kunang-kunang. Tiadalah arti kunang-kunang di terang benderang. Jadi, jikalau terjadi kegelapan, termasuk karena mati lampu, sesungguhnya itu adalah doa kaum kunang sejagat, agar punya kesempatan untuk memperunjukkan keindahannya.”

Jumat, 03 Februari 2017

PALSU

Berlama-lama mengasingkan diri dari persamuhan pikiran, ada baik dan buruknya. Berita baiknya, tidak pusing dengan segala urita yang bisa mengaduk-aduk jiwa. Kelemahannya, terasing dari dunia luar, seperti kataklah di bawah tempurung. Karenanya, sahaya pun pergi menghadiri persilatan pikiran, yang membincang soal-soal kekiwarian. Menyalaklah salah seorang narasumber, tentang bahayanya berita palsu. Guru Han yang hadir pula, menembakkan peluru tuturnya: "Amat mudah menghadapi berita palsu, cukup dengan menggunakan telinga palsu. Atau, bikinlah saluran pipa dari telinga kanan ke kiri, sehingga berita itu, hanya numpang lewat saja. Dan, selebihnya, kabar itu akan terbang bersama angin."

Kamis, 02 Februari 2017

TERPERANJAT

Sudah lebih sepekan surya tak menampakkan batang cahayanya. Rada sulit membedakan pagi, siang, dan sore. Sekotahnya ingin menjadi malam. Warga kota beragam sikapnya atas terungku gelap, yang diselingi hujan deras dan liukan angin kencang. Sahaya lebih banyak di mukim, mendaras buku kehidupan dan mengeja kitab kehayatan. Dalam khusyuk yang suntuk, tetiba saja Guru Han berbisik lirih: "Apa yang bisa dikau perbuat, bila saja surya terbit, dan memilih arah barat sebaga titik mula edarnya? Bukankah itu selaku penanda semesta sudah mau bubar? Akhir dunia menyata?"

Rabu, 01 Februari 2017

NU

Kita hidup di era yang terbirit-birit dan terburu-buru. Hayat kita penuh keterbiritan dan keterburuan dalam menyikapi keadaan yang ada. Di majelis malam jum'atan, sekaum bakal berjamaah lagi, membincang topik yang hangat di seputar. Dan, kali ini pastilah tentang NU (Nahdatul Ulama), yang keruh kejernihan airnya, gegara diaduk-aduk. Istilahnya, mendadak NU, ada demam NU. Sahaya berdegup jelang persamuhan itu, waima Guru Han telah membekali sikap, sebentuk pengetahuan, bahwa, "NU itu bukan serupa ranting pohon yang mati jiwanya, sehingga mudah patah atau dipatahkan. NU itu, serona ranting pohon yang jiwanya hidup, sehingga amat lentur dan dilenturkan. Berbedalah ranting kering kerontang dan tangkai hidup menghidupkan. Satu sebagai ranting kayu bakar, lainnya, tangkai yang menumbuhkan bibit kehidupan."

Kamis, 26 Januari 2017

TAKDIR

Pagi cukup elok dikencani, berleha-leha atasnya, dan bermanja-manja padanya. Namun, perkara cari nafkah sudah menanti. Sahaya mesti meninggalkan mukim, menyongsong rezeki yang ditakdirkan. Apa lacur, salah satu kaos tangan, jatuh entah kemana. Sikap pasrah menawarkan diri. Bagi para pemotor, kaos tangan serupa dengan asesoris yang pokok. Setiba di lahan rezeki, pada teras tetangga, sang kaos tergeletak dengan adem. Wow..., nasib keduanya dipertemukan lagi, menjadi sepasang kekasih yang menjaga tangan kanan dan kiri dari panggangan surya. Pun, di ranah batin, Guru Han berbisik lirih: "Sedangkan Adam dan Hawa pernah terpisah amat jauh, timur-barat atau utara-selatan. Tapi, takdir menyetubuhkannya untuk bersatu. Apatah lagi, jika sekadar urusan kaos tangan."

Rabu, 18 Januari 2017

HOAX

Pada sudut kampung yang tak begitu mengenal gadget, apatah lagi diterungku olehnya, urita di sosmed bukanlah soal yang perlu dikhawatirkan. Walaupun jua, ada seorang kisanak yang tetap bertanya tentang apa itu hoax. Sahaya melirik Guru Han, selaku penanda minta fatwa. Tutur pun menguar: "Bagi kisanak yang kuat tradisi literasinya, apatah lagi literasi media digital, hoax itu, serupa dengan lalat yang senantiasa bertengger di badan, kadang mengganggu. Tapi, begitu tubuh bergerak, maka terbanglah ia. "