Senin, 30 Mei 2016

CURI


Seorang kisanak datang membujuk sahaya agar menemaninya ke tempat orang pintar, mencari jampi-jampi, atau semacam doa, agar pencuri tidak lagi punya hasrat menggasak barangnya. Tak usalah menemuinya, cukuplah Guru Han dengan sabdanya, sebagai mantra: " Bila dikau ingin terbebas dari pencuri, maka janganlah menyimpan benda yang bakal dicuri itu."

Minggu, 29 Mei 2016

Membaca Natisha Bersama Pinkola dan Campbell




Adalah Khrisna Pabichara, yang menganggit kembali sebuah novel  berjudul Natisha. Menurutnya, novel ini serupa dengan anak ruhaninya. Setelah sebelumnya, sudah mengarang novel, Sepatu Dahlan (2012) dan Surat Dahlan (2013). Novel ini, dirahimi selama 11 tahun, dengan mengalami dua kali “keguguran”, akibat dari disket yang basah dan laptop digondol maling. Proses akhir penulisan, setelah siuman kembali, hanya memakan waktu 2 bulan. Dan, novel Natisha ini, telah diakikah pada acara Makassar International Writers Festival (MIWF), 18 Mei 2016 bertempat di Fort Rotterdam Makassar.

Pascaakikah, Natisha diarak  ke berbagai daerah, khususnya di bagian selatan Sulawesi Selatan, Bantaeng (23 Mei), Takalar (24 Mei), Bulukumba (25 Mei) dan Jeneponto (26 Mei). Dipilihnya empat daerah ini, selain menjadi satelit program MIWF, juga merupakan basis dari akar kisah Natisha. Sebab, Natisha memang bersetting Turatea, daerah yang berbahasa Makassar, khususnya Jeneponto dan Bantaeng. Dan, ketika Natisha tiba di Bantaeng, saya didapuk sebagai pembincangnya, bersama Khrisna Pabichara dan representasi dari penerbit.

Membincang Natisha, saya ingin meminjam jalan pikiran dari  Clarissa Pinkola Estes dan  Joseph Campbell. Sesarinya, Pinkola adalah seorang  psikolog, yang memberi pengantar akan karya dari Campbell, The Hero with a Thousend Face, Pahlawan dengan Seribu Wajah . Pada buku Alwy Rachman, Ruang Sadar Tak Berpagar,  dengan sangat apik menukikkan buah pikir kedua scholar ini. Ditabalkannya, bahwa kisah tak pernah mati, ibarat sungai yang terus mengalir, memberi asupan pada sang jiwa. Setidaknya, demikian pendakuan Pinkola.

Menurut Alwy, kisah serupa dengan “tulang” yang memungkinkan “otot spritualitas” manusia dapat bergerak. Dengan  “kisah sebagai tulang dan “otot spiritualitas”, manusia mampu menegakkan kepedulian  dan keberanian untuk menghadirkan dirinya secara utuh. Bersama “tulang” dan “otot”, manusia bergerak dari satu episode masa lalu ke episode kehidupan mitosnya di masa depan.

Dari sudut pandang inilah, saya membidik Natisha. Sejatinya, Natisha adalah bentangan kisah, yang ditorehkan oleh Khrisna Pabichara. Penggalan-penggalan kisah, yang penyajiannya maju mundur, berdasarkan waktu yang dirujukkan, menyebabkan kisah ini menjadi hidup dan menghidupkan. Kisah-kisah yang ditumpangkan pada jiwa, menyebabkan kisah ini akan mengabadi, paling tidak makin panjang usianya, walau kisah ini sejenis daur ulang dari masa silam.

Akan halnya dengan Campbell, seorang antroplog, yang meneliti ribuan kisah, mitos-mitos kepahlawanan, dari era ke era, simpai pada simpulan bahwa seorang pahlawan adalah sosok pejalan. Didakukannya bahwa perjalanan seorang pahlawan melalu enam tahap. Tahapan itu dimulai dengan Innocens, setangga posisi sebagai orang biasa saja. Berikutnya, memasuki kondisi The Call, keterpanggilan akan penghadapan pada soal kehidupan, yang tidak bisa ditolak. Lalu, Initiation, suatu suasana yang diliputi banyak cobaan berat. Pun, setelahnya memasuki alam Allies, yakni adanya kawan-kawan setia yang menemani dalam menjalani cobaan, untuk  melakukan Breaktrough, pencapaian terobosan, guna mewujudkan Celebration, keberhasilan.

Membaca Natisha, sebenarnya membaca kisah kepahlawanan. Sosok pahlawan yang dimaksud dalam novel ini, tiada lain adalah Daeng Tutu. Jalan cerita Daeng Tutu menggambarkan, bagaimana ia semula hanya seorang yang biasa saja, lalu terlibat dalam permasalahan. Dari masalah inilah, kemudian Daeng Tutu terpanggil untuk ikut menyelesaikan soal-soal yang dihadapi. Bersama orang-orang terdekatnya, melakukan inisiasi-inisiasi sebagai jalan keluar. Dan, pada akhirnya sejumput kemenangan, yang patut didapukkan sebagai perayaan akan keberhasilan. Walakin di ujung kisah, masih menyisakan agenda soal yang memungkinkan daur ulang kepahlawanan pada kisah beriktnya.

Novel Natisha yang bersetting wilayah Turatea ini, memberikan begitu banyak deskripsi tentang kearifan lokal, local wisdom. Boleh pula disebut local genus, pengetahuan lokal, yang sesungguhnya secara substansial amat mondial kandungan pesan-pesan kearifannya. Kalau saja saya harus berpendapat, maka inilah cara Khrisna Pabichara, mewariskan beberapa mitos Turatea, melalui kisah yang dikontemporerkan pada situasi sosial politik era tertentu di negeri ini. Dan, Natisha telah mewujud untuk memberikan asupan jiwa, bagi generasi sekarang, agar tetap menengok dan mewarisi kisah kepahlawanan. Tentu, adaptasi kekiwarian selalu menjadi titiannya. (29/05/16)

Natisha binti Khrisna Pabichara (Dari Fort Rotterdam ke Butta Toa)


Perhelatan Makassar International Writers Festival (MIWF), yang berlangsung pada 18-21 Mei 2016, berpusat di Fort Rotterdam Makassar, menghadirkan begitu banyak penulis, baik dari manca negara maupun dalam negeri. Mereka adalah para bintang acara, yang kerkilau-kilau selama hajatan berlangsung. Banyak mata acara yang disuguhkan, sebagai menu yang ditawarkan buat pengunjung. Dan, salah satunya adalah launching buku, sebuah novel dari Khrisna Pabichara Marewa, berjudul Natisha.
Matahari mulai lelah, ingin pamit, lalu senja mulai menyapa perlahan, tepatnya pukul 15.30 acara bincang novel Natisha dimulai. Pembincangnya, selain sang pengarang, nampak pula Shinta Febriany Sjahrir ikut menyemarakkan diskusi, selaku pembahas atas karya Khrisna Pabichara Marewa. Saya ikut membaurkan diri, bersama ratusan pengkhidmat yang ingin menimba langsung dari sumur kepengarangan dan komentar lantip dari pembahas Natisha.
Kisah pun dimulai. Oleh Khrisna Pabichara Marewa diceritakan proses kreatif dari kelahiran Natisha. Sejatinya, Natisha dikandung dalam rahim ruhaninya selama 11 tahun, yang mengalami dua kali kecelakaan kehilangan naskah awal. Saat pertama, benih Natisha masih dalam bentuk disket, tapi karena basah, menyebabkan komputer tak sudi membacanya. Kali kedua, jabang bayi Natisha lumayan adem dalam kandungan laptop, namun apa lacur, sang laptop digasak maling. Dan, barulah kemudian, ketika energi baru untuk menyelesaikannya mengada, dalam waktu dua bulan saja, rampunglah Natisha.
Khrisna Pabichara Marewa sendiri memaknai novelnya ini sebagai anak ruhaninya. Sehingga, saya pun tergerak untuk mengistilahkannya sebagai bungsu sementara dari anak ruhani yang lain. Tersebutlah kakak kandungnya, Sepatu Dahlan bin Khrisna Pabichara Marewa (2012) dan Surat Dahlan bin Khrisna Pabichara Marewa (2013). Dari paparannya, ada perbedaan antara dua novel sebelumnya, yang berbicara tentang sosok orang lain, sementara Natisha, benar-benar mencerminkan kediriannya. Serupa dengan sari diri kepengarangannya.
Menarik mengajukan perspektif Shinta Febriany Sjahrir, yang membaca novel dalam waktu 4 hari saja, itupun bukan dalam bentuk cetak, menilai bahwa salah satu daya tarik novel ini karena berlatar kisah. Dengan latar belakangnya selaku penulis naskah teater, penyair dan esais, Shinta Febriany Sjahrir memuji jalan cerita yang didedahkan secara berlapis-lapis dalam satu bagian. Sehingga, membacanya pun, kadang maju mundur, bergantung cerita yang dipaparkan. Di atas semua itu, daya tarik yang lain, karena novel ini amat banyak menyodorkan kata-kata arkais, sejenis barang antik yang sudah lama tidak digunakan.
Selaku penyimak diskusi, tentulah saya amat khusyuk mengikutinya. Apatah lagi saya belum membaca novel itu. Dan, nantilah setelah selesai acara baru saya memburunya, membelinya di salah stand pameran buku MIWF. Pascaacara bincang novel, para peserta menyemuti Khrisna Pabichara Marewa, sang pengarang, guna minta tanda tangan dan foto bareng. Saya lalu membatin, ayah ruhani Natisha, benar-benar telah menjadi salah seorang yang bukan saja berkilau laksana bintang, tetapi menyala bersinar layaknya bintang pujaan hati.
Di sela-sela kerumunan pemujanya, barulah saya tahu, ketika Khrisna Pabichara Marewa berujar, “ kak Sulhan Yusuf tak boleh beli buku, harus diberikan, sebab akan menjadi pembincang di Bantaeng.” Saya sungguh-sungguh tak percaya, soalnya saya hanyalah pembaca dan penikmat karya sastra saja, termasuk novel, bukan sebagai orang yang punya kapasitas akademik yang mumpuni mengapresiasi karya sastra. Ada kecamuk di pikiran, juga dumba-dumba di hati. Waima begitu, saya tetap berbahagia, sebab bakal duduk sesanding dengan seorang pengarang yang auranya bakal menghidu aurat saya.
Walhasil, Natisha bersama ayah ruhaninya tiba di Bantaeng, 23 Mei 2016, sebagai wujud dari arakan satelit programnya MIWF, yang dikerjasamakan dengan Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan selaku penyelenggara. Bagi saya, kedatangan Khrisna Pabichara Marewa, semaksud dengan membayar janji yang pernah diucapkannya bertahun yang lalu. Saat itu, tahun 2012, Sepatu Dahlan didiskusikan di berbagai tempat, saya bertemu denganya, pada even diskusi gerakan literasi di Pena Hijau Takalar. Saya dan Khrisna Pabichara Marewa, ditunjuk sebagai pembicara. Pertemuan itu membuahkan janji, atas ajakan saya agar suatu saat bertandang ke Bantaeng. Dan, lima tahun kemudian barulah janji itu lunas terbayar, hadir bersama Natisha di Butta Toa-Bantaeng.
Banyak yang tak terduga atas ketandangan Khrisna Pabichara Marewa di Butta Toa. Mulai dari bolehnya kami selaku komunitas literasi, Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan menggunakan kembali areal Balla Lompoa Letta, setelah mengalami perbaikan dan dipindahkannya rumah jabatan bupati ke Balla Lompoa Letta. Bahkan, lebih dari itu, kami bisa menggunakannya secara berkelanjutan untuk perhelatan literasi dan budaya. Ini gegara Natisha binti Khrisna Pabichara Marewa menyata di Butta Toa-Bantaeng.
Selain itu, kedatangan penghadir yang ratusan jumlahnya. Dugaan semula, hanyalah puluhan, tapi siang itu, sejak pukul 14.00 hingga jelang Maghrib, para peserta perbincangan tetap setia mengikuti jalannya acara. Penghadir pun beragam latarnya, namun didominasi oleh kaum muda-pelajar. Saya selaku pembincang, lebih banyak larut dalam keharuan akan antusias dari penghadir. Sebab, sekelebat ingatan kembali pada sejumput tabalan sabda, bahwa ketinggian peradaban suatu negeri dapat dilihat pada seberapa banyak karya sastra yang dilahirkan dan sejauh mana apresiasi anak negeri terhadap karya sastra.
Imaji saya lalu melayang, menembus kolong Balla Lompoa Letta, tempat acara disamuhkan, menerobos atapnya, terbang pada impian akan bangkitnya penghayatan akan karya sastra di negeri saya, Butta Toa-Bantaeng. Kehadiran Khrisna Pabichara Marewa dengan putri ruhaninya, Natisha, semakin menguatkan gerakan literasi, yang sudah bertahun lalu terpantik lewat komunitas-komunitas literasi. Kehadirannya, makin meliukkan api literasi dan kecintaan pada karya sastra. Meski bukan indikator penentu, diresponnya Natisha oleh lebih 20 orang, dengan cara memilikinya, sebentuk pemenuhan hasrat akan kecintaan pada karya sastra.
Di pucuk persamuhan, saya berinisiatif memberi penanda pada kehadiran Khrisna Pabichara Marewa di Butta Toa. Saya menyerahkan tiga buah buku kepadanya, serupa karya sastra rintisan yang diterbitkan oleh Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan, masing-masing: Titisan Cinta Leluhur dan Djarina, dua novel karangan Atte Shernylia Maladevi, serta AirmMataDarah, sehimpun puisi karangan saya. Pun, tiga buku itu juga, saya hadiahkan pada penerbit yang menerbitkan Natisha. Uluran tangan bersambut, oleh penerbit dibalasnya dengan hadiah novel Natisha. Anggaplah ini sewajah dengan pertukaran tanda bahagia karena bertemu dalam suasana kebatinan, yang membuncah pada penguatan tradisi literasi, untuk hadirnya masyarakat literasi di Butta Toa-Bantaeng.

( Edunews, 29 Mei 2016 )

Jumat, 27 Mei 2016

DUGA


dikau telah menamparku dengan angin
maka badaiku akan mengejarmu
hingga binasamu tiba

daku percaya pada tangan ajaib
yang bekerja dengan sepenuh jiwa
menyeimbangkan tatanan jagat
yang dikau porakporandakan

seandainya dikau menaburkan bunga
daku rela mati menjemputku
taburan bunga di pusaraku
mendinginkanku kala terik mengganas

tamparan anginmu bisa terduga akibatnya
sebab datangnya dari satu arah
namun badaiku tak terduga
karena asalnya dari berbagai penjuru mataangin

Bu Lies dan Kelas Inspirasi


 
Usai sudah perhelatan Kelas Inspirasi Bantaeng (KI-B) jilid III digelar, yang Hari Inspirasinya terwujud pada Rabu, 25 Mei 2016, di 10 sekolah, pada 8 kecamatan di Bantaeng. Perayaan pun layak untuk dipestakan, dan bentuknya amat sederhana, menggelar sejenis acara refleksi di Tribun Pantai Seruni, atas apa yang telah dilakukan selama pelaksanaan KI-Bantaeng ini. Bagi saya, selaku Koordinator KI-Bantaeng merangkap KI-Sulawesi Selatan, perayaan ini serupa dengan hari lebaran. Ini lebarannya para sukarelawan KI-Bantaeng.
 
Seabrek catatan penting untuk dituliskan, sebagai penanda akan torehan peristiwa garib ini. Soalnya, KI-Bantaeng, hanya mampu menggelarnya sekali setahun. Dan tahun 2016 adalah tahun ketiga. Bolehlah saya tabalkan, bahwa perjalanan peristiwa ini, yang memangsa waktu kurang lebih tiga bulan, penuh dengan kejutan-kejutan. Baik kejutan itu menyenangkan maupun menyebalkan. Tetapi, justeru di situlah indahnya proses perjalanan akan suatu even. Terkadang, proses jauh lebih menarik dari hasil yang dicapai. Sebab, dalam proseslah sari diri setiap orang yang terlibat, khususnya para sukarelawan menemukan lahan tempaannya yang paling orisinil.
 
Sekadar peramsalan, sejatinya para sukarelawan KI-Bantaeng adalah sebuah tim. Bila saya ibaratkan sebagai tim sepak bola, yang siap bertanding, mulai dari pertandingan paling awal hingga final. Tentulah tidak bisa dihindari, adanya pemain yang hanya bisa bermain pada beberapa pertandingan, lalu cedera, tapi ikut lagi bermaian di pertandingan berikutnya. Ada juga, yang hanya main satu pertandingan, lalu dibelit cedera berkepanjangan. Pun, nampak pula bisa bermain di pertandingan final, tapi karena akumulasi kartu kuning, terlebih lagi dapat kartu merah sehingga tak boleh menyepak bola. Tapi, bagi saya, semuanya berkontribusi sehingga sukses menggelar pertandingan final, dan juara pula.
 
Pada setiap pertandingan, pastilah banyak kejutannya, bisa menegangkan segenap tim, walakin ujungnya sorak-sorai pun diumbar. Kadang pula, ada pertandingan kalah telat, pun terjadi di kandang sendiri. Tapi berbalas pula, di pertandingan tandang berikutnya, hujan gol di kandang lawan menderas, menyebabkan kiper lawan malas memungut bola, karena terlalu sering menghadap ke jala gawang. Makin dekat pada kompetisi berakhir, desakan kejutan pun bertubi-tubi. Ketegangan mewarnai rona wajah, tercermin pada raut muka yang terkadang membisu diam.
 
Demikianlah, jelang dua pertandingan terakhir, tiba-tiba saja ada kejutan. Stadion yang semulanya mau dipakai bertanding, dinyatakan tak boleh dipakai karena ada hajatan para petinggi, yang punya kuasa atas stadion itu. Tentulah pemindahan tempat bertanding itu menuai resiko bagi tim. Mulai dari strategi bermain, bentuk lapangan yang berbeda sebelumnya, psikologi para pendukung, akan memengaruhi jalannya pertandingan. Maka tidaklah mengherankan jikalau bentuk permaianan awal yang dirancang, mengalami perombakan, pengadaptasian agar pertandingan tetap berjalan.
 
Seperti itu pulah suasana yang dialami para sukarelawan KI-Bantaeng. Tempat briefing yang semula direncanakan akan ditempatkan di Balai Kartini, dan sudah dapat izin, tiba-tiba saja harus pindah ke Ruang Pola Bupati Bantaeng. Alasan diminta pindah lokasi, sebab akan dipakai oleh Pemda Bantaeng untuk acara Isra’ Mi’raj, sekaligus pelepasan Tim Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ). Gegara perpindahan ini, mengikutkan resiko yang tak sedikit. Mulai dari keharusan memberi tahu undangan yang ratusan orang, hingga perlengkapan kesuksesan acara yang dirancang untuk digunakan di Balai Kartini, pun ikut berantakan. Sebab, acara briefing ini membutuhkan ruang yang luas, bukan sekadar menampung orang yang ratusan. Sementara, Ruang Pola Bupati bukan berarti tidak memuat ratusan orang, tetapi bentuk ruangan itu diformat sebagai ruang rapat, yang kursi dan mejanya permanen posisinya.
 
Akibatnya, tidak bisa dihindari. Banyak laku yang sebenarnya tidak menjadi masalah di Balai kartini, menjadi masalah besar di Ruang Pola Bupati. Baik bagi para sukarelawan maupun penanggung jawab ruangan itu. Mulai dari administrasi yang tidak komunikatif atas perpindahan itu, antar jajaran di Pemda, maupun akibat yang ditimbulkan oleh para sukarelawan yang dianggap oleh pengelola sebagai ketidakwajaran. Dan, akibat dari semua itu, karena menyisakan buntut persoalan. Dengan kuasa yang dimiliki oleh pengelola, seenaknya saja menimpakan semua kesalahan itu pada KI-Bantaeng, terkhusus Ketua Panitia, yang mendapat cercaan yang berlebihan.
 
Seharusnya, bila kami melakukan pelanggaran atas penggunaan Ruang Pola itu, surati kami untuk bertanggungjawab secara formal, karena kami masuk secara formal. Itulah gunanya formalitas, bukan mencerca person tertentu. Saya selaku Koordinator KI-Bantaeng, masih sanggup untuk mempertanggungjawabkannya. Sebab, tercercanya seorang relawan panitia di KI-Bantaeng, sama saja mencerca secara keseluruhan.
 
Tibalah pada pertandingan final, Hari Inspirasi. Sejak sore hari, para sukarelawan yang ratusan orang itu, mulai berkemas untuk hadir di 10 Sekolah yang didapuk selaku tempat menginspirasi. Dari berbagai macam profesi, ada: Pengusaha, TNI, Polisi, Dokter dan Tenaga Kesehatan, Penulis, Pustakawan, Dosen-Guru, PNS, Politisi, dll. menghamburkan diri berdasarkan timnya di setiap sekolah. Saking militannya para relawan, nampak tim tertentu yang lokasinya di gunung nan terpencil, memilih bermalam di lokasi, agar esoknya tidak telat tiba disekolah.
 
Mungkin bagi sebagaian orang, kegiatan ini tiadalah arti. Bahkan, cibiran ikut terlontar. Tetapi bagi kami, itu hanya kejutan belaka, sebentuk kejutan yang menyebalkan, yang bakal berbalas dengan kejutan yang menyenangkan. Bagi kami, para sukarelawan, hadirnya sesosok profesional di hadapan anak didik, yang amat jarang menemukenali profesi tersebut, akan menjadi keajaiban. Sejenis epifani, yang bakal memantik cita-cita mereka. Sebab, beragamnya kaum profesional hadir, sama saja menyampaikan kepada mereka bahwa dalam kemelataan di dunia ini, begitu banyak jalan-jalan hidup untuk kehidupan.
 
Bayangkanlah, diri kita saat ini, yang usia sekolah dasar, punya cita-cita dan tentulah masih abstrak penuh tanda tanya. Tetiba ada sosok yang hadir di depan kita, mengkonkritkan yang abstrak itu, berbicara tentang perjalanan dirinya, mulai kesulitan, kesungguhan dan kerja keras, serta kejujuran untuk mencapainya. Pastilah, hanya nilai-nilai ideal dari profesi itu yang disampaikan. Dan, itu artinya memberikan nilai-nilai awal untuk membangun karakter seorang anak didik, yang dinubuatkan dalam cita-cita yang diimajinasikan.
Dengan begitu, segenap sukarelawan dari berbagai profesi, kehadirannya tak ternilai dengan ukuran apapun. Sebab, menjadi pemantik dari nyala api untuk membakar sesuatu, jauh lebih bernilai tinimbang dari api yang membakar itu. Soalnya, adanya api cita-cita yang bakal menyata, karena ada yang memantiknya. Sukarelawan telah menjadi pemantik cita-cita.
 
Kali ini, pada penyelenggaraan KI-Bantaeng jilid III, salah satu sukarelawan pengajarnya adalah Bu Lies Fachruddin, yang dikenal pula sebagai isteri Pak Nurdin Abdullah, Bupati Bantaeng. Kehadirannya selaku sukarelawan pengajar, sebenarnya adalah menunaikan janji yang ditabalkannya, sewaktu tim bersilaturrahim, bertemu mengkonfirmasi akan adanya KI-Bantaeng tahun 2016. Bu Lies Fachruddin hadir, tidak selaku pejabat atau isteri pejabat, melainkan hadir sebagai sukarelawan pengajar yang berprofesi selaku dosen. Saya pun yang bertemu di lokasi sekolahnya, SD Inpres Jagong, menyapanya selaku seorang sukarelawan. Ibaratnya, beliau adalah salah seorang pemain yang ikut bertanding di pertandingan final, dan ikut mencetak bola.

Rabu, 25 Mei 2016

KEPANTASAN


daku tidak butuh jabatanmu
sebab itu tidak lebih dari daki

tak sudilah daku
menampung dakimu

jabatanmu serupa kepantasanmu
bila tuturtuturmu, telunjukmu
tak mewakili jabatanmu
sungguhsungguh nyatalah dakimu

tuturmu yang bau comberan
melukai berlaksa telinga

telunjukmu yang bertajam nanah
menyilet semesta batin

tutur yang dikau tabalkan
telunjuk yang dikau tohokkan
sepadan muntah kucing
jijik dan menjijikkan

PERTEMPURAN


Syahdan, terlibatlah sahaya dalam persamuhan yang membincang tentang kepahlawanan. Aura heroik menghidu jamaah yang ikut bersamuh. Namun, tanpa disilakan, Guru Han langsung menabuh gendrang tutur: " Setiap pertempuran, apapun rupanya, menyisakan korban. Jiwa, luka-luka, dan hilang serta veteran. . Pilihan tidak banyak, karena hanya sisa yang didapat. Jika tidak ingin menjadi korban, maka jangan ikut bertempur, sebab hanya orang-orang yang mampu melewati sisa-sisa pertempuran yang layak didapuk selaku pahlawan.Jalan kepahlawanan adalah jalan pertempuran, menghadapi diri dan selainnya."

Senin, 23 Mei 2016

Jalan Kerelawanan

 
Ada dua perhelatan yang saya anggap penting di bulan Mei 2016. Pertama, tanggal 18-21, hajatan Makassar Interbational Writers Festival (MIWF) digelar untuk keenam kalinya di kota mukim saya, Makassar. Para penulis berdatangan, baik dari dalam negeri-- penulis nasional dan lokal—maupun manca negara. Kedua, tanggal 25, merupakan Hari Inspirasi, yang didedahkan oleh Kelas Inspirasi Bantaeng (KI-B), yang menabalkan 10 sekolah untuk disambangi dalam berbagi inspirasi dari ratusan kaum profesional, berlangsung di kampung kelahiran saya, Butta Toa-bantaeng. Dua even tahunan ini, selalu menyita perhatian saya karena amat terikat secara emosional. Bila di MIWF, ikatan itu berwujud selaku pegiat literasi, maka KI-B berupa sebagai koordinatar relawan.
 
Sekali waktu, saya sudah lupa detail kejadiannya, yang pasti, tatkala saya menonton dialog di salah satu TV swasta, tentang representasi relawan Teman Ahok dengan salah seorang politisi senior. Dalam dialog itu, si politisi senior tak percaya bahwa ada relawan sejenis Teman Ahok. Menurutnya, yang mengaku relawan ini, pastilah dibayar. “ Mana ada orang semacam relawan?”, sergahnya. Meski dengan susah payah sang anak muda relawan itu menyanggah, tapi tetap saja si politikus tidak percaya. Saya yang menyimak perdebatan itu, hanya menggumam di kedalaman batin, memang susah si politisi ini memahami sepak terjang anak muda kekinian, sama susahnya dengan mencat es batu.
 
Dunia kerelawanan adalah dunia yang trend di masa kiwari ini. Dan, uniknya lagi, lebih banyak dimotori oleh kaum muda, yang sering dinubuatkan sebagai gelombang generasi Y-Z. Apa yang terjadi, perseteruan antara relawan Teman Ahok dan si politisi, sesungguhnya adalah wujud benturan antara generasi lama, generasi X dengan genarasi berikutnya, Y-Z. Generasi X gagal paham terhadap hadirnya generasi Y-Z. Padahal, baik relawan teman Ahok maupun para penggerak di MWIF dan KI-B adalah para relawan yang didominasi oleh kawula muda generasi Y-Z. Eksisnya dua perhelatan di awal tulisan ini, karena digawangi oleh sekaum anak muda.
 
Sejatinya, kerelawanan adalah sari diri bangsa ini. Apa yang sering kita sebut sebagai gotong royong adalah karakter terkuat suku-suku di Nusantara. Tidaklah mengherankan kemudian, ketika hampir semua masalah-masalah yang dihadapi oleh bangsa ini bisa selesai karena semanagat gotong royong. Perjuangan untuk kemerdekaan dapat terwujud karena tidak sedikit sukarelawan mengambil bagian di dalamnya. Bergulirnya reformasi tahun 1998, sebab di sana banyak sukarelawan yang bahu membahu memaksa penguasa untuk berhenti berkuasa. Atau, ketika terjadi bencana tsunami di Aceh. Begitu juga, munculnya solidaritas untuk memperkuat KPK dari ancaman pelemahan dan saat hadirnya Gerakan Kawal Pemilu 2014, yang melibatkan 700 sukarelawan.
 
Sayangnya, nilai gotong royong ini makin hari makin susut keberadaan penganutnya. Maka ketika muncul komunitas-komunitas yang melembagakan diri, merepresentasikan berbagai macam bentuk sebagai respon atas permasalahan sosial yang dihadapi bangsa ini patut disyukuri. Model-model kerelawanan dalam wadah komunitas-komunitas adalah gotong royong yang di-entertain-kan. Menariknya, gerakan-gerakan kerelawanan yang melembagakan diri secara lentur ini, didominasi oleh partisipan dari kaum muda, yang sering dituduh sebagai generasi yang abai terhadap soal-soal di luar dirinya dan lebih mementingkan dirinya sendiri.
 
Rasanya, amat penting saya ajukan hasil riset dari harian Kompas, Kamis 19 Mei 2016, tentang media dan gerakan kerelawanan. Disebutkannya bahwa kemunculan gerakan kerelawanan tidak terlepas dari media yang menjadi medium komunikasi ataupun wadah gerakan tersebut. Media ini berubah dari masa ke masa, dipengaruhi perkembangan teknologi. Sifat dan jenis media ini kemudian memengaruhi skala, wujud dan intensitas gerakan.
 
Jadi, karena era kehidupan sosial sekarang ini berbasis internet, maka beberapa hal menjadi ciri dari gerakan kerelawanan saat ini, diantaranya; Informasi, diseminasi pemikiran, dan pengorganisasian gerakan kerap menggunakan media online. Berlangsung cepat dan banyak. Daya jangkaunya luas. Ikatan kolektif cenderung longgar. Namun, bisa juga berubah menjadi gerakan “offline” kuat.
 
Karenanya, tidaklah mengherankan kemudian jikalau partisipan dari gerakan ini adalah orang-orang yang akrab dengan dunia internet. Tentulah kaum muda menjadi lumbung yang paling mungkin merespon akan gejala-gejala gerakan. Dan pastinya, 25 Mei 2016, dimana KI-B akan melaksanakan Hari Inspirasi di 10 sekolah pada 8 Kecamatan di Bantaeng, tidak terlepas dari para sukarelawan, yang kali ini telah memasuki tahun ketiga. Mereka ikut turun tangan, berkontribusi untuk masalah yang dihadapi bangsa ini, khususnya di bidang pendidikan. Inilah jalan kerelawanan, terwujud karena suka dan rela, mewujud pada diri sukarelawan.
( Lembaran Kala, Ahad, 22 Mei 2016)

Rabu, 18 Mei 2016

KREDO


Ini kredo seorang penjual buku:

Manakala ada buku yang dilarang oleh para tiran
maka menjadi kewajiban untuk tetap menjualnya


karena penjual buku adalah titian peradaban
maka menjual buku berarti memelihara peradaban

Jika sudah tidak demikian
maka tak layak menyandang titel penjual buku

tatkala rasa takut menerungku menjual buku terlarang
maka sesungguhnya dikau hanya penjual kertas

wahai segenap penjual buku
beda jual buku dan jual kertas

memang buku hanya lembaran kertas
tapi di dalam buku ada jiwa yang menghidupkan

 cara terbaik melawan tiran pelarang buku
adalah dengan menjual apa yang dilarangnya.

Selasa, 17 Mei 2016

BAKAR-BUKU


bakarlah pikiran dengan buku
bukan buku dibakar karena pikiran

pikiran yang terbakar karena buku
bakal menerangkan kebekuan pikir

pikiran beku cuma memikirkan
cara membakar buku

membakar buku alamat pikiran buntu
bila buntu pikiran buku akan membakarnya

di surga kelak akan ada perpustakaan
tentulah isinya berlaksa buku

di neraka nanti hanya  ada api
pastilah buku juga ikut terbakar

Senin, 16 Mei 2016

Leicester, Attila dan Sang Whise




Pertandingan ke-38  Liga Primer Inggris di gelar pada tanggal 15 Mei 2016, menandai berakhirnya musim kompetisi 2015-2016. Sebelum pertandangan ini berlangsung, telah ada juaranya, Leicester. Sejak pertandingan ke-36, setelah Chelsea VS Tottenham Hostpur  meraih hasil imbang, Leciester pun dinyatakan sebagai juara. Publik sepak bola terhenyak, betapa tidak, klub ini statusnya sebagai klub promosi kemudian jadi juara. Leicester adalah klub yang tidak kaya dan tak punya pemain bintang, bakal berlaga di Liga Champion Eropa, yang lebih banyak diikuti oleh klub-klub kaya dengan para bintangnya. Ini sebuah keajaiban, semakin menandaskan bahwa bola itu bundar.

Pesta juara didedahkan sedemikian rupa, pasalnya Leicester harus menunggu waktu selama 132 tahun, sejak klub ini berdiri untuk menjadi juara. Klub yang dimiliki oleh seorang yang berkebangsaan Thailand, Vichai Srivaddhanaprabha, yang diarsiteki oleh Claudio Rineri dengan sejumlah pemain perkasa, sejatinya adalah sekaum pahlawan. Rineri dan para pemainnya, tiba-tiba membalik asumsi-asumsi paten, bahwa untuk menjadi juara, klub harus punya banyak duit untuk membeli pemain bintang. Justeru di sinilah salah satu kekuatan Liecester, sebab mereka yang bertarung bukanlah para bintang, yang terkadang lebih mengedepankan sinarnya masing-masing. Mereka menjadi sekawan tim, yang bermain tanpa beban. Benar-benar mereka sebagai pahlawan bagi klubnya, yang akan dikenang hingga masa yang panjang ke depan.
***
Bilamasa jarum jam sejarah saya putar ke waktu silam, tepatnya antara tahun 434-454, kita akan tiba pada satu peristiwa yang hingga kini masih dikenang, sebagai salah satu kejadian penting di daratan Eropa. Menurut Jhon Man, sejarawan Inggris, dalam bukunya, Attila: The Barbarian King Who Challenged Rome, menyatakan bahwa dua puluh tahun yang penting awal abad ke-5, nasib kekaisaran Romawi dan masa depan negeri-negeri Eropa bergantung pada sepak terjang seorang lelaki barbar. Dialah Attila, raja bangsa Hun. Kekuasaannya membentang dari sungai Rhine hingga laut hitam, dari Baltik hingga Balkan. Ditopang kekuatan barbar yang sangat hebat, kekaisarannya segera menandingi Romawi.

Lebih jauh Jhon Man menukikkan goresannya, bahwa sejumlah serangan besar melawan Romawi melambungkan reputasi Attila sebagai sosok penghancur. Namanya menjadi pameo bagi barbarisme. Namun, yang melekat padanya bukanlah barbarisme belaka. Dia menggenggam kekuasaan juga berkat karakternya yang mengagumkan serta kecerdasannya memikat jutaan pengikut setianya. Bangsa Hun menganggapnya setengah dewa, dan suku Gothic serta kelompok nomadik lainnya memujanya.
***
Leicester di masa kiwari dalam dunia sepak bola merupakan ancaman bagi klub-klub mapan di Liga Champion Eropa. Serona di waktu silam, Attila merupakan momok menakutkan bagi para penguasa di daratan Eropa. Jadi, saya berasumsi, seolah ada kesamaan meski dalam bidang dan waktu kehidupan yang berbeda. Namun point penting yang ingin saya utarakan adalah sejumput tanya, apa faktor yang cukup signifikan untuk diajukan sebagai penyebab keberhasilan itu? Menjadinya para pemain Leicester sebagai pahlawan bagi klubnya dan kepahlawan Attila bagi bangsa Hun? Banyak asumsi analitik yang bisa dikedepankan untuk meretas tanya itu.

Pada konteks inilah saya ingin ajukan sejumput opini dari seorang Joseph Campbell, sesosok sarjana ahli dalam mitologi, bahwa hadirnya sosok pahlawan (hero), mesti nyata pula keberadaan seorang pembimbing kebajikan (whise) di sampingnya, selaku penasehat spiritual bagi sang pahlawan. Faktor keberadaan sang whise ini, amat menentukan sepak terjang sang hero. Bilasaja para hero dari Leicester itu hadir atawa Attila selaku hero bagi bangsa Hun, lalu siapa sang whise?

Pemilik Leicester yang dari Thailand adalah sosok yang dekat dengan para Biksu. Dan, sang Biksu inilah yang terlibat secara mistis dalm setiap perlagaan klub. Merujuk pada Footyjokes, biksu tersebut mencipratkan air ke bagian-bagian tertentu di stadion serta membacakan mantra pada para pemain. Hal itu dimaksudkan agar pemain tampil maksimal di dalam lapangan. Demikian pula Attila, dipandu oleh kekuatan magic dalam sepak terjangnya. Dalam Wikipedia dituliskan,  Attila adalah orang yang percaya pada takhayul. Ia percaya bahwa semua keberhasilannya tidak luput dari kedekatannya dengan ilmu sihir. Oleh karena itu sepanjang hidupnya ia selalu dikelilingi oleh ahli-ahli sihir.  Biksu pada Leicester dan Penyihir bagi Attila, sesungguhnya adalah sang Whise.






Kamis, 12 Mei 2016

Dua Jempol untuk Sekuntum Peluru


 
Aku bukan pengagum mawar // Sebab dia bunga yang manja // Aku pemuja edelweis // Yang hidup sepi di puncak gunung. (Alto Makmuralto)
 
Adalah Cafe Dialektika, dengan tajuk acara Dialektika Night, sejenis acara rutin di setiap Rabu malam menggelar perhelatan diskusi, pemutaran film ataupun bentuk-bentuk lainnya. Kali ini, tepatnya pada tanggal 11 Mei 2016, menghadirkan seorang pengarang, Alto Makmuralto, untuk membedah buah pikirnya, sebentuk novel yang berjudul Sekuntum Peluru, terbitan Liblitera, 2016.
 
Mendekati pukul 20.30, hujan tiba-tiba turun tanpa tabik, cukup deras, dingin suasana. Kurang lebih setengah jam kemudian, hujan berlalu, tidak permisi, mungkin balik sembunyi di awan. Saya luput mengintainya, sebab acara bedah novel segera ditabuh gendrang mulainya. Pun, moderator yang sekaligus tekong di Cafe Dialektika, Hasbullah, memberi pengantar akan maksud dari perhelatan ini. Setelahnya, Alto Makmuralto pun membabarkan presentasinya akan karangannya itu.
 
Menurutnya, novel Sekuntum Peluru ini, sesarinya adalah terbitan ulang atas novel yang berjudul Dua Jempol Untuknya, diterbitkan oleh penerbit Nala Cipta Litera, 2010. Perubahan judul, didasari oleh keinginan agar novel ini lebih bercitarasa “sastra”. Namun, jawaban yang lebih dalam atas perubahan itu tidak diungkapkan dengan tegas, selain daripada ujaran bahwa dua kata itu datang begitu saja, secara tiba-tiba. Terkesan mistis rupanya. Dan, sebelum berjudul Dua Jempol Untuknya, justeru judul awal yang dinisbahkan adalah, Selamat Tinggal Airmata, mencomot bait paling akhir dari puisi dalam novel ini. Tapi, oleh editornya, Muhary Wahyu Nurba mendakukan suatu tawaran judul sebagaimana kemudian, yang dipetik dari pucuk kalimat paling akhir novel ini.
 
Saya pernah menulis ulasan tentang novel ini, sewaktu masih berjudul Dua Jempol Untuknya. Ulasan itu saya dedahkan bukan sebagai kritik sastra, tetapi tidak lebih dari apresiasi atas kehadiran novel tersebut. Ulasan saya itu berjudul, “Sekali Lagi: Dua Jempol Untuknya”. Barangkali, tak ada salahnya saya nukilkan sepenggal kalimat untuk sekadar menyambung ingatan, bahwa “bagi saya, setelah membaca novel itu, tentu dengan segala kekurangan yang saya miliki, hanya bisa memberikan komentar sebagaimana pada umumnya seorang penikmat, bukan komentar sebagai seorang novelis, ataupun sastrawan. Saya pun sampaikan pada Alto Makmuralto, bahwa bagi generasi mendatang – khususnya bagi kaum urban mahasiswa—yang ingin mengetahui dinamika kehidupan dunia kemahasiswaan-kaum urban tahun 2000-2010, cukup membaca novel ini sebagai salah satu acuan, khususnya di sekitaran wilayah Universitas Negeri Makassar.”
 
Alto Makmuralto sendiri, mendaur ulang kembali ingatannya akan latar kelahiran novelnya ini. Bahwa sesungguhnya novel Sekuntum Peluru adalah sebuah literatur pribadi. Banyak pengalaman selama menjadi aktifis mahasiswa yang disusupkan pada tokoh-tokoh yang ada dalam novel ini. Tentu, tidak lepas pula dari unsur fiksi yang mengikatnya. Dan, yang membedakan antara Dua Jempol Untuknya dan Sekuntum Peluru ini, sebab ada “sensor” atas isi yang beresiko ketabuan, namun ketika diterbitkan ulang, semua tabu itu disuguhkan, sebagai misal, pada halaman 17, tentang adegan yang kencing di mesjid.
 
Amat banyak informasi yang baru saya ketahui, yang sebelumnya tidak saya dapatkan atas novel ini. Di antaranya adalah pendakuan salah seorang sastrawan besar, Ahmad Tohari, yang membubuhkan tiga kata yang bernas, “ novel ini bagus”, yang oleh Alto Makmuralto kemudian dijadikan serupa mantra pelaris, karena dicantumkan pada sampul depan, bersama dengan puisinya yang fenomenal -- sering dikutip banyak orang -- seperti yang saya nukilkan di baris paling awal tulisan ini. Penggalan puisi itu, sering pula menjadi mantra penjinak jiwa, atas orang-orang kasmaran.
 
Meski saya sudah pernah menuliskan di ulasan saya dulu, tentang nasib novel ini, yang di luar dugaan Alto Makmuralto sendiri, tapi karena ia mengulanginya pada persamuhan diskusi kali ini, maka sebentuk penabalan kembali saya mencatatkan bahwa lewat novel inilah Alto Makmuralto kemudian terpilih menjadi “santri” di Majelis Sastra Asia Tenggara (MASTRA), yang di asuh oleh para “kiyai”, sastrawan seperti: Ahmad Tohari, Putu Wijaya, Seno Gumira Ajidarma, Asma Nadia. Ada pula sastrawan-sastrwan dari Malaysia, Singapura dan Brunei.
 
Dari hasil mengikuti program MASTRA inilah, Ahmad Tohari menyarankan agar diterbitkan ulang. Dan, sebagai bukti akan kesungguhannya, tertitiplah tiga kata itu, yang bagi saya, atau mungkin juga Alto Makmuralto lebih menyerupai jampi-jampi yang bakal mengangkat bobot novel ini, sebagai bacaan yang layak ditawarkan pada publik. Namun, ada yang masih mengganjal di pikiran Alto Makmuralto, setidaknya ketika ia mengutarakan bahwa sebenarnya, ada satu lagi novelnya, yang masih berkaitan dengan persyaratan ikut di MASTRA, yang ia titeli Sekawan Jaharu. Namun apa daya, hingga kini, novel tersebut belum selesai juga, dan tentu belum terbit. Justeru ada novel lain yang sudah pada tahap perampungan.
 
Para peserta diskusi malam itu mengapresiasi novel Sekuntum Peluru ini. Baik dalam bentuk tanya, maupun dalam ulasan penegasan atas perbandingannya dengan novel-novel yang lain. Yang pasti, setelah cetakan pertama dengan judul Dua Jempol Untuknya, sesuai dengan tuturan Alto Makmuralto, banyak yang mengapresiasinya. Bahkan, tidak sedikit yang mencarinya. Saya kira, tepatlah kehadiran terbitan ulang ini, walau dengan judul yang berbeda, sebagai upaya jawaban atas masih diminatinya novel ini. Dengan begitu, saya hanya mau bilang, “Dua Jempol untuk Sekuntum Peluru.”

MULIA


Cerah nian di Jumat pagi ini, bersiaplah sahaya ke suatu toko yang menjual songkok dan sepatu. Songkok lama sudah harus pensiun, karena sudah lusuh, sementara sepatu harus undur diri sebab sobeknya makin menganga. Sesampai pada momen transaksi, Guru Han mengingatkan pasal penting: " Semurah apapun harga songkokmu, tempatnya tetap paling tinggi bagi diri. Sebaliknya, semahal apapun nilai sepatumu, posisinya selalu paling bawah bagi diri. Songkok selalu dimuliakan kedudukannya , sepatu sekala dinjak keberadaannya."

Selasa, 10 Mei 2016

SERAP


Bercakap-cakap dengan seorang karib, di selasar semedi sahaya, tentang ketidakberdayaannya menghadapi konflik, karena kemarahan seseorang, sebab ia tidak tumbuh dalam kultur yang suka berbenturan. Dengan santai dan enteng, Guru Han melantunkan tutur: " Bila dikau menghadapi orang marah, cukuplah diam menyikapinya. Dengan begitu, maka diakau akan menyerap energinya, hingga ia tak berdaya lagi. Tatkala dikau diam, energi negatif berupa marah itu, akan berubah menjadi energi positif bagimu. Ia tak kuasa mengendalikan dirinya, sementara dikau mampu mengontrol energi dirinya dan daya dirimu."

Senin, 09 Mei 2016

Pernikahanmu, Perlawananmu!


 
Ada tiga momentum kehidupan, sebagai simpai penyimpul dari kemelataan hidup di jagat. Sering diringkas menjadi saat: kelahiran, pernikahan dan kematian. Inilah siklus kehidupan yang bertaut erat satu sama lain, tatkala beredar dalam kenormalan menjalani hidup dan kehidupan. Maka, tidak sedikit insan yang memberikan penanda kuat akan momentum-momentum itu. Bila perlu, dilukis pada kanvas ingatan atawa dipahat di dinding teduhan hati.
 
Kelahiran setiap insan, selalu disertai tangisan lengking sang bayi, bersambut gayut senyum haru nan bahagia, tawa sukaria gembira dari para penanti kehadirannya. Saking monumentalnya kelahiran setiap anak, maka semua Bani Adam, dengan berbagai latar tradisi, maupun budaya digelar sebagai bentuk pementasan akan pentingnya kelahiran. Model penyambutan kelahiran, jumlahnya sama dengan tradisi dan budaya kaum yang eksis di pelataran bumi.
 
Kala pernikahan tiba, sang insan tersenyum bahagia, bersukaria riang gembira. Dan, cara merayakan pernikahan pun beraneka ragam. Yang pasti, pada momentum pernikahan ini, semuanya tersenyum bahagia, tertawa gembira. Pada pernikahan inilah, titik temu antara momen awal berupa kelahiran dan momen akhir berona kematian, bersatu padu dalam kekompakan mengusung tenda keramaian. Pendeknya, baik insan yang menikah, maupun para penyaksi pernikahan semuanya larut dalam lautan sukacita.
 
Bilamasa pucuk kehidupan tiba, kematian menyata, maka yang terjadi adalah kebalikan dari kelahiran. Insan yang wafat, bakal diam bersungging senyum karena bahagia menjadi tamu keabadian. Sebaliknya, para penatap kematian, akan menangisinya. Tertawan dalam kesedihan, kepiluan dan kehilangan. Si mayat yang meninggalkan kesementaraan tersenyum, sementara si hidup yang ditinggalkan menangis sejadi-jadinya.
Sehingga, hidup ini jadinya menjadi sederhana bulatan edarannya. Lahir, nikah dan mati, itulah siklusnya. Dan, di sela-sela kelahiran, pernikahan dan kematian, senyum dan tangis silih berganti menghiasinya. Keduanya bisa saling berhadapan dalam satu momen, ketika kelahiran dan kematian, namun bisa pula hadir bersamaan dalam satu peristiwa, saat pernikahan diwujudkan: hanya senyum sukaria yang mengada.
 
Karenanya, bagi orang-orang tertentu, yang menganggap hidup ini penuh misi kesejatian perjuangan atas idealitas hidup, maka ketiga momentum hidup dan kehidupannya itu, akan dijadikan sebagai arena kontestasi menyatakan pendapat, serupa perlawanan terhadap jalan hidup dan kehidupan yang membusukkan idealitas kehidupan. Saya petik satu saja momen itu, yakni pernikahan. Bisakah peristiwa pernikahan ini dijadikan sebagai arena untuk menunjukkan perlawanan?
 
Tersebutlah tatacara pernikahan yang dipentaskan oleh Nabi Muhammad SAW, tatkala menikahkan putrinya, Fatimah az-Zahra dengan Ali bin Abi Thalib, yang doanya amat sering dicantumkan pada undangan pernikahan di kekinian. Bagi saya yang terbatas dalam kecanggihan penalaran, menilai bahwa apa yang dipertunjukkan oleh Nabi, adalah sejenis upaya perlawanan terhadap situasi sosial yang begitu hedonis dalam menggelar pesta pernikahan. Hingga masa kiwari ini, masih belum ada tandingannya dalam kesederhanaan pernikahan, padahal Nabi bisa melakukan apa saja, sesuai dengan lakon pernikahan di zaman itu. Wong yang menikahkan adalah pemimpin tertinggi, yang menikah adalah putri terbaik dan putra terpilih.
 
Sejalan dengan itu, pernah pula ada pernikahan yang cukup sederhana, ketika Mohammad Hatta menikah, yang memberikan mahar berupa buku karangannya, Alam Pikiran Yunani, kepada calon isterinya. Yang dilakukan Hatta adalah sejenis interupsi atas situasi sosial, yang hingga kini kita bisa tafsirkan peristiwa pernikahannya itu sebagai jalan juang baginya. Atau, pernah pula di tahun 80-an, sepasang aktifis memilih jalan pernikahannya, dengan menyatakan perkawinanya di pemukiman Kali Code, tempat mengabdinya Romo Mangunwijaya.
 
Demikian juga, dua peristiwa pernikahan yang masih bisa diingat karena menyita perhatian publik. Pertama, ketika RafFi Ahmad dan Nagita Slavina, melakukan pesta pernikahan yang sangat glamour, biayanya mencapai 10,3 milyar, sampai menyerobot ruang publik di TV, dengan paket siaran langsungnya. Kedua, saat pernikahan putra Jokowi, Gibran Rakabuming dan Selvi Ananda, yang begitu sederhana dan bersahaja, padahal bisa melakukan pesta besar-besaran, sebab yang bikin gawe, kosong satunya RI. Bagi saya, peristiwa kedua merupakan tohokan nyata atas peristiwa pertama. Dalam hajatan ada perlawanan terhadap kampanye atas penyuburan hedonisme.
 
Nah, baru-baru ini, tepatnya di hari Ahad, 8 Mei 2016, saya menghadiri pesta pernikahan kawan, Adam Kurniawan dan Ramadhani Arumningtyas di Balai Kartini Bantaeng. Saya kenal keduanya. Dua sejoli ini adalah aktifis, yang sejak mahasiswa sudah sering bersua dengannya. Bagi saya, ini serupa dengan pernikahan ideologis. Maka tak mengherankan, bahkan suatu keharusan manakala gelaran pernikahannya pun sarat dengan muatan ideologis. Sejenis perlawanan atas model-model pesta perkawinan yang hanya mengumbar nilai-nilai hedonisme.
 
Pesta pernikahan kawan saya ini, benar-benar mengusung sebuah konsep alternatif model pesta, yang punya orientasi penumbuhan nilai-nilai kejuangan. Penataan ruang yang amat egaliter, menyebabkan suasana menjadi cair, lebih mirip menghadiri acara pementasan. Sekaum anak muda yang memainkan musik akuistik, yang jauh dari kebisingan, mempersembahkan tembang-tembang yang populis, dengan syair-syair lagu cinta yang jauh dari kenorakan, seperti yang sering kita jumpai dalam pesta-pesta pernikahan dengan iringan electone.
Belum reda rasa takjub saya, tiba-tiba disuguhi pementasan tari tradisional. Saya rada berada di acara bernuansa tradisi. Selain itu, dekat pintu masuk, ada pajangan foto, berbingkai dengan tungkai yang artistik, saya serasa mengunjungi acara pameran foto. Belum lagi menu yang tidak begitu banyak ragamnya, sehingga para tamu akan menyantap dengan khusyuk, setidaknya seperti yang saya rasakan. Padahal, amat banyak pesta yang dibuat, dengan menu yang begitu rupa, seolah pameran kuliner, yang menyebabkan tamu kebingungan sendiri bila terlalu banyak pilihan, yang akhirnya diambil semua sampelnya, lalu disisakan dengan entengnya, sedangkan di luar sana, masih begitu banyak yang butuh makan.
 
Pesta pernikahan kawan saya ini, sebentuk interupsi atas pesta-pesta pernikahan yang hanya mengumbar hedonisme, dan keliaran syhahwat para penghiburnya. Pesta kali ini, amat egaliter, cukup sederhana, namun tetap mengundang senyum, tawa dan bahagia buat khalayak. Karena ini adalah interupsi, maka layak didapuk sebagai upaya perlawanan. Kawan, masamu kini dijepit oleh kelahiran dan kematian, maka jadikanlah: pernikahanmu, perlawananmu!