Senin, 26 September 2016

KEMATIAN


Tidak cukup sepekan, sahaya telah melayat dua orang yang meninggal dengan asbab yang berbeda. Yang pertama, mamminya karib sahaya, karena sakit. Sedang yang kedua, kakek sahaya, sebab terjatuh saat memperbaiki saluran air di atas atap rumahnya. Misterinya lagi, sahaya masih melayat bersama kakek pada pemakaman sang Mammi. Tentulah sedih dan kehilngan berlipat-lipat, namun Guru Han mendapukkan ujar singkat dan padat: "Kematian itu, tidak mengenal antrian, tapi mirip arisan. Siapa yang naik namanya untuk dicabut ruhnya, maut pun menjemput, tanpa tabik."

Selasa, 13 September 2016

KEBURUKAN


Kali ini, tiada persamuhan, apatah lagi diskusi, tetiba saja sahaya tertatap tajam, seolah menjadi terdakwa tunggal, Guru Han menohok pikiran, meninju rasa dan menggeledah jiwa sahaya, dengan sabda yang tak terduga: " Karena keburukan juga punya batas, pada setiap masanya, maka tatkala ada seseorang yang memperburuk keburukan, sesungguhnya ia telah mempercepat keruntuhan kejayaan keburukan. Percayalah, sebab bila dikau menyepelekannya, sama saja telah terterungku olehnya, dari pengharapan yang paripurna."

Kamis, 08 September 2016

HARGA



Terjadi kegaduhan pendapat di salah satu mukim kerabat sahaya. Pasalnya, seorang kerabat, menjual kebunnya guna membeli mobil. Padahal, saran dari kerabat lain mengusulkan agar jangan menjual kebun, tetapi menunggu hasilnya, baru beli mobil. Tapi, tetap saja ia ngotot, kebelet ingin menyegerakannya. Sebab, hasil kebunnya tidak segera mampu mewujudkan inginnya, padahal ia sudah mau sekali harga dirinya melejit dengan mobil itu. Dari kejauhan, Guru Han melayangkan secarik tutur: “ Membeli mobil lalu mengendarainya, dapat menaikkan harga diri. Dan, sang kerabat rupanya ingin menaikkan harganya di mata sesamanya. Memang, harga diri itu amat mahal nilainya, namun tidak mesti dengan berkendara, sebagai jalan untuk menaikkan harganya. Apatah lagi, bila mobil yang menjadi lambaran harga diri, maka percayalah, harga diri akan menyusut setiap hari, seiring dengan turunnya harga mobil.”

Selasa, 06 September 2016

PINTU



Toa masjid dekat mukim sahaya memanggil untuk tunaikan Maghrib. Bergegaslah ke sana bersama kisanak yang lainnya. Sesudah shalat, bersualah dengan kisanak lama, lalu jabat tangan, berharap masih bisa jumpa lagi di luar masjid. Rupanya ia masuk lewat pintu lain, kemudian keluar lewat pintu masuknya, sehingga tak ketemu lagi. Rasa penasaran segera raib, gegara Guru Han langsung menguarkan tutur: “ Mengapa mesti harus keluar dari pintu yang sama, jikalau pintu masuknya saja sudah berbeda. Begitulah  perumpamaan dalam mencari ridha Tuhan akan kebenaran, tidaklah mesti kita masuk pada satu pintu, sebab pintu yang lain terbuka lebar untuk dimasuki. Masuklah dan keluarlah lewat pintu kebenaran yang dikau jalani, serta persilakan pula kisanak yang lain untuk masuk dan keluar melalui pintu yang dipilihnya. Toh di dalam masjid, dengan satu komando dari imam, sekotahnya mewujudkan lelaku dan lelakon yang sama, mempersaksikan kebenaran.”

Jumat, 02 September 2016

BACA


Seorang kawan lama, seperti burung pengelana, singgah bertengger di tempat semedi sahaya. Maklumlah, di tempat ini, lumayan banyak buku yang bisa dibaca. Namun, sang kawan memberi pengakuan dosa akan ketidakmampuannya lagi membaca, seperti dahulu, kala masih aktif teribat perlagaan pikiran. Guru Han menyahut, menabalkan sabda, guna menjernihkan suasana: " Jikalau dikau tak mampu membaca lagi, maka yang paling mungkin adalah dikau bakal dibaca. Menjadi objek bacaan, sungguh tak mengenakkan, karena dikau akan dibolak-balik, laiknya lembaran-lembaran kertas pada buku. Bahkan, tidak sedikit, dicoret-coret, digarisbawahi dan distabilo, tatkala ada yang menyentak si pembaca. Bersyukurlah, kalau sentakan itu menularkan energi positif, yang menyehatkan jiwa pembaca.".