Senin, 28 Januari 2013

DUPA


Merindu pada harum wangi dupa, saat perhelatan maulid Baginda Nabi, di rumah kaum yang merayakannya. Makin hari makin jarang kutemui.

Selagi masih kanak-kanak, salah satu bulan yang kutunggu hadirnya adalah bulan Maulid, di samping bulan Ramadhan.

Apa pasal sehingga kedua bulan itu menjadi amat penting bagi masa kanakku? Sebab, pada kedua bulan itu, selalu kuhirup bau dupa yang harum mewangi.

Pada bulan Maulid, setiap acara barazanji dibacakan, kepulan asap dupa mengiringi lantunan para pembacanya. Sedangkan pada bulan Ramadhan, tepatnya saat menyongsong kedatangannya, ritus atas bulan agung itu, didupakan pula dengan segenap khusyuk dalam lautan wewangian asap dupa.

Bulan Maulid kali ini, belumlah ada rumah yang kusambangi untuk mengekstasi harumnya bau dupa. Atau karena memang kebiasaan ini sudah ketinggalan zaman? Menjadi milik masa silam, ketika masih kanak-kanak?

Jika demikian adanya, maka aku akan membakar dupa atas dukaku ini. Sambil mengkomat-kamitkan mantra: "Pada asap dupa yang terbakar, meliuklah ke masa silam, ke alam kanak-kanakku, saat wangi dupa masih menyelimuti diri."

Kamis, 24 Januari 2013

WACANA FUNDAMENTALISME DAN HMI MPO


WACANA FUNDAMENTALISME DAN HMI MPO
Oleh Sulhan Yusuf

Gerakan-pemikiran fundamentalisme bisa dijinakkan secara intelektual, dan intelektualisme yang liberal bias menemukan basis normatifnya oleh pemahaman yang fundamentalis.


Wacana Fundamentalisme-Neo Fundamentalisme (Pra-Modern dan Kontemporer) sebagai suatu istilah, dalam banyak hal dan sudut pandang, sering juga diberikan padanan istilah lain, yaitu Revivalisme (Paham Kebangkitan). Sehingga, ketika kita berbicara tentang Revivalisme  Islam, maka sesungguhnya yang dimaksud adalah bangkitnya kaum Fundamentalisme Islam[1]
Memasuki abad ke-15 H, sering dinyatakan sebagai abad kebangkitan umat Islam, tepatnya ketika sejumlah Negara Islam dalam Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam I pada tahun 1969 di Rabbat, Maroko, dimana KTT tersebut memutuskan sebagai abad kebangkitan Islam. Mengapa KTT itu dijadikan momentum?[2]
Setidaknya, menurut Asep Syamsul, bahwa ada dua yang melatarinya. Pertama, ada semacam keyakinan di kalangan umat Islam bahwa kejayaan suatu umat atau bangsa akan terjadi bergiliran selama kurun waktu tujuh abad. Umat Islam telah berjaya selama tujuh abad pertama hijriah, yang kemudian jatuh dan digantikan umat lain (Barat). Setelah tujuh abad kejayaan Barat (VII-XV), maka mulai abad XV merupakan ”giliran” umat Islam berjaya kembali. Keyakinan boleh merupakan “tafsiran” atas QS.3:140, “Demikianlah hari-hari (kebangkitan dan kejatuhan) kami pergilirkan  di antara umat manusia…”. Dengan demikian, pergiliran “bangkit dan jatuh” suatu kaum merupakam sunnatullah.
Kedua, memasuki abad ke XV ada peristiwa besar yang mengguncang dunia Islam, yakni dibakarnya mesjid al-Aqsa di Yerussalem oleh kaum Yahudi pada 21 Agustus 1967. Peristiwa tersebut menggemparkan sekaligus membuat marah, dan peristiwa itulah yang melahirkan suatu perasaan yang mendalam di kalangan umat Islam sedunia.
Giliran issu dan gagasan kebangkitan inipun menjalar masuk ke Indonesia, sehingga seorang Fazlur Rahman[3] – sosok intelektual Muslim kaliber internasional asal Pakistan— pun mengatakan bahwa kebangkitan Islam telah  dimulai di Indonesia. Dan cendekiawan Muslim Indonesiapun dalam hal ini Muhammad Natsir segera menegaskan bahwa kebangkitan umat Islam di Indonesia akan dimulai dari tiga tempat, yaitu; pesantren, masjid dan kampus [4]
Selanjutnya, rasa percaya diri umat Islam pun semakin nampak – termasuk pengaruhnya terhadap umat Islam yang ada di Indonesia—setelah peritiwa spketakuler terjadi pada tahun 1979, di belahan bumi Timur Tengah, yaitu suksesnya Revolusi Islam Iran di bawah komando Imam Khomaeni.[5]
Bagi kaum muda Muslim di Indonesia, nafas kebangkitan Islam ini pun  terasa sangat  berpengaruh. Sehingga kaum muda Muslim pun ambil bagian dalam proses-proses kebangkitan ini. Maka tidaklah mengherankan jikalau pada paruh tahun 1980-an lahirlah fenomena baru berupa hadirnya sejenis gerakan yang cukup fenomenal, yang dalam peristilahannya saya sebut sebagai Gerakan Religi.[6]
Sebagai bahan pemikiran, saya kutipkan sebagai berikut:

“Bagi kaum muda mahasiswa , telah lahir pula fenomena baru sejak dekade 80-an hingga 90-an, dalam wujud Gerakan Religi, dengan konotasi pada terjadinya pencerahan pemikiran di kalangan kaum muda mahasiswa. Tema dasar dari gerakan ini adalah upaya untuk senantiasa menegentalkan kembali semangat religiusitas (keberagamaan) yang hampir lepas, dikarenakan oleh gencarnya injeksi dari proses sekularisasi terhadap kaum terpelajar sejak pertama kali mengecap pendidikan dasar, hingga ke pendidikan tinggi. Fenomena ini terjadi hampir secara umum berlaku di kalangan semua pengikut agama. Indikasi-indikasinya dapat dilihat pada adanya keinginan untuk mempelajari persoalan-persoalan keagamaan di kampus yang nota bene pendidikan umum (non-agama). Difungsikannya tempat-tempat kuliah di beberapa ruangan kampus misalnya tempat kebaktian bagi kaum muda mahasiawa Kristiani, atau pengoptimalan fungsi masjid-mushallah kampus sebagai tempat pengkajian aneka ragam persoalan agama Islam, yang diikuti oleh kaum muda Muslim secara serius, adalah hal yang tak boleh dinapikan sebagai salah satu sisi gerakan yang sementara berlangsung di kalangan kaum muda mahasiswa.”[7]

            Latarbelakang  apa yang menyebabkan bangkitnya semangat religiusitas di kalangan kaum muda mahasiswa itu, khususnya di kalangan kaum muda-mahasiswa Muslim. Apa semangat itu datang begitu saja secara tiba-tiba? Kita ikuti paparan lebih lanjut seperti berikut ini: 

”Sesungguhnya, apa yang terjadi pada saat ini di kalangan kaum muda mahasiswa Muslim itu, tidak bisa dilepaskan dari adanya pengaruh gerakan Islam secara mondial. Gerakan yang dimotori oleh aktvis-aktivis Jamiat Islami di Pakistan, Ikhwanul Muslimin di Mesir, maupun kesuksesan Revolusi Islam di Iran, telah memberikan kontribusi yang cukup banyak terhadap terjadinya proses kontinutas gerakan religi, yang bersifat pencerahan pemikiran sekaligus pencerahan spiriutual. Olehnya, tidaklah mengherankan jikalau kaum muda mahasiswa Muslim terpelajar, disamping menekuni buku-buku pelajarannya, juga menjadikan tulisan-tulisan dan buku-buku semisal Abu ‘Ala al-Maududi, Syed Ahmad Khan, Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, Muhammad Qutb, Yusuf Qardhawi, Murtdha Mutahhari, Muhammad Husaini Bahesti, Javad Bahonar, Imam Khomaeni dan Ali Syariati, sebagai rujukan pergolakan-pergolakan pemikirannya dan juga keresahan-keresahan spiritualnya, dalam merakit rintisan langkah awal menuju ke suatu proses pencerahan pemikiran-spiritual.”[8]

Konteks HMI

            Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sebagai salah satu dari gerakan kaum muda Muslim terbesar dan paling berpengaruh, pun tidak luput dari pengaruh gagasan akan kebangkitan Islam ini. Sehingga pada kepengurusan Abdullah Hahemahua, sebagai Ketua Umum Pengurus Besar HMI (l979-1981), gagasan kebangkitan Islam ini menjadi topik yang akatual di HMI. Sehingga, di HMI sendiri terjadi proses Islamisasi, tepatnya adalah ideologisasi Islam.
Nilai Dasar Perjuangan (NDP) sebagai paradigma gerakan HMI, pun tidak bisa luput dari pengaruh gagasan kebangkitan Islam ini. Sehingga menurut Hasanauddin M.Saleh, perlakuan terhadap NDP terjadi perbedaan antara sejak diputuskannnya pada Kongres ke-9, 1969 di Malang – sebagai tafsir asas  HMI—hingga 1980-an dan sesudah tahun 1980-an. Saya kutipkan hasil risetnya:

NDP menjadi pedoman dasar gerakan Islamisasi di HMi sampai dengan tahun 1980-an. Akan tetapi, terdapat perbedaan perlakuan terhadap NDP antara HMI tahun 1960-an dan 1970-an dengan HMI tahun 1980-an. HMI sebelum tahun 1980-an memperlakukan NDP sebagai satu pokok bahasan dalam latihan kepemimpinan HMI. Itupun masih dilihat secara filosofis, belum ada upaya merumuskan dalam tindakan operasional, sehingga Islamisasi pada masa ini masih dalamn strata keinginan yang belum terwujud. Perlakuan terhadap NDP itu berbeda dengan HMI tahun 1980-an. Pada masa ini semangat mengintergrasikan nilai-nilai yang terumus dalam NDP ke dalam seluruh aktivitas HMI secasra organisatorios maupun terhadap prilaku anggota-anggota HMI secara individual cukup besar. Hampir semua materi latihan di HMI merupakan bagian penjabaran NDP. Akan tetapi, sebenarnya bukan kajian terhadap NDP itu sendiri yang sangat berpengaruh terhadap gairah keislaman yang sangat tinggi pada komunitas HMI, melainkan sentuhan mereka secara langsung dengan semangat keislaman yang tengah berkembang di Indonesia, bahkan di dunias Islam.”[9]

Akibat lebih jauh dari proses ini adalah munculnya kritikan terhadap NDP.Tulisan Syafinuddin al-Mandari telah merekam dan memaparkan bagaimana dinamika intelektual itu terjadi. Yang pada dasarnya, kritikan itu berkisar pada pembahasan yang menyeluruh terhadap pokok-pokok pikiran yang ada dalam NDP, seperti; pembahasan tentang Dasar-Dasar Kepercayaan, Konsepsi Ilmu Pengetahuan, sistem sosial.[10]
Gelombang studi kritis terhadap NDP tersebut, pada akhirnya melahirkan rekomendasi untuk melakukan penyempurnaan di bidang perkaderan. Walhasil, pada tahun 1983 dilaksanakanlah lokarya perkaderan di Surabaya, dan pada tahun 1984 diformalkan secara nasional, yang menghasilkan pola perkaderan dengan muatan Islamisasi yang cukup dominan, baik pada tataran landasan maupun materi-materi trainingnya.[11]
Sesungguhnya usulan perubahan dalam artian penyempurnaan terhadap NDP, bukanlah suatu aksi sepihak dari tuntutan kader-kader HMI yang terpengaruh oleh gagasan-gagasan kebangkitan Islam, yang menginginkan adanya Islamisasi ideologisasi Islam di HMI. Seorang Nurcholis Madjid  yang dianggap sebagai tokoh yang sangat berperan dalam merumuskan NDP, juga telah menganjurkan agar supaya NDP itu diubah dalam pengertian dikembangkan. Nurcholis Madjid menuturkan:

“Saya disebut-sebut sebagai orang yang merumuskan NDP (sekarang NIK), meskipun diformalkan oleh Kongres Malang. Itu terjadi 17 tahun lalu. Jadi artinya sebagai dokumen organisasi, apalagi organisasi mahasiswa, maka NDP itu cukup tua. Oleh Karena itu, ada teman yang berbicara tentang NDP dan kemudian mengajukan gagasan misalnya untuk tidak mengatakan mengubah—mengembangkan dan sebagainya, maka saya selalu menjawab, dengan sendirinyamemang mungkin untuk diubah, dalam arti dikembangkan. Values (nilai-nilai) tentu saja tidak berubah-ubah. Kalau di situ misalnya ada nilai Tauhid, tentu saja tidak berubah. Akan tetapi pengungkapan dan tekanan pada implikasi itu bias diubah. Sebab sepanjang sejarah, Tauhid pun tetap wujudnya sama, yitu paham pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Akan tetapi tekanan implikasinya itu berubah-ubah…Jadi artinya implikasi dari Tauhid itu bias berubah-ubah mengikuti perkembangan zaman. Sebab itu, juga menyangkut masalah interpretasi. Pengungkapan nilai itu sendirimemang tidak mungkin berubah, tetapi harus dipertahankan apalagi nilai seperti Tauhid. Akan tetapi karena ada kemungkinan mengubah tekanan, implikasinya, maka ada ruang dan kesempatan dengan sendirinya untuk suatu dokumen semacam NDP. Tidak hanya namanya saja diubah NDP ke NIK. Dan itu adalah tugas/pikiran yang sah dari adik-adik disini. Maka dari itu saya persilahkan kalau misalnya memang ada yang ingin menggarap bidang ini.” [12]

Bersamaan dengan menguatnya tuntutan akan Islamisasi atau ideologisasi Islam di HMI, hadirlah lima paket UU yang dikeluarkan oleh rejim despotik ORBA. Keharusan HMI untuk merubah dan me3nerima asas Pancasila berakibat fatal, karena menyebabkan HMI terpecah menjadi dua kubu, yaitu HMI DIPO (Diponegoro, inisial karena bersekretariat di jalan Diponegoro Jakarta dan HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi). Yang pada akhirnya, HMI DIPO menerima asas Pancasila – meski setelah reformasi asasnya kembali ke Islam, sedangkan HMI MPO tetap mempertahankan asas Islamnya.
Sebagai konsekuensi dari perpecahan itu adalah HMI DIPO merubah NDP menjadi Nilai Identitas Kader (NIK), meski kandungannya tidak berubah, tetapi memberi memori penjelas tentang sejalannya, dalam artian tidak adanya pertentangan  antara Islam dan Pancasila.[13] Tetapi pada konteks ini, satu pertanyaan krutis sering dan amat perlu diajukan, jikalau memang tidak ada masalah dengan asas antara Pancasila dan Islam, mengapa setelah reformasi terjadi, --dan asas tunggal pancasila dianggap menjadi salah satu biang kerok kerusakan di negeri ini – HMI DIPO harus memilih dan menetapkan kembali ke asas Islam ?
Akan halnya dengan HMI MPO, dengan mempertahankan asas Islam, maka konsekuensi yang dihadapi adalah harus berhadapan dengan kekuasaan rejim ORBA. Dan pada saat yang sama gagasan-gagasan kebangkitan Islam mendapat tempat dan lahan yang subur di HMI MPO. Akibatnya adalah NDP pun yang memang sudah banyak dikritik, semakin menemukan kristalisasinya dengan lahirnya Khittah Perjuangan HMI sebagai pengganti NDP.
Pada konteks ini, menjadi jelaslah kerumitan yang dihadapi oleh HMI ketika ada keinginan untuk melakukan rekonsiliasi. Sebab, awalnya memang hanya peristiwa politik yang menyebabkan perpecahan, tetapi kemudian berkembang menjadi perpecahan kelembagaan, yang kemudian masing-masing berjalan dengan sistem penjelas yang dirumuskan, agar tetap survive. HMI DIPO merumuskan dan melakukan penyesuan-penyesuan terhadap pola-pola yang dikembangkan oleh penguasa, sedangkan HMI MPO, harus mengeluarkan energi ekstra untuk merumuskan konsep-konsep, pola-pola dan sistem penjelas organisasi.

Khittah Perjuangan

Bagi HMI MPO, Khittah Perjuangan merupakan sumber inspirasi, motivasi dan aspirasi bagi segala aktivitas yang dilakukan oleh organisasi, serta merupakan tafsir integral dari Asas, tujuan dan Independensi. Dan untuk melakukan studi yang memadai, maka kita dapat membagi ke dalam dua tahapan perjalanannya sebagai sebuah konsep. Pertama, sejak terjadinya perpecahan hingga kepengerusan PB HMI, H.Masyhudi Muqarrabin, Periode 1990-1992. Kedua, setelah penyempurnaan hingga saat ini.
Karateristik dari KHittah Perjuangan pada tahap pertama, sering didentifikasi dengan beberapa catatan seperti;  muatan-muatan pemikirannya sangat fundanetalis dan terkesan reaksioner. Hal ini menjadi absah saja, sebagai salah satu wujud penegasan eksistensi diri-kelompok, karena: Pertama, pengaruh gagasan-gagasan kebangkitan Islam – tepatnya fundamentalisme Islam – cukup dominan dalam pemikiran-pemikiran kader HMI yang bergabung dalan HMI MPO. Kedua, tekanan dari pihak-pihak eksternal, baik dari penguasa rejim Orba naupun dari kalangan alumni HMI yang tidak setuju dengan HMI MPO, cukup kuat dan tak bersahabat.
Sebagai konsekuensi dari perjalanan konsepsi KHittah Perjuangan ini, dapat kita lihat dari prilaku kader-kader awal HMI MPO, yang menemukan bentuk artikulasinya yang berwatak fundamentalis. Sehingga, model-model interaksi dan pola-pola perjuangan yang muncul kepermukaan menemukan bentuknya seperti halaqah-halaqah atau usro-usro, yang memang menjadi gejala umum gerakan Islam pada masa itu.
Artikulasi dari semagat fundamentalisme ini menjadi sangat tajam ketika semuanya mau di-Islmamisasi-kan. Sebagai contoh: himne HMI diganti dengan mars jihad, adanya keinginan untuk merubah tanggal kelahiran HMI dari kalender masehi ke kalender Hijriah,  istilah-stilah pun diganti, dies natalis menjadi milad, saudara-saudari menjadi ikhwan dan akhwat, tatacara bergaul yang dibatasi oleh hijab, pemandu akhwat tidak boleh bicara di depan peserta ikhwan, pakaian jilbab bagi perempuan dan gamis bagi laki-laki, dan masih banyak lagi yang lainnya.
   Perkembangan selanjutnya dari Khittah perjuangan sebagai suatu konsep, ketika memasuki tahapan penyempurnaan, sebagai konsekuensi logis dari semakin luasnya ruang gerak dan makin artikulatifnya potensi para kader. Sehingga diselenggarakanlah lokakarya penyempurnaan Khittah Perjuangan di Yogyakarta. Dan selanjutnya, untuk menjabarkan konsep ini, maka dilaksanakan pula lokakarya penyempurnaan perkaderan di Jakarta, yang kemudian hasil-hasil lokarya tersebut ditetapkan pada Kongres ke-19, 1992 di Semarang.[14]
Dengan adanya Khittah Perjuangan yang baru, sebagai hasil penyempurnaan, maka dengan serta merta nuansanyapun berbeda. Jika diperbandingkan dengan Khittah Perjuangan sebelumnya, maka Khittah Perjuangan yang ada sekarang ini lebih komprehensif dan tidak lagi mencerminkan karakter yang sangat fundamentalistik, apalagi reaksioner.[15]
Terjadinya pergeseran nuansa konsep tersebut menjadi sangat logis, karena: Pertama, pergeseran-pergeran pemikiran di kalangan kader turut mempengaruhi cara memahami realitas yang dihadapi oleh HMI MPO. Kedua, Karakteristik dari gagasan-gagasan fundamentalisme yang reaksioner, terasa tidak cukup memadai untuk memberikan jawaban solutif bagi permasalahan keummatan yang lebih komprehensif. Ketiga, bangkitnya kembali taradisi intelektual di HMI MPO, yang memang merupakan trade merk dari HMI sejak masa yang lalu.
Pada konteks ini menjadi menarik untuk dikemukakan hasil riset yang dilakukan oleh Rusli Karim dalam tesisnya , bahwa :
Akhirnya, dapatlah ditarik  suatu kesimpulan bahwa dalam perjalanan HMI MPO  yang sudah memasuki usia kurang-lebih 25 tahun ini telah menampakkan sebuah profil yang lebih komprehensif. Warisan fundamentalisme tidak hilang sama sekali, tetapi mendapat tafsiran baru, maksudnya, fundamentalisme yang begitu garang telah dijinakkan oleh sebuah tradisi intelektual. Sedangkan tradisi intelektual yang begitu liberal di HMI, mendapatkan pijakan normatif yang cukup kokoh. Paling tidak ini tercermin dari profil prilaku kader yang cukup berakhlak tidak secara hitam-putih, dan mereka tidak ketinggalan wacana intelektual. ***














[1] Lihat misalnya uraian singkat dari Rifyal Ka’bah, Islam dan Fundamentalisme, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984 hal.31-32.
[2] Sulhan Yusuf, Tanggung Jawab Kaum Muda Muslim Dan Kebangkitan Umat Islam, Medium, Edisi I, September-Oktober 1997, hal.22
[3] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual, Bandung: Pustaka, 1985, hal.150-154.
[4] Sulhan Yusuf, of cit, hal.22-23
[5] Ibid, hal  23.
[6] Lihat artikel-polemik Sulhan Yusuf, Membedah Tema Gerakan Kaum Muda Mahasiswa, pada harian Fajar, 18 Nopember 1992, dengan M.Arief Hakim.
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Hasanuddin M.Saleh,  HMI Dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila, Yogyakarta: Pustaka Pelajar1996 hal.103
[10] Syafinuddin al-Mandari, HMi dan Wacana Revolusi Sosial, Jakarta: Hijau Hitam-PSPI, 2004, hal.
[11] Hasanuddin M.Saleh, of cit, hal.104-105
[12] Penuturan Nurcholis Madjid ini dapat dilihat pada buku Muchridji Fauzi (penyunting) HMI dalam Tantangan Zaman, Jakarta: Gunung Kulabu, 1990, hal.3-4.
[13] Memori Penjelasan PB HMI DIPO dapat dilihat pada ketetapan-ketepan Kongres ke-19, 1992 di Pekanbaru, hal.141-144.
[14] lihat Laporan pertanggung Jawaban PB HMI Periode 1990-1992, hal 43-42.
[15] Untuk memahami substansi kandungan dari Khittah Perjuangan yang telah disempurnakan, uraian mendalam yang merupakan tafsiran dariSuharsono dapat ditelaah lewat bukunya HMI Pemikiran dan Masa Depan,Yogyakarta: CIIS Press, 1997, hal.73-105.

NEO-FUNDAMENTALISME ISLAM KONTEMPORER DAN ARTIKULASINYA DI INDONESIA


NEO-FUNDAMENTALISME ISLAM KONTEMPORER DAN ARTIKULASINYA DI INDONESIA
Oleh Sulhan Yusuf


 Sesungguhnya gerakan dan pemikiran Islam
yang ada di Indonesia
 adalah memamah dari belahan dunia Islam yang lain.


            Telah dituliskan sebelumnya, bahwa akar dari gerakan Neo-Fundamentalisme Islam Kontemporer, berpijak pada tiga orang tokoh, yaitu; Hasan al-Banna, Sayyid Qutb dan Abu ‘Ala al-Maududi atau dalam wujud gerakan Islam, masing-masing ; Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Jamaat Islami di Pakistan, meski harus segera ditandaskan bahwa semua itu baru pada gerakan yang terjadi Islam mahzab sunni, sementara di Islam Mahzab Syi’ah akan dibahas secara tersendiri pada bagian lain dari tulisan ini.
Sebenarnya, amat banyak gerakan-gerakan Islam yang muncul pasca ketiga tokoh dan dua gerakan tersebut. Misalnya, bagaimana fenomena gerakan Neo-Wahhabiyah di Saudi Arabia, yang saat ini terjadi perseteruan antara Wahhabiyah Istana Kerajaan dan Wahhbiyah tradisionalis[1]. Demikian pula dengan faksi-faksi pentolan Ikhwanul Muslimin, atau setidaknya diinspirasi oleh Ikhwan Muslimin, semisal gerakan Jemaah al-Jihad yang membunuh Anwar Sadat, Presiden Mesir.[2]
            Akan tetapi dengan berbgai macam pertimbangan, diantaranya; Pertama dari sudut pandang popularitas dan populisnya dari setiap gerakan, Kedua, karena terkait langsung dengan tulisan ini, bagaimana artikulasi dari gerakan tersebut, baik yang berbentuk pengaruh pemikiran maupun institusi gerakan di Indonesia. Olehnya, tulisan ini memfokuskan pada tiga subjek gerakan yaitu; Gerakan Taliban, Hizbut Tahrir, dan Gerakan Revolusi Islam Iran. Meskipun dengan tetap tidak mengabaikan pengaruh gerakan Neo-Wahhabiyah dan Ikhwanul Muslimin.

GERAKAN TALIBAN
            Kehadiran gerakan Taliban dan begitupun terdepaknya dari kekuasaan di Afganistan, memiliki daya tarik yang luar biasa untuk dibincangkan. Betapa tidak, karena: Pertama, gerakan ini muncul sepertinya terjadi secara tiba-tiba dan tak terduga. Kedua, kemampuannya merebut simpati rakyat Afganistan. Ketiga, mengguncang dunia, baik di kalangan dunia Islam, terlebih lagi di Barat, karena tawaran pemikiran yang dianggap kontroversial. Keempat, bagaimana kemudian begitu banyak kepentingan yang bermain mata untuk memanfaatkannya demi kepentingan nasional dari berbagai Negara.  Dan, kelima –tentu saja—begitu mudahnya gerakan ini terjungkal dari kekuasaannya, sebegitu mudah ia merebut kekuasaan.
Benarkah memang gerakan Taliban ini muncul secra tiba-tiba dan tak terduga? Adalah Winston Churchill seabad yang lalu, pernah memberikan kesaksiannya dan menulis bahwa sosok Taliban relatif dapat mudah ditemui di perbatasan Barat Laut Pakistan. Di daerah itu bertebaran para penuntut ilmu (talib-ul-ilm) yang memiliki hubungan dengan pelajar-pelajar teologi di Turki. Berdirinya perguruan tinggi negeri seperti fakultas Syari’ah di Kabul University, serta madrasah-madrasah pemerintah, tidak berarti madrasah-madrasah swasta—dimana kaum Taliban banyak belajar—berakhir.[3]
            Pada saat perang berkobar ditahun 80-an, Taliban, sebagaimana disaksikan Oliver Ray, ikut terjun di medan perang di daerah Uruzgan, Zabul dan Kandahar. Mereka bukan hanya muncul dari Afganistan namun juga dari Pakistan, yaitu dari Partai Ulama Islam pimpinan Maulana Faslur Rahman yang menyediakan sarana pendidikan konservatif bagi anak-anak laki-laki dari kamp-kamp pengungsi Afgan, khususnya anak-anak dhu’afa. Pendidikan agama di sini sangat dipengaruhi oleh mahzab Deoband (berasal dari Darul Ulum Deoband) sebuah instityusi pendidikan yang didirikan di kota Deoband, India pada tahun 1867. Mahzab Deoband mengajarkan agama dengan cara-cara ortodoks, dan madrasah-madrasah yang berada di bawah pengaruhnya telah menghasilkan sejumlah Ulama terkemuka di Afganistan.[4]
            Menurut Amin Saikal, tentang munculnya Taliban dari madrasah-madrasah Pakistan di Wilayah Balokistan hingga ke istana kepresidenan begitu sangat jelas, yang membingungkan adalah asal-muasal bangkitnya gerakan ini. Taliban sendiri tampaknya tidak memiliki kepentinganuntuk memberikan klarifikasi tentang hal ini. Versi pejabat resmi Taliban tentang sejarah asal-muiasal kemunculannya adalah dari madrasah-madrasah sederhana di desa Singesar wilayah Maiwand, propinsi Kandahar tempat Mohammad Omar, pimpinan Taliban, dan beberapa mantan pejuang Mujahidin belajar.
            Masih menurut Amin Saikal bersamaan dengan adanya tingkah laku kurang simpatik dari mujahidin dengan cara melakukan perampokan di jalan-jalan yang mereka anggap sebagai upeti, pemerkosaan yang telah menjadi norma yang sangat menekan, Mohammad Omar bersama tiga puluh kawan seperjuangannya akhirnya memutuskan untuk mengangkat senjata pada tahun 1994. Dengan dibarengi oleh kemarahan rakyat telah memuncak pada kondisi Afganistan yang makin semrawut, mereka bangkit dari Kandahar.[5]
            Perkembangan selanjutnya dari gerakan Taliban ini adalah semakin banyaknya unsure-unsur pendukung , yang tidak lagi sekedar berasal dari madrasah-madrasah. Pertama, bergabungnya veteran-veteran mujahidin yang melawan soviet, yaitu Faksi Harakat-e-Enqilab, pimpinan Nabi Mohammade. Kedua, mengakomodasi etnis Pustun yang sekuler --yang sudah menianggalkan ideology komunisnya—begutu juga pendukung Zahir Syah.
            Ketiga, mengakomodasi juga—setidaknya segelintir—masyarakat tertutup dari Kandahar yang disebut “Persaudaraan Pai Luch” yang memilkimciri khas sangat spesifik. Keempat, di hamper seluruh negeri, dan secara khusus saat petualangannya di wilayah utara, gerakan ini membuka pintu untuk orang-orang Pustun Yang bersenjata yang kemudian menyatakan diri sebagai Taliban. Kelima, dan ini yang sangat penting , Taliban mendapatkan bantuan sumberdaya manusia dan finbansial dari Pakistan dan Saudi Arabia. Hal ini merubah Taliban dari suatu gerakan yang tidak terorganisir dengan agenda yang lokal, menjadi sebuah kekuatan politik yang terorganisir dan berusaha menguasai seluruh wilayah.[6]
            Ketika Taliban sudah menguasasi Afganistan dan menjadi rejim yang memerintah, maka dengan serta merta ia harus mengdapi banyak problem-problem, khususnya hubungan-hubungan  internasional dengan Negara lain. Pada saat demikianlah amat banyak Negara dengan berbagai macam kepentingan dan agenda nasionalnya masing-masing, masuk bertarung untuk memperebutkan hegemoni terhadap penguasa Taliban.
            Disamping Pakistan dan Saudi Arabia yang mermang sejak awal mendukung penguasa Taliban, maka Negara-negara seperti Amerika Serikat dengan kepentingan dan agenda perdagangan narkotik serta saluran pipa minyak misalnya, atau Iran yang kebanjiran pengungsi dari orang-orang Afgan juga kebijakan Iran yang ingin membangun pengaruh kultural, serta Rusia dan beberapa Negara di Asia Tengah yang tetap ingin mempertahankan status quo pasca bubarnya Uni Sovyet.[7]
Lalu apa yang menarik dari pemikiran maupun persepsi atau cara pandang tentang Islam dan realitas sosialnya – yang menyebabkan pula Taliban bias dikatagorikan sebagai gerakan Fundamentalis—saya kutipkan penuturan Mustafa Abdurrahman, seorang jurnalis dan wartawan kompas yanmg sempat mewawancarai juru bicara Taliban, Mullah Amir Khan Muttaqi:

“…Program kami adalah mempraktikkan hukum Islam di seluruh Afganistan dan membasmi komunis dengan segala bentuknya di negeri ini…Betul, belajar dan bekerja adalah hak wanita dan lelaki muslim. Tetapi bagi kami dan gerakan Taliban, wanita harus mengenakan pakain Islami. Dan adalah hak wanita Afganistan menuntut ilmu, tetapi yang inginkan wanita-wanita itu belajar sesuai tuntunan syariah dan ajaran Islam… Kami sebetulnya juga butuh wanita untuk bekerja di sektor tertentu seperti di rumah sakit sebagai dokter atau bidan, dan bekerja di Bandar udara untuk melakukan pemeriksaan atas penumpang-penumpang wanita.”

Saya kutipkan juga laporan kesaksiannya ketika berada di Kabul:

“…Kebetulan hari jumat, 28 Maret 1997 merupakan hari libur resmi di Afganistan. Jalan-jalan kota Kabul sangat lengang, tak ada hiruk pikuk lalu lintas kendaraan. Pemandangan yang mencolok hanya sepeda-sepeda yang ditunggangi oleh warga Afgan yang rata-rata berjenggot panjang. Sesekali terlihat kaum wanita Afgan yang berpakaian cadar. Di pusat kota, dimana terdapat pasar tersbesar, kawasan D’Afganon, kehidupan terasa monoton. Hanya terdapat gerombolan manusia melakukan transaksi jual-beli antar mereka, tetapi tak kedengaran sama sekali suara gebyar-gebyarnya musik di toko-toko atau penjual kaki lima seperti layaknya pasar-pasar di negeri lain…Lagu-lagu masih sempat terdengar dari dalam taksi yang sedang lewat, namun Cuma suara-suara tanpa diiringi musik. Asslamu …alaikum…Basmallah…basmallah … adalah kaset yang harus sering dibunyikan…Ukuran panjang jenggot baru bisa dikatakan memenuhi syarat, kalau ujung jenggot itu bisa menyentuh dasar gelas. Jadi tidak hanya sekedar jenggot. Taliban akan menjatuhkan hukuman cukup besar kepada warga Afgan yang terlihat tidak memelihara jenggot… kendaraan harus berhenti diwaktu waktu shalat…Meski demikian, keamanan pada masa Taliban dirasakan sangat baik.”[8]

          Akhirnya, peristiwa 11 sepetember yang merupakan awal dari terjungkalnya rejim Taliban di Afganistan. Dengan alasan penguasa Taliban melindungi dan menjadikan tamu terhormat Osama bin Laden, tersangka utama peristiwa itu, Amerika Serikat menginvasi Taliban. Dan, sudah dapat dipastikan penguasa Taliban tak berdaya menahan invasi itu, meski dengan seruann jihad telah dikeluarkan. Rejim Taliban pun jatuh, dan Afganistan saaat ini dengan pemerintahan yang baru hadir di bawah control Gedung Putih di Washington, Amerika Serikat.  

HIZBUT TAHRIR
Sudut pandang terpenting dari perlunya membahas gerakan Hizbut Tahrir, dikarenakan oleh paling tidak ada tiga hal yang melatarinya. Pertama, Gerakan ini masih merupakan kelanjutan dari gerakan-gerakan Islam sebelumnya yang dianggap gagal. Kedua, sikap kritis terhadap dunia Islam yang terpoecah belah. Ketiga, tawaran pemikiran solutif berupa tegaknya kembali Daulah Khilafah Islamiyah.
Hizbut Tahrir sebagai salah satu gerakan Islam yang muncul, dibidani oleh salah seorang tokoh gerakan Islam yang cukup berpengaruh yaitu Syekh Taqiuddin An-Nabhani (1909-1977), dan dapat pula dikatakan bahwa dari pemikiran-pemikiran tokoh inilah Hizbut Tahrir sebagai partai politik Islam, mengadopsi untuk menegaskan eksistensinya. Sehingga banyak pengamat mengambil kesimpulan bahwa Hizbut Tahrir identik dengannya.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, berasal dari kabilah Bani Nabhan, satu kabilah Arab penghuni padang sahara di Palestina, yang bermukim di daerah Jizim, wilayah Haifa, Palestina Utara. Latar belakang pendidikan yang pertama kali membentuknya adalah dalam lingkungan keluarganya sendiri. Dan selanjutnya, pendidikan formalnya dimulai dari pendidikan dasar hingga ke jenjang pendidikan tinggi di Al-Azhar Mesir[9].
Pada tahun 1953, Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani mempublikasikan berdirinya Hizbut Tahrir di Yordania,  dimana beliau bertindak sebagai pimpinan, yang didampingi oleh Dawud Hamdan sebagai Wakil pimpinan merangkap sekretaris, Ghanim Abduh Sebagai bendahara, Dr. Adil an-Nablusi dan Munir Syakir masing-masing sebagai anggota. Dan seperti yang bisa diduga, pemerintah Yordania tidak merestui pendirian dan publikasi itu, sehingga Hizbut Tahrir pun dilarang dan tidak boleh melakukan aktivitas. Karenanya, perjuangan rahasiapun menjadi pilihan alternatif untuk tetap menjaga kelangsungan gerakannya.[10]
Hizbut Tahrir adalah partai politik yang berideologi Islam. Politik merupakan aktivitasnya, dan Islam adalah mabda-nya, yang bergerak di tengah-tengah umat, dan bersama-sama mereka berjuang untuk menjadikan Islam sebagai perkara utamanya, serta membimbing mereka untuk mendirikan kembali sistem Khilafah dan menegakkan hukum berdasarkan apa yang telah diturunkan Allah di dalam realita kehidupan ini.[11]
Dalam pandangan Hizbut Tahrir, paling tidak ada empat penyebab kemorosotan umat Islam. Pertama, transfer filsafat-filsafat India, Persia dan Yunani, serta adanya upaya sebagaian kaum Muslim untuk mengkompromikannya dengan Islam, meskipun diantara keduanya terdapat perbedaan yang mendasar. Kedua, adanya manipulasi ajaran Islam oleh orang-orang yang membenci Islam, berupa ide-ide atau hukum-hukum yang sebenarnya tidak bersumber dari Islam, dengan tujuan merusak citra Islam dan menjauhkan kaum Muslim dari Islam.
Ketiga, diabaikannya bahasa Arab dalam memahami dan melaksanakan ajaran Iaslam, disusul kemudian dengan dipisahkannya dari Islam pada abad ketujuh Hijriah. Padahal agama Islam tidak mungkin dapat dipahami tanpa bahasa Arab. Keempat, serangan missionaris dan Tsaqafah (kebudayaan asing), yang disusul dengan serangan politis negara-negara kafir Barat yang berlangsung sejak abad ke-17 M.[12]
Meskipun sudah ada usaha dari gerakan-gerakan Islam untuk membangkitkan kembali Islam, namun dalam pandangan Hizbut Tahrir, semuanya mengalami kegagalan dikarenakan oleh faktor-faktor: Pertama, tidak adanya  pemahaman yang rinci mengenai fikrah dari pihak-pihak yang berupaya membangkitkan kembali umat. Kedua, tidak adanya kejelasan bagi mereka mengenai thariqah Islam dalam menerapkan ide-ide dan hukum-hukum Islam dalam bentuk gambaran yang jelas dan sempurna.[13]     
            Hizbut Tahrir sendiri sebagai gerakan Islam, mengemukakan tujuannya, yakni tegaknya Daulah Islam yaitu Daulah Khilafah, yang dipimpin oleh seorang Khalifah yang diangkat dan dibai’at oleh kaum Muslim untuk didengar dan ditaati, dan agar dapat menjalankan pemerintahannya berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Sehingga dapat mengembalikan posisi masa kejayaan dan kemuliaan umat Islam, dan memimpin umat Islam menyampaikan hidayah serta menentang ide-ide, sistem perundang-undangan kufur maupun kekufuran itu sendiri.[14]
            Dikarenakan oleh tujuan akan tegaknya Daulah Khilafah Islamiyah unrtuk seluruh dunia, maka Hizbut Tahrir tidak membenarkan kaum Muslim untuk bergabung dengan berbagai organisasi dan pakta-pakta regional, seperti Liga Arab, OKI, Pakta Pertahanan bersama, dsbnya. Sebab, jenis oraganisasi inilah yang menyebabkan abadinya perpecahan negeri-negri Muslim, sekaligus menghalang-halangi bersatunya kaum Muslim di bawah naungan satu Negara, yaitu Negara Khilafah Islam.[15]
            Runtuhnya Khilafah Islamiyah di Tuirki, sebagai akibat dari keputusan yang diambil oleh Majelis Tertinggi Turki untuk menghapuskan kekhalifahan pada Maret 1924, maka dengan serta merta kaum Muslim terpecah-pecah dalam berbagai Negara Bangsa. Maka yang terjadi kemudian adalah, munculnya semangat-semangant nasionalisme sari setiap bangsa-bangsa Muslim, semisal Nasionalisme Mesir, Irak, Indonesia, Nigeria, Arab dan lain sebagainya. Gagasan-gagasan Nasionalisme inipun dicarikan justifikasinya dalam doktrin-doktrin Islam,-- sehingga harapan akan lahirnya suatu konsep perjuangan pembebasan dari kolonialisme Barat—yaitu Nasionalisme Islam. Karenanya, muncullah slogan akan perlunya dunia Muslim untuk membangun Ukhuwah Islamiyah, Ukhuwah Insaniayh dan Ukhuwah Wataniayah.
            Gambaran realitas tersebut telah sangat mengkristal, sehimgga amat relevan untuk mengemukakan pandangan dari Dale F. Eickelman dan James Piscatori, tentang keterpecahan kaum Muslimin dan eksistensi dari Hizbut Tahrir dalam masalah ini. Saya kutipkan pandangannya :

  Begitu telah mendarah dagingnya bagian-bagian ini (perpecahan dalam bentuk nasionalisme dan kelompok, pen.) sehingga, untuk sebagian besar, kelompok Islamis tidak pernah menyerukan restorasi kekhalifahan. Sebaliknya, mereka berusaha menetapkan sebuah Negara Islam atau tatanan Islam di dalam masyarakat nasional mereka sendiri. Bagaimanapun, perkecualian utama dari pola ini adalah Hizb Al-Tahrir AL-Islami (Partai Pemebebsan Islam) yang muncul dari gerakan Ikhwanul Muslimin di Yerussalem pada 1952. Pemimpinnya Taqi Al-Din Al-Nabahani (1905-1977), meyakini  bahwa hanya dengan penciptaan ulang suatu Negara Islam jalan hidup Muslim dapoat membebaskan dirinya dari pengaruh buruk imperialisme politik dan budaya Barat. Dan hanya dengan perbaikan, kekhalifahan Negara Islam akan dapat memelihara dirinya sendiri melawan kekuatan-kekuatan pemecah dari imperialisme, nasionalisme, dan sekularisme. Karena restorasi kekhalifahan merupakan  “kewajiban bagi seluruh Muslim di dunia”, maka mendesak bagi dilaksanakannya agitasi politik, dan Hizb Al-Tahrir menjadi partai barisan depan yang akan memajukan revolusi kekhalifahan. Istilah partai “barisan depan” ini muncul sebagai basis dari deklarasi Groupe Islamicue Armee (GIA) di Aljazair yang mengumumkan bahwa ia telah menetapkan kembali pemerintahan kekhan pada Agustus 1994.[16]

          Selanjutnya penting juga dikemukakan catatan khusus yang diberikan oleh Dale F. Eickelman dan James Piscatori, saya kutipkan :

Hizbut Al-Tahrir telah menjadi gerakan transnasional, beropertasi di wilayah Palestina, Yordania, Jazirah Arabia, Maghrib, Inggris, dan mungkinn  juga Malaysia dan Indonesia, di antara tempat-tempat lain. Sejak 1980-an, ia telah aktif secara khusus di kampus-kampus universitas di Inggris, dan ia menerbitkan sebuah majalah berkala, Al-Khilafah Magazine, di London. Maksudnya barangkali untuk merekrut mahasiswa-mahasiswa Muslim di Inggris yang suatu ketika, di tanah air mereka, akan menyebarkan pesannya, termasuk permusuhan yang tidak teredakan terhadap proses perdamaian Arab-Israel. “Konfrensi Khilafah Muslim Internasional” diselenggarakan pada Agustus l994 di Stadion Wembley, menarik sejumlah besar Muslim dan wakil-wakil kelompok Muslim dari seluruh dunia—menyulut reaksi permusuhan dari media Inggris dan Barat, yang memandang konfrensi itu sebagai benar-benar rapat “fundamentalis” internasional, dan sebagai topeng bagi kelompok kekerasan dalam politik.[17]

GERAKAN REVOLUSI ISLAM IRAN
           
Makna terdepan yang harus dipahami atas kehadiran dan keberhasilan Revolusi Islam Iran adalah: Pertama, terkuaknya bagian dari sisi lain dunia Islam, yaitu Islam Mahzab Syi’ah, yang selama ini lebih banyak disalahpahami karena tidak adanya gambaran yang komprehensif. Kedua, disetujui atau tidak, revolusi ini memberi pengaruh terhadap dunia Islam pada umumnya, baik pada tataran pemikiran-intelektualisme maupun bangkitnya rasa percaya diri umat Islam. Ketiga, karena berdapan langsung dengan Amerika dan bonekanya – rejim Reza Pahlevi—dan mendepak dari singgasana kekuasaan. Dan hingga saat ini masih menjadi penentang hegemoni Amerika. Keempat, revolusi ini melahirkan sebuah pemerintahan Islam – Wilayah Faqih--, yang paling tidak memberikan wacana tersendiri akan wujud sebuah pemerintahan Islam. Kelima, bagaimana kemudian setelah pemerintahan Islam ini berjalan dan selanjutnya terjadi perseteruan antara kubu konservatif dan reformis.
Syi’ah adalah salah satu mahzab atau aliran dalam Islam, di samping Sunni, yang hingga saat ini masih merupaklan bahan studi yang menarik bagi banyak kalangan. Apalagi studi yang memadaiterhadap Islam Syi’ah, belumlah mendapat tempat yang proporsional. Sehingga, terkadang Syi’ah ketika dijelaskan lebih banyak dirugikan, disesatkan atau paling tidak direduksi maknanya dalan kerangka sudut pandang Sunni.
Aqidah yang menyimpang, rasionalisme Islam, teologinya sama dengan Mu’tazilah, adalah hal-hak yang seringkalui dinisbahkan kepada Syi’ah. Padahal, Syiah sebagai satu aiatem ajaran (baca:mahzab), sebagaimana Sunni memuat ajaran-ajaranyang terwujud kemudian dalam bidang teologi, filsafat, gnostik (tasauf), dan fiqh. Atau jika Sunni yang dijadikan patokan dalam melihat Syi’ah, maka bidang kajian  apapun yang ada di Sunni, juga ada pada Syi’ah, meskipun terdapat perbedaan-pertbedaan.
Begitupun juga, melakukan penyeragaman terhadap Syiah dalam hal studi, yang kemudian melahirkan cara pandang dan penyikapan, adalah hal yang keliru. Sebab, menurut Haidar Bagir, jika kita nmenyebut Syi’ah, kita harus bertanya lebih jauh : Syi’ah yang mana? Maka kita pun harus menyebut mazhab-mazhab yang lebih spesifik, plus belasan sekte sempalannya. Bahkan pun jika kita sebut yang paling besar, Isna ‘Asyariyyah, kita masih dihadapkan pada berbagai pengelompokan lagi. Misalnya, yang tradisional (messianistik dan ritual) dan yang modernis progressif, atau yang serba religius-mistis dan sosialis-transformatif, bahkan agak “Wahhabi’.
Belum lagi jika kita masukkan sekte-sekte yang ditolak oleh mainstream Syi’ah, lebih-lebih pendapat individual yang entah menyempal dari yang lazim atau malah sama sekali dianggap keliru oleh mereka sendiri. Padahal, perbedaan internal di kalangan Syiah sendiri amatlah kaya, sehingga Syi’ah bukan merupakan suatu entitas yang monolitis.[18]
            Gerakan Revolusi Islam Iran, sebagai salah satu representasi dari gerakan Islam di dalam dunia pemikiran Islam Syi’ah, -- yang berkenaan dengan pembahasan fundamentalisme dan neo-fundamentalisme Islam-- akar gerakannya, bisa dilacak juga  pada persentuhannya dengan kolonialisme dan absolutisme. Gerakan anti tembakau dan gerakan konstitusi merupakan perwujudannya.
            Perlawanan terhadap kolonialisme dan absolutisme, merujuk pada penututaran Murtadha Mutahhari – salah seorang pemikir garda depan revolusi Islam Iran yang syahid beberapa waktu seteleh revolusi —bahwa semua gerakan-gerakan ini dilakukan di bawah pimpinan keagamaan Syiah, yang telah membuat rencana reformasi serta cara penerapannya. Gerakan tembakau diinisiatifkan oleh ulama dibawah pimpinan Hirza Hasan Syirazi hingga mencapai hasil yang sempurna. Sedangkan gerakan konstitusi  dimulai pertama-tama oleh Muhammad Kazim Khorasani dan Syekh Abdullah Mazandarani di Najaf dan kemudian disertai oleh dua tokoh keagamaan dari Teheran, yaitu Sayyid Abdullah Bebhahaani dan Sayyid Muhammad ThabatabaI. Tokoh-tokoh lain yang cukup berpengaruh – sebagai peletak pandangan falsafah rencana reformasi ide-ide yang orisinil—diantaranya; Ayatollah Borujerdi, Syekh Nuhammad Husain Kasyful Githa, Muhsin Amuli, Sayyid Syarafuddin Amuli dan di atas semuanya , Allamah Naini.[19]
            Namun, terkait langsung dengan suksesnya Revolusi Islam Iran, nama Ayatollah Ruhullah Muosavi Khomaeni, atau lebih popular dengan sebutan Imam Khomaeni adalah ikonnya revolusi tersebut. Sebab, di samping memang sang Imam lah yang menjadi motor penggeraknya, juga fikiran-fikirannya banyak yang mempengaruhi konsepsi pemerintahan Islam yang kemudian berlaku di Republik Islam Iran, dengan  model pemerintahan Wilayatul Faqih.[20]
            Meskipun nama-nama semisal; Murtdha Mutahhari, Sayyid Ali Khamenei, Javad Bahonar, Hussaeni Bahesti dan beberapa lagi nama lainnya dari kalangan ulama, juga beberapa nama seperti; Ali Syari’ati, Abol Hasan Bani Sadr, Bazargan, Sodeg Gotbzadeh dari kalangan intelektual amat sangat berperan dalam revolusi yang spektakuler itu.
            Rejim Syah Reza Pahlevi yang begitu kuat, begitu ditakuti, memiliki angkatan bersenjata yang sangat diosegani, pernah mendikte dunia dengan pompa minyaknya, memiliki agen rahasia, Savak, yang beroperasi untuk membunuh lawan-lawan Syah, kemudian terjungkal oleh sebuag revolusi rakyat, revolusi yang disemangati olewh semangat Islam. Amat menarik gambaran nasib Syah Reza Pahlevi sebagai sasaran revolusi itu di sajikan, mari kita ikuti penuturan dari  William Shawcross:

Syah Iran Mohammad Reza Pahlavi, penguasa Takhta Merak yang mengklaim diri sebagai keturununan langsung Darius Agung pendiri Persopolis, akhirnya didepak oleh rakyatnya sendiri. Betapa tidak, istananya yang serba fantastis menjadi ajang penjajaan pengaruh dari permucikarian. Korupsi tumbuh subur dan kesewenang-wenangan dijadikan norma. SAVAK, penyangga utamakekuasaan syah, setiap saat menebar terror ke segenap penjuru negeri. Bukan hanya itu, Amerika Serikat dan Inggris, dua sahabat lama Syah, yang belakangan menilainya sebagai kartu mati, bahkan ikut turut ambil bagian dalam menyeret sang despot ke jurang kehancuran. Dari seorang Raja Diraja, yang terbiasa bergelimang kemewahan dan selalu mendapatkan segala yang diidamkan, Syah, pelanggan setia rumah pelesiran Madame Claude itu, menjadi pengelana tanpa rumah tanpa teman. Baginya sejarah adalah tangga, bukan roda. Sebagaimana manusia, ia menjadi bukan apa-apa… Kemudian, bagaimana Ayatullah Khomaeni yang pada awalnya Cuma ‘suara lirih di hutan belantara’ itu berhasil menjadi tokoh sentral dalam sebuah revolusi dahsyat yang sulit dipahami dari sudut pandang rasional.[21]

          Kesuksesan revolusi Islam di Iran, bukan saja berhenti pada tahapan mendepak Syah, tetapi perkembangannya kemudian adalah, bagaimana penguasa baru ini berhadap-hadapan langsung dengan Amerika Serikat. Setan Besar adalah julukan yang diberikan untuk Amerika Serikat, yang hingga saat ini perseteruan antara Republik Islam Iran dan Amerika Serikat beserta sekutunya, masih berlangsung. Sebab, bagi Amerika dan Sekutunya , Iran adalah ibarat duri dalam daging di kawasan Teluk atau Timur Tengah.
            Bagi dunia Islam, dampak dari revolusi ini paling tidak menelurkan dua penyikapan. Pertama, bagi Negara-negara Islam yang penguasanya sangat despotic, atau rejim-rejim monarkhi di berbagai Negara Islam, menganggap revolusi Islam Iran ini sebagai ancaman, karena ketakutan akan pergolakan rakyat yang menentang penguasa, apalagi jika Iran melakukan ‘ekspor revolusi”. Kedua, bagi gerakan-gerakan Islam yang tumbuh subur di berbagai Negara-negara Islam, menganggap bahwa revolusi ini adalah energi baru, paling tidak dampaknya  semakin tumbuhnya rasa percaya diri bagi kalangan pergerakan Islam, baik dalam makna spiritual maupun pemikiran-intelektual.
            Revolusi Islam Iran, yang puncaknya jatuh pada tanggap 12 Februari 1979, kini usianya sudah 25 tahun. Perjalanan revolusi itu sendiri, yang sudah melahirkan pemerintahan sebagaimana yang sementara berjalan, mempunyai dinamika tersendiri. Rupanya, agenda perseteruan antara kaum repormis dan konservatif adalah salah satu bentuk dari dinamika itu. Hadirnya persaeteruan itu, sesungguhnya hanya membuktikan bahwa di Iran sebenarnya ada demokrasi, dimana kebebasan berpendapat punya tempat. Dan perbedaan pandangan di Iran, bukanlah suatu hal yang tabu dan baru, sebab di awal-awal revolusi pun sudah terjadi.
            Bagaimanapun bentuk dinamika perseteruan itu, antara yang reformis dan konservatif, tetapi bagi Amerika Serikat, tetap saja sebagai Negara fundamentalis, Negara yang dituduh sebagai Negara poros setan. Karena memang sudah dapat dipahami bersama, bahwa fundamentalis tidaknya suatu Negara, kelompok atau sosok-figur, amat bergantung pada apa ia meladeni klepentingan nasional Amerika dan sekutunya.
           

ARTIKULASI FUNDAMENTALISME
           
            Fundamentalisme  Islam -- baik yang pra-modern maupun neo-fundamentalisme kontemporer -- yang  perkembangannya telah dipaparkan, sesungguhnya,  telah menemukan artikulasinya di Indonesia. Hal tersebut disebabkan oleh: Pertama, Indonesia sebagai salah satu negara yang jumlah penduduknya mayortitas Muslim, dan terbesar di dunia. Kedua, Indonesia selalu menjadi lahan yang subur untuk tumbuhnya pemikiran-pemikiran Islam yang baru, sebagai konsekuensi dari belum adanya pemikiran Islam yang bersifat kontekstual ala Indonesia.
            Dengan demikian, fundamentalisme pra-modern misalnya dapat pula ditemukan artikulasinya di Indonesia,  berupa munculnya gerakan-gerakan revivalis. Lahirnya ormas-ormas Islam, meskipun tidak sama sebangun dengan apa yang berkembang di daratan jazirah Arabia dan Timur Tengah pada umumnya, telah cukup membuktikan bahwa  geliat fundamentalisme pra-modern cukup berpengaruh di Indonesia. Munculnya gerakan Padri di Sumatera, lahirnya Muhammadiyah, Persis dan Al-Irsyad, adalah perwjudannya.
            Sementara itu untuk melihat geliat pengaruh dari gerakan neo-fundamentalisme kontemporer, dapat ditelusuri jejaknya sekitar tahun 1980-an. Pemikiran-pemikiran dari tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin, semisal Imam Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, Muhammad Qutb dan masih banyak lagi, atau dari  Jamaat Islami, seperti Abu ‘ala al-Maududi adalah hal yang mudah dijumpai dan mendapat respon dari kalangan intelektual muslim, terlebih lagi di kalangan kaum muda-mahasiswa muslim.
            Begitupun juga, pemikiran dari Syekh Taqiuddin an-nabhani, tokoh gerakan Islam dari Hizbut Tahrir, mendapat respon  yang cukup apresiatif. Terlebih lagi pengaruh dari revolusi Islam di Iran, tidak saja menguak perspektif baru tentang mahzab Islam Syi’ah, tetapi juga pemikiran dari para motor penggerak revolusi ditelaah, semisal pemikiran Imam Khomaeni, Murtadha Mutahhari, Ali Syariati, Sayyid Ali Khamenei, Jawad Bahonar, Hussaeni Bahesti, dll.
            Atau perkembangan yang lebih mutakhir lagi, model-model pemikiran dan prilaku yang diusung oleh gerakan Taliban, amat mudah dijumpai saat ini. Gerakan Salafi dan yang sejenisnya, paling tidak memberikan indikator bahwa cara berfikir dan bertindak gaya Taliban—misalnya pemeliharaan jenggot, pemakaian cadar, dan pelarangan musik-- ada kesamaannya di Indonesia     
            Gaya dan irama pergerakan dari gerakan neo-fundamentalisme Islam kontemporer, dalam artikulasinya di permukaan amat tergantung dari situasi politik kekuasaan rejim yang memerintah di Indonesia. Pada masa pemerintahan rejim Orde Baru yang memerintah sangat otoriter dan despotic, gerakan-gerakan neo-fundamentalisme kontemporer ini pun lebih memilih bergerak pada dataran wacana, dan secara kelembagaan memilih gerakan bawah tanah atau sembunyi-sembunyi.
Tetapi, setelah terjadi reformasi – hal mana kaum fundamentalis ini pun punya kontribusi ikut menumbangkan rejim otoriter despotik Orde Baru—seperti saat ini, maka gaya dan irama pergerakannya secara kelembagaan telah tampil kepermukaan. Sehingga, model-model instutusi gerakan Islam itu lebih tanpak, mulai dari yang berbentuk partai politik, ormas maupun yayasan-yayasan.          
Tampilnya Partai Keadilan, yang kemudian berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), lahirnya Hizbut Tahrir Indonesia, dan beberapa yayasan yang mengklaim diri sebagai yayasan Salafiah, untuk sekedar menyebut contoh saja,  – yang kesemuanya dari kalangan Sunni – adalah bentuk-bentuk artikulasi baru dari sudut pandang instutusional-kelembagaan.
Sedangkan kelompok-kelompok yang mengkhususkan diri untuk mengkaji mahzab Syi’ah pun bermunculan di berbagai daerah di Indonesia. Mulai dari model-model Kelompok Studi, Pesantren, Yayasan-Yayasan sampai pada pembentukan ormas. Untuk sekedar menyebut contoh, misalnya; Yayasan Mutahhari  di Bandung, Pesantren Al-Hadi di Pekalongan, YAPI di Bangil, Yayasan Al-Ishlah di Ujung Pandang dan di Jakarta sendiri paling tidak ada sekitar 25 lembaga yang khusus mengkaji doktrin-doktrin Syiah.[22] Ormas Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) setidaknya juga diinspirasi dari pemikiran Syi’ah, meskipun oleh pendirinya, Dr. Jalaluddin Rakhmat mengatakan: “Silahkan masuk IJABI tanpa harus jadi jamaah Syi’ah”[23]
Melihat keragaman gerakan-gerakan fundamentalisme Islam di Indonesia seperti di atas, sesungguhnya merupakan potensi yang sangat besar untuk menggairahkan kebangkitan Islam di tanah air, tetapi amat disayangkan karena hadirnya gerakan-gerakan Islam ini tidak dibarengi dengan kesiapan berplural –pluralisme Islam menuju universalisme Islam--, bahkan sebaliknya perpecahan lebih dominan diantara mereka. Antara sesama kelompok gerakan yang berbasis Sunni, maupun juga yang sama-sama berbasis Syi’ah, belum lagi antara kelompok gerakan Sunni dan Syi’ah. Kelihatannya butuh waktu yang panjang untuk hadirnya toleransi uintuk siap berplural, atau tidak sama sekali.***


[1] Lihat reportasi yang disajikan oleh Faiz Manshur, Radikalisme Wahhabi Mengguncang Takhta, dan juga reportase Banani Bahrul-Hassan, Akhir Sebuah Fatwa Takfir, dalam majalah Syir’ah, no.26/III/Januari 2004, hal. 38-44.
[2] Hasil penelitian yang memadai dari Jemaah al-Jihad, adalah apa yang telah dilakukan oleh Hassan Hanafin, yang kemudian dimuat dalam bukunya yang berjudul, Aku Bagian Dari Fundamentalisme Islam, Yogyakarta, Islamika, Cet.I,2003,hal.225-324.
[3] William Maley (ed),  Taliban dan Multi Konflik Di Afganistan, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, Cet.I,1999,hal.29
[4] Ibid,hal.29
[5] Ibid, hal.55
[6] Ibid, hsl 29-30
[7] Ibid, hal.101-137
[8] Mustafa Abd.Rahman, Afganistan di Tengah Arus Perubahan, Jakarta: April 2002, hal.2-6.
[9] Ihsan Samarah, Syaikh Taqwiyuddin an-Nabhani, Bogor: Juli 2003, hal. 10-15.
[10] Ibid, hal .28-32
[11] Hizbut Tahrir, Mengenal Hisbut Tahrir, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, Cet.III Oktober 2002, hal.1.
[12] Ibid, hal.10.
[13] Ibid, hal. 11-13.
[14] Ibid, hal.19-20.
[15] Ibid,.hal.118
[16] Dale F. Eickelman, Ekspressi Politik Muslim, Bandung: Mizan, Sep. 1998, hal.161-162.
[17] Ibid, hal.200.
[18] Sulhan Yusuf, Syi’ah: Zaidiyah, Ismai’liyyah dan Istna ‘Asyariyyah, makalah yang dipresentasikan pada Program Pasca Sarjana, Stuidi Pemikiran Islam, UMI-Makassar, 1999.
[19] Murtdha Mutahhri, Gerakan Islam Abad XX, Jakarta: Beunebi Cipta, 1986, hal.90-93
[20] Untuk studi yang mendalam mengenai konsepsi Wilayatul Faqih dapat ditelaah lewat buku Iamam Khpmaeni, Sistem Pemerintahan Islam, Jakarta: Pustaka Zahra, 2001 juga bias ditelaah bukunya Abdulaziz A. Sachedina, Kepemimpinan Dalam Islam Perspektif Syi’ah, Bandung: Mizan, 1991.
[21] Deskripsi mendalam dari kejatuhan Syah ini telah ditulis oleh William Shawcross, Perjalanan Terakhir Syah Runtuhnya Takhta Merak, Jakarta: Graffiti, 1992. Juga bisa dibaca pada la[poran jurnalisnya Nasir Tamara, yang ikut rombongan Imam Khumaeni dari Perancis ke Teheran, yang ditulisnya dalam buku Revolusi Iran, Jakarta: Sinar Harapan, 1980.
[22] A.Rahman Zainuddin (ed), Syi’ah Dan Politik Di Indonesia Sebuah  Penelitian, Bandung: Mizan, Agustus 2000, hal.33
[23]M etro, Bandung, Minggu 2 Juli 2000, No.129 Tahun I. Lihat juga laporan jurnalis berkaitan dengan deklarasi pendirian IJABI, Gamma,5-11Juli 2000, Gatra , 15 Juli 2000 dan Tekad, No.36/Tahun II,10-16 Juli 2000.