Rabu, 27 Februari 2013

THE LAST KHONGHUCU IN BUTTA TOA-BANTAENG


THE LAST KHONGHUCU IN BUTTA TOA-BANTAENG
Oleh Sulhan Yusuf 

Gong Xi Fa Chae, selamat tahun baru Imlek, buat saudara-saudaraku etnik Tionghoa, khususnya yang berdomisili di Butta Toa- Bantaeng, sebuah daerah yang hingga kini dapat dikatakan sebagai daerah yang amat toleran dan pluralistik. Saya amat tertarik untuk menulis catatan di hari Imlek ini, karena bagi saya, pertama etnik Tionghoa yang ada di Butta toa-Bantaeng, adalah sekelompok etnik yang cukup eksis secara sosial, budaya, agama dan ekonomi dalam kehidupan bermasyarakat.
Kedua, di lingkungan keluarga saya, ada kakak yang beristerikan etnik Tionghoa kelahiran Surabaya, dan ponakanku sudah dua orang, dan mereka sudah menjadi muslim semua, yang sekarang lagi domisili di Banjarmasin karena tuntutan pekerjaan, dan suatu waktu akan balik ke Bantaeng. Dengan begitu, tulisan ini saya dedikasikan buat mereka, kakak ipar dan ponakanku.
            Sejak kecil, saya sudah merasakan hubungan yang harmonis dengan kawan-kawan etnik Tionghoa – teringat akan teman-teman sekolah di SMP Neg. 1 Bantaeng dan waktu di SMA Neg. 1 Bantaeng-- , meski terkadang juga ada stigma-stigma dalam ungkapan peyoratif, meski hal tersebut tidaklah menyebabkan hubungan itu menjadi retak, mungkin sudah demikianlah dinamika kemasyarakatannya.                   
Lalu kemudian, saya teringat dengan beberapa bulan yang lalu, ketika menemani seorang kawan, Sabbara Nuruddin seorang peneliti dari Litbang Depag Makassar, yang meneliti tentang keberadaan penganut agama Khonghucu di Bantaeng. Maka menjadi penting bagi saya untuk berbagi hasil penelitian, yang hasil penelitian tersebut di beri judul : KHONGHUCU DI BUTTA TOWA (Pandar Lampion Yang tinggal Setitik), sudah dibukukan dalam buku Spirit Khonghucu Modal Sosial Dalam Merenda Kebangsaan, Jakarta 2011, Orbit, hal. 183-203, yang berikut ini saya coba ringkaskan.

Sekilas Cerita tentang Etnis Tionghoa di Bantaeng

Bantaeng, dapat dikatakan sebagai satu-satunya kabupaten yang memiliki kawasan Pecinaan di Sulsel. Populasi etnik Tionghoa di kabupaten ini pun cukup signifikan jika dibandingkan dengan populasi etnik Tionghoa di kabupaten lain yang ada di Sulsel. Terkhusus untuk etnik Tionghoa, hampir semuanya bermukim di kecamatan Bantaeng, khususnya di sekitar jalan Mangga, jalan Manggis, dan jalan Nenas yang merupakan kawasan perdagangan sekaligus daerah pecinaan (China town) yang dimiliki oleh kabupaten Bantaeng. Menurut Bapak Effendi Sinyo (Baba’ Cangkeng, pemilik Rumah Makan Sederhana-pen), seorang sesepuh masyarakat Tionghoa yang ada di Bantaeng, bahwa kedatangan warga etnik Tionghoa di Banteng sudah sejak lima sampai enam generasi yang lalu atau sekitar akhir abad 18 dan awal abad 17. bahkan menurut berbagai sumber, Bantaeng yang kerap disebut sebagai Butta Toa ini telah menjalin hubungan dengan orang-orang China sejak abad 12 atau sejak zaman dinasti Sung, bahkan ada suatu daerah yang terletak di pegunungan Bantaeng yang disebut “Cinayya”, diyakini memiliki kaitan dengan hubungan antara kerajaan Bantaeng waktu itu dan para pendatang atau pelancong dari negeri China.
Berdasarkan penelusuran peneliti pada beberapa informan, peneliti mengkategorisasi kedatangan etnik Tionghoa di Bantaeng terdiri atas tiga tahapan. Tahap pertama, diidentifikasi sekitar abad 12 masehi, yaitu terjalinnya kerjssama perdagangan antara kerajaan Bantaeng pada waktu itu dengan dinasti Ming yang saat itu berkuasa di Tiongkok. Asumsi ini dibuktikan pada sekitar tahun 1967 dilakukan penggalian dan ditemukan banyak sekali guci dan barang keramik Tiongkok masa dinasti Ming di Bantaeng. Tahap kedua adalah masa penjajahan Belanda sekitar abad 18 dan 19 hingga awal abad ke 20, terlebih lagi ketika Bantaeng menjadi ibukota afdeling Bonthain yang meliputi beberapa kabupaten di wilayah selatan Sulawesi Selatan kala itu. Bukti bahwa migrasi etnik Tionghoa di daerah ini pada masa itu adalah keberadaan kuburan China yang telah ada semenjak abad 18. Tahap ketiga adalah pasca kemerdekaan, banyak orang-orang dari tanah Tiongkok datang ke Bantaeng dengan tujuan membuka usaha.
Awalnya pemukiman kaum Tionghoa terletak di sekitar pesisir pantai, namun sejak dekade 1950-an berangsur-angsur mereka pindah dan membentuk pemukiman di sekitar kawasan 3 jalan yang telah disebutkan, yaitu jalan Mangga, jalan Manggis, dan jalan Nenas, dan membangun tempat tersebut sebagai daerah perdagangan. Tidak ada data yang pasti mengenai jumlah populasi etnik Tionghoa yanga ada di Bantaeng, namun menurut Notaris Eddy Tunggeleng, SH yang merupakan ketua Bakom PKB –sebuah organisasi yang berorientasi pada pembauran etnik Tionghoa, populasi etnik Tionghoa di Bantaeng berjumlah lebih dari 100 KK. Umumnya mereka berprofesi sebagai pedagang, dan sebagian diantaranya berprofesi sebagai tenaga profesional seperti dokter, dokter gigi, notaris, dan lainnya. Warga etnik Tionghoa di Bantaeng umumnya telah berbaur dengan warga setempat bahkan tak jarang yang melakukan kawin-mawin dengan penduduk asli. Dalam rangka pembauran tersebut, maka komunitas Tionghoa di Bantaeng mengrganisasikan diri dalam sebuah wadah yang bernama Bakom PKB (Badan Komunikasi Persatuan dan Kesatuan Bangsa) yang diketuai oleh notaris Edy Tunggeleng, SH.
Sepanjang sejarah sosial di Bantaeng Hanya satu kali terjadi ketegangan dalam interaksi antara penduduk etnik Tionghoa dengan warga pribumi Bantaeng, itu pun karena bias perpolitikan nasional. Yaitu, pasca peristiwa G-30 S/PKI, di mana sentimen anti China cukup menguat. Namun, setelah itu interaksi antara etnik Tionghoa dengan penduduk setempat pun berlangsung kembali harmonis. Bahkan pemerintah Kabupaten Bantaeng pun memberikan perhatian dan apresiasi yang baik kepada warga etnik Tionghoa, yaitu dengan mengadakan peringatan Imlek dan acara kesenian Barongsai yang telah dilakukan dua tahun berturut-turut. Bahkan bupati Prof. Dr. Nurdin Abdullah, M. Agr, hendak menjadikan kawasan jalan Mangga, Jalan, Nenas, dan Jalan Manggis sebagai kawasan pecinaan dan menjadi program pemerintah kabupaten Bantaeng, namun hal ini ditolak oleh mereka dengan alasan jangan sampai timbul kesenjangan dan kecemburuan sosial warga pribumi.

Umat Khonghuchu di Bantaeng: Jejak yang Nyaris Hilang

Secara statistik, peneliti tidak menemukan penganut agama Khonghucu baik yang tercatat di BPS Kabupaten Bantaeng maupun di data yang terdapat pada Kantor Kementerian Agama Kabuoaten Bantaeng. Warga etnik Tionghoa yang selama ini dikenal sebagai penganut agama Khonghuchu ternyata umumnya beragama Kristen, Katolik, Buddha, dan ada sebagian yang telah menganut Islam. Namun berdasarkan penelusuran peneliti menemui beberapa warga etnik Tionghoa serta melakukan wawancara mendalam dengan mereka terkuak informasi bahwa banyak warga etnik Tionghoa yang ada di Bantaeng, meskipun secara formal menganut agama Kristen, Katolik, atau Buddha, pada praktek keseharian masih sering melaksanakan ritus sembahyang ala agama Khonghuchu meskipun menurut umunya mereka hal tersebut adalah tradisi leluhur mereka dan tidak ada sangkut pautnya dengan agama.
Dari beberapa orang yang peneliti temui tidak menampik jika mereka dikatakan sebagai penganut Khonghuchu, meskipun secara formal mereka mencatumkan Buddha atau Kristen dan Katolik sebagai agama resmi mereka. Bapak Effendi Sinyo, pemilik warung makan Sederhana di Jalan Manggis mengatakan bahwa secara pribadi dia dan keluarganya adalah penganut agama Khonghuchu sejak nenek moyang mereka, namun di KTP dan kartu identitas mereka mencantumkan Buddha, Kristen, dan katolik di kolom agama lebih didasarkan pada peraturan yang mereka ketahui bahwa tidak boleh mencantumkan Khonghuchu sebagai agama di kartu identitas. Setelah peneliti tanya, “apakah akan mengganti agama mereka di kartu identitas (KTP) karena mencantumkan Khonghuchu di kartu identiats sebagai agama telah diperbolehkan?”. Pak Effendi hanya menjawab; “boleh, jika memang itu diizinkan.”. Hal senada juga diungkapkan oleh Ci Heng (pemilik toko 33 di kawasan Pasar Baru Bantaeng), yang sekeluarga merupakan penganut Khonghuchu namun mencantumkan Buddha sebagai agama resminya di kartu identitas.
Jumlah pasti populasi penganut Khonghuchu di Bantaeng tidak diketahui secara pasti dikarenakan tidak adanya organisasi yang mengorganisir penganut Khonghuchu di Bantaeng serta mereka secara formal tidak mengaku sebagai Khonghuchu melainkan mengaku sebagai Buddha atau Kristen dan Katolik. Selain itu, mereka kebanyakan cenderung tertutup jika ditanya persoalan agama, sehingga banyak penduduk etnik Tionghoa yang peneliti datangi lebih memilih bungkam dan menyatakan tidak tahu-menahu soal Khonghuchu, meskipun dari rekomendasi informan yang lain menyatakan bahwa mereka secara praktek keseharian masih melaksanakan ritus-ritus Khonghuchu, namun, apakah sebagai tradisi atau memang dijalankan sebagai agama ini yang tidak diketahui dan mereka juga tertutup untuk mengutarakannya.
Berdasarkan penelusuran peneliti, setidaknya penganut Khonghuchu di Bantaeng, terkategori atas 2 kelompok. Yang pertama, adalah mereka yang secara total menjadikan Khonghuchu sebagai agama dan anutan hidup dalam pemahaman maupun praktek ritual keagamaan, meskipun secara formal mereka mencantumkan buddha sebagai agama resmi mereka di kartu identitas. Dan ketika mereka ditanya; “apakah menurut anda, Khonghuchu adalah agama?”, mereka menjawab; “ya, menurut saya Khonghuchu adalah agama”. Yang kedua, adalah mereka yang tetap menjalankan ritus Khonghuchu dan menerima ajaran Khonghuchu sebagai filosofi hidup, namun secara praksis mereka juga menganut dan menjalankan agama resmi yang lain, seperti buddha, Kristen, atau Katolik. Menurut mereka Khonghuchu adalah tradisi nenek moyang mereka dari Tiongkok yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja, bahkan menurut mereka harus dilestarikan dan mereka mempercayainya, dan meyakini bahwa mereka akan mendapatkan reward jika melaksanakan dan akan mendapatkan punishment (bala) jika mereka meninggalkan.
Untuk kategori pertama, yakni yang menjadikan Khonghuchu sebagai agama dan anutan hidup, dalam pengamatan peneliti secara populasi sangatlah kecil, meskipun tidak diketahui secara pasti jumlahnya. Karena Bapak Effendi Sinyo dan Ci Heng selaku sesepuh masyarakat Tionghoa yang mengaku amsih beragama Khonghuchu tidak bisa menjelaskan secara pasti, siapa-siapa saja diantara komunitas Tionghoa di Bantaeng yang masuk kategori ini. Namun, menurut Effendi Sinyo, hal ini hanya ditemui di kalangan orang-orang tua atau sesepuh saja, dan biasanya di kalangan generasi di bawah mereka sudah tidak terlalu ketat lagi menjalankan khonghuchu sebagai agama, dan umumnya sudah memeluk agama lain, yakni Buddha, Kristen, dan Katolik, bahkan Islam, meski secara praktek keseharian, mereka masih menjalankan ritus Khonghuchu sebagai tradisi saja.
Untuk kategori yang kedua, dalam pemahaman mereka, Khonghuchu adalah tradisi nenek moyang dari Tiongkok dan bukan agama. Secara praksis, mereka mensinkretikkan pelaksanaan agama formal yang mereka anut, apakah Buddha, Kristen, atau Katolik dan ajaran serta ritual Khonghuchu yang mereka jalankan sebagai tradisi. Untuk kategori ini, menurut notaris Eddy Tunggeleng, SH bahwa hampir semua warga etnik Tionghoa, terlebih yang mencantumkan Buddha sebagai agama resmi mereka dalam praktek keseharian masih sering melaksanakan ritus sembahyang ala Khonghuchu. Bahkan beberapa orang yang peneliti temui dan secara formal menganut agama Buddha, bagi mereka Buddha dan khonghuchu tidak ada bedanya, sehingga mereka menjalankan keduanya, meskipun ketika ditanya sebenarnya agama apa mereka, mereka menjawab bahwa mereka beragama Buddha. Menurut Effendi Sinyo, anak-anak dan keponakan beliau yang telah menganut agama Kristen, dan Katolik, bahkan ada diantara keponakannya yang menganut Islam, kerap ikut di belakang dia ketika melaksanakan sembahyang ala Khonghuchu.
Dengan demikian, berdasarkan penelusuran peneliti, eksistensi Khonghuchu di Bantaeng menuai enam problem besar, yaitu lost generation, liminal identity, problema traumatik, apatisme, dan ketiadaan rohaniawan Khonghuchu. Serta ketiadaan komunikasi intensif antar sesama penganut Khonghuchu. Eksistensi umat Khonghuchu di Bantaeng mengalami lost generation dikarenakan yang masih menganut Khonghuchu sebagai agama dan anutan hidup secara ketat adalah kalangan orang tua yang sudah sepuh. Hal ini merupakan sebuah ancaman bagi eksistensi penganut Khonghuchu ke depannya, karena selang satu generasi lagi, penganut Khonghuchu di Bantaeng tak akan ada lagi.
Problem kedua adalah liminal identity, yaitu kekaburan atau “keremangan” identitas sebagai Khonghuchu, karena secara prasis identitas sebagai Khonghuchu sudah kabur disebabkan pencantuman agama formal yang berbeda dan sinkretisme pelaksanaan ritus antara Khonghuchu dan agama formal yang lain, terlebih sebagian besar hanya menganggap bahwa Khonghuchu tak lebih dari sekedar tradisi saja. Problem ketiga adalah masih tersisa trauma sejarah pelarangan Khonghuchu sebagai agama yang secara konstitusional di tetapkan lewat Inpres yang terkait UU No 14 tahun 1967 dan SE Mendagri No 477/74054 tahun 1978 yang poin pokoknya tidak mencantumkan Khonghuchu sebagai agama resmi. Ditambah lagi pasca peristiwa G-30S/PKI yang berefek pada timbulnya sikap antipati dan kecurigaan terhadap segala hal yang berbau Tionghoa dan hal ini pun pernah memicu gejolak sosial yang luar biasa di Bantaeng pada kisaran tahun 1966-1967 membuat masyarakat Tionghoa di Bantaeng yang nota bene adalah keturunan Khonghuchu menjadi trauma untuk memunculkan kembali Khonghuchu sebagai identiats keagamaannya. Meskipun telah ada Kepres No 6 tahun 2000 tentang pengakuan Khonghuchu sebagai agama resmi, hal itu belum menghapus trauma mereka, karena jangan sampai ke depannya muncul masalah yang sama lagi. Trauma sejarah ini masih berbias pada ketakutan mereka jika ditanya persoalan agama, dan hal ini yang peneliti temui di lapangan. Menurut Effendi Sinyo, sebenarnya ada beberapa orang yang menurutnya adalah penganut Khonghuchu, namun, beliau sendiri tak berani memastikan apakah yang bersangkutan adalah Khonghuchu atau bukan, karena yang bersangkutan lebih cenderung tertutup pada persoalan agama.
Problem berikutnya adalah sikap apatisme yang banyak menjangkiti masyarakat Tionghoa dikarenakan kesibukan pada aktivitas bisnis sehingga persoalan identitas keagamaan cenderung kurang diperhatikan, “mau beragama apa, atau mengaku agama apa, itu tidak penting, karena yang terpenting bagi kami adalah mengurus usaha”, demikian papar seorang informan kami. Yang kelima adalah ketiadaan rohaniawan Khonghuchu, atau setidaknya orang yang cukup memahami tentang ajaran dan praktek agama Khonghuchu secara mendalam yang dapat menjelaskan tentang Khonghuchu atau menjadi pendakwah agama Khonghuchu. Akibatnya, informasi tentang Khonghuchu tak dapat diakses oleh mereka secara langsung di Bantaeng dan penganut Khonghuchu yang meskipun menganut dan melaksanakan ajaran agama Khonghuchu tapi secara pemahaman mereka adalah awam dan tidak memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan mendakwahkan agama Khonghuchu kepada komunitas Tionghoa yang ada di Bantaeng. Dan yang terakhir adalah ketiadaan komunikasi antar sesama penganut Khonghuchu di Bantaeng. Ketiadaan komunikasi ini membuat Khonghuchu sebagai anutan hidup lebih menjadi keyakinan personal dan tidak terorganisir secara komunal.
Meskipun keberadaan komunitas Tionghoa di Bantaeng telah berlangsung lama, sejak ratusan tahun yang lalu mereka menetap dan berinteraksi dengan penduduk pribumi Bantaeng, namun eksistensi keyakinan Khonghuchu sebagai anutan agama masyarakat Tionghoa kurang dikenal oleh masyarakat Bantaeng. Umumnya, mereka hanya mengenal bahwa komunitas Tionghoa yang ada di bantaeng umumnya masih melaksanakan tradisi mereka meski secara personal, mengenai apakah tradisi tersebut terkait dengan ajaran agama Khonghuchu, masyarakat Bantaeng yang peneliti temui umumnya menjawab tidak tahu. Bahkan sebagian masyarakat Bantaeng yang peneliti temui, dan mereka adalah tokoh-tokoh masyarakat mengatakan bahwa Khonghuchu di Bantaeng dapat dikatakan sudah tidak ada lagi. Hal yang senada juga diungkapkan oleh beberapa warga etnik Tionghoa yang peneliti temui dan telah menganut agama Kristen dan Katolik menyatakan bahwa di Bantaeng sudah tidak ada lagi penganut agama Khonghuchu.
Posisi agama Khonghuchu sebagai minoritas di Bantaeng benar-benar tak dikenal sebagai agama yang masih punya pengikut. Bahkan pihak pemerintah termasuk pihak Kementerian Agama Kabupaten Bantaeng pun berpandangan bahwa untuk komunitas Tionghoa yang ada di Bantaeng sudah tidak ada lagi yang menganut Khonghuchu meskipun sebagian besar dari mereka masih melaksanakan tradisi Tionghoa yang identik dengan ajaran khonghuchu, namun sebagai agama mereka tidak lagi menganut Khonghuchu, karena mereka telah menganut Kristen, Katolik, Buddha, bahkan Islam.
Tidak dikenalnya Khonghuchu sebagai sebuah agama yang masih memiliki pengikut di Bantaeng menurut pengamatan peneliti disebabkan, komunitas Tionghoa yang ada di Bantaeng telah melakukan konversi agama, setidaknya secara formal mereka tidak ada yang mencantumkan Khonghuchu sebagai agama mereka. Sehingga dalam pendekatan struktural atau statistik, Khonghuchu di Bantaeng dianggap tidak ada. Tidak adanya jumlah penganut Khonghuchu di Bantaeng secara statistik, sebenarnya tidak bisa dijadikan acuan untuk menyatakan bahwa di kabupaten Khonghuchu sudah tidak ada lagi. Karena hal tersebut lebih dikarenakan pelarangan Khonghuchu sebagai agama resmi, sehingga tidak bisa dicantumkan di kartu dientitas serta ketidaktahuan mereka akan pencabutan larangan tersebut. Di samping itu ketakutan yang tersisa akibat bias trauma sejarah pelarangan Khonghuchu membuat persoalan agama menjadi hal yang sensitif bagi mereka, sehingga mereka tidak menyatakan secara jelas bahwa mereka adalah penganut Khonghuchu dan akhirnya mereka tidak dikenal dan tidak teridentifikasi sebagai penganut Khonghuchu. Semisal bapak Effendi Sinyo pemilik rumah Makan Sederhana di Jalan Manggis Bantaeng, kebanyakan orang yang mengenal beliau adalah sebagai penganut Buddha, sangat jarang yang mengetahui beliau sebagai penganut Khonghuchu taat, hal ini disebabkan yang bersangkutan tidak mempublikasikan dirinya sebagai penganut Khonghuchu ditambah secara formal beliau ber KTP kan Buddha.
Selain tidak adanya angka statistik mengenai penganut Khonghuchu, keberadaan Khonghuchu di Bantaeng yang dianggap tidak ada di Bantaeng baik oleh masyarakat maupun pemerintah juga disebabkan persepsi mereka umumnya tentang Khonghuchu bukan sebagai agama formal lainnya seperti Islam, Kristen, maupun Buddha. Umumnya mereka berpandangan bahwa Khonghuchu tak lebih dari tradisi China dan bukan agama. Selain itu, tidak adanya aktiviats kegiatan keagamaan penganut Khonghuchu di Bantaeng juga semakin memperkuat anggapan bahwa di Bantaeng tidak ada penganut agama Khonghuchu.
Meskipun dari nenek moyang mereka yang datang adalah umumnya penganut Khonghuchu, namun pada perkembangannya, perkembangan penganut Khonghuchu di Bantaeng, baik secara kuantitas dan kualitas mengalami gerak regresif yang cukup tajam, khususnya pasca pelarangan Khonghuchu sebagai agama resmi dan sentimen anti China yang cukup menguat semenjak paruh kedua dekade 1960-an. Secara kuantitas, eksistensi umat Khonghuchu mengalami penurunan secara drastis, bahkan dalam angka statistik berada pada angka nol. Yang tersisa dari penganut Khonghuchu adalah beberapa orang tua atau sesepuh masyarakat Tionghoa yang telah berusia lanjut dan tidak mengalami regenerasi di kalangan generasi di bawahnya.
Secara pemahaman mengenai agama Khonghuchu pun mereka masih sangat awam, hal ini dikarenakan tidak adanya lagi aktivitas dakwah dan pelaksanaan ritual kolektif yang dilakukan. Praktis, aktivitas keagamaan Khonghuchu dapat dikatakan tidak ada, setidaknya secara kolektif, kalau pun masih ada yang melaksanakan aktivitas keagamaan Khonghuchu, hal tersebut tak lebih sekedar aktivitas yang dilaksanakan secara personal. Sebelumnya, menurut penuturan bapak Effendi Sinyo yang merupakan informan kunci kami, bahwa dulu di era sebelum tahun 1960-an pertemuan rutin mereka kerap dilakukan, khususnya untuk melaksanakan ibadah bersama atau peringatan keagamaan yang dilaksanakan secara kolektif. Namun, hal ini mengalami penurunan hingga tidak ada sama sekali semenjak pelarangan khonghuchu sebagai agama resmi dan banyak diantara mereka yang menganut Khonghuchu telah meninggal dunia dan pindah ke daerah lain. Dengan demikian, praktis dapat dikatakan, kegiatan keagamaan Khonghuchu berupa dakwah, pertemuan, maupun ibadah bersama tak pernah dilaksanakan lagi di Bantaeng.
Pengorganisasian umat Khonghuchu di Bantaeng, meskipun secara nasional telah ada Majelis Tinggi Agama Khonghuchu Indonesia (MATAKIN) yang berdiri secara resmi pada tahun 1955 di Solo, belum pernah terbentuk. Upaya pengorganisasian ini pernah hampir dilakukan, menurut Eddy Tunggeleng, bahwa dr. Ferdy Sutono (yang kini ketua Majelis Khonghuchu [MAKIN] Kota Makasssar) pernah meminta beliau untuk mendirikan organisasi MAKIN di Bantaeng, namun hingga hari ini belum mendapatkan orang yang bisa ditunjuk untuk mengurus MAKIN di Bantaeng dan hingga hari ini organisasi MAKIN belum terbentuk di Bantaeng, dan menurut Eddy Tunggeleng dia akan siap membantu terbentuknya MAKIN di Bantaeng meskipun dia secara formal akan tetap menganut Buddha sebagai agamanya walau dia juga tidak menampik jika dia juga disebut sebagai penganut Khonghuchu, meski tidak secara formal. Ketiadaan organisasi Khonghuchu ini menjadi problem bagi perkembangan agama Khonghuchu di Bantaeng. Agama Khonghuchu di Bantaeng kalaupun memiliki pengikut, akhirnya hanya bersifat keyakinan personal yang tak memiliki perwujudan sosial dan sangat sulit diharapkan untuk dapat memberikan kontribusi sosial bagi masyarakat sekitar, terlebih untuk mewujudkan kehidupan keagamaan yang harmonis dan komunikasi antar umat beragama.
Mengenai pelaksanaan tata peribadatan Khonghuchu, peneliti melakukan kategorisasi berdasarkan fakta yang peneliti dapatkan di lapangan, bahwa pola pelaksanaan ajaran khonghuchu yang dilakukan oleh warga etnik Tionghoa di Bantaeng terdiri atas dua kategori, yaitu mereka yang meski secara formal tidak mencantumkan agama Khonghuchu dalam kartu identitas mereka tapi dalam praktek keseharian mereka adalah seorang Khonghuchu Tulen. Untuk kategori ini peneliti hanya menemukan beberapa orang dari kalangan sesepuh masyarakat Tionghoa di Bantaeng, diantaranya Bapak Effendi Sinyo beserta istrinya di Jalan Manggis Bantaeng dan Bapak Ci Heng di kawasan Pasar Baru Bantaeng.
Kategori kedua adalah mereka yang secara formal tidak menganut Khonghuchu sebagai agama tapi dalam praktek kesehariannya masih aktif menjalankan ritus dan tata sembahyang ala agama Khonghuchu. Umumnya mereka yang peneliti temui masuk dalam kategori kedua ini. Dalam praktek peribadatan mereka melakukan sinkretisasi antara ajaran Khonghuchu dan agama resmi mereka (khususnya yang beragama Buddha), seperti dalam altar sembahyang mereka selain terdapat patung dan gambar Dewi Kwan Im dan Dewa Kwan Khong, serta simbol-simbol agama Khonghuchu lainnya (seperti foto-foto leluhur) namun di altar tersebut juga mereka memasang patung Budddha. Mereka yang secara formal beragama Buddha melaksanakan sembahyang ala agama Khonghuchu tersebut secara rutin setiap hari, sedangkan untuk mereka yang beragama Kristen dan katolik umumnya menjalankan acara sembahyang tersebut hanya sekali-sekali saja ketika ada acara-acara tertentu seperti Imlek atau momen-momen tertentu saja dan tidak menjadi laku keseharian mereka sebagaimana mereka yang secara formal menganut agama Buddha.
Di Bantaeng tidak ada Klenteng atau Liteng yang merupakan tempat ibadah penganut agama Khonghuchu. Mereka melaksanakan ibadah di rumah-rumah atau di tempat usaha/kerja mereka, di mana mereka memasang altar sembahyang. Pada momen tertentu mereka melaksanakan ibadah di Klenteng yang ada di Jalan Sulawesi Makassar. Namun, menurut Bapak Effendi Sinyo, mereka kerap kumpul jika ada rohaniawan Khonghuchu dari Makassar di rumah Bapak Ci Heng, yaitu di toko 33 di kawasan Pasar Baru Bantaeng. Namun setelah peneliti mengkonfirmasi kepada bapak Ci Heng, kegiatan kumpul-kumpul tersebut sudah lama tak dilaksanakan lagi, dan ketika acara tersebut dilaksanakan yang datang pun tidak semuanya adalah penganut Khonghuchu tulen.
Kutipan hasil penelitian tersebut, bagi saya itulah realitasnya, apalagi saya terlibat langsung dalam proses penelitian tersebut. Ada pikiran yang berkecamuk, sekaligus saya membatin, bahwa betapa sebuah pergolakan politik, bisa saja menghilangkan sesuatu yang paling hakiki, paling asasi pada diri seseorang. Betapa tidak, sebuah anutan hidup, petunjuk hidup yang begitu sakral, luhur dan mulia dari seorang ‘nabi’ Khonghucu, tercerabut begitu saja sebagai akibat dari keserakahan kekuasaan politik. Bapak Efendi Sinyo (Baba’ Cangkeng) dan Ci Heng, adakah mereka sebagai The Last Khonghucu di Bantaeng? Wallahu a’lam bissawab. Lalu saya teringat dengan sebuah filem yang cukup dramatis, yang berjudul The Last Mochikhan, yang sudah beredar beberapa waktu yang lalu.***

Kamis, 21 Februari 2013

46 

Wejangan Miladku, surat buat diri, 20 Februari 1967-2013

Empat Puluh Enam tahun sudah terlewati, makin dekat pada keabadian.
Ke depan baru itu yang pasti, di tengah ketidakpastian hidup

Karena raga makin lemah, maka kebutuhannya pun makin berkurang. Tubuh mulai memilih butuhnya.

Justeru jiwalah yang makin bergolak menuntut butuhnya yang menggila. Kelaparan jiwa mengancam diri, jika tidak disahuti.

Empat Puluh Enam tahun perjalanan, telah menjadi kepastian, sebab sudah terjalani, itulah kemestian hidup.

Tak perlu ada ratap, sebab itu miliknya masa silam. Yang paling mungkin, hanyalah mengambil yang perlu untuk perjalanan berikutnya.

Empat Puluh Enam tahun perjalanan, menjadi pupuk kehidupan bagi diri, jikalau ada hasrat baik untuk menerimanya, berkompromi dengan masa lewat.

Baik-buruk, di mata seorang pejalan, sama saja adanya, sebagai pemandu jalan agar tidak tersesat.

Diri hanya perlu dibujuk, agar makin mengerti bahwa di sisa usia adalah mencari kepastian hidup, meski yang dijumpai barulah penandanya. Alamat pastinya belum terasa, apalagi teraba.

Yang pasti, hanyalah janji pastinya keabadian pada masa dan alam berikutnya.

Empat Puluh Enam tahun sudah tunai dijalani, cukup memadai untuk menapaki jalan keruhanian, yang telah didedahkan oleh-Nya.