Selasa, 22 April 2014

KERSEN


kutanam pohon kersen di belakang rumah
kuambil bibitnya dari selokan depan rumah
tumbuh liar di sela-sela bata selokan

dua tahun sudah tumbuh
rimbun daunnya menyegarkan udara
buahnya melimpah ruah

burung pipit dan jalak berpesta
anak-anak tetangga ikut beria
sesekali aku ikut manjat

kuingin kala berpulang kelak
kumau tidur abadi di rindangnya
biar akar-akarnya menggerayangiku

kuminta padamu
jadikanlah pohon kersen ini sebagai nisanku
pahatlah namaku di batangnya

kalau terwujud pintaku
berati telah kutanam nisanku sendiri
nisan hidup buat kehidupan

Minggu, 20 April 2014

CINTA


Seorang kawanku lagi rusuh hatinya. Bertikai dengan pasangannya. Pasalnya ia jatuh cintai pada wanita lain, cemburulah sang pasangan, mengira cinta bakal terbagi. Kisruh ini sampai di pendengaran Sang Guru, ia pun nimbrung dikebancuhan pertikaian: " Han..., sampaikan pada pasangan kawanmu itu, bahwa cinta bukanlah sesuatu yang terbagi secara kuantitatif, karena memang cinta adalah sesuatu yang bersifat kualitatif. Cinta sama dengan ilmu yang kita miliki, ia tidak hilang atau berkurang ketika diberikan kepada orang lain. Atau seperti matahari yang bersinar, menyinari seluruh semesta tanpa ia sendiri kehilangan panasnya."

TRANSMASA



Kegembiraan hidup dalam kehidupan memang sangatlah mahal. Bermilyar uang yang harus dibelanjakan hanya untuk semalam, di pergantian setiap tahun.

Mampukah diri tidak terjebak dalam larutan gembira, di lautan biaya yang tak terkendali?

Kegembiraan yang diperoleh berkat sentuhan luar diri, adalah sejenis kegembiraan yang dipantik. Manakala pemantiknya raib, maka tiada pula kegembiraan menyapa.

Mulailah mencicil jalan kegembiraan lewat jalan lain, sebuah jalan dalam diri yang asali, karunia primordial dari Ilahi.

Butuh memang kecakapan, ketekunan, ketulus-ikhlasan untuk meraihnya. Berat karena pikiran harus berdarah, hati bercucuran keringat.

Kegembiraan asali, dari dalam diri, tidaklah butuh biaya bermilyar. Cukup berdiam diri dan tersenyum memandangi orang-orang yang mencari kegembiraan di luar diri, di malam pergantian tahun, yang pada masa berikutnya masih datang menyua.

TOMAT




Tomat busuk itu telah dicampakkan oleh penjual sayur. Sebab tidak laku terjual di pasar. Tomat busuk itu telah dibuang oleh ibu muda paruh baya. Karena, terlalu matang lalu membusuk dan tak layak jadi makanan.

Tanah gembur nan subur menerima dengan tulus, ikhlas apa adanya, dan memberi ruang bagi tomat busuk untuk menentukan nasibnya.

Berkah tanah, tomat busukk itu pun berubah. Tumbuh menjadi tanaman, lalu menghasilkan buah tomat. Yang kemudian dibutuhkan oleh penjual sayur untuk mendapatkan reskinya.

Ibu muda paru baya pun membutuhkan buah tomat itu, untuk memperenak masakannya, sebagai campuran sambel dan sayur.

Duhai engkau yang gundah gulana, jangan berkecil hati, hanya karena lingkungan sekitar menganggapmu sebagai "tomat busuk" yang harus dicampakkan karena tak laku dijual dan dibuang karena engkau terlalu matang. 

Masih ada tanah bertuah yang akan membaktikan diri, sekaligus membuktikan bahwa engkau layak mempersembahkan buah hayat untuk kehidupan yang layak.

Jumat, 18 April 2014

DAENG LITERE (1) : PADA AWALNYA





Dia terlahir dengan nama Damai Tampan, kurang lebih 45 tahun yang lalu, di sebuah kampung pinggir laut, tepatnya di Tompong, Kelurahan Letta, Butta Toa -Bantaeng. Tompong sendiri merupakan daerah yang sudah cukup tua bagi peradaban Bantaeng. Di tempat inilah terdapat mesjid paling tua, Mesjid Towayya  yang dibangun pada tahun 1887 atas prakarsa Raja Bantaeng, Karaeng Panawang, di atas tanah wakab H. La Bandu, seorang pedagang sukses asal Wajo. Hingga generasi ketiga dari keluarga ini, tetap menjadi penanggungjawab. Saat ini, cucu pendiri mesjid ini, DR. Anis Anwar Makkatutu menjadi ketua yayasan.

Di kampung Tompong ini pula terdapat Balla Bassia, sebuah rumah peninggalan pendiri mesjid. Tidak jauh dari Masjid Toayya Tompong dan Balla Bassia, terdapat pula dua buah bangunan tua, Balla Lompoa di Lantebung sebagai rumah tinggal dan Balla Lompoa di Letta selaku Istana Raja Bantaeng.

Masa kecil Damai Tampan ditapaki di kampung ini. Suasana pantai yang indah, baik di pagi maupun sore menjadi pembentuk jiwanya. Jiwanya menjadi luas, seluas samudra. Bibir pantai kampung Tompong, senantiasa mengecup gelombang ombak dari laut Jawa. Ombak laut jawa akan segera teduh, damai tak beriak lagi setelah mendapat kecupan lembut dari bibir pantai Tompong. Sebuah penyatuan abadi, yang hingga kini berlangsung.

Meski pantai ini sudah tak berpasir lagi, sebab sudah dibangun tanggul penahan ombak. Sekali waktu, Damai Tampan berbisik padaku; “masihkah pantai ini layak disebut pantai ketika tak berpasir lagi? Pasir selaku bibir pantai, begitu lembut mengecup gejolak ombak, telah berubah menjadi tanggul yang keras kokoh. Mampukah tanggul itu mengecup, selembut pasir mengecup gelora ombak laut Jawa?”

Dari sekian banyak anak yang seusia dengan Damai Tampan, akulah yang paling dekat dengannya. Di samping kawan main, aku masih kerabatnya, sepupu duakali dari garis ibu. Bahkan saking dekatnya, aku pun sebenarnya saudara sesusuan dengan Damai Tampan. Pasalnya, ketika kami masih menyusu, ibunya pergi a’buritta (mengundang kerabat) karena tantenya akan kawin. Saat ditinggal itulah, Damai Tampan menangis ingin menete, maka ibuku pun menyusuinya, hingga jadilah kami saudara sesusuan. Cerita ini kuperoleh dari ibuku, saat usiaku menginjak belasan tahun.

Kala masih kanak-kanak, kami pun sering main ke sekitar Balla Lompoa. Banyak misteri yang belum kupahami hingga kini. Maklumlah, kami bukanlah keturunan keluarga Raja Bantaeng. Kami bukan bangsawan, hanyalah masyarakat biasa yang tak punya akses ke tempat tersebut. Kami hanya sering memandangi Balla Lompoa, atau sekadar lalu lalang di depannya.

Namun usiaku yang sudah kepala empat ini, disusul dengan perubahan-perubahan tata cara bermasyarakat memungkinkan misteri-misteri itu terkuak. Apatah lagi Damai Tampan, sangat mudah aksesnya saat ini untuk menguak kisah-kisah misteri Balla Lompoa. Dan Damai Tampan telah berjanji untuk itu, “ suatu waktu engkau akan baca tulisanku tentang Balla Lompoa dan segala misterinya. Demikian pula segala hal yang bisa kutuliskan tentang Butta Toa - Bantaeng”

Kini, Damai Tampan memang adalah seorang pegiat literasi, seorang aktifis yang mendedikasikan dirinya untuk mencerahkan masyarakat, lewat aktifitas peningkatan minat baca-tulis. Terlibat serius dalam gerakan literasi, nyaris hidupnya dihabiskan untuk gerakan literasi. Bahkan, aku dan kawan-kawanku menjulukinya Pendekar Literasi. Adapula kawan yang lebih dahsyat lagi menjulukinya sebagai Raja Literasi di Bantaeng. Apapun julukannya, sebagai Pendekar Literasi atau Raja Literasi, yang jelas istilah literasi begitu dekat dengan Damai Tampan.

Dari sinilah sesungguhnya, cerita Daeng Litere ini pun bermula. Damai Tampan berubah namanya menjadi Daeng Litere. Aku sendiri sebagai karib, dan juga kerabatnya akan banyak terlibat bersamanya. Senantiasa mendampinginya, mengiringi pengembaraannya selaku Pendekar Literasi.

Aku lupa kapan persis kejadiannya. Yang pasti, sekali waktu aku menemaninya bertandang ke sebuah kampung untuk meriset tentang budaya kampung itu. Ketemulah kami dengan tetua kampung itu. Aku sebagai guidenya, mengenalkan Damai Tampan pada tetua kampung. “Tabe Daeng, ini kawanku namanya Damai Tampan, dia seorang pegiat literasi”, kataku mengenalkan pada tetua kampung. Sebab tetua kampung ini sudah agak lanjut usia, perkataanku pun didengar secara samar. “ Ooo...I Litere “, ucap tetua kampung. Aku hendak menjelaskan lebih jauh kesalah dengaran itu, tapi kupendam saja. Toh, bukanlah yang penting saat itu.

Sepulang dari tandangan itu, saya berseloroh di atas motor, sambil bercanda pada Damai Tampan, “ I Litere ..., nama yang indah dan inspiratif ... he...he..he... daeng toa... daeng toa.”  Damai Tampan agak kesal menimpali, “memangnya saya ini liter, bentukku seperti liter?” Lalu kusambung, “sudahlah, malah menurutku ini nama yang tepat untukmu selaku Pendekar Literasi, apatah lagi sudah jadi Raja Literasi. Antara literasi dengan litere beda-beda tipislah. Dan bagiku julukanmu sebagai litere cukup tepat. Bukankah engkau memang cukup sering menimbang-nimbang segala persoalan, bahkan meliter-liter setiap pendapat yang ingin kau tuliskan, wahai Daeng Litere?

Sejak saat itulah aku selalu memanggil Damai Tampan sebagai Daeng Litere. Nama julukan ini lebih terasa lokal, setidaknya menyesuaikan dengan selera lokal dalam berbahasa, bahasa Makassar. Literasi sendiri akar katanya adalah literer, yang berarti berhubugan dengan tradisi tulis. “ Jika kata literer ini diadaptasi ke dalam istilah bahasa Makassar, jadilah ia litere, meski dengan pengertian yang berbeda.  Bisalah dicocok-cocokkan, semacam cocologi ( ilmu mencocok-cocokkan) he..he...” Candaku pada Damai Tampan, dan ia pun dengan hati yang berbunga-bunga menyukainya.

 Walhasil, julukan baru ini, Daeng Litere sebagai nama panggilan dari Damai Tampan, sangat populer dan merakyat. Kemanapun Damai Tampan merayap, orang-orang memanggilnya dengan Daeng Litere. Amat sangat populer panggilan ini di Butta Toa – Bantaeng. Sehingga, pernahlah terlontar dalam benakku, agar Daeng Litere mencalonkan diri sebagai Caleg DPRD. Dan dari rumor yang kudengar, amat banyak partai yang melamarnya. Namun Daeng Litere bertutur: “ Cukuplah bagiku untuk menjadi pegiat literasi saja, inilah caraku berkontribusi untuk tanah airku. Dan biarlah penaku yang bicara, menuliskan kata, sebagai senjata untuk menorehkan segala yang bisa kutulis, tentang tanah yang begitu kucintai ini.”

Memang, kecintaan Daeng Litere pada tanah kelahirannya, sungguh teramat dalam. Sekali waktu kutanyakan padanya, “ Daeng Litere, mengapa cintamu pada tanah Bantaeng ini begitu dalam? “

Ia pun bersabda bak seorang bijak bestari, “ tanah ini, Bantaeng wajib untuk kucintai. Laut, gunung, lembah, hamparan sawah, perkebunan semuanya ada. Semua jenis tanaman ada di sini. Banyak ragam jenis hasil laut mudah kutemui. Udara segar kuhirup dengan suntuk. Raga negeriku ini begitu molek untuk disetubuhi.”

“ Orang-orangnya begitu ramah, multi etnik. Sejarahnya sudah amat tua, masih lebih tua dari kota Makassar, maka julukan Butta Toa menjadi pantas untuknya. Bantaeng adalah sepetak surga di bagian selatan pulau Sulawesi. Bagiku, Butta Toa-Bantaeng adalah miniatur Nusantara, Indonesia. Bhineka Tunggal Ika telah tersemaikan di tanah ini. Dengan begitu, wajarlah manakala pelosok Nusantara yang lain bercermin ke Bantaeng.”

Sebegitu fanatikkah Daeng Litere pada tanah kelahirannya? Aku menohoknya agar jangan terlalu membanggakannya. Namun Daeng Litere malah makin bergairah meluapkan kecintaannya di hadapanku. Di raihnya handpone miliknya, lalu aku disuruh misscall. Aku pun melakukannya, lalu bunyilah handpone itu, memperdengarkan sebuah tembang lawas dari Koes Plus, Kolam Susu judulnya. Lalu Daeng Litere menatapku sambil berkata :“ Kolam Susu yang dimaksud dalam lagu itu adalah Bantaeng ini, tanah yang kita pijaki bersama.”

Tembang lawas Koes Plus ini kunikmati bersama Daeng Litere, sambil meresapi bait-baitnya.

Kolam Susu

Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
(Koes Plus)

Dari nada panggil handpone Daeng Litere, yang memperdengarkan lagunya Koes Plus, barulah kutahu pula, bahwa ia seorang penggemar Koes Plus. Sebuah kelompok band legendaris tanah air. Dalam banyak kesempatan kemudian, kebersamaanku selalu diiringi  dengan tembang-tembang lawas Koes Plus yang ratusan jumlahnya. Bagiku, sosok Daeng Litere lumayan komplit.  Simpulan sementaraku, “dia seorang pegiat literasi sekaligus fans Koes Plus. Dahsyat orangnya, aku mengaguminya” ucapku membatin.

Rabu, 16 April 2014

DEMOKRASI


Rasa-rasanya aku mau menimbang ulang demokrasi sebagai tatanan hidup bermasyarakat. Pasalnya, soal orang seorang saja susah diselesaikannya. Banyak rumahtangga yang nyaris bubar, sanak keluarga bertikai, hidup berdampingan makin rusuh, akibat pesta demokrasi. Sang Guru lalu bergurau: " Han..., demokrasi memang hanya cocok bagi masyarakat yang mandiri, merdeka dalam pilihan, one man one vote. Realitas masyarakatmu masih terlampau jauh tertinggal. Dan hebatnya lagi para elitnya membajak demokrasi untuk membungkam mereka dengan kuasa dinasti, uang dan agama."

Senin, 14 April 2014

POLUSI


Jujur aku nyatakan, bahwa pekan-pekan terakhir ini, jagat bumi Nusantara tercemar oleh polusi cacimaki, tipudaya, keculasan atau yang serumpun dengan itu, sebagai akibat dari sebuah pesta untuk mencari solusi bagi negeri yang terpuruk ini. Di tengah kesumpekan jiwa, rasanya ingin menjadi polisi dari polusi jiwa itu, namun Sang Guru keburu menggurui: " Han..., seperti halnya polusi yang sering terjadi pada raga bumi ini, solusinya dibutuhkan paru-paru bumi, berupa lebatan hutan agar udara segar mengembang menyehatkan penghuninya. Maka di pelataran jiwa pun dibutuhkan perbuatan-perbuatan yang dapat menyegarkan perhelatan jiwa. Berbuat baiklah tiada henti, bahagiakan sesamamu, bikinlah oase-oase kerelawanan, itulah jalan-jalan utama keluar dari polusi jiwa."

Minggu, 06 April 2014

BIJAK


Akhir-akhir ini, begitu banyak ambisi yang dimuntahkan oleh orang-orang yang ingin menjadi luar biasa, ingin menjadi pahlawan bagi negeri yang mabuk masalah ini. Dalam keperihatinan, daku membatinkan prilaku ini, maka Sang Guru pun bertutur: " Han..., menjadi manusia luar biasa, semisal pahlawan itu mudah. Namun menjadi manusia biasa, seperti para bijak bestari itulah yang lebih sulit. Sebab, puncak kepahlawanan seseorang ketika ia mewujud menjadi sosok bijak bestari."