Rabu, 31 Juli 2013

BUAH (2)

Saat duduk-duduk bercengkrama dengan Sang Guru di rerumputan taman, bersabdalah Ia padaku: " Han..., tanamlah biji buah kehidupan itu, rawat dan pupuklah, agar kelak menjadi pohon yang lebat, bakal menghasilkan buah yang matang. Berikutnya, bersiaplah sebab kematangan hidup akan menyungkupimu."

Minggu, 28 Juli 2013

BUAH

Dalam sebuah percakapan dengan Sang Guru, Ia menunjuk pada sebatang pohon, lalu berkata: " Han..., biarkanlah buah-buah itu matang di pohonnya, sebab dengan cara itulah, biji kehidupan akan ada pada dirinya. Tugasmu hanyalah menunggu kematangannya, lalu selanjutnya tanamlah biji itu, agar kehidupan menjalani takdirnya."

Sabtu, 20 Juli 2013

BATU

Kala diri berada pada kejayaan, Sang Guru hadir menohok dengan nasehatnya: " Han..., dikau mungkin selalu terjaga dari batu besar yang akan menindihmu, namun terkadang lalai pada batu kerikil yang akan menggelincirkanmu."

Rabu, 17 Juli 2013

KATA

Untuk sobat-sobatku
yang bersahut-sahutan lewat kata-kata puitis
yang amat cemas dengan kota mungilnya
yang dicintainya, sepenuh jiwa

daku teringat kembali
akan sebuah penegasan: "Kata adalah senjata"
Kata memang bisa jadi awal perjuangan
dan sekaligus sebagai akhir pertumpahan.

Bukankah yang akan tersingkir itu
adalah mereka yang terbuai kata-kata?
Mereka akan terbunuh oleh kata
sebab kata bisa membunuh

Maka sobat-sobatku
terjunlah ke ranah mereka
ejakan huruf demi huruf
dalam bingkai kata

Mereka butuh kata-kata
kata yang menghidupkan
yang mempertahankan harkat
yang memakai cangkul, rumput laut, biji jagung

untuk menyatakan hidupnya
di depan dozer
setia pada biji jagung
tidak dengan biji nikel

KOPI

Sekali waktu daku berada di kebun kopi milik keluarga, tiba-tiba saja Sang Guru membisikku: " Han..., minumlah kopi yang disuguhkan untukmu. Kopi memang pahit selakon takdirnya. Usahlah minum kopi tapi berharap rasa manis, karena banyak yang minum kopi lalu menunggu rasa manis. Memperalat kopi untuk menggapai rasa manis."

Jumat, 12 Juli 2013

WARTA (2)

Waspadalah kata Sang Guru, sambil menguntai kalimat: " Han..., warta baik membuat terlena, warta buruk membuat terpuruk. Usah pedulikan pada wartanya, tapi pada akibatnya. Terlena dalam puruk membuat derita, lalu terpuruk dalam lena menjadi bencana.

Kamis, 11 Juli 2013

CERMIN (3)

Bercermin di cermin buram
daku begitu gagah
Bercermin di cermin bening
daku begitu kusam

Cermin buram menerungku daku
begitu lama
setiap ada yang keliru di wajah daku
selalu saja cermin jadi biangnya

Beningnya cermin menawan sesaat
ibarat cahaya melesat
jejak tapaknya amat bertuah
telah menunjukkah wajah bopeng daku

LACUR-LAYAN

Di hari yang suci, bulan suci ini, Sang Guru mendedahkan wejangannya: " Han..., buatlah kesepakatan-kesepakatan dengan siapa saja, namun janganlah menunggu rasa puasnya atas dirimu. Tapi bersedialah menanti ketidakpuasannya. Memenuhi rasa puasnya semata, itulah pekerjaan melacur. Memerhatikan ketidakpuasannya adalah melayani."

Rabu, 10 Juli 2013

HUJAN

Seperti biasanya, hujan jatuh dari langit, tapi Sang Guru memintaku: " Han..., keluarlah dari rumah, agar nyanyian irama hujan yang jatuh ke bumi, sebagai persembahan semesta dapat dikau resapi suaranya. Bukankah atap rumah telah mengacau nyanyi-irama hujan?"

KEDAI (2)

Bermodalkan rasa mabuk akan pikiran-pikiran besar
Mengenakan baju berwarna-warni
Pengembaraan hidup di jalan musafir, daku mulai susuri
Berharap dapat singgah di kedai-kedai berikutnya. Agar mabuk lagi!

Daku singgah di kedai-kedai kehidupan
Cicipi semua menu sajiannya
Tidaklah terlena untuk mukim karena godaannya
Kedai kehidupan bisa menerungku daku
Perjalanan selanjutnya penuh pengharapan

Jikalaulah daku mampir di sebuah kedai
Nikmati  semua tawarannya
Mampir menjadi penanda akan jejak tapak daku
Maka berpaling darinya sekalipun
Tidaklah mengapa

Sesungguhnya yang tersisa dari musafir daku
Jejak tapaknya saja

KEDAI (1)


Kala kanak-kanak, daku hanya bisa memandang para insan bersenragurau di kedai kehidupan.

Ada yang makan, minum, buang air dan juga mabuk.
Sepertinya sebuah etape hidup yang menggoda hasrat ingin tahu.

Masa remaja pun tiba. Daku mulai sesekali menyambangi para insan di kedai. Makan, minum, buang air, bahkan mabuk pun sudah daku jamah.

Laiknya para penenggak tuak pemula, semua tuak kehidupan pun ingin daku cicipi. Hingga nyaris setiap saat daku mabuk. Mabuk dengan pikiran-pikiran besar tentang kehidupan di jagad dan kemelataan di persada.

Daku larut di pusaran kedai itu, memakan semua jenis santapan, menenggak berjenis-jenis tuak yang tersaji.

Dalam suasana mabuk, daku menemukan pikiran-pikiran besar menari, meliuk, mencumbu agar diperkenankan menjadi baju kehidupan.

Baju-baju kehidupan pun silih berganti daku kenakan, bergantung perhelatan apa yang akan kusambangi.

Tak terkecuali, ketika mau mabuk di kedai-kedai kehidupan.

DIAM (3)

Oh... Sang Guru, dikau sungguh menentramkan jiwaku dengan tuturmu: " Han..., biarkan saja orang mengambil kesimpulannya sendiri atas dirimu, sebab sesungguhnya itulah cermin diri buatmu. Dan tak usalah berambisi memberi penjelasan, sebab kalimat-kalimat penjelasmu tidak akan pernah benar-benar mewakili kedirianmu. Kesimpulannya dan penjelasanmu tidak lebih dari kalimat berbatas yang menerungku dirimu. Diamlah, perbantahan kalimat-kalimat itu akan mendudukkan soalnya tentang dirimu"

Senin, 08 Juli 2013

RAMADHAN (3)

Kali ini permintaan Sang Guru amat berat kutunaikan, ketika mendapukku dengan kalimat: " Han..., bertahun-tahun sudah lewat, dikau yang selalu memasuki bulan Ramadhan. Bisakah bulan ini, bulan Ramadhan yang memasukimu?"

DIAM (2)

Kala kegundahan akan banyaknya ketidakpastian warta, Sang Guru berbaik hati membisikkan anjurannya: " Han..., belajarlah pada air dalam menyelesaikan masalah. Saat keruh suasananya ia memilih mendiamkan diri, hingga jernihnya menampak. Demikian juga, ketika kekeruhan sekeliling menyelimutimu, pilihlah diam, biar kejernihan datang berbicara tentang apa adanya."

Rabu, 03 Juli 2013

WARTA

Pada dini hari, kala jelang subuh, Sang Guru mengurapi lewat babaran sabdanya: " Han..., bila ada warta baik-buruk yang datang menyapamu, maka pasanglah kedua telingamu untuk mendengarnya. Sebab, memang demikianlah tugasnya. Lalu kedepankan akalmu untuk menimbangnya. Dan janganlah abai pada kekuatan hatimu, tempat bertenggernya nurani, karena ia adalah palang pintu terakhir kebenaran."