Rabu, 10 Agustus 2016

MANIS



Duduk santai di selasar mukim, menikmati peganan yang bertaburan gula pasir. Rasanya manis, semanis kekasih, yang berdepan-depan dengan sahaya, yang menyantap kue tak bergula. Tetiba saja, beberapa butir gula pasir jatuh ke lantai. Selang beberapa detik kemudian, sekaum semut berkerumun, mengular sembari membisikkan kepada kaum suanya, agar merapat pada rasa manis itu. Tertujulah ingatan pada Guru Han, yang pernah bersabda: “ Buatlah dirimu dan perbuatanmu seperti gula, yang sari dirinya begitu manis, sehingga siapapun dia, sepanjang serupa dengan semut, maka ia akan mentandangimu. Tujuannya, aneka rupa, yang pasti ingin menikmati rasa manis, atau memaniskan diri. Jadi, anggaplah setiap tetamu itu, semisal semut, siapapun dia.”

Rabu, 03 Agustus 2016

LELAH


Mentari mulai unjuk panas, waima baru semenjana teriknya, seorang kisanak bertandang ke tempat cari nafkah sahaya, sekaligus wadah persemedian. Berceritalah ia tentang hidup yang dijalani, yang terkadang amat menjemukan, bahkan terlintas dalam benaknya untuk meninggalkan jabatannya. Guru Han yang sedari awal ikut menyuntuk perbincangan, pun unjuk kata: " Hidup memang bisa melelahkan. Namun, sanggup pula menggairahkan. Karena yang kita biayai, sesungguhnya sedikit saja, bila butuhnya tubuh semata. Tetapi, yang kita ongkosi begitu rupa, yang melengket pada badan, itulah yang melelahkan. "

Senin, 01 Agustus 2016

Muhary, Sarabba-Kopi, dan Literasi


Sengaja saya mengansel seluruh aktivitas akhir pekan, yang dinubuatkan pada saya, pada pekan terakhir bulan Juli, pertanggal 31, bersetuju hari Ahad. Pasalnya, Kelas Literasi Paradigma Institute dibuka kembali, setelah pakansi puasa dan lebaran. Preinya lumayan lama, lebih sebulan, tepatnya 8 pekan. Sehingga, di pekan pertama pascapakansi, yang dalam penanggalan kelas literasi, dikatagorikan sudah pekan ke-23 dalam proses belajar menulis. Tiada yang istimewa di pekan perdana sehabis liburan, selain dari lebih banyak bercengkrama melepas kangen, waima tetap saja tersaji dua tulisan yang dikurasi secara terbatas. Tulisan Muhajir MA, berjudul Muasal dan satunya lagi, tulisan saya yang bertajuk Surat Anies.
Kelas kali ini memang tidak istimewa dari segi kuantitas peserta yang hadir. Kami hanya berdelapan, namun kelas punya banyak kejutan. Menu camilan yang tidak biasa, sarabba dan ubi-pisang goreng. Sebiji delima merah-- menurut Putri Reski Ananda, hasil impor-- yang dibagi seadanya, dan hadirnya peserta baru, serta peserta lama yang vakum, namun berniat kembali merevitalisasi semangat menulisnya. Di atas segalanya, kejutan yang tak ternyana oleh peserta, adalah kedatangan Muhary Wahyu Nurba, yang bagi beberapa peserta, sebenarnya hanya kenal nama.
Tidak jelas persis, pukul berapa kelas dimulai, soalnya, begitu bersua langsung saja perbincangan mengalir deras, sederas air ledeng yang masih kencang alirannya di mukim saya. Nantilah saya menyela, agar segera dibuka saja, mumpung ada dua tulisan yang hendak dikurasi. Usai Muhajir MA, berbasa-basi mengucapkan “sambutan” selaku penanggung jawab, sebab ketua kelas, Bahrulamsal berhalangan hadir, apatah lagi kepala sekolahnya, Asran Salam masih di Palopo, didapuklah saya untuk membacakan tulisan, sedelapan ratusan kata, sebuah esai. Sayangnya, suara saya yang lantang dan agak puitis, kalah keras oleh suara mengaji masjid dekat rumah, yang bergegas mengajak shalat ashar.
Esai yang saya babarkan, bermaksud ikut nimbrung akan hiruk pikuk penggantian Anies Baswedan, selaku Mendikbud dari kabinet Jokowi. Peristiwa itu adalah hajatan politik, karena sesarinya memang, jabatan menteri merupakan jabatan politik. Dan, yang namanya politik, yang pasti hanyalah ketidakpastian. Tetapi, esai yang saya ajukan dengan judul Surat Anies, bukanlah esai politik, melainkan sepenggal pendapat akan tindakan Anies yang menulis surat kepada para guru, kepala sekolah dan tenaga kependidikan, sebagai tanda pamit. Bidikan persepsi yang saya ajukan, terkait langsung dengan tradisi literasi, dan upaya Anies merawat tali kasih dengan jajaran pelakon pendidikan.
Selanjutnya, giliran Muhajir MA, dengan esai yang tak kalah mengharukannya. Esai yang dipaparkan mengulas dimensi terdalam dari sisi-sisi kemanusiaan yang makin garib dijumpai. Seorang nenek, yang saban waktu, menggawangi kantin kampus, guna memulung sampah plastik dari para mahasiswa yang abai terhadap lingkungan, dan terjebak dengan pola hidup konsumerisme, sejenis penabalan diri sebagai sosok kelas menengah kota. Sang nenek, di mata Muhajir MA, tak pernah terlihat menengadahkan tangan, bahkan, tatkala ingin memungut sampah plastik di sela-sela keangkuhan mahasiswa, tetap meminta izin untuk meraihnya. Dan, yang lebih ajaib lagi, kala dompet Muhajir MA tercecer, sang Nenek memungut dan mengembalikannya, tanpa kurang sesuatupun
Kelihatannya, kelas kali ini, perbincangannya mengharu biru, gegara sajian dua esai itu. Namun, keceriaan segera nampak, ketika Muhary Wahyu Nurba-- penyair, sastrawan, penulis, esais -- tetiba muncul di kelas. Langsung saja ia membaur, menyapa segenap yang hadir, berusaha mengenalinya, bahkan ada upaya mengenal lebih dalam setiap peserta. Padahal, kedatangan Muhary tidak direncanakan sebagai bagian dari perhelatan kelas ini. Tapi, begitulah Muhary, bila sudah berada di Paradigma Ilmu Toko Buku, dia selalu menganggapnya sebagai sepetak surganya. Bukankah, kalau sudah disurga kita punya kebebasan?
Tujuan yang sesungguhnya, sehingga Muhary bertandang ke Paradigma, mau bertemu dengan seorang tukang bentor yang punya tradisi literasi, yang saban waktu, mangkal di Paradigma. Ketertarikan Muhary pada sosok itu, gegara Mauliah Mulkin memposting di facebook, selintas tentang sosok langka tersebut. Perburuan Muhary kali ini kurang beruntung, sebab si tukang bentor telah hadir sesuai dengan janjinya ingin bertemu, tetapi, tetiba saja ia pulang. Alasannya, malu dan kurang pede, serta tak kuasa berbaur dengan kawan-kawan di kelas. Akhirnya, Muhary memakluminya dan selanjutnya lebih konsentrasi di kelas.
Seraya berdiskusi di kelas, ada kejutan dari Muhary, yang sejak awal ketandangannya, membawa sebungkus kopi hitam, khas Lombok, yang ditaruhnya di atas meja. Awalnya, saya abai terhadap bungkusan itu untuk ditindaklanjuti, sebab saya sudah menawarkan sarabba. Rupanya, sarabba dalam tradisi saya dengannya, bukanlah minuman pokok, sejenis tegukan pelengkap saja. Lalu, kopi pun yang dibawa dari Lombok menjadi pengerat persamuhan. Saya lalu membatin, benar-benarlah ini baru perbincangan.
Sejatinya memang, Muhary nyaris sudah mukim di Lombok, apatah lagi sudah menjadi redaktur rubrik Literasi di Lombok Pos, yang setiap hari Ahad hadir menyapa para pemburu puisi, cerpen, esai dan karikatur. Jauh sebelum hijrah ke Lombok, tatkala masih mukim di Makassar, di Paradigma Ilmu Toko Buku menjadi salah satu tempat bertenggernya. Baginya, Paradigma, sejenis dahan yang hangat ditenggeri, ketika agak lelah terbang mengangkasa di sudut-sudut kota Makassar yang gerah. Apatah lagi, saat Muhary menjadi esais tetap di rubrik Literasi, koran Tempo Makassar, yang bertandem dengan Hendragunawan S. Thayf, Paradigma menjadi sepetak surganya, buat menuntaskan esainya. Dan, salah satu kebiasaannya, manakala datang, selalu membawa peganan, berupa kue-kue tradisional, yang pasangannya tersedia di Paradigma, kopi hitam dari Bantaeng.
Ah.... rupanya saya larut dalam kenangan. Sebaiknya, balik lagi ke kelas, karena ada bintang yang jatuh menyinari persamuhan. Muhary lah bintang itu. Aura literasi Muhary menghidu segenap ruang baca Paradigma, tempat berlangsungnya persamuhan. Sesekali ia menengok ke rak-rak, yang isinya ribuan buku, seolah menyapanya, lalu berujar; “ hai bro... apa kabarmu, sudah lama daku tak menjamahmu, bukankah dikaulah teman setiaku, selaku penghuni surga di sini? “ Tentulah, sang buku bertutur; “ rinduku padamu tak terkira, daku butuh belaimu, bukalah lembaran-lembaranku, celupkan dirimu di bilik-bilik lembaranku. Jamahanmu sungguh menggetarkanku.”
Kopi hangat yang tersaji menambah gairah perhelatan, bersabdalah Muhary tentang sari diri dalam kepenulisan: “ Menulis berarti mengkhatamkan diri sendiri. Hanyalah diri yang selesai dengan dirinya, yang bakal bisa menjadi penulis yang baik. Maka, membaca diri menjadi penting untuk dituntaskan.” Selanjutnya, ia menyimpaikan titah: “Dan, lebih dari itu, yang tak kalah pentingnya, selaku pribadi dan komunitas, milikilah kehangatan. Sebab, dengan kehangatanlah mampu mengenali diri sendiri, dan akan menebar ke sesama. Kehangatan seorang penulis, bakal menentukan resapan pembacanya.”
Toa masjid dengan lantunan ayat suci memberi isyarat, kelas segera berakhir. Sore jelang maghrib, penaka melukiskan takdir semesta, matahari pamit, meminta bulan segera mengambil estafet cahaya, malam menggeliat, berkemas mengiringi segenap penghuni jagat. Kelas bubar, satu persatu kawan belajar pamit. Pada akhirnya, sisa saya dan Muhary di kelas, ruang baca Paradigma, lalu saling ajak ke sumber suara azan, masjid dekat mukim, tunaikan shalat Maghrib.
Sepulang dari masjid, Muhary mau pamit, ingin ke rumah sakit, besuk seorang sahabatnya yang baru saja melahirkan. Ketika mau beranjak, tetiba muncul Mauliah Mulkin, membawa dulang, disusul dua buah piring dan kobokan. Artinya, kami makan malam bersama. Lauknya tidak istimewa, hanya ikan katombo goreng, telur dadar, sambel dan sayur kari nangka. Sambil bersantap, kami mengobrolkan guru kami, kak Alwy Rachman, yang belakangan ini, kelihatannya kurang sehat. Padahal, masih ada beberapa maksud yang belum tersampaikan padanya, khususnya, bakal buku dari kak Abdul Rasyid Idris, yang diberi pracitra olehnya.
Benar-benarlah Muhary, beranjak dan pamit. Sembari mengucapkan terimakasih atas jamuan makan malamnya, yang menurutnya, “maknyus pemirsa”. Bagi Muhary, indikator sedapnya sajian makan, tatkala berkali-kali menambah lauk, dan pasti pula nasi lebih dari sepiring. Dan, lebih dari sekotahnya, karena disajikan dengan penuh kehangatan. Jadi, kehangatanlah yang membuat sarwanya menjadi indah dan membahagikan. Terbuktilah titah Muhary dalam sekejap; kehangatan.