Rabu, 27 Juli 2016

KHIDMAT


Sekaum anak negeri berkumpul dari berbagai penjuru mata angin, menggelar persamuhan melepas rindu, sembari bertukar kabar tentang ladang pengabdian dan tentu juga efek rupiahnya. Maka beragamlah rupa penghasilannya. Sahaya turut juga unjuk warta, meski penghasilan belumlah sebesar capaian kisanak yang hadir. Rupanya, Guru Han berbesar hati menghibur dengan dedahan sabda: " Pengabdian, lebih tepatnya berkhidmat, intinya sama saja: kebergunaan bagi sesama. Bentuk artikulasinya bisa rupa-rupa wujudnya, yang kesemua itu hanyalah citra. Kemegahan pengkhidmatan bukan di kemasannya, melainkan pada isinya. Bila begitu adanya, berhati-hatilah terhadap pencitraan, sebab serupa dengan kulit, yang mudah terkelupas."

Jumat, 22 Juli 2016

TELANJANG


Belakangan ini, pada sepetak negeri yang berbenah mencari bentuk kemajuannya, diriuhkan unjuk rasa. Segelintir anak negeri, yang menghimpunkan rasanya, menggantang asanya, mengajukan tuntutan, yang sekadar minta jatah makan, menyodok tuntutan politik, mengaktuilkan potensi keanakmudaan. Semuanya diumbar dengan bahasa telanjang. Sahaya hanya ikut menyimak. Namun, di kesuntukan, Guru Han berbisik: " Bila sudah telanjang, apappun itu, pastilah tidak menarik. Sebab, semuanya sudah tersingkap, tak ada misteri. Padahal, hidup menjadi menarik karena misterinya. Pada misterilah, jiwa menghayat jagat. Apatah lagi, bila yang mengemuka, saling menelanjangi, benar-benarlah tiada yang tersisa selaku penggiur. yang meliurkan gelisah pikiran."

Rabu, 13 Juli 2016

Rayakanlah, Maafkanlah dan Bahagialah

Hari-hari usai puasa Ramadhan, beridul fitri pun menjadi puncak kemenangan bagi yang mencapainya. Menjadi juara karena telah berhasil menaklukkan diri sendiri. Bukankah, sari pati puasa adalah berlaga untuk mewujudkan sari diri? Seluruh perangkat pertempuran diarahkan pada diri, demi peringkat yang dijanjikan; taqwa. Tiada yang bisa membantah diktum suci dari Ilahi, bahwa orang yang beriman dan terpanggil menunaikan puasa, hasilnya adalah sosok taqwa. Hanya yang beriman nan bertaqwa, yang layak mengagungkan kejayaan diri. Ibarat pertandingan sepak bola, semisal Piala Eropa yang segera berakhir, cuma kesebelasan yang ikut bertanding, dan memenangkan babak demi babak yang bakal juara.
 
Menarik mengemukakan petuah Imam Ali bin Abi Thalib, tatkala ditanya oleh para sahabatnya, ketika pada hari raya, memakai pakaian dan makanan yang sederhana. Kala itu, sahabat-sahabatnya melihat keadaan beliau, mereka bersedih dan berkata; “Wahai Amirul Mukminin bukankah hari ini hari raya? Dan, Imam Ali bin Abi Thalib menjawab; “Ya benar, sekarang adalah hari raya dan setiap hari dimana ketaatanku bertambah, bagiku merupakan hari raya.”
 
Seraya mengucapkan lagi; “Hari raya bukanlah bagi orang yang memakai pakain baru, tetapi hari raya bagi yang bertambah ketaatannya. Hari raya bukanlah bagi orang yang memperindah dirinya dengan pakain dan kendaraan, melainkan orang yang dosa-dosanya mendapatkan ampunan. Bukanlah hari raya bagi orang menyantap makanan yang lezat, dan bersenang-senang dengan syahwat. Justeru, makna hari raya yang sebenarnya adalah bagi orang yang diterima taubatnya dan kejelekannya diganti dengan kebaikan.” Sayangnya, perayaan yang banyak dilakukan lebih banyak berorientasi pada luar diri, bersilaturrahim dan halal bilhalal.
 
Secara kultural, masyarakat kita cenderung mematenkannya dalam bentuk tradisi yang beragam adanya. Dan, yang nampak sekali, semisal pemenuhan hasrat konsumsi yang cenderung berlebihan, baik sandang maupun pangan. Seolah hari lebaran adalah ajang balas dendam dari kungkungan bulan Ramadhan. Bersilaturrahim ke seantero jagat, namun sekaligus menjadi ajang fashion, mempertontonkan kendaraan dan gawai terbaru. Jabat tangan dan ucapan selamat hari raya dan maaf, sebatas basa-basi pergaulan.
 
Padahal, dalam Qur’an suci, pada surah Ali Imran (3) ayat 134, telah mengidentifikasi tanda-tanda orang beriman, serupa sosok yang menemukan sari dirinya, yaitu orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.
 
Berinfak dan menahan amarah, telah mewujud di bulan suci. Tidak sedikit model berbagi dinyatakan, baik dalam bentuknya, berupa zakat, sedekah dan lainnya. Begitu juga dengan menahan amarah, berhasil ditaklukkan sesuntuk-suntuknya, sehingga puasa tidak lagi sekadar menahan haus dan lapar. Namun, yang tersisa adalah memaafkan. Adakah kesudian yang menyembul untuk memaafkan sesama, sebagai buah langka, yang bisa ditebarkan bibit-bibit kepengasihan dan kepenyayangan?
 
Firman suci membimbing seseorang untuk memaafkan, agar sari diri selaku sosok beriman menguar. Pada surah At-Taghabun (64) ayat 14 –meski ayat ini ditujukan untuk keluarga (isteri dan anak)– di sebutkan : …dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dalam ayat ini, ada tiga kata yang menarik dicermati, tatkala pembuktian keimanan itu dikedepankan, yakni ; memaafkan, tidak marah dan mengampuni.
 
Setidaknya, menurut Jalaluddin Rakhmat, dalam bukunya yang berjudul Jalan Rahmat, ketika mengomentari ayat tersebut –yang ketiga kata itu berkonotasi memaafkan– maka sikap yang akan dilahirkan oleh seorang insan, pertama, kita hapuskan dari hati kita segala luka, kepedihan, dan sakit hati yang diakibatkan oleh perbuatan orang lain pada kita. Kedua, memaafkan berarti melepaskan hukuman dari orang yang seharusnya menerima hukuman itu, meski kita punya kuasa untuk membalasnya. Ketiga, memaafkan berarti menutup aib, kesalahan, atau dosa orang yang kita maafkan. 
 
Memaafkan, forgiving merupakan tangga menuju kebahagiaan.Maksudnya, jika ingin berbahagia, maka salah pintunya adalah memaafkan. Meski tidak sedikit yang beranggapan bahwa memaafkan itu berarti kekalahan, bahkan menunjukkan kelemahan. Paling tidak, ada juga yang berpendapat bahwa rasa ingin membalas dendam, atau tidak ingin memaafkan sejenis karakter naluriah, yang melekat pada manusia selaku makhluk yang punya sifat pendendam. Yang pasti, tindakan memaafkan serupa pekerjaan yang amat berat untuk dilakukan, karena merupakan perwujudan tindakan keimanan.Jadi, memaafkan sangat dekat dengan keimanan. 
 
Arvan Pradiansyah menyebut tindakan memaafkan ini sebagai salah satu dari tujuh rahasia hidup yang bahagia. Sebagaimana pembabarannya dalam buku yang ditulisnya, dengan judul The 7 Laws of Happiness, mendapukkan forgiving sebagai law yang keenam. Menurutnya, begitu banyak mitos-mitos yang menghalangi untuk memaafkan. Namun, suatu tindakan memberi maaf bermakna melepaskan masa lalu, berusaha memahami orang lain, fokus pada kebaikan orang lain, menjadikan orang lain sebagai guru sejati dan memaafkan bukan berarti melupakan. Bila kelima makna tindakan memaafkan itu direalisir, maka kebahagiaan pun bakal menghidu diri.
 
Merayakan kemenangan dengan beridul fitri, sama pula dengan berlebaran, yang bermaksud meluaskan diri dari kesempitan pikiran dan kesumpekan hati. Pikiran yang sempit dan hati yang sumpek, penanda nyata ketidakbahagiaan. Memaafkan, memberi maaf pada orang lain, yang bertujuan memelihara diri, sesungguhnya merupakan tindakan menghadirkan sari diri. Sedangkan sari diri bagi seseorang, adalah wujud keimanan yang bermuara pada kebahagiaan. Maka, setiap orang patutlah merayakan kemenangannya, karena menaklukkan dirinya sendiri, lalu memaafkan orang lain, dan pastilah kebahagiaan menanti di gerbang kehidupan.
 
[ Edunews, 10 Juli 2016 ]

Kembali ke Sari Diri

Di pucuk nirmalanya bulan Ramadhan, pada pekan terakhir, bertanyalah seorang cilik pada bapaknya, tentang apa yang dibikin, sewaktu umur masih kanak-kanak, sepadan dengan usia sekolah dasar, tatkala bulan suci tiba? Sang bapak yang usia sekolah dasarnya, beredar antara tahun 70an dan 80an pun berusaha mengingat apa yang tersisa, sebagai serpihan kenangan indah, keceriaan yang tiada tanding. Masa termanis dalam hidup.

Berceritalah sang bapak, bahwa ketika kanak-kanak, bila Ramadhan hadir, liburlah sekolah sebulan penuh. Jadi, setiap anak punya waktu yang suntuk untuk menikmati gemerlapnya bulan kudus. Main petasan oke, tapi suaranya tidak keras amat. Ada kembang api, yang sebatas dipegang beberapa detik, lalu mati. Tak ketinggalan, meletuskan meriam bambu, membunyikan letusan-letusan yang terbuat dari busi motor, teralis becak dan sepeda atau motor, yang mesiunya dari korek api. Semua mainan dibuat sendiri. Ngaji di mesjid sambil mendengar kisah-kisah para nabi dan orang terdahulu.

Si cilik menyimak, rupanya mulai membandingkan dengan dirinya, yang di masa kiwari ini, lebih banyak bermain dengan mainan yang dibeli. Mulai dari petasan yang nyaris menyamai suara guntur, kembang api yang berusaha menyamai kerlap-kerlip bintang. Waima ada perbedaan dalam hal mainan, namun hakekatnya sama; bermain. Dunia cilik, memanglah dunia bermain. Segalanya dipandang sebagai mainan belaka. Tafsir seriusnya, dunia ini tempat bermain. Jagat hanyalah mainan belaka.

Lalu apa yang mesti dimaknai lebih khusyuk dari dunia kanak-kanak, sehingga ia memandang buana ini sebagai mainan belaka? Saya pun memahaminya dengan mengemukakan asumsi, karena terkait langsung dengan jiwa sang anak. Seorang anak yang belum akil baligh, niscayalah khalis jiwanya, mukhlis ruhaninya. Jiwa yang kudus, pastilah memandang jagat ini sebagai tempat bercanda, sarana bermain, sehingga segalanya menjadi bagian dari candaan dan mainan belaka. Makanya, karena jiwanya masih bersih, tidaklah berlaku hukum-hukum ilahi padanya. Sebab sang anak adalah manusia citra ilahi. Inilah sari diri, sosok yang azali bin purba dalam kehambaan.

Akan halnya ketika mulai memasuki masa akil baligh, dunia anak pun ditinggalkan. Mengadalah dunia remaja. Kesucian jiwa pun mulai buram. Yang benderang adalah gejolak meninggalkan dunia dalam -- kekudusan ruhani yang mikrokosmik-- bertualang memenuhi hasrat-hasrat dunia luar -- memoles kekotoran jasmani yang makrokosmik-- yang berwujud pada persaingan dalam segala bidang kehidupan. Pengejaran segala yang berbau duniawi menjadi tak terhindarkan. Dunia tidak lagi sebagai arena permainan, melainkan main-main dengan dunia. Karena main-main dengan dunia, maka dunia pun mempermainkannya. Menawannya, hingga terterungku begitu rupa dan sulit sekali membebaskan diri dari ikatan duniawi.

Terkisahlah seorang kerabat yang menghadiahi saudaranya yang lebih tua, kala usia sang kakak telah menghabiskan jatah melatanya 40 tahun, dengan sebuah cendramata yang bertuliskan: Life is Begin at Fourty , hidup dimulai pada usia empat puluh. Saya yang menyaksikan peristiwa itu, membatinkan kira-kira yang dimaksudkan dengan slogan kehidupan itu. Ronanya, itu adalah sejenis ajakan untuk menempuh jalan balik, setelah menghabiskan masa bertualang meninggalkan diri -- dunia dalam yang mikrokosmik -- jiwa yang kudus. Singkatnya, serupa ajakan untuk menjadi kanak-kanak lagi, mengarungi jiwa yang kudus, meski dengan balutan jasmani yang tidak cilik lagi. Kembali ke sari diri.

Bulan Ramadhan yang tinggal ratusan menit durasinya, mendorong si cilik agar sang bapak ikut lagi bermain di pucuk waktu yang tersisa. Suatu ajakan untuk menjadi kanak-kanak lagi. Sang bapak pun mengiyakan. Lalu terjadilah kolaborasi yang apik, antara si cilik dan sang bapak dalam mengkuduskan Ramadhan, sekaligus menyilakan pergi dan berharap setahun kemudian datang lagi. Mainan pun dibikin sedemikian rupa, guna mewujudkan permainan semangat kekanakan, yang menganggap semua yang di luar diri hanyalah mainan belaka.

Pada usia sang bapak yang sudah lebih empat puluh, menjadi kanak-kanak dalam pengertian yang lebih spiritual bukanlah perkara yang sulit. Sebab, memang sudah waktunya untuk merintis jalan pulang, setelah mengembara ke berbagai belahan jagat, mencari bekal kehidupan, agar tetap eksis melata di atasnya. Bila perjalanan meninggalkan sari dari porosnya dari kanak menuju akil baligh, maka jalan pulang, kembali ke sari diri, prosesnya dari akil baligh kembali ke kanak. Jadi, pada sari dirilah bertemu kualitas insan kamil -- antara si cilik dan sang bapak dalam kekanakan -- yang memandang jagat sebagai arena permainan atawa dunia sebagai mainan belaka. Raib dan adanya segala yang duniawi, hanyalah pergiliran semata.

Saatnyalah mengedepankan anjuran Muhammad Iqbal, seorang penyair - filosof anak benua India-Pakistan, pada kitab utamanya, Javid Namah, yang memandang dunia tidak lebih dari kedai, sejenis tempat singgah sejenak rehat. Atau mencerap kembali penggalan syair Maulana Rumi, sesosok sufi yang amat tersohor bagi para spiritualis, dalam karyanya, Mastnawi, yang mengandaikan suara merdu nan melengking seruling bambu yang menjerit, menyayat jiwa, karena rindu akan rumpunnya. Sebatang seruling yang ingin ke kembali ke jati dirinya, serumpun bambu.

Sudah waktunya, bekal hidup yang begitu banyak, sebagai hasil capaian prestasi dari akibat meninggalkan sari diri, semisal; gundukan harta, limpahan jabatan, diperas menjadi intisari hidup berupa amal. Mengkualitaskan yang kuantitas, menjiwakan yang ragawi, meruhanikan yang jasmani. Kembali ke diri yang azali, menyongsong perjanjian primordial dengan Ilahi, agar diperkenankan kembali menjadi makhluk ilahiat. Dan, Ramadhan yang tuntas ditunaikan, hanyalah sebentuk interupsi tahunan, yang bergulir untuk mengingatkan, agar tidak lupa pada diri terdalam, yang hakiki dalam kekanakan, sari diri. 

[ Edunews, 03 Juli 2016]

Senin, 04 Juli 2016

SEDIH


Tuntas sudah bersetubuh dengan bulan Ramadhan, berharap kesucian menghidu diri selama bulan-bulan berikutnya, hingga sua lagi di perjumpaan tahun depan. Sahaya termenung sejenak, membatinkan satu soal; sedih. Sebab, biasanya, tatkala ada perpisahan, segera saja rasa sedih menguar. Guru Han, yang amat khusyuk dalam kebeningan di keheningan subuh, pada hari terakhir puasa, tetiba bersabda: " Ada dua respon yang melanda seseorang tatkala berpisah dengan bulan Ramadhan. Merasa amat sedih, bersedih sesuntuknya karena Ramadhan meninggalkannya. Pun lainnya, amat menyedihkan, sebab seseorang itulah yang meninggalkan Ramadhan, entah itu di awal, pertengahan atau akhir Ramadhan."