Jumat, 13 November 2015

SESAT-FITNAH


Seorang karib sahaya difitnah dan dituduh sesat dan menyesatkan. Pasalnya, dia dianggap telah menganut mahzab keagamaan yang sesat. Guru Han ikut miris akan pendapukan itu, maka ujar lirih pun ditabalkan: " Saat ini, fitnah begitu mudah disematkan, sesat amat lumrah dituduhkan, seolah telah menjadi industri keberagamaan. Agama dibajak untuk kepentingan dagang keyakinan mahzab. beritahulah para karib, bila memang dikau difitnah dan disesatkan, dan mereka mendapatkan keuntungan material maupun kelimpahan pahala, maka biarkanlah. Usahlah gundah gulana, sebab dikau telah berjasa baginya mempermudah jalur reski buat makannya, serta kelimpahan pahala. Menjadi sebab dari mudahnya reski dan limpahan pahala bagi seseorang, bukankah itu lebih tinggi nilainya? Karena tanpa stigma yang ditohokkan padamu mereka akan mati kelaparan dan tak punya pahala untuk melenggang ke surga (?)."

Kamis, 12 November 2015

KETERPURUKAN


Beribu detik lamanya sahaya tak bercuap-cuap, itu karena Guru Han lagi puasa tutur. Namun begitu puasa ujarnya selesai, maka moncerlah sabda, serintik hujan di awal musim: " Keterpurukan di masa silam, bagi seseorang yang mengalaminya, setidaknya ada respon psikis yang menyata. Keterpurukan dipandang sebagai trauma yang kemudian seseorang itu ingin menghapusnya dari jejak diri hingga tak berbekas lagi. Sebaliknya, seseorang memandang keterpurukan itu sebagai cermin diri untuk senantiasa menyandarkan kesadaran diri, bahwa yang demikian adalah salah satu tapak dari jalan kehidupan yang tak perlu dihilangkan, apatah lagi mengingkarinya.

Senin, 02 November 2015

Bersatunya Dua Sejoli Literasi

Hampir dua bulan lamanya saya tidak ke Bantaeng. Terhitung sejak acara launching buku Djarina, buah karya Atte Shernylia Maladevi, sebelum lebaran haji , hingga akhir pekan penghujung bulan Oktober 2015. Maklumlah, sejak saya kembali menggawangi Papirus Tokobuku Dan Komunitas, sepertinya saya masuk dalam sebuah “penjara” yang membatasi ruang gerak untuk bertandang seleluasa waktu sebelumnya. Yah..., saya diterungku olehnya, namun dari balik meja kerja, saya tiada henti memuntahkan peluru ujar-ujar sebagai terapi jiwa. Ibarat Arsenal yang bertubi-tubi menggelontorkan gol-gol indah dari meriamnya di London Utara.
Kuatnya rasa ingin segera ke Bantaeng, jujur saya katakan karena rindu. Ada sejenis desakan yang membuncah di bancuh hati dan pikiran saya. Mau bersua dengan kerabat, karib dan tentu saja segenap kawan di Komunitas Literasi Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan. Apatah lagi, beberapa hari sebelum berangkat, seorang sianakku dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Saleh Al-Fachry meminta saya untuk menjadi moderator pada acara diskusi publik dalam rangka Musda PKS Bantaeng, walau diurungkan sebab Bupati Bantaeng, Nurdin Abdullah berhalangan hadir.
Ala kulli hal, postingan Kepala Suku Komunitas Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan, Dion Syaif Saen yang makin mengencangkan tekad saya untuk segera meluncur ke Bantaeng. Betapa tidak, Dion memposting berita dan gambar kebakaran di Bissampole yang menewaskan tiga orang anak. Kejadiannya malam Jumat, 29 Oktober 2015, sekitara pukul 20.00. Walau nanti esok harinya baru saya baca postingan itu. Dan, saya langsung telpon Dion tentang lokasi persisnya dan keluarga siapa yang korban. Ternyata korbannya adalah anak-anaknya Naping yang tiada lain adalah kawan sepermainan dulu waktu saya masih kanak-kanak.
Jumat malam. saya meluncur ke Bantaeng dengan mobil langganan. Sejak di perjalanan, sang sopir sudah berbicara sedikit informasi tentang kebakaran di Bissampole itu. Pukul setengah dua belas saya tiba di rumah, langsung istirahat. Esok harinya, bertemulah saya dengan Agusliadi, Dion Syaif Saen, Emha Alahyar dan Afdan di Warung Pojok Bissampole milik kakak saya. Banyak yang kami diskusikan, temanya menjalar kemana-mana. Dan pada waktu diskusi inilah Agus mengingatkan akan pesta pernikahan rekan kami, Kasma Kompable dengan Emilk Azis. Pesta digelar di kediaman Kasma hari Sabtu, 31 Oktober, sedang di rumah Emil keesokan harinya, Ahad 1 Nopember 2015.
Bersepakatlah saya dengan Dion Syaif Saen dan Emha Alahyar untuk pergi bersama, ke rumahk Kasma di Parammuloroa. Seperti biasanya, kalau ada karib saya yang amat dekat dengan tradisi literasi, maka saya selalu menyatakan kehadiran saya dengan sebuah kado: buku. Kali ini, di pesta Kasma pun saya bawa kado buku yang di halaman paling awalnya saya tuliskan tutur: “ Laki-laki eksis karena maskulinnya. Perempuan mengada sebab feminimnya. Dalam keluarga, maskulinitas dan feminitas bersatu.” Saya menikmati kebahagiaan kedua karibku itu, saya jabat tangannya Emil dengan erat, lalu saya panjatkan shalawat pada kanjeng Nabi, namun tidak saya jaharkan.
Pesta itu makin asyik, sebab rengekan saya pada Dion agar menyumbangkan lagu buat mempelai atas permintaan saya dipenuhinya. Maka tembang lawas Koes Plus pun membuai kami, Andaikan Kau Datang judul lagu yang dilantunkan Dion dan satu bonus tembang Makassar Ampe Ampea Rilino yang menghanyutkan para pendengar, terlebih lagi yang menyanyikannya. Bersama tembang Koes Plus, saya larut dalam perhelatan yang auranya masih terasa hingga kami pulang dan bersepakat untuk menikmati senja bersama-sama di pelataran Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan.
Sengaja saya tidak bikin janji dengan siapapun di malam minggu kali ini. Soalnya, saya ingin menyaksikan pertandingan bola liga Inggris. Lewat chanel Bein Tv, saya menonton Chelsea dipecundangi oleh Livervool di Stamford Brids, dan lanjut hasil seri antara Manchester United dengan Crystal Palace. Malam minggu ini agak larut baru saya tertidur, soalnya membayangkan bagaimana nasib Chelsea yang eksis di urutan ke-15 klasemen dan MU yang kurang beruntung serta kemenangan fantastis The Gunners, sang meriam London Utara, Arsenal. Benarlah yang dibilang Yusuf Kalla, “ bersentuhan dengan urusan bola, kita tidak bisa tidur nyenyak. Sebab kalau kita kalah maka akan dicerca sampai pagi dan kalau menang kita akan pesta sampai pagi.”
Tibalah pada hari Ahad, matahari beranjak meninggalkan subuh. Teriknya barulah semenjana saja, sehangat hati saya yang masih menari riang menikmati kejayaan Arsenal. Saya bertandang ke mukimnya Dion, guna janjian ke pesta pernikahan di rumahnya Emil. Walhasil, sepakatlah saya dengannya untuk berangkat siang sesudah shalat dhuhur. Sepulang dari mukim Dion, saya melewati lokasi kebakaran yang memang jaraknya hanya seratusan meter dari rumah Dion.
Saat berangkat, tiba-tiba HP saya berdering, darinya saya dikontak oleh Ahmad Rusaidi yang ternyata bermaksud sama untuk ke acara itu. Beringanlah kami, saya dibonceng Dion dan dipertengahan jalan, ikut pula Haedir Haedir Thumpaka yang punya tujuan sama, mentunaikan undangan pestanya Emil. Dengan tiga motor, berempatlah kami meluncur ke belakang kantor desa Bontojai, lokasi rumahnya Emil.
Oh.. ya... nyaris lupa. Sebelum saya berangkat meninggalkan rumah, saya dan Dion membungkus kado, satu dari Dion dan satunya lagi dari saya. Dua buku itu saya satukan saja dalam bungkusan kado. Pada buku yang saya kadokan, tutur-tutur pun saya tuliskan buat Emil dan Kasma, “ Dalam sebuah keluarga, hendaklah benih keilmuan tetap disemaikan. Dan, buku ini sekadar sebagai pengingat.” Kira-kira kurang lebih begitu yang saya tuliskan.
Di perjamuan pestanya Emil, banyak nian kerabat dan karib saya jumpai. Ada rombongan dari KPU Bantaeng, Balang Instute, pentolan FMBT dan banyak lagi yang kalau saya sebutkan satu persatu bakal panjang dan tidak ada jaminan pasti ada nama yang bakal luput. Baik pesta di rumah Kasma maupun Emil, tamu-tamu yang berpapasan dengan saya dominan dari kawan-kawan aktifis kaum muda Bantaeng yang terserap dalam berbagai corak kelembagaan. Ini menandakan dua sejoli ini, dominan domain perkawanannya dalam ruang lingkup aktivisme.
Saya sendiri mengenal Emil dan Kasma amat dalam. Bagi saya, keduanya adalah figur-figur terdepan dalam gerakan literasi. Hampir semua perhelatan di Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan, keduanya selalu menjadi salah satu tekongnya. Dan, saya mencurigainya, salah satu tempat memupuk tali kasihnya adalah di Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan. Tentulah dugaan saya kurang akurat, tapi saya amat sering memperhatikannya, bahwa kelak dua sejoli ini bakal melarut dalam satu ikatan keluarga. Dan, doa-doa terbaikku selalu saya panjatkan agar dijabah oleh Yang maha Pengijabah.
Bagi saya, Emil bukanlah anak kemarin sore yang saya kenal. Sudah bertahun lalu saya mengenalnya, apatah lagi ketika Emil menjabat selaku Ketua Umum FMBT, saya selalu diajak untuk menjadi narasumber kajian, baik di forum formal maupun informal. Dan, rumah yang ditempati pesta itu adalah rumah yang pernah saya tempati kajian intelektual hingga larut malam, dan pernah pula menjadi tempat mampir makan kelapa muda sewaktu pulang dari survey untuk Kelas Inspirasi Bantaeng.
Dari interaksi yang begitu sering dengan Emil dalam kajian-kajian, batin saya biasa membetik, bahwa anak muda yang satu ini adalah seorang yang terdepan dalam berburu ilmu pengetahuan. Setiap buku referensi yang saya nyatakan sebagai buku yang layak dibaca, pasti Emil memburunya, memilikinya dan tentu membacanya. Sebab, saban waktu selalu saja Emil mengkonfirmasikan hasil bacaannya untuk dibincangkan. Dunia literasi menawannya, ilmu telah menerungkunya.
Demikian pula dengan Kasma, kini sudah menjadi isterinya, juga seorang aktivis yang tumbuh dalam dunia persyarikatan Muhammadiyah. Saat ini Kasma menjabat Ketua Nasyiatul Aisyiah. Dalam banyak persamuhan di berbagai forum yang melibatkan Kasma, saya yang juga hadir bisa menerka keberisian inteketual di pikirannya. Tidaklah mungkin warga Nasyiatul Aisyiah mendapuknya selaku ketua, jikalau tak menghitung kapasitas yang dimiliki oleh Kasma.
Bersatunya dua sejoli literasi ini dalam ikatan pernikahan, mewujud pada bangunan keluarga baru memberikan optimisme baru bagi saya secara pribadi. Selaku pegiat literasi, bagi saya ini adalah kesempatan emas untuk selalu mengingatkan pada keduanya agar tetap bersetia pada tradisi literasi yang dapat diinisiasikan lebih khusyuk lagi dalam otonomi keluarga. Saya membayangkan, Emil dan Kasma segera membuat sudut baca di dalam rumahnya, sepetak surga buat menyemaikan aura keilmuan yang bakal meninggikan derajat penghuninya. Surga bisa kita ciptakan dalam rumah, sesudut atau sepetak dan tentu saja kado buku dari saya dan Dion bakal menjadi salah satu penghuninya.
Di selingan lantunan irama kasidah-elekton yang mengiringi pestanya Emil, saya merengek lagi ke Dion, agar melantunkan tembang lawas. Tapi Dion angkat tangan, dan saya maklum sebab pengiring musiknya bergenre kasidah. Dan, pastilah Dion tak berdaya di hadapan para penyanyi perempuan yang berkasidah ria. Walau ada juga dua penyanyi perempuan yang bernyanyi bukan lagu kasidah tapi diiringi dengan irama kasidah yang salah satunya ternyanyikan, saat saya beranjak pulang, judulnya: Sakitnya tuh di Sini. Begitu beranjak meninggalkan pesta, saya menyapa Adam Kurniawan dan kawan dari Balang Institut, saya berucap pada mereka, kalau mereka yang nyanyi itu menunjuk hatinya yang sakit, kalau saya berkata sakitnya tuh di sini, sambil saya menunjuk kepala yang baru tiga hari lalu saya plontos. Tawa pecah di antara kami, pamit pulang dengan sejumput bahagia dari arena perjamuan, hingga tulisan saya torehkan, masih saja meluap-luap.