Sabtu, 29 November 2014

BUNTUT


Pada malam minggu dan tanggal tua semisal malam ini, sulit rasanya menolak ajakan seorang kawan lama, untuk bersantap malam. Kurang lebih 10 tahun baru bersua, nampaknya ia lebih sejahtera dari sebelumnya. Ditraktirnya daku pada sebuah warung sop buntut. Kunikmatilah sekhusyuk mungkin, ternyata benar-benar nikmat. Tiba-tiba saja Sang Guru mengada, mencecarkan tutur: " Han..., memang menyantap buntut itu nikmat tak bertara. Sama halnya sebuah peristiwa-demonstrasi, yang menarik bagi sebagian orang adalah buntutnya. Makin panjang buntut unjuk rasa makin beruntung, meski banyak pula yang buntung nasibnya. Maka cermatilah selalu, rona wajah antrian para penikmat buntut peristiwa. Mereka akan selalu menuntut buntut. Penuntut buntut."

Selasa, 25 November 2014

TIDUR





Semediku di tempat kerja makin suntuk, tenggelam dalam kedalaman pusaran hikmah. Sembari bekerja, iringan tembang lawas dari sebuah band legendaris tanah air, Koes Plus, mengalun, “Betapa megah hidupmu kau bilang, dalam tidur semuanya akan hilang”, demikian sepotong bait lagunya. Sang Guru ikut menikmati dendang itu, sambil mengurai tutur: “ Han..., tidak ada bedanya orang berpunya dan tak berpunya dalam tidur. Orang berpunya dan segala kepunyaannya tak berarti saat tidur. Orang susah dan kesusahannya akan raib kala tidur. Jelang tidur pun sama pula, susah tidur karena kesusahannnya, dan tak bisa tidur karena keberpunyaannya. Yang lebih dahsyat lagi, selagi tidur bisa bertukar posisi, orang susah bisa berkelebihan, orang berpunya jatuh berkekurangan. Maka tidur adalah cara membebaskan diri.”

Senin, 24 November 2014

DEMONSTRAN


Negeriku adalah negeri yang subur bagi tumbuhnya para demonstran, sebab setiap orang-kelompok begitu mudah mendemo apa yang tidak sejalan dengan kepentingannya. Apatahlagi pasca reformasi, ruang kebebasan menyatakan pendapat sangat terbuka. Namun setiap demonstrasi berakhir, ada simpulan Sang Guru yang dituturkan: " Han..., manakala sebuah demonstrasi-ricuh berakhir, akan menghasilkan dua macam sosok pada diri demonstran: Martir-Pahlawan dan Pecundang-Pengkhianat.Jadi amat sederhana memahaminya, sisa mengelompokkan keduanya."

Minggu, 23 November 2014

REAKSIONER





Begitu banyak berita, opini dan gambar di dunia maya yang tujuannya bukan menerangkan masalah, malah menggelapkan persoalan. Inikah sejenis tipudaya guna memperdayai yang tak berdaya? Oh ... , bagaimanalah daku menghadapi ketakberdayaan ini? Sang Guru menyahut dalam tutur: “ Han..., ketidakberdayaan dalam suatu soal tapi ingin mengambil untung terhadapnya, dengan cara berpendapat seolah cukup ahli, hanya akan mewujudkan sikap reaksioner. Gegabah, mudah percaya, tak menimbang di kedalaman pikiran adalah setumpuk tanda seseorang yang reaksioner. Kedangkalan pikiran, sesungguhnya tiang utama sikap reaksioner.”

Sabtu, 22 November 2014

NEGOSIASI





Nampaknya hari ahad kali ini cerah, hujan berhenti mengiringi jedahnya gejolak kaum muda-mahasiswa karena memprotes pengurus negeri ini yang dianggap abai terhadap orang kecil. Sang Guru duduk santai di serambi pengharapan, meminum kopi sambil bertutur: “Han..., kaum muda-mahasiswa yang bergolak itu adalah sebuah keniscayaan. Malah menyimpang dari wataknya jikalau tidak ada gejolak padanya. Bayang-bayang  masa silam dan obsesi masa depan adalah jebakan baginya. Maka ajaklah mereka untuk menegosiasikan pengalamanmu dengan tebakan masa depannya. Sambil mengingatkan, hanya dalam jedah ketenangan, kejernihan nampak terkuak.”

Jumat, 21 November 2014

HUJAN (3)


Hujan mulai bergegas turun, mensucikan semua yang kotor, makhluk berpesta menyambutnya. Sang Guru membimbingku agar tersenyum, sambil bersabda:
“ Han..., nilai hujan terletak di awal dan di akhir musim. Di awal, betapa banyak makhluk yang merindu padanya, karena kesejukan segera menyata. Di akhir, tak sedikit yang bersedih sebab akan segera kembali bersembunyi di lilitan awan. Dan, kerinduan pun padanya akan meluap-luap. Di awal musim, hujan datang menggenapkan kebutuhan. Di akhir musim, hujan pergi mengganjilkan suasana. Belajarlah pada awal-akhir hujan.”

ARSENAL





Arsenal dan Arsene Wenger. Ini bukan soal klub sepakbola dan pelatihnya an sich. Namun ini masalah gudang senjata ( arsenal) dan racun mesiu (arsen), dalam kaitannya dengan pikiran dan olah pikir. Bagi Sang Guru, seperti yang dituturkannya padaku: “ Han...pikiran itu ibarat senjata. Ia harus ditembakkan, jangan disimpan dalam arsenal pikiran, akan beku jadinya bahkan bisa berubah menjadi arsen-racun bagi yang menggudangkannya. Seperti pada permainan sepak bola, keindahannya terletak saat bola itu bergulir ke sana ke mari, dan akan menjadi masalah ketika terjaringkan dalam jala gawang. Akan menjadi racun bagi penjaga gawang, bahkan menular pada tim secara keseluruhan.”

Senin, 17 November 2014

ABDI-ABADI



Seorang tokoh panutan di negeriku berpulang pada keabadian. Ramai nian pelayat, menyemut di mukimnya, mengular pengantar ke makamnya. Setiap orang ingin mengurus jasadnya, sebagai tanda pengabdian terakhir padanya. Di tengah pusaran takjubku, Sang Guru berbisik halus di relung batinku: " Han..., tokoh panutan itu memetik buah dari pohon kehidupan yang ditanamnya. Bukankah sepanjang hidupnya, ia telah mengabdikan hidupnya untuk mengabadikan kehidupan? Semasa hayatnya, tak lelah mengumpulkan khalayak, guna menerangkan jalan-jalan abadi. Kumpulan orang itu adalah penanda abadinya dalam pengabdian. Mengabdilah agar mengabadi."

Minggu, 16 November 2014

HUJAN (2)


Hujan turun lagi, kesal dan gerutu serta umpatan nyaris terbetik dari hatiku. Soalnya, urusanku terhambat dan tertambat pada keterlambatan dalam urat nadi putaran roda kehidupan. Sang Guru tak rela melihatku terjerumus dalam sakit hati, maka tuturnya pun meluncur sederas hujan: " Han..., dikau mungkin tak berkepentingan pada hujan kali ini, bahkan menghalangi keperluanmu. Tapi ingatlah, betapa banyak orang yang membutuhkannya. Janganlah menganggap sesuatu itu tidak penting, hanya karena dikau tidak membutuhkannya. Sungguh, dalam hakekat kehidupan, kebutuhan orang lain adalah kebutuhanmu. Mungkinkah dikau hidup tanpa butuh orang lain? "

Sabtu, 15 November 2014

HUJAN (1)


Ba'da Juma'at, kupacu kuda besiku ke arah selatan kota, guna memenuhi undangan bertukar pengetahuan dengan sekelompok kaum muda yang merumuskan masa depan organisasinya. Di tengah perjalanan, guyuran hujan menderas, mendaras aspal jalanan yang panas. Perjalananku terhambat, menepilah aku, berteduh pada sebuah gubuk di pinggir jalan. Api cemburu mulai berkemas menjilati jiwaku, melihat mobil lalu lalang tak terhambat oleh derai hujan, menerobos angkuh menantang hujan. Sang Guru menepuk pangkal kesadaranku, mecegatku dengan tutur: " Han..., padamkanlah api cembutumu itu, jiwamu akan mutung akibat jilatannya. Sebab, kudengar orang-orang di atas mobil itu berbincang tentang betapa beruntung dan bahagianya seseorang yang diberi waktu jedah, berteduh karena hujan, menyilahkan hujan menunaikan tugasnya, sambil menikmati keindahan mobil lalu lalang, yang keindahannya tak sanggup diresapi oleh orang yang berada di dalamnya."

Kamis, 13 November 2014

KEADILAN


Jumat mubarak kali ini kembali mengurai aura keberkahan. Pada kemelataanku di atas semesta, bersama terungkunya cobaan masalah yang belum juga usai bersahabat denganku, Sang Guru meliukkan selaksa tutur yang tersimpulkan: “ Han..., masing-masing seorang punya paket cobaan masalahnya, begitupun wujud keberhasilannya. Tidaklah elok jika kita meminta masalah-cobaan yang sama selaku jalan tirakah, apalagi menuntut keberhasilan hasil yang sama. Keadilannya terletak pada, apakah setiap orang sanggup berdamai dengan cobaan masalah itu, lalu menjalaninya dan menikmati hasilnya, serta berbagi bahagia atasnya? “

Rabu, 12 November 2014

SEPADAN





Aku masih saja terombang-ambing dengan gejolak masalah. Di sisi yang lain, aku juga mengimpikan melata di atas bumi selaku manusia luar biasa. Kelihatannya sangatlah paradoks untuk mewujudkannya. Sang Guru pasti punya sabda akan hal ini, maka dengan gamblang pun bertutur : “ Han..., janganlah pernah berharap, apalagi bermimpi untuk menjadi manusia luar biasa, jikalau cobaan masalahmu  masih biasa-biasa saja. Setiap hasil yang tergapai, selalu bertolak pada kesepadanan. Sepadannya antara kualitas cobaan masalah dan buahnya sebagai hasil akhirnya ”

Selasa, 11 November 2014

AJAL





Selepas kutunaikan maghribku, aku bertemu dengan seorang nenek yang menunggui jualannya. Kutanyakan kesehatannya, semuanya baik-baik saja, meski kurang lebih sebulan yang lalu kurang fit dan harus makan bubur, padahal usianya sudah seratusan tahun, kisaran seabad. Baginya, pasrah saja, kapan pun ia harus pulang pada ke kekalan. Selang beberapa saat, aku dikejutkan warta dari seorang karib, atas berpulangnya putra seorang karibku yang lain, pada usia yang masih muda, kurang dari seperempat abad, sekitar 20-an tahun. Singkapan rahasia pun terkuak dari tutur Sang Guru: “Han..., itulah kedudukan ajal bagi setiap anak cucu Adam, ada yang bersiap menunggunya namun tak kunjung datang. Ada pula yang kelihatannya belum siap, sertidaknya bagi orang sekitar yang terkaget akan hadirnya ajal yang tiba begitu saja.”

Minggu, 02 November 2014

WARISANKU


anak cucuku
kelak kan kuceritakan
risaurisauku akan negeri
yang wakil rakyatnya
mempertontonkan keserakahan
pada kuasa


cucu anakku
tumpukan carikcarik kertasku
telah menggunung
lahar katakata telah kukalimatkan
pun sudah kuparagrafkan

kala waktunya tiba
akan kumuntahkan di selasar jiwamu
menjadikannya dongeng mengerikan
biar tidurmu tidak nyenyak
sebab memikirkan pendahulumu
yang tak layak melata di negeri ini

TARIAN


Masih saja saya berkutat pada soal-soal hidup dan kehidupan. Terungkunya mengular, melilit diri bagai tak berujung. Walau upaya tak jemu jua kutangguhkan, berusaha keluar dari kubangannya. Oh... Sang Guru, mungkinkah dikau menerlantarkanku, hingga cukup lama tak menyapa? Rengekanku menusuknya, hadirlah sabdanya: " Han..., belajarlah pada para peselancar. Mereka tetap bisa menari di atas gejolak ombak. Menaklukkannya, lalu mempertontonkan keindahan gerak, kelenturan tubuh beradaptasi pada liukan keseimbangan. Seharusnya demikian pula dengan jiwamu yang resah, rusuh hati akibat tekanan masalah. Menarilah di dalamnya dengan tarian jiwa."