Selasa, 27 Januari 2015

PEMBENCI


Di selasar pondok pengetahuan, berdepan-depan para kisanak, berbincang tentang kebajikan dan kebijakan. Muncullah cerita tentang seorang penganjur kebaikan, tapi sekaligus pembenci terhadap orang yang tidak segolongan dengannya. Dicecarkannya kebencian-kebencian itu seperti berondongan pelor yang membunuh secara tumpas kelor. Sahaya mengamati Guru Han, yang cukup gelisah dengan berpadunya, antara penganjur kebaikan dan penyebar kebencian pada satu sosok. Ungkapannya pun menyentak: " Sikap yang paling bijak untuk menghadapi pembenci, namun berbaju pendakwah adalah dengan mencium tangannya. Dengan begitu, berarti engkau telah memaafkannya. Sebab, bukakankah dengan kehadiran sosok semisal itu, dikau tidak perlu repot untuk mengenali pembenci dan kebencian-kebenciannya? Yang pasti, pembenci telah mencetak sepetak neraka dalam dirinya, dan kebenciannya merupakan bahan bakar yang siap membakar ruhaninya. Api kebencian akan memperluas lahan nerakanya. Sesungguhnya, seorang pembenci telah hidup dalam nereka yang dibikinnya sendiri."

Senin, 26 Januari 2015

KEMULIAAN



Mengherankan. Begitu banyak insan yang mengejar kemuliaan dengan cara membeli gelar: kebangsawanan, keagamaan dan akademik. Mereka menaklukkan gelar-gelar itu dengan segunung uang yang dipunyai. Padahal, kemuliaan itu, bila sudah tiba saatnya bertengger pada diri, akan hadir dengan sendirinya. Sahaya menanti dengan cemas, bakal apa yang dituturkan Guru Han. Sabdanya pun meluncur: " Kemuliaan itu ibarat songkok. Meskipun harganya murah, posisinya tetap di atas kepala. Sebaliknya, biar mahal bagaimanapun sepasang sepatu, toh tempatnya jadi alas kaki jua."

Minggu, 25 Januari 2015

MAKAM


Jedah sejenak dari rutinitas kerja, berkunjung ke makam pun jadi pilihan. Sahaya bersua dengan penjaga makam. Dibabarkannya sepotong cerita tentang segelintir insan yang menjadikan areal pemakaman sebagai tempat berbuat jangak. Mereka menjangak tanpa jengah, Penjangak tidak segan lagi pada makam yang disucikan. Saat itu pulalah Guru Han menghibur penjaga makam dengan tutur: " Beruntunglah yang selalu dekat dengan makam, sebab saban waktu ingat kematian. Mengingat maut yang senantiasa mengintai. Namun kalau menjaga makam sekadar tempat bekerja, seperti profesi lainnya, maka makam baginya sebatas di pemakaman saja, dan tidak lebih dari tempat mengais makan."

PARA PEMBAKAR BUKU

Sebagai seorang penggiat dalam menumbuhkan budaya literasi, saya amat terkejut ketika membaca buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi: Mereka Membunuh Semuanya, Termasuk Para Ulama, karangan Syaikh Idahram, terbitan Pustaka Pesantren, 2011. Pada halaman 107-108, dengan anak judul: Membakar Puluhan Ribu Buku-Buku Perpustakaan, saya kutipkan kalimat berikut ini:

“Selama Wahabi berkuasa di Jazirah Arab, sudah terlalu banyak perpustakaan Islam yang mereka bumi-hanguskan dan mereka bakar buku-bukunya, seperti pembakaran kitab-kitab para ulama klasik ketika mereka memasuki kota Makkah. Di antara buku-buku yang dibakar itu adalah kitab Dalail al-Khairat, Raudh ar-Rayyahin, buku-buku mantiq, tasawuf, akidah, dan lainnya, yang tidak sejalan dengan ajaran mereka. Inilah musibah besar ilmiah yang terjadi untuk ke sekian kalinya menimpa umat Islam.

“Di antara kasus pembakaran buku-buku, yang paling fenomenal adalah pembakaran buku-buku yang ada di perpustakaan Maktabah Arabiyyah di Makkah al-Mukarramah. Perpustakaan ini termasuk perpustakaan yang paling berharga dan paling bernilai historis. Bagaimana tidak, sedikitnya ada 60.000 buku langka dan sekitar 40.000 masih berupa manuskrip yang sebagiannya adalah hasil diktean dari baginda Nabi Saw kepada para sahabatnya, sebagian lagi dari Khulafaur Rasyidin yang empat, dan para sahabat Nabi lainnya. Di antara buku-buku dan manuskrip itu, banyak yang masih berupa kulit kijang, tulang belulang, pelepah pohon, pahatan, dan lempengan-lempengan tanah.

“Sebagaimana berfungsi sebagai penampungan ribuan buku-buku klasik, perpustakaan Maktabah Arabiyah itu juga menampung peninggalan Islam dan peninggalan sebelum Islam. Namun kini semua itu hilang dan habis dibakar oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan tidak menghendaki peninggalan Islam dilestarikan. Karena, menurut mereka, segala peninggalan itu akan menyebabkan kemusyrikan, dan ribuan buku warisan Islam tersebut akan menjadikan umat Islam berfaham sesat (baca: tidak sesuai dengan faham mereka). Oleh karenanya, buku-buku itu harus dimusnahkan dan dihilangkan jejaknya.

“Pada 1224 H, kembali terjadi musibah besar dalam hal warisan ilmu para ulama as-salaf ash-shalih. Tentara Salafi Wahhabi yang dipimpin oleh Ibnu Qamala melenyapkan perpustakaan Hadhramaut tanpa bekas, dengan membakar dan memberangus gedung beserta ribuan kitab-kitab yang ada di dalamnya. Kejadian tersebut mirip dengan penyerangan yang dilakukan Hulagu Khan terhadap perpustakaan yang ada di Baghdad.”

Lalu saya mencoba membuka literatur lain tentang ulah Hulaghu Khan ini, dan menemukan buku yang berjudul Imperium III, karangan Eko Laksono, terbitan Mizan, 2005. Pada halaman 64-65, tertulis:
“Ini adalah tragedi yang memilukan. Dua ratus ribu orang Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan dengan mudah memasuki Baghdad…. Baghdad dihancurkan. Gedung-gedung pemerintahan dan masjid dihancurkan. Gedung-gedung perpustakaan diratakan dengan tanah. Tidak hanya itu, semua buku yang sangat berharga yang ada di sana dilemparkan ke jalan dan ke sungai, begitu banyaknya sampai-sampai sungai itu penuh tertutup buku…”

Saya lalu membayangkan, kalau saja kaum Salafi Wahhabi – yang melanjutkan tradisi bakar buku-perpustakaan dari Hulagu Khan-Mongol—ini berkuasa, dan tiba-tiba gerombolan Salafi Wahhabi datang ke rumah saya, maka saya amat yakin dan percaya, rumah saya akan dibakar dan diratakan dengan tanah. Lho, apa salah dan dosa saya? Ya, tentu saja karena di dalam rumah saya ada ribuan buku koleksi di perpustakaan pribadi saya, ditambah puluhan ribu buku yang ada di toko buku saya, yang masih bergandengan dengan rumah saya. Mereka akan mendakwa buku-buku tersebut sesat dan menyesatkan, juga mendakwah saya sebagai orang sesat dan menyesatkan pula.

Tidak berhenti sampai di situ saja, Rumah Pengetahuan Boetta Ilmoe—sebagai basis gerakan menuju masyarakat literasi—yang ada di Butta Toa-Bantaeng pun akan jadi sasaran. Soalnya, di sana pun salah dan dosanya sama, yakni karena memiliki rumah baca dan toko buku yang koleksinya juga lumayan, ribuan buku. Bagi kaum Salafi Wahhabi, buku-buku tersebut akan menjadi pemicu kesesatan dalam beragama.
Moga-moga ini hanyalah bayangan dan hayalan saya saja. Namun Anda harus waspada terhadap kaum Salafi Wahhabi, jika Anda punya perpustakaan dan seorang pecinta buku. Sebab, saya sendiri sudah lebih dari tiga kali didatangi oleh seseorang, yang penampilannya seperti yang digambarkan oleh buku Syaikh Idahram dan mengatakan bahwa buku-buku saya berbahaya dan menyesatkan. Gawat! []

MASIH PERLU DIEDIT; FILM .. BUKU MUTAKHIR

Sabtu, 24 Januari 2015

MEMBERILAH DENGAN SARI DIRI


Berikanlah yang terbaik dari milikmu, seolah yang akan menerimanya adalah dirimu sendiri. Pemberian mesti dimaksudkan sebagai titik temu antara kemampuan menyatakan kesanggupan dan keterbebasan beban bagi yang menerimanya. Dengan begitu, pemberian barulah maksimal manfaatnya bagi si penerima, sehingga si penerima tidak perlu lagi berfikir berkali-kali akan kegunaan suatu pemberian.

Sekali waktu, saya berada di sebuah toko buku. Sambil memerhatikan buku-buku yang akan saya beli, juga menguping perbincangan transaksional dari dua orang konsumen yang mencari buku untuk keperluan yang berbeda, namun dalam satu tujuan, ingin disumbangkan, sebagai bentuk pemberian untuk menyatakan kepentingannya.

Konsumen pertama, mencari buku yang sesuai dengan jurusannya. Tidaklah perlu tebal, harganya semurah mungkin. Sebab, maksud pembeliannya dalam rangka mendapatkan kartu bebas pustaka, sebagai prasyarat menjadi sarjana di kampusnya. Oleh penjaga toko buku, dipenuhinya kebutuhan sang konsumen, dan transaksi pun berlangsung. Sembari tersenyum simpul, si konsumen meninggalkan toko buku dengan perasaan lega. Apa yang dicarinya telah terpenuhi. Saya pun hanya memicingkan mata, membatinkan lebih jauh tingkahnya.

Di sudut lain, konsumen kedua terlibat percakapan serius dengan penjaga toko buku. Didedahkannya maksud membeli buku untuk sebuah keperluan, sebagai kado untuk kerabatnya yang akan menikah. Dimintanya penjaga toko buku untuk mencarikan buku yang terbaik bagi calon pengantin, yang sebentar lagi akan membangun rumah tangganya.
Oleh si penjaga, ditawarkannya sebuah buku yang cukup tebal, harga agak mahal. Namun si konsumen langsung saja mengiyakan. Transaksi pun terjadi, dan tak lupa ia meminta untuk dibungkuskan pakai kertas kado. Mata saya agak melebar, menyaksikan peristiwa itu.

Dua peristiwa tersebut, sama dalam tindakan. Ingin memberikan sesuatu kepada orang lain. Meski dengan motif dan tujuan yang berbeda. Intinya adalah pemberian. Pada konteks inilah menarik untuk diajukan penuturan Marcel Mauss, yang dipertegas oleh Parsudi Suparlan saat menerjemahkan dan menuliskan pengantarnya untuk buku yang berjudul Pemberian, yang judul aslinya bertitel The Gift, form and functions of  exchange in archic societies.

Bagi Marcel Mauss, pada dasarnya tidak ada pemberian yang cuma-cuma. Segala bentuk pemberian selalu dibarengi dengan sesuatu pemberian kembali atau imbalan. Dengan demikian maka yang terjadi bukan hanya pemberian seseorang kepada orang lain, melainkan tukar-menukar, saling memberi dan mengimbangi. Artinya, pemberian itu sesungguhnya adalah transaksi antara si pemberi dan si penerima.

Lebih jauh Marcel menandaskan bahwa suatu pemberian hadiah adalah sama dengan suatu pemberian mana atau sari kehidupan dari si pemberi kepada si penerima. Dengan diterimanya suatu benda yang diberikan maka diartikan bahwa si penerima pemberian tersebut telah menerima sari kehidupan si pemberi atau sama dengan diri si pemberi itu sendiri.

Marcel makin menukik dalam penjelasannya, ada juga pemberian yang tidak menuntut diberikannya imbalan atau pengembalian oleh si penerima, semisal sedekah. Jikalau diperhatikan lebih lanjut, akan tampak bahwa sedekah adalah sebuah unsur dari sistem yang lebih luas, memperlihatkan adanya hubungan di antara si pemberi dengan unsur ketiga, yaitu Tuhan, yang kedudukannya lebih tinggi daripada si pemberi maupun si penerima, yang akan memberikan pahala kepada si pemberi.

Bertolak dari uraian Marcel, saya ingin membingkai dua kejadian di toko buku tersebut. Tindakan konsumen pertama dan kedua, sama-sama dimotivasi untuk suatu tindakan memberi pada orang lain. Konsumen pertama, menyumbangkan buku demi mendapatkan imbalan, selembar kertas bebas pustaka. Sebentuk transaksi yang amat “telanjang” dimensi kepentingan materialnya. Si pemberi melakukan tindakannya, sebab adanya tekanan eksternal di luar dirinya. Situasi eksternallah yang memaksanya untuk memberi.

Adapun konsumen kedua, memenuhi tindakannya, disebabkan oleh inginnya memberi sari dirinya kepada kerabatnya. Tentulah dengan harapan agar kerabatnya itu menerima dirinya sebagai bagian dari sari kehidupan. Karena si pemberi memberikan buku yang terbaik buat kerabatnya, seolah ia merepresentasikan dirinya dalam sebuah cita ideal. Dalam konteks ini, si pemberi tidaklah menuntut imbalan berupa benda, melainkan cukup dengan memenuhi harapan cita ideal representasi dirinya pada buku tersebut. Dan, manakala si penerima mewujudkan cita ideal itu, maka Tuhan pun akan mengganjar si pemberi dengan pahala. Tindakan memberi dengan sadar – sari diri – muasalnya dari internal diri, yang melampau batas-batas material. Nuansanya amat spiritual.

CATATAN KISAH ; RUMAH MALAIKAT

Lalu, adakah dampak yang serius dari sebuah tindakan memberi atau pemberian yang sifatnya transaksinal semata sebab tekanan eksternal dan pemberian bertolak pada motif sari diri karena dorongan internal sadar diri?

Ini sejenis rabaan saja. Tindakan memberi buku sebagai sumbangan buat perpustakaan, yang sekadar memenuhi kewajiban menyebabkan pemberian itu hambar. Dapat dibayangkan kualitas buku yang seadanya bercokol di perpustakaan kampus. Buku itu akan sulit direka bakal menggerakkan nalar, mencerahkan pikiran. Buku seperti ini adalah buku mati. Yang segera nyata hanyalah menambah sesaknya rak buku saja. Padahal, sejatinya sebuah perpustakaan kampus akan menjadi urat nadi perkembangan ilmu pengetahuan. Buku-buku yang disumbangkan sejenis ini, cukup berjasa untuk semakin mematikan perpustakaan.

Akan halnya buku yang diberikan pada kerabat, dengan harapan adanya cita ideal sebuah bangunan rumah tangga yang bakal dijalani, pastilah berujung pada dampak yang jauh ke masa depan. Tidak saja bagi pasangan baru itu, tetapi setiap persona yang tumbuh dalam rumah itu, sebab buku itu bakal memesona penghuninya. Marilah mereka-reka rumah tangga ini. Manakala sebuah buku telah memesona para persona sebuah rumah tangga, maka akan memancing hadirnya buku-buku yang lain. Berarti, cikal bakal lahirnya sebuah perpustakaan keluarga akan mewarnai perjalanan keluarga tersebut. Kata seorang penulis, sebuah rumah yang di dalamnya ada perpustakaan, rumah itu telah memiliki sepetak surga. Surga adalah tempat bagi orang yang berbahagia.

Jadi, mengapa masih saja memberi dengan terpaksa, jikalau dampaknya sia-sia belaka? Meski pemberian disebabkan oleh tekanan eksternal, sebagai pemenuhan akan kewajiban, tetapi dalam menunaikannya sama seperti memberi karena dorongan internal, wujud dari sari diri maka hasilnya pasti akan sama. Berikanlah yang terbaik, seolah yang bakal menerima pemberian itu adalah dirimu sendiri. Sari dirimu mewujud pada diri lain.

IMAM HUSEIN: PEWARIS YESUS KRISTUS






               
                Hayat yang dikandung badan rela Ia lepas. Mempertaruhkannya demi sejarah masa depan yang bakal dibaca dan diteladani bagi para pengikut yang bersetia pada kemanusiaan. Mempersembahkan yang paling tertinggi -- berupa hayat -- demi spirit pembebasan. Keterbebasan dari kertertindasan dalam multidimensi kehidupan adalah asa bagi setiap insan. Yesus Kristuslah spirit itu terwujud dan terwariskan pada sosok Imam Husein.
            Yesus Kristus  atau Isa al-Masih  adalah figur historis yang telah mempersembahkan jalan hidupnya bagi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan. Menurut Ziaul Haque, yang menulis buku Revelation and Revolution Islam ( Wahyu dan Revolusi, 2000), bahwa Yesus adalah: Pertama, seorang nabi-revolusioner, seorang guru yang bertaqwa, seorang hamba kebenaran yang memberontak terhadap korupsi dan eksploitasi yang dilakukan oleh kaum penindas dan memimpin kaum lemah dan miskin melawan para penindas. Dia memerintahkan kaumnya untuk mengikuti jalan ketakwaan dan kebenaran, jalan lurus Allah, dan menjauhkan diri dari semua kejahatan dan kepalsuan.
            Kedua,  Yesus  memberontak terhadap sistem sosial yang palsu dan cara hidup yang munafik, termasuk para pemuka agama yang menggunakan agama sebagai topeng untuk kepentingan duniawi, mengorbankan segalanya demi sebuah masyarakat baru yang adil berdasarkanpada kebenaran dan kesetaraan.
            Ketiga, Yesus menggerakkan dan membangkitkan rakyatnya menentang para penindas tetapi dia tidak mau mempersenjatai  dirinya sendiri maupun para pengikutnya. Perlawanan non-kekerasan yang dilakukannya  mencerminkan sebagai  pendakwah cinta kasih. Dia hidup sebagai manusia biasa yang sederhana, jujur, dan rendah hati. Memikirkan orang lain, hidup-menderita-mati untuk orang lain.
Pewaris Yesus
            Lalu bagaimana  dengan nilai-nilai kemanusiaan yang diperjuangkan oleh Yesus di kemudian hari?  Setelah perjalanan panjang – berabad-abad lamanya—ternyata situasi sosial itu hadir kembali, dan itu berarti butuh figur historis lagi, agar panji-panji kemanusiaan bisa ditegakkan kembali. Adakah pewaris Yesus ? Pada konteks inilah urgensi menghadirkan figur historis lain semisal Imam Husein, yang telah menorehkan drama perjuangannya, yang berpuncak  pada syahidnya di Padang Karbala.
            Realitas historis yang dihadapi Imam Husein sehingga ia bangkit untuk menentang penguasa pada saat itu, amat mirip yang dihadapi Yesus. Seperti, terjadinya penyimpangan di bidang kekuasaan politik berupa rusaknya lembaga kekhalifahan, penumpukan harta karena makin banyaknya rampasan perang sebagai konsekuensi dari semakin luasnya kekuasaan Islam, diskriminasi dalam masyarakat antara bangsa Arab-non Arab, korupsi yang merajalela dan masyarakat tidak berdaya di hadapan penguasa, bid’ah berubah menjadi sunnah yang berarti kemunduran akhlak yang luar biasa dan kembalinya pola-pola jahiliah.
            Imam Husein yang melihat realitas seperti itu tidaklah tinggal diam. Tapi apa dayanya?  Ia nyaris tidak punya apa-apa. Kakek (nabi Muhammad SAW) dan sahabat-sahabat kakeknya  sudah pada tiada, termasuk ayahnya (Imam Ali) telah terbunuh, dan begitu juga saudaranya (Imam Hasan) sebagai benteng terakhir telah ditaklukkan oleh Muawiyah. Apalagi tentara untuk berperang, yang bisa angkat senjata tiada pula. Ia hanya punya pengikut, sahabat-sahabat dan keluarga yang jumlahnya sekitar ratusan orang yang akan menghadapi ribuan tentara profesional bersenjata lengkap di Padang Karbala. Apa yang terjadi? Pembantaian kemanusiaan yang sangat dramatis dan memilukan sepanjang sejarah.
            Menjadi menarik mengajukan pendapat salah seorang Cendekiawan Kristen Arab Suriah, Antoine Bara,  yang menulis tentang Imam Husein dalam bukunya yang berjudul Husain Fi Fikril Masahi (Pewaris Yesus-Husain Dalam Kristianitas, 2009) bahwa; Pembantaian  manusia mana pun dalam sejarah, baik sejarah klasik maupun kontemporer, belum pernah mendapatkan kekaguman, pelajaran, dan simpati seperti yang terjadi pada pembantaian di Karbala. Pembantaian ini merupakan peristiwa yang paling menyentuh perasaan umat Islam, dan sangat berpengaruh terhadap perjalanan akidah Islam. Sekiranya hal itu tidak terjadi, niscaya Islam hanya berupa agama yang tampak lahiriahnya saja tanpa akidah terpatri di dalam dada dan keimanan yang memenuhi emosi setiap Muslim.
            Apa dampak yang berupa ibrah, yang ditimbulkan oleh revolusi yang dilakukan oleh Imam Husein? Lebih jauh Antoine Bara menulis,  revolusi Husein bin Ali adalah yang pertama, karena dalam bingkai keagamaannya, revolusi tersebut merupakan revolusi pertama yang tercatat dalam sejarah Islam dan sejarah-sejarah agama samawi yang lainnya pada tataran prinsip-prinsip dan nilai-nilai akidah.
            Kedua, revolusi  itu sebagai pelopor karena menjadi pembuka semangat revolusi, dalam hal revolusi spiritual, yang terpatri di dalam dada kaum Muslim. Revolusi itu mengingatkan mereka, ketika tidur atau duduk-duduk, tentang makna kemuliaan dan tentang makna bahwa seorang mukmin merupakan gunung yang kokoh di hadapan para penyebar fitnah yang mengatasnamakan agama dan para pembuka jalan-jalan kemusyrikan serta kesia-siaan yang mengatasnamakan aqidah. Revolusi itu merupakan ajakan lantang guna menghancurkan tonggak-tonggak kesesatan, dan menghadapi tujuan korup orang-orang yang menyimpang dari jalan syariat.
            Ketiga, revolusi itu tiada tandingannnya, dikarenakan revolusi itu menghujam ke dalam batin kaum Muslim, dengan meninggalkan pengaruh-pengaruh ideologis yang sangat besar. Setiap aktivitas orang-orang yang berpegang kepada ajaran Islam dan yang memutuskan perkara atas nama Islam membutuhkan suatu terapi kejut, dalam bentuk suatu pengorbanan yang heroik. Ketika itu, hal tersebut menghasilkan efek kejut  yang membangkitkan dan mengalirkan cinta dalam batin generasi-generasi berikutnya.
            Keempat, revolusi itu abadi, sebab pada awal dan akhirnya, revolusi tersebut bersifat manusiawai, keluar dari diri manusia dan kembali lagi ke dalam diri manusia dengan dilumuri darah yang suci dan disucikan melalui kesyahidan yang ideal. Dengan begitu, maka revolusi ini bersifat moral, yang dengan moralitas kemanusiaan inilah yang akan mengabadikan dan memandu setiap gerakan revolusioner pada sejarah yang akan tercipta di masa depan.
            Bagaimana dengan realitas kekinian kita saat ini? Dimana korupsi menjadi gaya hidup, jarak sosial hidup kehidupan si kaya dan si miskin semakin menganga, para pemimpin negeri yang masih sangat sibuk memperkaya diri, keadilan masih merupakan angan-angan, kesejahteraan masih berupa janji-janji, para pemimpin agama hanya sibuk berdakwah secara simbolik dan melupakan pesan-pesan substansial agama. Adakah secercah harapan diantara kita untuk menjadi pewaris Yesus, pewaris Husein?

Kamis, 22 Januari 2015

Memberilah dengan Sari Diri



Memberilah dengan Sari Diri

Sulhan Yusuf
Pegiat Literasi

Berikanlah yang terbaik dari milikmu, seolah yang akan menerimanya adalah dirimu sendiri. Pemberian mesti dimaksudkan sebagai titik temu antara kemampuan menyatakan kesanggupan dan keterbebasan beban bagi yang menerimanya. Dengan begitu, pemberian barulah maksimal manfaatnya bagi si penerima, sehingga si penerima tidak perlu lagi berfikir berkali-kali akan kegunaan suatu pemberian.

Sekali waktu, saya berada di sebuah toko buku. Sambil memerhatikan buku-buku yang akan saya beli, juga menguping perbincangan transaksional dari dua orang konsumen yang mencari buku untuk keperluan yang berbeda, namun dalam satu tujuan, ingin disumbangkan, sebagai bentuk pemberian untuk menyatakan kepentingannya.

Konsumen pertama, mencari buku yang sesuai dengan jurusannya. Tidaklah perlu tebal, harganya semurah mungkin. Sebab, maksud pembeliannya dalam rangka mendapatkan kartu bebas pustaka, sebagai prasyarat menjadi sarjana di kampusnya. Oleh penjaga toko buku, dipenuhinya kebutuhan sang konsumen, dan transaksi pun berlangsung. Sembari tersenyum simpul, si konsumen meninggalkan toko buku dengan perasaan lega. Apa yang dicarinya telah terpenuhi. Saya pun hanya memicingkan mata, membatinkan lebih jauh tingkahnya.

Di sudut lain, konsumen kedua terlibat percakapan serius dengan penjaga toko buku. Didedahkannya maksud membeli buku untuk sebuah keperluan, sebagai kado untuk kerabatnya yang akan menikah. Dimintanya penjaga toko buku untuk mencarikan buku yang terbaik bagi calon pengantin, yang sebentar lagi akan membangun rumah tangganya.
Oleh si penjaga, ditawarkannya sebuah buku yang cukup tebal, harga agak mahal. Namun si konsumen langsung saja mengiyakan. Transaksi pun terjadi, dan tak lupa ia meminta untuk dibungkuskan pakai kertas kado. Mata saya agak melebar, menyaksikan peristiwa itu.

Dua peristiwa tersebut, sama dalam tindakan. Ingin memberikan sesuatu kepada orang lain. Meski dengan motif dan tujuan yang berbeda. Intinya adalah pemberian. Pada konteks inilah menarik untuk diajukan penuturan Marcel Mauss, yang dipertegas oleh Parsudi Suparlan saat menerjemahkan dan menuliskan pengantarnya untuk buku yang berjudul Pemberian, yang judul aslinya bertitel The Gift, form and functions of  exchange in archic societies.

Bagi Marcel Mauss, pada dasarnya tidak ada pemberian yang cuma-cuma. Segala bentuk pemberian selalu dibarengi dengan sesuatu pemberian kembali atau imbalan. Dengan demikian maka yang terjadi bukan hanya pemberian seseorang kepada orang lain, melainkan tukar-menukar, saling memberi dan mengimbangi. Artinya, pemberian itu sesungguhnya adalah transaksi antara si pemberi dan si penerima.

Lebih jauh Marcel menandaskan bahwa suatu pemberian hadiah adalah sama dengan suatu pemberian mana atau sari kehidupan dari si pemberi kepada si penerima. Dengan diterimanya suatu benda yang diberikan maka diartikan bahwa si penerima pemberian tersebut telah menerima sari kehidupan si pemberi atau sama dengan diri si pemberi itu sendiri.

Marcel makin menukik dalam penjelasannya, ada juga pemberian yang tidak menuntut diberikannya imbalan atau pengembalian oleh si penerima, semisal sedekah. Jikalau diperhatikan lebih lanjut, akan tampak bahwa sedekah adalah sebuah unsur dari sistem yang lebih luas, memperlihatkan adanya hubungan di antara si pemberi dengan unsur ketiga, yaitu Tuhan, yang kedudukannya lebih tinggi daripada si pemberi maupun si penerima, yang akan memberikan pahala kepada si pemberi.

Bertolak dari uraian Marcel, saya ingin membingkai dua kejadian di toko buku tersebut. Tindakan konsumen pertama dan kedua, sama-sama dimotivasi untuk suatu tindakan memberi pada orang lain. Konsumen pertama, menyumbangkan buku demi mendapatkan imbalan, selembar kertas bebas pustaka. Sebentuk transaksi yang amat “telanjang” dimensi kepentingan materialnya. Si pemberi melakukan tindakannya, sebab adanya tekanan eksternal di luar dirinya. Situasi eksternallah yang memaksanya untuk memberi.

Adapun konsumen kedua, memenuhi tindakannya, disebabkan oleh inginnya memberi sari dirinya kepada kerabatnya. Tentulah dengan harapan agar kerabatnya itu menerima dirinya sebagai bagian dari sari kehidupan. Karena si pemberi memberikan buku yang terbaik buat kerabatnya, seolah ia merepresentasikan dirinya dalam sebuah cita ideal. Dalam konteks ini, si pemberi tidaklah menuntut imbalan berupa benda, melainkan cukup dengan memenuhi harapan cita ideal representasi dirinya pada buku tersebut. Dan, manakala si penerima mewujudkan cita ideal itu, maka Tuhan pun akan mengganjar si pemberi dengan pahala. Tindakan memberi dengan sadar – sari diri – muasalnya dari ruang internal diri, yang melampau batas-batas material. Nuansanya amat spiritual.

Lalu, adakah dampak yang serius dari sebuah tindakan memberi atau pemberian yang sifatnya transaksinal semata sebab tekanan eksternal dan pemberian bertolak pada motif sari diri karena dorongan internal sadar diri?

Ini sejenis rabaan saja. Tindakan memberi buku sebagai sumbangan buat perpustakaan, yang sekadar memenuhi kewajiban menyebabkan pemberian itu hambar. Dapat dibayangkan kualitas buku yang seadanya bercokol di perpustakaan kampus.
Akan halnya buku yang diberikan pada kerabat, dengan harapan adanya cita ideal sebuah bangunan rumah tangga yang bakal dijalani, pastilah berujung pada dampak yang jauh ke masa depan. Tidak saja bagi pasangan baru itu, tetapi setiap persona yang tumbuh dalam rumah itu, sebab buku itu bakal mempesona penghuninya.

Jadi, mengapa masih saja memberi dengan terpaksa, jikalau dampaknya sia-sia belaka? Meski pemberian disebabkan oleh tekanan eksternal, sebagai pemenuhan akan kewajiban, tetapi dalam menunaikannya sama seperti memberi karena dorongan internal, wujud dari sari diri maka hasilnya pasti akan sama. Berikanlah yang terbaik, seolah yang bakal menerima pemberian itu adalah dirimu sendiri. Sari dirimu mewujud pada diri lain.

Rabu, 21 Januari 2015

SEIMAN


Di beranda media maya bersahut-sahutan omongan tentang persaudaraan antar sesama.seagama. Para petutur mengajukan perspektif masing-masing. Sahaya menyimak dalam sepi, walakin sekadar mempertegas ujar seorang bijak, Guru Han tak luput menohokkan sabda : " kita bisa saja seagama, tapi belum tentu seiman. Boleh jadi kita beda agama, tapi kita seiman."

Sabtu, 17 Januari 2015

KEPEMILIKAN


Persamuhan ruhani digelar, sahaya ikut menghadirinya. Bermajelis dengan para kisanak yang memilih jalan menapaki tirakah. Di perhelatan itu, muncullah topik perbincangan tentang kepemilikan. Rupanya Guru Han juga menempati posisi sebagai sosok yang senantiasa dinanti tutur-tuturnya. Dan di persuaan kali ini pun mendaraskan ujar: " Betapa banyak insan yang merasa memiliki dan takut kehilangan. Tidak memiliki maka tidak kehilangan. Kalau takut kehilangan, hentikan hasrat memiliki. Hanya orang-orang yang merasa memiliki yang akan kehilangan. Puncak kepemilikan, merasa tidak memiliki."

Kamis, 15 Januari 2015

GURUKU


sosokmu menyatakan teladan
pantang menyerah
di jidat pembencimu
pada kaki pengirimu


meski daku seorang murid
yang tak kunjung jua paham
belum bersua pula keliaran pikirmu
itulah takdir murid yang memamah

namun ibrah kali ini
dikau dedahkan

seperti paku yang dipukul
semakin dipukul semakin menguatkan
tali temali kedalaman ilmu

laiknya martabak yang dibanting
semakin dibanting semakin melebar
bersiap menampung segala isimya

pembencimu meradang
pengirimu terbelalak

pengiringmu meneteskan airmata
haru meruah-ruah
bahagia berlimpah-limpah

SEJADAH-SAJADAH


Masih saja hujan menderaskan butiran air semirip kristal. Sekompak dengan desiran angin kencang yang mencemaskan makhluk. Pohon-pohon kelabakan menampilkan tarian sekehendak angin. Sahaya berpura-pura, seolah berlaku biasa saja pada ulah kilauan hujan, siulan angin dan godaan tarian pepohonan. Untunglah Guru Han mendapukkan seikat makna: " Sejadah apapun perbuatan burukmu, bila ada sejeda waktu untuk istirahat buat menyadarinya, hanyalah sajadah sebagai tempat yang layak guna menyesalinya."

Selasa, 13 Januari 2015

MAULIAH MULKIN

untuk Mauliah Mulkin:

di januari yang basah
genaplah usiamu empatpuluhtiga

tidaklah perlu berhenti
meneteskan airmata

sebab airhujan dan airmatamu
menghidu sajadah kehayatan

menjadi mataair
mengaliri altar kehayatan

IKHLAS


Sesosok kisanak merintih, ia meradang sebab perbuatan baiknya selama ini, yang menurutnya sangat ikhlas dilakukan, ternyata mendapat balasan yang tidak semesti harapannya. Ia pun berniat mencabut subsidi perbuatan baiknya itu. Sahaya pun termenung, larut dalam gejolak sesal menyesal itu, sembari menanti perkenaan Guru Han yang bertutur: " Berbuat baiklah laiknya matahari. Tetap bersinar, walau teriknya tidak selalu sampai ke bumi. Ia tidak peduli dengan awan dan hujan yang merintang. Berhentikah matahari bersinar karena adanya awan dan hujan?"

Sabtu, 10 Januari 2015

KEMULIAAN


Seorang sanak mencurahkan kesulitan-kesulitan materialnya di kolom beranda permasalahan. Sesungguhnya, sahaya pun mengalami nasib yang sama, bahkan  mungkin tingkat kerumitannya lebih komplit, sebab tidak jarang harus berjalan pakai kepala tinimbang menggunakan kaki. Dengan mengutip fatwa bajik dari seorang bijak, Guru Han membabarkan nasehat: " Orang yang meminta telah menghilangkan kemuliaannya, maka berilah, penuhilah asanya, supaya kemuliaannya kembali."

Jumat, 09 Januari 2015

BURUNG


Sahaya bertandang ke mukim seorang karib, yang kesukaannya memelihara burung. Disangkarkannya burung-burung itu dengan perawatan yang suntuk. Diasuhnya penuh manja dan kasih, dipenuhinya semua kebutuhannya (?). Guru Han ikut menyambangi persuaan itu, dan kali ini melantunkan khutbah: " Hakekatnya, burung itu bebas terbang, mencari dan memenuhi kebutuhannya. Yang perlu dikau lakukan, tanamlah pohon yang rindang daunnya dan melimpah ruah buahnya, serta berlaku jinaklah padanya, maka burung-burung pun akan datang melayatimu."

Selasa, 06 Januari 2015

SETUBUH

bagi kisanak-kisanak
yang membadaikan asanya
di bulan januari
menyuntukkan rasanya
pada amukan sebatang pohon hayat
di gua kehidupan:

cintamu telah mengutuh
pada tubuh-tubuh
menjadilah setubuh
moga membutuh
hingga sepuh

Sabtu, 03 Januari 2015

BAGINDA


Saat ini, kita memasuki bulan Maulid, bulan kelahiran manusia suci nan agung, Muhammad SAW. Semesta beriang gembira menyambutnya, rahmatan lil alamin menyata bagi siapapun yang sanggup merasakannya. Sahaya ikut larut dalam pusaran rahmat itu. Pada kelarutan itulah, Guru Han mendaras wejangannya : " Cobalah resapi secara suntuk, bagaimana cara para pecinta Muhammad SAW. mengingatnya. Aneka macam laku persembahan didedahkan pada baginda nabi. Semua itu karena cinta padanya. Maka janganlah mencoba-coba menghalangi para pecinta yang sedang larut dalam berkasih-kasihan itu. Lalu, dengan cara apa dikau mencinta Sang Baginda? "

Jumat, 02 Januari 2015

2014-2015


Hingga saat awal tahun ini, aktivitas Guru Han belumlah menggeliat. Di padepokan jiwa, sahaya bersua dengannya. Pada bincang-bincang di penghujung subuh Ia menuturkan wejangan: " Di akhir tahun 2014, Natal Isa Almasih as. menyelimuti kita dengan kasihNya. Di awal tahun 2015, Maulid Muhammad SAW. menyambut kita bersama rahmatan lil alaminNya. Umat manusia yang meneladani kedua manusia suci nan agung itu akan berbahagia di bawah naungan kasih dan rahmat dariNya, maka akan damailah semesta."

AWAL-SAHAYA


Aku hadir di perhelatan jiwa, mengikuti secara seksama, ketika Sang Guru memaklumatkan Han sebagai  Guru Han. Getar-getar halus pada sekujur tubuhku, menyaksikan penobatan itu. Selang dua hari kemudian,  Guru Han mulai menunaikan amanah. Ia pun menetapkan titah: " Pada hari ini, akan kutetapkan seorang pendamping yang akan setia menemaniku, ke manapun. Guna mencatatkan tutur yang patut untuk ditulis". Aku pun menawarkan diri selaku pendampingnya. Bahkan lebih dari itu, aku meminta menjadi hamba sahayanya saja, untuk meladeni semua pintanya. Sejak detik itulah, aku kemudian menjadi sahayanya. Seorang sahaya.