Senin, 29 September 2014

BIJI (2)


Sang Guru berkhotbah di selasar jiwaku: " Han..., tahukah dikau bahwa tidak semua orang layak ditanam bijinya? Orang-orang yang hanya selalu menjadikan dirinya sebagai pusat dari sebuah pusaran kegusaran hidup itulah yang harus dicegah untuk tumbuh. Orang demikian akan mematikan kehidupan, sebab hanya bijinyalah yang selalu ingin ditumbuhkan."

BIJI (1)


Terkagum-kagum daku memandang pohon mangga yang lagi ranum buahnya. Pelajaran apa yang paling mungkin bisa kugapai dari ketakjubanku ini? Lamat-lamat Sang Guru menyata dalam bisik, di sela-sela berisiknya aneka burung pemakan buah, tuturnya: " Han..., tidak semua biji dari buah bisa tumbuh. Hanya biji pilihanlah yang menumbuhkan kehidupan."

Jumat, 26 September 2014

TUA


Aku bercermin, nampak uban pada rambutku yang rontok. Kuperhatikan raut muka rupanya keriput mulai membentuk bak petak-petak sawah. Kuberlari, nampaknya tulang belulang bunyi mengilu. Kumemandang hamparan, rabun pula yang menampak. Usia makin tua jawabannya. Meski demikian, Sang Guru tetap setia menghibur dengan tutur: " Han..., usahlah risau pada usiamu yang makin menua. Tua bukan untuk dilawan, tapi diakrabi. Uban, keriput, ngilu adalah sejenis alamat yang diberikan Tuhan, sebagai penanda agar bersiap, sewaktu-waktu buat kembali padaNya. Bersyukurlah, sebab Dia masih memberi alamat padamu, moga dikau tidak kesasar, tak mengerti jalan kembali."

PANGGUNG


apa yang bisa kukisahkan
pada anak cucu kelak

kala mereka bertanya

apa yang buyut bikin
saat karut marut kehidupan negeri
hanya ditentukan oleh segelintir orang?

akankah kujawab dengan jujur
bahwa daku tak mampu berbuat
tak lebih dari sekadar penonton
atas orang-orang yang kehilangan panggung

bagi orang yang akan kehilangan
apatah kehilangan panggung
bakal menempuh bermacam cara
demi sintas panggungnya

sebagai jawabku buat anak cucu
inilah tuturku sebagai penyambung
walau tak kuat berhadapan
dengan para pemanggung

sebab daku tidak lebih
dari seorang pemanggul panggung

Kamis, 25 September 2014

PENDAM



Jumat Mubarak kali ini lain dari biasanya bagiku. Pada jumat-jumat terdahulu, selalu saja ada yang bisa kungkapkan sebagai pelipur lara atas suasana sekitar. Kali ini benar-benar buntu. Memang pekan ini adalah pekan yang kalut, kacau pikiran dan rusuh hati melilitku. Sang Guru menyambut hangat keadaanku ini dengan sejumput tutur: " Han..., yang dikau alami itu mestinya memang harus dipendam. Sebab jangan sampai dikau menulis atau bertutur masih dalam suasana kacau. Kekacauan akibat tulisan dan tuturmu jauh lebih berbahaya dari keadaan kacau di kisaranmu, sebab engkau telah ikut menambahkannya."

Senin, 22 September 2014

DAENG LITERE (3): GEDUNG PERTIWI

Entah siapa awalnya yang memberi nama gedung itu dengan nama Pertiwi. Yang pasti, makna pertiwi adalah berarti bumi. Mungkin makasud si pemberi nama dimaksudkan agar gedung itu membumi bagi masyarakat, atawa tempat masyarakat membumikan maksud dan tujuaannya.

Gedung Pertiwi Bantaeng, terletak bersebelahan dengan rumah jabatan Bupati Bantaeng. Selama ini, Gedung Pertiwi memang berfungsi sebagai tempat hajatan, membumikan maksud dan tujuan masyarakat Bantaeng. Pernah  dipakai  sebagai tempat resepsi perkawaninan, tapi belakangan lebih berfungsi sebagai tempat pertemuan, seminar-diskusi-lokakarya-konfrensi dan pementasan bagi organ-organ kemasyarakatan, khususnya organ-kounitas kaum muda Bantaeng.

Namun gedung itu kini beralih fungsi. Oleh Pemerintah Kabupaten Bantaeng disulap menjadi Ruang Pamer Investasi. Awalnya, saya biasa saja menanggapinya. Nanti setelah saya sampaikan pada seorang kawan pegiat literasi-seni-sastra, Dion Saef Saen barulah saya serius memikirkannya. Apa pasal? Ketika berita ini kuutarakan pada Dion, sejenak ia tertegun, menghela nafas lalu menarik nafas panjang, dan matanya berkaca-kaca. Ada bening kristal yang ingin menyembul keluar dari kelopak matanya, tapi malu, hingga hanya meleleh saja. Air matanya meleleh, sedih tak terkira, galau tak terduga.

Saat itu juga kuajak Dion mencari udara segar. Meski malam itu agak sejuk, tapi dalam jiwa ada panas yang menggeliat. Maka kuajaklah ke tempatnya Daeng Sido, warung sarabba legendaris, telah ada sejak tahun 1972, guna minum sarabba, biar hawa sejuk dan jiwa panas melarut dalam sedapnya seruputan demi seruputan sarabba. Malam itu, tidak ada perbincangan serius dengan gedung itu, saya takut melarutkan Dion dalam kesedihan yang berlipat-lipat.

Saya membatin, lebih baik masalah gedung ini kuobrolkan dengan Daeng Litere, siapa tau ada terobosan-terobosan pemikiran yang lebih mendalam, tinimbang larut dalam sedih.

Tiga hari kemudian, saya bertandang ke mukimnya Daeng Litere. Saya pilih waktu sore, agar perbincangan lebih santai, dan tak mengapa jikalau saja berlanjut hingga larut malam. Toh, memang kebiasaanku dengan Daeng litere, makin suntuk makin dalam pula kualitas perbincangan.

Basa-basi pun mengawali percakapanku dengan Daeng Litere, dan dalam sekejap suguhan kopi hitam khas Bantaeng, kopi Banyorang-Ereng-Ereng pun sudah ikut tersaji. Awalnya, saya amat gelisah untuk mengutarakan maksud kedatanganku untuk berbincang tentang Gedung Pertiwi. Saya takut, jangan-jangan Daeng Litere sama saja rasanya dengan Dion. Betul saja dugaanku. Matanya berkaca-kaca menahan kegalauan. Sepertinya Daeng Litere kehilangan yang amat berarti baginya. Lalu saya pun bertanya tentang nasib para pengguna gedung itu.

Tutur-tutur bergetar keluar dari ucapannya. “ Bagiku gedung itu, bukan saja sebongkah bangunan. Bangunan yang sejenis itu mudah ditemukan bahkan segera bisa dibangun kalau ada kemauan. Tapi bukan di situ duduk soalnya. Pasal yang paling memengaruhiku adalah akan kemana lagi kaum muda untuk menambatkan asanya untuk mengembangkan diri, jikalau tempat untuk membumikan maksud idealnya hilang begitu saja?”

Setelah terdiam, jedah beberapa saat, Daeng Litere melanjutkan tuturnya, “Berapa banyak agenda yang telah terealisir, yang diwujudkan oleh kaum muda kita, rumusan-rumasan cerdas untuk negerinya dan juga pementasan-pementasan seni dan karya sastra yang mengasah kepekaan sosial-budaya anak negeri. Cukuplah tidak adanya gedung kesenian, pusat kebudayaan atau sejenis museum menjadi luka tersendiri bagi negeri yang abai terhadap nasib kebudayaannya. Jangan tambah lagi luka yang telah menganga ini.”

Sore makin terdesak, senja makin menua, malam bersiap menyambut, magrib pun tiba, perbincangan mesti jedah. Saya pamit dulu, pulang ke rumah, tunaikan kewajiban magrib, namun sebelumnya saya katakan pada Daeng Litere bahwa nanti malam obrolan dilanjutkan, tempatnya di beranda Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan. Ia pun mengiyakan ajakanku.

Malam makin mengental, sekental jiwaku yang menggebu karena ingin segera menikmati perbincangan dengan Daeng Litere. Tidak terlalu lama saya menunggu di beranda Boetta Ilmoe, Daeng Litere muncul setepat janji yang kami tunaikan. Sebelum perbincangan dimulai, Daeng Litere sudah mengajukan ‘proposal” pada saya, agar disediakan kopi dan tentu seperangkat laptop, guna memutar lagu-lagu kesayangannya, tembang-tembang lawas Koes Plus.

Sereput demi seruput kopi kami nikmati, alunan tembang-tembang lawas mengiringi khusyuknya perbincangan. Dan, tiba-tiba saja Daeng Litere meluncurkan kalimat-kalimatnya. “Pengalihan fungsi gedung memang sepenuhnya di tangan Pemerintah, apalagi kalau itu adalah asetnya. Namun selayaknya dipertimbangkan pula alternatif apa yang harus diberikan sebagai jalan keluar dari rasa kehilangan masyarakat yang sering menggunakannya.”

Saya lalu menimpali, bukankah ada beberapa gedung yang bisa dipakai sebagai pengganti? Semisal: Balai Kartini, Kantor BAZ, Aula Koperasi Beringin dan Gedung Korpri. Namun menurut Daeng Litere, semua gedung itu tidak merepresentasikan Gedung Pertiwi. Baginya, Gedung pertiwi adalah “tempatnya sederhana. Terjangkau sewanya, strategis tempatnya, dan mudah diformat sesuai kebutuhan acara. Tidak terlalu luas atau pun sempit.” Ujar Daeng Litere.

Sesekali perbincangan kami ngelantur tak karuan, selingan canda apalagi. Namun, ada pernyataan Daeng Litere yang menohokku. “Aku yakin ada hikmah di balik pengalihan fungsi gedung itu. Siapa tau dengan cara inilah pemerintah akan menyiapkan alternatif. Sebuah tempat atawa pusat kegiatan, yang memang betul-betul menjadi sentrum aktifitas berkebudayaan. Dimana gedung itu bukan saja sekadar tempat diskusi, seminar atau pementasan, tapi .... sekali lagi sebagai pusat kebudayaan.”

Saya paham sekali jikalau Daeng Litere sudah begini gaya tuturnya, dalam lubuk pikirannya, sesungguhnya Ia sementara menyindir, dengan menancapkan harapan yang begitu besar. Begitulah caranya menghibur kegundahan. Saya pun hanya sanggup berkata amin...amin.. amin...dan wallahualam.

Minggu, 21 September 2014

Putu Setia - SBY - Jokowi

SBY - Jokowi

Sabtu, 30 Agustus 2014 | 23:28 WIB
Putu Setia


BALI ibarat kedatangan dua kepala negara yang mengadakan KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) pada Selasa lalu. Keamanan di kawasan Nusa Dua diperketat. Hotel tempat pertemuan kedua tokoh itu dijaga berlapis. Wartawan, baik media cetak, televisi, maupun online, dan wartawan media sosial (jurnalis warga, ehm, keren) sudah menunggu sejak siang, padahal pertemuan dimulai malam hari.


Siapa kedua petinggi itu? Yang satu masih menjabat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, disingkat SBY. Yang satu lagi, Presiden terpilih Joko Widodo, dipopulerkan Jokowi. Ealah, kenapa begitu genting?

Karena pertemuan ini, menurut pengamat, bersejarah. Untuk pertama kali presiden yang akan lengser bertemu dengan presiden yang akan menggantikan. Sejarah mencatat-begitu kata pengamat yang belum kehilangan nyinyirnya di televisi-SBY telah menorehkan tradisi yang bagus dalam pergantian kepemimpinan nasional.


Soeharto menggantikan Sukarno dengan mengganjar "tahanan" untuk Sang Proklamator. Soeharto digantikan B.J. Habibie dengan "dipaksa" lewat aksi mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR. Habibie diganti Abdurrahman Wahid dengan menolak pertanggungjawabannya di MPR, dan Abdurrahman Wahid pun digantikan Megawati dengan "persekongkolan" di MPR juga. Mega digantikan oleh SBY dengan pemilihan langsung oleh rakyat tetapi hubungan keduanya beku. Nah, layaklah pertemuan SBY dan Jokowi jadi sejarah.


Rakyat yang lebih banyak di rumah menonton televisi-sulit keluar karena Premium sudah langka di sepanjang Aceh sampai Merauke-menunggu siaran langsung pertemuan itu. Jokowi pun terlihat tergopoh-gopoh menghampiri SBY, mengenakan baju batik, bukan baju putih yang lengannya digulung. Jokowi sadar ini bukan blusukan, tetapi pertemuan formal, harus berpakaian rapi sesuai dengan budaya Nusantara. Dia disambut SBY dengan kedua tangan, sesaat melakukan cipika-cipiki (ini ritual formal yang tak perlu dijelaskan), lalu menuju meja dengan dua kursi yang sudah disiapkan. Pertemuan empat mata.

Seusai pertemuan, kedua tokoh diberi mimbar yang bentuknya sama persis, dengan lambang Garuda Pancasila-bukan garuda yang lain. Keduanya menjelaskan apa yang dibicarakan. Apa? La, apa, ya? Ini adalah pertemuan awal yang akan dilanjutkan dengan pertemuan berikutnya, begitu inti penjelasan. Ya, formal banget.


Esoknya, dan esoknya lagi, beredar berita bahwa Jokowi mengusulkan agar SBY segera menaikkan harga bahan bakar minyak, tetapi SBY menolak. Berita ini terus digoreng sehingga apa benar hal itu dibicarakan dalam "empat mata" tak jelas. Atau hanya dibicarakan dalam "bukan empat mata", juga tak jelas. (Belum ada komentar dari Tukul Arwana, host Bukan Empat Mata). Tiba-tiba saja Jokowi mengatakan: "Saya siap tidak populer untuk menaikkan harga minyak."


Jika SBY takut (lebih bagus kata itu diganti hati-hati), tampaknya Jokowi sudah mantap menaikkan harga minyak, kompak dengan Jusuf Kalla, wakilnya. Tetapi tak sesuai dengan tuit dari Megawati (@MegawatiSSP) yang intinya lebih baik cari jalan lain, misalnya Premium bersubsidi dilarang untuk mobil dan sepeda motor di atas 150 cc. Tak sesuai pula dengan pernyataan Faisal Akbar, deputi tim transisi, yang menyebutkan: ada opsi lain seperti menaikkan pajak sepeda motor dan mobil, lalu mengoptimalkan pajak tambang. Bahkan tuit Rieke Diah Pitaloka (@Rieke_RDP) lebih keras: TOLAK KENAIKAN HARGA BBM (huruf kapital sesuai dengan aslinya).


Minyak mudah membakar atau membuat orang tergelincir. Sebelum saya tergelincir, lebih baik saya akhiri tulisan ini. Biarkan SBY dan Jokowi yang menulis sejarah.

Putu Setia - Yogya

Yogya

Koran Tempo-Sabtu, 06 September 2014 | 23:01 WIB
Putu Setia


Yogya istimewa. Irama rap yang mendominasi pentas From Republik Jogja with Love ini cukup jeli menggambarkan keistimewaan Yogyakarta. Dibawakan dengan riang dan jenaka, para penyanyi rap melantunkan berulang-ulang: Yogya, Yogya. Yogya istimewa. Istimewa makanannya, istimewa orangnya....

Pentas itu sudah lama, 29-30 Maret 2011 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Saat itu terjadi polemik apakah Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dipilih atau ditetapkan oleh pemerintah pusat dengan mengangkat Sultan sebagai gubernur dan Paku Alam sebagai wakil gubernur. Pentas ini mengkritik tajam tentang digugatnya keistimewaan Yogya.


Yogya memang istimewa. Bukan cuma makanan dan orangnya. Sampai sekarang pun orang Yogya tak pernah bisa menulis dengan seragam nama wilayahnya. Pemerintah Provinsi sudah menetapkan nama yang baku: Daerah Istimewa Yogyakarta. Kata itu diambil dari nama Keraton Hayogyakarta Hadiningrat. Tapi orang banyak menulis kata Jogja atau Jogya, bahkan Djogja. Padahal di Kepatihan, pusat pemerintahan tempat Sultan dan Paku Alam berkantor, nama provinsi ini jelas disingkat DIY, bukan DIJ, apalagi DID.

Orang Yogya terkenal halus bertutur kata, meski kadang terlontar kata seperti "asu". Kata ini, yang artinya anjing, dilontarkan bukan dalam bentuk umpatan, melainkan nuansa kekerabatan yang kental disertai tawa. Di media sosial pun, kata asu acap nongol dalam percandaan akrab, selain kata ndasmu.


Kini Yogya semakin istimewa ketika sumpah serapah Florence Sihombing muncul di media Path, sebuah laman pertemanan yang lebih bersifat pribadi. Florence, mahasiswi S-2 Fakultas Hukum UGM, tak mau antre saat hendak mengisi Pertamax di sebuah SPBU. Alasannya, ia membeli Pertamax kenapa harus antre bersama pembeli Premium? Flo benar. Tapi ia salah ketika ngamuk di masyarakat yang berbudaya halus dan mengumpat di Path dengan kata: tolol.


Flo, yang berasal dari Medan, tak menduga kata tolol itu menusuk hati orang Yogya. Ada 15 LSM mengadukan Flo ke polisi, dan polisi pun sangat tanggap. Flo diperiksa dan ditahan. Tapi warga Yogya juga kesal atas penahanan Flo. Tak seharusnya kata tolol membawa mahasiswi ini ke tahanan. Polisi dikecam. Sultan HB X dan permaisuri Ratu Hemas turun tangan. Flo meminta maaf, dan Sultan pun meminta masyarakat Yogya memaafkan, sementara Ratu Hemas meminta LSM itu menarik pengaduannya. Pemimpin LSM tidak mau. Perkara jalan terus meski Flo hanya wajib lapor.


Apakah tolol lebih kasar dari asu atau ndasmu? Kehalusan (dan kekasaran) kata tergantung budaya dan kepada siapa kata ditujukan. Fahri Hamzah menggunakan kata sinting dan bodoh untuk Jokowi, tapi tak ada yang menuntut politikus ini. Apakah beda bodoh dengan tolol?


Sikap LSM Yogya menarik, bahwa muncul kelompok fundamentalis di berbagai budaya yang justru berdalih mempertahankan budaya lokal. Di Bali, ada LSM anak-anak muda yang memprotes pemakaian peci dan kerudung karena dianggap "propaganda agama". Ketika protes ini menyebar dan seolah mewakili Bali, betapa repotnya tokoh-tokoh Bali menjelaskan ke publik. Anak-anak muda itu tak tahu bahwa peci adalah lambang nasionalisme yang bahkan dipakai pejabat di Bali pada hari tertentu. Kerudung itu budaya leluhur pertanda wanita terhormat, lihat tokoh-tokoh wanita dalam sinetron Mahabharata, semuanya berkerudung.

Munculnya kelompok fundamentalis di berbagai daerah seperti mewabah. Dalih mempertahankan budaya lokal justru menjadi bumerang untuk keluhuran budaya itu sendiri. Dalam kaitan ini, Yogya tak lagi istimewa, karena sama saja dengan daerah lainnya. ANI

Putu Setia - Pemimpin

Pemimpin

Kora Tempo-Sabtu, 13 September 2014 | 23:41 WIB
Putu Setia


Apa lagi yang mau ditulis soal Ahok? Semuanya sudah terbuka. Caranya marah, caranya membela diri, intonasi suaranya, gesture tubuhnya saat bicara, semuanya telanjang. Apakah dia pemimpin ideal?

Pemimpin ideal itu tergantung masyarakat yang dipimpinnya. Gaya kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pas untuk Jakarta. Kekerasan yang jadi watak Jakarta memerlukan pemimpin yang bergaya preman. Kalau marah menggebrak dan tak segan mengajak orang berduel. Di mana ada pemimpin yang mengajak orang berduel?


Ahok berani keras dan mengecam perilaku pejabat yang korup karena ia tahu dirinya bersih. Ia berani menantang karena tahu lawan-lawannya bermasalah. Ada yang pernah dibui dalam kasus korupsi. Ada yang preman suka memalak hak orang. Belajar dari pengalaman gubernur sebelumnya, Jakarta hanya sukses dipimpin gubernur yang juga keras kepala. Ada Ali Sadikin. Dan sekarang Ahok memberi harapan.

Gaya kepemimpinan Ahok pasti tak cocok untuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Masyarakat Yogya tak perlu dimarahi dengan menggebrak meja. Jika Sultan HB X kesal, dengan sorot mata tajam sudah membuat "yang disorot" sadar. Sultan tak mungkin mengajak berduel.


Di Bali pun, Ahok pasti tak cocok. Di sini Mangku Pastika, yang mantan jenderal polisi, diterima dengan baik. Berpuluh tahun ia di luar Bali dan tentu melihat ketimpangan lebih jernih, lalu ia datang membangun Bali tanpa ada beban disekat oleh faktor klan-penyakit pemimpin Bali. Pendekatannya kepada masyarakat tepat. Bertutur halus tidak menuding seperti Ahok.


Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya, pun punya gaya yang khas. Ia tak segan memungut sampah di jalanan dan bisa marah-marah ketika taman kotanya dirusak gara-gara ada perusahaan yang menggelar promo. Ia meledak seperti Ahok, namun ia bisa meratap seperti Mangku Pastika ketika kedatangan orang-orang malang yang perlu dibantu.


Negeri ini bergerak ke arah yang lebih baik seolah-olah alam ikut menyeleksi pemimpin dan menempatkannya di mana diperlukan. Ridwan Kamil, arsitek yang sudah populer itu, ditempatkan "alam" di Bandung untuk mengembalikan kejayaan Kota Kembang yang dulu asri. Kota Lautan Api yang menyimpan sejarah bangsa harus dikembalikan ke budaya Padjadjaran yang luhur. Ketika ada yang mengejek Kota Bandung di media sosial, Ridwan bisa marah dan melaporkan pemilik akun itu ke polisi. Namun kemarahan Ridwan tak sampai menantang si pemilik akun untuk berduel. Ridwan justru ingin berdialog. Ridwan bukan Ahok.


Ada Ganjar Pranowo di Jawa Tengah, lemah lembut sebagaimana orang Jawa, tetapi tegas tak kepalang tanggung ketika melihat penyimpangan di jembatan timbang. Masih banyak contoh pemimpin yang ternyata pas dengan ritme budaya di mana dia memimpin.


Sayang sekali, kini tertutup pemimpin seperti itu kalau saja RUU Pilkada disahkan DPR pada 25 September nanti. Rakyat dicabut haknya untuk memilih pemimpin yang disediakan alam. Semua pemimpin yang disebutkan di atas, kecuali Sultan HB X, adalah "pemimpin pilihan alam". Ahok yang mendampingi Jokowi sulit terpilih kalau bukan rakyat yang memilihnya. Apalagi Mangku Pastika, tak mungkin menjadi Gubernur jika yang memilihnya anggota DPRD. Pastika diusung Demokrat, dan Bali mayoritas PDI Perjuangan.

Para wakil rakyat membawa demokrasi kita kembali ke Orde Baru, sedikit demi sedikit. Ya, rakyat "keliru" memilih wakilnya, tak mengira kalau wakilnya punya "program terpendam" seperti itu. Sepuluh tahun pemerintahan Presiden Yudhoyono yang dikenang hanya masa-masa akhirnya: hak rakyat untuk memilih pemimpin telah dirampas.

Putu Setia - Kabinet

Kabinet

Koran Tempo-Minggu, 21 September 2014 | 00:37 WIB
Putu Setia

Kaget juga saya ketika dipanggil Romo Imam untuk membicarakan masalah pekerjaan. Mau bekerja apa lagi sudah tua begini? Ternyata yang dimaksudkan adalah rencana anaknya yang akan membuat percetakan kecil-kecilan dan pembuatan papan nama. "Begitu Jokowi dilantik sebagai presiden, usaha ini akan kebanjiran order," kata Romo.


Saya biarkan Romo menjelaskan lebih gamblang. "Jokowi sudah mengumumkan struktur kabinetnya. Beberapa kementerian berganti nama dan ada kementerian baru. Semua ini mempengaruhi hal-hal kecil tetapi besar biayanya. Papan nama semua sekolah berganti huruf. Dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Di Bali ada dua ribuan desa, kalau di setiap desa ada tiga sekolah dasar, itu sudah berapa ribu papan nama berganti."


"Tapi kan tak harus ganti, Romo, tinggal dihapus dan ditulis ulang," kata saya seadanya. Romo tertawa: "Papan namanya sudah rusak terlalu sering diganti. Dulu Departemen Pendidikan Nasional, lalu Kementerian Pendidikan Nasional, terus Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan."


Saya baru sadar ada hal sepele begini. "Surat-menyurat pasti diganti pula. Kop surat, amplop, map, kuitansi, juga kartu nama para guru," kata Romo. "Cetak-mencetak yang kecil ini tak praktis di percetakan besar. Pasti yang dicari percetakan dengan mesin kecil. Ini baru satu kementerian. Belum lagi kementerian baru seperti Kementerian Agraria. Berapa juta brosur akta transaksi tanah harus dibuat ulang untuk mengganti Badan Pertanahan Negara menjadi Kementerian Agraria. Wow, bisnis yang menguntungkan."


"Apakah Jokowi tak menghitung biaya ini?" saya bertanya. Romo menjawab, "Saya kira Jokowi terlalu idealis sehingga lupa hal-hal kecil. Bahkan dia juga lupa betapa sulitnya menyusun kabinet dalam sistem politik di Indonesia di mana partai-partai berjuang untuk kekuasaan dan bukan berjuang untuk kesejahteraan rakyat. Jokowi boleh berkata: jangan pisahkan saya dari rakyat, akan menjadi presiden rakyat dan seterusnya. Tapi kenyataan yang sudah dan akan dia hadapi lain. Dia adalah presidennya partai, karena partai yang mendukungnya dan partai pula yang menentukan apakah programnya untuk rakyat berjalan atau tidak. Parlemen itu kan perpanjangan partai."


Karena Romo sudah "berpolitik", saya lebih baik diam. "Jokowi merampingkan kabinet saja gagal. Koalisi tanpa syarat juga gagal karena partai sudah dijatah 16 menteri. Rangkap jabatan menteri dengan pengurus partai pun bisa gagal. Muhaimin Iskandar dan Puan Maharani sudah jelas menolak. Mau melawan Muhaimin ya pasti riskan, kalau dia ngambek, kekuatan Jokowi di parlemen makin ambruk. Justru Jokowi harus merangkul partai di seberang untuk memperkuat parlemen dan untuk itu iming-imingnya apalagi kalau bukan kursi menteri. Bagaimana bisa bilang tanpa syarat? Di negeri ini, syarat dan ketentuan berlaku."


Romo tertawa dan saya hanya tersenyum. "Jokowi lebih baik bicara soal penghematan yang riil. Misal, enggak usah beli mobil baru untuk menteri, memangkas perjalanan dinas dan rapat menteri. Iritlah bicara soal figur menteri, nanti bisa jadi bumerang. Untuk bicara profesional pun saya pikir tak usah diteruskan. Kriterianya sulit. Ada bankir sukses ternyata insinyur elektro. Ada wartawan profesional ternyata lulusan institut pertanian dengan skripsi tahi kambing untuk pupuk. Apalagi profesional partai, ini istilah mengada-ada. Jokowi lebih baik membangun komunikasi dibanding terjebak istilah-istilah sesaat."


Saya terus diam dan menduga Romo lupa kenapa saya datang.

Sabtu, 20 September 2014

GALAH-GALA


Pada minggu pagi nan cerah ini, secercah harapan melangit, membiru di angkasa. Bersama putriku, dengan kuda besiku, melaju menerobos asa, guna mengasah minatnya bermain basket. Di pusat olah raga, ada satu olah raga yang mencuri mataku, Lompat Galah. Kala suntukku tajam memerhatikan, bagaimana sebatang galah dengan indahnya membantu si Atlit melewati mistar, saat itulah Sang Guru menyerudukkan hikmah: "Han..., galah adalah pengungkit untuk menyeberangi rintangan. Ibaratnya, sejenis gala yang melicinkan jalan untuk mencapai tujuan. Maka menjadi wajiblah bagi setiap orang untuk mencari galahnya, yang berfungsi sebagai galanya, agar segala tujuan hidup lebih mudah tergapai."











































 
Narsis







Launching buku : Dari 12 Menjadi 127

Kamis, 18 September 2014

BATAS


Duduk-duduk di waktu dini, pada kecerahan Jumat Mubarak. Hari ini surya memang terik, hanya keteduhan pikiran dan kelembaban hati yang bisa menaklukannya. Bersyukur adalah wujudnya. Lakuku ini kupersiapkan guna menyambut Sang Guru, yang mewujud dengan sepenggal sabda: " Han..., Setiap sesuatu yang berhubungan dengan laku makhluk ada batasnya. Lakon-lakonnya akan berujung pada keterbatasan. Kejayaan dan keterpurukan punya titik batas. Kejayaan ada puncaknya, keterpurukan punya kedalaman. Yang terpenting, bagaimana lakumu, manakala batas-batas itu sudah menyata."

Selasa, 16 September 2014

API


aku bukanlah seorang pemuja api
walakin hasratku menggebu
untuk bertutur sepenggal cerita
tentang nasib api yang penasaran


baru saja negeriku usai hajatannya
perhelatan Porda XV dan Paralimpic III Bantaeng
diawali pengoboran api tanda mulai
pemadaman api sebagai akhir

api porda demikian nama ditasbihkan
adanya amat menentukan
awal dan akhir maksud

mulanya dilahirkan layaknya bayi
sepenuh hati membujuknya
mantra pemantik dilantunkan
biar lidahnya menjulur membakar tungku

jilat liar api meliuk
pesemaian pun digelar
pada sebuah wadah sakral
lalu disemayamkan menunggu perayaan

api porda api murni
hasil gesekan seorang empu
buah mantra leluhur
sederhana dalam laku

kala pengoboran disulut
api mengembang sesungging senyum
khalayak histeria
bagi api saat itu ibarat aqiqah baginya

sepekan gelaran hajatan bergelora
tibalah masa yang menggetarkan
menggetirkan bagi api
nasib apa yang menghadang di depan

perhelatan usai
api mesti dipadamkan
pesta harus diakhiri
sang api kelimpungan

minus ritus
tanpa mantra penjinak
nirlaku bujuk
ia dimatikan

riwayat api tamat
dipaksa mati meski penasaran
bersama kesetiaan senja yang pulang

aku sebagai makhluk
di dalam tubuhku ada kembaran api
kurasakan sedih tak terkira

apiku bergumam
setiap yang dipaksa mati
kelak nanti memberi warta
datang menagih janji

Senin, 15 September 2014

MAINAN-KEKUASAAN


Di depanku, seorang anak kecil sangat larut dengan mainannya. Kadang ia peluk, tatap, takjub, dan terkesima. Namun yang pasti, ia takut kehilangan mainan itu, bahkan akan begitu sintas hingga tangisan terakhir. Dalam permenunganku padanya, Sang Guru melintas, sambil membabar tutur: " Han..., tahukah dikau, mengapa si anak kecil amat sintas terhadap maianannya? Sebab ada kuasa memilikinya. Pada seorang dewasa sekalipun, manakala ada hasrat memiliki kuasa, maka ia pun bagai anak kecil. Orang dewasa dan anak kecil, cukup tipis bedanya, tatkala hasrat kekuasaan telah melilitinya."

Sabtu, 13 September 2014

GULA-MANIS


Kudengar karibku dalam keadaan hamil, dan suka minum kopi. Sejak dini ia telah mengenalkan kopi pada janinnya, biar lebih awal menyatu dengan kepahitan dan kehitaman. Kopi memang layak dijadikan penanda akan hal itu. Lalu, ia berharap ketinggian akhlaknyalah, sebagai simbol kesucian yang akan melengkapi jalan hidupnya, sehingga terwujudlah sajian kopi nikmat, berupa manusia tegar nan berkarakter lembut. Bila ada wicara seputar kopi, Sang Guru juga selalu ingin terdepan dalam bertutur: " Han..., janin bakal bayi karibmu itu, hanya satu yang penting sebagai tugasnya, menjadilah gula, agar tercipta rasa manis. Sehingga, siapapun yang membutuhkan rasa manis akan datang padanya. Cukuplah ia menjadi gula saja, biar manisnya kehidupan mengepul ke buana."

Kamis, 11 September 2014

NIRTAMPAK


Pada suasana hidup bermasyarakat, tepatnya berpolitik untuk meraih kuasa, politik pencitraan menjadi ujung tombaknya, Semua mau menampakkam diri seolah ia menjadi faktor penentu kejayaan, ingin pula numpang kesuksesan. Sang Guru bernasehat, agar jedah dulu sejenak dalam diam, merenungkan sabdanya: " Han..., tirulah angin, ia menggoyangkan yang tertiup olehnya, namun tetap tak menampakkan diri. Ia memilih nirtampak, walau sesungguhnya, tiupannyalah penyebab goyangan itu."

MATAHARI-BULAN


Secara tak terduga, daku bersua dengan sosok yang semulanya kusangka memilih cara hidup apa adanya. Ternyata, diam-diam ia menyimpan ambisi yang tak terkira. Sang Guru amat suka menyindir sosok yang semisal ini, dengan sebait permisalan: " Han..., usahlah memaksakan diri jadi matahari, jikalau kualitasmu hanyalah sebatas bulan. Matahari mampu memancarkan sinarnya, dengan kemampuan yang dimilikinya. Sementara bulan, hanya mampu bersinar manakala matahari rela memantulkan sinarnya pada bulan."

Rabu, 03 September 2014

MARAH-RAMAH


Melata di hamparan bumi, pada ragamnya kehayatan bermasyarakat, amat mudah menjumpai kemarahan, begitu susah menemui keramahan. Padahal, sekali waktu Sang Guru telah bersabda: " Marah muaranya mematikan, ramah kualanya menghidupkan. Anehnya, orang ramai lebih memilih kematian daripada kehidupan."

Selasa, 02 September 2014

SUAMI-ISTERI


Sepasang keluarga muda, yang baru saja mengikrarkan tekadnya untuk berumah tangga, datang di mukimku, guna berbincang tentang kehidupan keluarga. Beberapa waktu sebelumnya, seorang kerabat juga bertandang, menumpahkan keluh kesahnya seputar masalah rumah tangganya. Gugup juga aku dibuatnya, sebab mereka seolah menjadikanku sebagai konsultan rumah tangga-keluarga, walakin Sang Guru menolongku dengan sejumput khotbah: " Han..., sampaikan kepada mereka, baik yang sementara berbunga-bunga hatinya, karena baru saja menikah, maupun yang kisruh pikirnya-rusuh jiwanya karena perahu keluarganya retak, bahwa suami isteri itu, bukan saling meniadakan, tapi saling menegaskan. Perbedaan itu keniscayaan, sunnatullah. Dan, di atas perbedaan itulah tiang-tiang penyangga rumah tangga dipancangkan. Tiang-tiang yang berbeda fungsinya, menguatkan bangunan yang utuh."

Senin, 01 September 2014

Emha Ainun Najib - Ketika Kita Berselisih Faham

Ketika Kita Berselisih Faham

Emha Ainun Najib

Kita semua, Saudaraku, seaqidah. Selalu bersatu dalam tauhidillah dan tak sebuah macam makhluk pun yang mampu memisahkan kesatuan kita itu kecuali kekeruhan rokhani kita sendiri: ‘marodhun fii quluubina’.

Tapi mungkin kita tak sefaham. Tak sepengertian pemikiran. Tak sependapat. Tak seanutan. Saudaraku menganut ini dan aku menganut itu, sementara saudara kita yang lain barangkali suatu unikum tertentu dari kepribadiannya berdasarkan kodrat kelahiran dan mungkin latar belakang kebudayaannya. Kita kemudian saling bisa bermusyawarah, dan hasil musyawarah itu sebagian bisa kita putuskan menjadi suatu kesepakatan tunggal, tetapi sebagian yang lain mungkin harus kita biarkan berbeda-beda. Kita juga bisa saling menilai, saling mengkritik, bahkan saling menghakimi: tetapi yang terpenting harus kita ingat ialah tindak penghakiman itu selayaknyalah dilandasi oleh keinsyafan kita akan keterbatasan dan relativitas kemampuan kemakhlukan kita. Selebihnya keyakinan yang tak bisa ditawar-tawar bahwa Allah-lah yang Maha Kuasa dan Maha Mampu untuk menyelenggarakan penilaian yang sehakiki-hakikinya.

Demikianlah, Saudaraku, bahwa mungkin saja kita tak sefaham, hal itu tidaklah perlu dirisaukan benar. Pertama, kata Pak Guru: seribu kepala punya seribu pendapat. Ketika Allah berfirman wa ja’alnaakum syu’uuban wa qobaa-ila, lita’aarofuu…., kukira yang dimaksud, Insya Allah, bukan sekedar perbedaan bangsa-bangsa dan suku-suku saja, melainkan lengkap dengan analoginya, dan konotasinya. Yakni bahwa disamping bangsa-bangsa dan suku-suku selalu memiliki unikum-unikum tersendiri yang membedakan alam hidup mereka, cara berpikir mereka atau kebiasaan psikologis tertentu mereka; juga tentulah ada pengertian yang lebih meluas, ada syu’uub dan qobaa-il pemikiran yang mencerminkan tipologi internalisasi keagamaan yang berbeda-beda. Dan diantara yang berbeda-beda itu dianjurkan untuk ta’aarofu, saling kenal-mengenal, saling mengerti, saling memberi ruang, saling toleran, sepanjang tak sampai menyangkut perbedaan prinsipil tentang aqidah. Sebagian dari perbedaan itu bisa kita runding untuk membawa kita ke kondisi ‘sepengertian’, tapi sebagian yang lain mungkin tidak. Kemudian kalau toh tetap juga timbul keruwetan dari proporsi yang demikian, toh kita masing-masing tetap bisa berserah diri kepadaNya, kaanal-ilahu bi-kulli syai-in ‘aliimaa. Ini sebab kedua kenapa perbedaan-perbedaan faham diantara kita tak selalu harus kita risaukan. Berulangkali aku mengatakan kepada saudaraku bahwa kita memang harus berusaha agar perbedaan diantara kita bisa menjadi seperti yang dikehendaki Allah, yakni menjadi rahmat, bukan malapetaka.

Bukan Musyawarah, tapi Konsensus

Namun betapa susahnya hal itu kita capai, Saudaraku, kita telah mengalami bersama.

Kita ini bukan masyarakat musyawarah, tapi masyarakat konsensus. Bukan masyarakat diskusi, tapi masyarakat kompromi. Tentu saja tidak sepenuhnya demikian, tapi itulah frekuensi terbesar dari praktek komunikasi sosial kita. Kalau kita bermusyawarah, kita telorkan kebijaksanaan — itu seringkali berarti ‘tahu sama tahu’ yang tak jarang disifati kemungkaran-kemungkaran tertentu. Kita suka damai, tapi itu acapkali berarti kita mengkompromikan, atau menganggap klop apa yang sesungguhnya bertentangan. Kita menyogok dengan sejumlah uang untuk kelancaran suatu urusan, dan kita sebut itu perdamaian. Kita putuskan sesuatu yang tak bijaksana untuk rakyat banyak dan kita sebut ketidakbijaksanaan itu sebagai kebijaksanaan. Kita bisa menganggap kekejaman-kekejaman tertentu sebagai tindakan luhur yang menegakkan hukum dan harkat kemanusiaan. Kita membiasakan diri untuk sedemikian luwes dan retoris untuk mendorong diri beranggapan, bahwa sesuatu hal itu ma’ruf, bukan mungkar. Dalam praktek urusan kenegaraan dan kemasyarakatan seringkali kita menjumpai kenyataan seperti itu.

Kita tak membiasakan diri untuk melihat dan memahami perbedaan dalam proporsi yang wajar. Sistim politik negeri kita jelas mendorong suatu keadaan untuk ‘tunggal’ seperti kehendak Pemerintah. Mafhumlah kita terhadap perilaku kaum establishment itu. Namun lebih menyedihkan hati jika dalam praktek kehidupan beragama kita juga menjumpai kecenderungan sikap otoriter yang secara sadar atau tak sadar cenderung memaksakan pendapat dan kehendaknya sendiri. Ummat sukar akan berangkat dewasa dalam iklim seperti itu. Tentulah Saudaraku tak usah memintaku untuk menyebut-nyebut contoh kongkrit itu, sebab kita sudah sama-sama mengetahui dan mangalami.

Aku meyakini sepenuhnya bahwa kecenderungan itu tidak muncul dari niatan sengaja untuk bersikap otoriter. Paling jauh itu adalah ungkapan naluri manusia untuk senantiasa mempertahankan diri. Diri harus selalu dipertahankan, termasuk semua keyakinan dan pengertian-pengertian pikirannya, sebab seseorang tak bisa hidup jika tidak dengan keyakinan dan pengertian pikirannya sendiri. Namun persoalannya bahwa ia tak harus ‘menyuruh’ semua orang untuk berpendapat seperti ia, dan hendaknya ia yakin juga bahwa tanpa seorang pun yang lain yang sependapat dengannya: ia tetap syah untuk menghidupi keyakinan dan pengertiannya. Saudaraku mengalami, terkadang ada saudara kita merasa ‘gugur’ gara-gara orang lain tak sependapat dengannya, lantas ‘gugur diri’nya itu memanifestasi liwat kata-katanya bahwa yang gugur seakan-akan adalah kebenaran Islam. Ia hanya bisa hidup dengan mengidentifikasikan dirinya dengan kebenaran Islam, sehingga siapa saja yang tak sependapat dengan dia, maka ia anggap melanggar Islam. Ia memperlakukan seolah-olah agama Islam hanyalah sebuah benda mati bagaikan seonggok batu yang ‘verbal’ dan miskin. Ia tidak menyediakan ruang dan tenaga untuk membayangkan bahwa pribadi-pribadi manusia yang berbeda-beda, kondisi kehidupan yang berbeda-beda, jika ditumbuhkan dengan Islam, maka ia akan memunculkan mozaik kekayaan-kekayaan yang tiada batasnya, bagaikan percikan dari kekayaan Allah yang tak bisa diperkirakan. Ia juga tak bersiap, karena itu, untuk bersikap tawadldlu’, rendah hati, sadar akan keterbatasan kita bersama, ditengah mozaik yang hanya sedikit saja mampu kita lihat dan rumuskan itu.

Kukira, Saudaraku, hakekat dari kesemuanya itu ialah kesadaran kita bersama, bahwa hidup kita ialah bergerak mengidentifikasi diri dengan kebenaran Islam. Akan tetapi sosok tubuh kebenaran diri kita tidaklah identik dengan sosok tubuh kebenaran kita. Sebab kebenaran Islam sangat luas dan besar, seluas alam semesta yang Ia ciptakan, dan kita sekedar bergabung kepadanya. Ya, kita yang amat kecil ini, hanya bergabung kepadanya. Mengolah pribadi kemusliman tidaklah berarti membangkitkan egosentrisism dimana seseorang menyerap ‘seluruh Islam’ dan ia menganggap diri persis dengan kebenaran Islam itu sepenuhnya. Itu suatu takabbur. Padahal kita tidak lebih berarti dari dzarrah: jika kita dilahirkan untuk menjadi khalifah dimuka bumi, maka kekhalifahan itu mustilah dengan penuh tawadldlu’; kesadaran akan kefaqiran dihadapan Allah.

Hal ini, Saudaraku, persis dengan kenyataan bahwa tak seorangpun mampu menguasai Al Qur’an. Paling jauh ia hanya menguasai penguasaaanya sendiri atas Al Qur’an. Cakrawala Al Qur’an tak akan selesai ditempuh, jalah lurusnya tak bakal habis dikembarai. Segala yang mampu diucapkan oleh pikiran dan hati kita dari dan tentang Al Qur’an, hanyalah sebatas relativitas pengetahuan dan pengalaman pribadi kita, dan Al Qur’an tak bisa engkau hitung berapa kali lipat kekayaannya dibanding kekecilan kita yang sering sombong ini. Maka tak ada pilihan lain kecuali tawadldlu’. Dan memang itu yang terbaik.

Cepat Berburuk Sangka

Saudaraku, kita tak jarang mengalami betapa kita terjebak untuk bersikap mutlak-mutlakan ditengah perbedaan pendapat. Ini karena kita amat possesif terhadap pemilikan kita atas pengertian-pengertian kita sendiri. Bagai seorang perawan yang tak mau secuil pun lelaki pujaannya dijelek-jelekkan oleh orang lain. Kita begitu romatik, karena memang pada dasarnya kita begitu mencintai dan bahagia dengan Islam kita. Begitu rupa romantiknya sehingga dalam beberapa hal kita menjadi buta. Kita jadi cepat tersinggung, cepat mangkel, cepat berang dan naik pitam jika sedikit saja hal tentang ‘pacar’ kita itu disentuh orang. Secara rasional kita menjadi tidak objektif. Dan secara spiritual-psikologis kita menjadi tidak dewasa, tidak rendah hati. Keduanya bergabung dan menghasilkan suatu sikap yang tak menyiapkan untuk membuka diri dan menerima kemungkinan-kemungkinan kebenaran baru atas diri kita.

Dalam keadaan begitu kita tanpa sadar, sering melangkahi peringatan Allah, ijtanibuu katsiiron minazh zhonni, inna ba’dhodh zhonni istmun, walaa tajassasuu walaa yaghtab ba’dhukum ba’dhoo. Kita sering cepat berburuk sangka, cepat cenderung mencari hanya kesalahan-kesalahan saudara kita ynag lain. Bahkan ada prototype mentalitas kita yang kurang biasa berbeda dalam berhadapan ini, mendorong kita mengungkapkan perbedaan itu dengan cara ‘yaghtab ba’dhukum ba’dhoo’. Dengan begitu akan gampang terjerumus pula kita untuk tergolong dalam kata-kata Allah ‘yashkor qoumun minqoumin’, sedangkan bisa-bisa saja kaum yang dicerca itu yakuunuu khoiron minhum.

Lebih ‘lucu’ lagi, Saudaraku, didalam saling mencerca itu, masing-masing kita merasa benar, dan sungguh-sungguh dengan khusyu’ menyandarkan kebenaran masing-masing itu ke hadirat Allah, sehingga masing-masing meras innalloha ma’anna. Tidakkah, Saudaraku, engkau pernah menangkap dan merasakan getaran keadaan yang seperti itu ditengah perselisihan faham diantara kita semua? Bahkan ada Saudara kita yang dalam keadaan itu lantas saling mengemukakan kata-kata seperti yang diungkapkan Al Qur’an: …i’maluu ‘alaa makaanatikum innii ‘aamil, wantadhiru inni muntazhirun…, atau …lanaa a’malunaa wa lakum a’maalukum, salamun ‘alaikum laa nabtaghil-jaahilin… atau fanistakbaruu fal-ladziina ‘inda robbika yusabbihuuna bil lili wan-nahaari wa hum laa yas-amuun…, bahkan …idz ja’alalladziina kafaruu fii qulubihimul-hamiyyata hamiyyatal-jaahiliyati fa-anzalallahu sakinatahu ‘alaa rosuulihi wa ‘alal mukminina wa alzamahum kalimatat-taqwa.

Tentu saja, Saudaraku, itu benar. Dan mungkin saja memang diantara beribu pikiran kita atau diantara sikap-sikap hidup kita terdapat unsur kekufuran tertentu (seperti juga silau mata kita yang berlebihan terhadap keduniawian dewasa ini bisa dianggap meng-ilah-kan yang selain Allah); akan tetapi, tentu akan lebih afdhol, apabila kita mengusahakan suatu keterbukaan dan kedewasaan komunikasi, justru untuk membuka kedok kemungkina kekufuran pribadi kita masing-masing dan melenyapkannya. Saudaraku mungkin pernah mendengar aku beberapa kali mengalami berbagai perselisihan faham dengan berbagai kalangan Muslim dalam pentas-pentas atau pembicaraan-pembicaraanku diberbagai tempat, dan aku gagal menemui keinginanku akan keterbukaan dan kedewasaan komunikasi seperti itu. Aku sering berkata kepada saudara-saudara kita: “Jika Saudaraku melihat aku sesat, dan bersedia mengishlah membawaku kepada jalan yang benar, maka alangkah besar rasa syukurku”. Namun, aku justru sering menghadapi berbagai sikap tertutup seperti kuungkapkan diatas: sikap tertutup itu bukan karena Islam, tetapi karena faktor mentalitas, keterbatasan-keterbatasan psikologis. Sampai pada suatu saat aku berkata kepada diriku sendiri: Kalau saja aku ini seorang muallaf, maka dengan menghadapi sikap jumud seperti itu, tak mustahil aku terlempar kembali ke luar Islam. Namun, Alhamdulillah, justru karena itu maka Allah berkenan menganugerahiku tenaga untuk makin mencintai-Nya serta lebih dalam meyelami samudera nilai Islam yang demikian luas dan dalam.

Saudaraku tahu mungkin kemusliman kita ini belum apa-apa dan sungguh masih amat jauh dari yang dikehendaki Allah, karena itu betapa kita semua harus senantiasa siap terbuka atas nilai-nilai kebenaran Islam yang mungkin saja kemarin masih belum kita insyafi. Banyak hal kita ketahui, namun jauh lebih banyak lagi yang belum kita ketahui. Allah telah memaparkan segalanya, tapi barangkali mata kita masih cukup buta dan telinga kita masih agak tuli. Segala yang ‘kita kuasai’ itu pastilah sedzurroh saja dibanding realitas dan nilai yang sesungguhnya yang disediakan oleh Allah Yang Maha Kaya.

Kita semua adalah khalifah fil-ardh, tetapi engkau atau aku bukanlah satu-satunya khalifah. Dan aku kira tidak benarlah apabila kita mempunyai sikap seperti itu: seakan-akan kita adalah langsung mewakili Allah dimana setiap orang musti sependapat dengan kita, betapapun secara subjektif kita amat meyakini dan menganggap luhur keyakinan serta kebenaran pikiran kita sendiri itu. Saudaraku Insya Allah sudah membaca buku Dialog Sunnah Syi’ah: surat-menyurat antara ‘Kyai Sunnah’ asy-Syaikh al-Bisri al-maliki dengan ‘Ulama Jumhur’ as-Sayyid Syarafuddin al-Musawi al-‘Amili itu amat memberi informasi berharga kepada kita tentang percaturan faham yang berbeda antara Sunnah yang mayoritas dan Syi’ah yang minoritas. Akan tetapi yang tak kalah bermaknanya dibanding informasi itu ialah bagamana cara dan watak mereka didalam berdialog. Bagaimana keterbukaan sikap pribadi mereka, seberapa kematangan dan kedewasaan yang menjadi ruh komunikasi antara mereka, betapa tawadhu’ dan rendah hati mereka, serta betapa besar gairah murni untuk sungguh-sungguh mencari kebenaran: tanpa sikap defensif dalam arti emosional, tanpa menonjolkan ‘gengsi’ atau ‘harga diri’ pada proporsi yang tak wajar, atau tanpa etos ‘mempertahankan pendapat secara membabi- buta’ seperti yang sering menjadi watak dari dialog-dialog moderen dewasa ini, yang acapkali terkotak pada dimensi ‘intelektual’ belaka. Semua perwatakan dialog itu tentu saja merupakan ‘dimensi tersembunyi’ dibalik formalitas informasi yang dipaparkan oleh buku tersebut.

Demikianlah, Saudaraku, kita yang masih faqir ini semoga dibimbing oleh Allah untuk menumbuhkan kekayaan-kekayaan seperti itu. Kita Kaum Muslimin Insya Allah akan menyongsong kemenangan, tetapi itu tak bisa tidak harus dimulai dari kesediaan kita semua untuk memerangi berbagai marodhun didalam diri kita sendiri. In dholaltu fainnamaa adhillu ‘alaa nafsii, wa-inihtadaitu fabimaa yuuniya ilayya robbil innahu samii’un qorlib.

Menturo Jombang, Agustus 1983.

Sumber: http://chirpstory.com/li/189677

PENSIUN



Malam makin pekat, canda gurau dengan orang-orang yang lebih berumur dariku makin kencang. Mereka berceloteh akan ketakberdayaannya lagi, sehingga mereka pensiun dari pekerjaan. Waktunya dihabiskan hanya untuk menunggu pindah pada keabadian. Dalam keriangan itulah, Sang Guru menimpali nasehat : " Han..., mereka boleh pensiun dari kehidupan raga, namun selayaknya bergiat di kehayatan jiwa."