Kamis, 31 Maret 2016

RESPON

Selalu saja terjadi perbedaan pandangan atas suatu realitas, bila berkumpul di persamuhan pelataran semedi sahaya. Apa pasalnya ya? Sehingga, selalu saja terjadi keragaman pandangan? Guru Han moncer dari duduk silanya dan terpaksa menyahuti ajuan tanya itu, maka ditabalkanlah buah akal: “ Kapasitas kedirian seseoranglah yang menentukan pandangannya atas suatu realitas. Boleh saja kita semua mengalami sepenggal peristiwa yang sama, namun yang membedakannya adalah respon terhadap kejadian itu. Berbedanya respon, sesungguhnya hanyalah akibat dari suatu peristiwa yang dianggap biasa oleh seseorang, tapi amat luar biasa bagi orang lainnya. Biasa dan luarbiasa respon atas sesuatu, bergantung pada apakah orang itu biasa saja atau amat luarbiasa kediriannya.”

Selasa, 29 Maret 2016

BAYANG-BAYANG


Sahaya berkali-kali berdekatan dengan beberapa pejabat atawa orang yang punya kedudukan. Bila beriring jalan, orang-orang akan menghormat, jika duduk bersama, orang-orang segera menabik . Hal yang lumrah, sang pejabat selalu diistimewakan oleh bawahannya, maka kecipratan pulalah penghormatan tatkala dekat dengannya. Begitulah bila berada dalam bayangan sang pejabat. Guru Han lalu mengembangkan kejadian itu sebagai perumpamaan, bagi kekasih Tuhan, bilangnya: " Bila seorang insan tak berjarak dengan Tuhan, maka pastilah ia menjadi bayang-bayang Tuhan. Jadi, tak usahlah berniat jadi Tuhan, cukuplah menjadi bayangannya. Manifestasi Tuhan mewujud pada insan, menjadi tanda-Nya, sehingga sang insan akan mendapatkan kehormatan dari para pemuja Tuhan."

Arsene, Arsenal dan Arsenik





Pada penghujung putaran kompetisi sepak bola di daratan Eropa, bulan Maret 2016 ini, salah satu klub sepak bola ternama, Arsenal yang bermarkas di London Utara, Inggris, negeri leluhur asal muasal sepak bola modern mengalami nasib yang kurang beruntung. Arsenal, yang dimanejeri oleh Arsene Wenger – yang digelari Profesor-- pelatih berkebangsaan Perancis, sesarinya adalah satu-satunya klub yang singgah di hati keluarga kerajaan, khususnya Sang Ratu. Arsenal sendiri, sedari awalnya merupakan klub sepak bola yang didirikan oleh para pekerja di pabrik mesiu, meriam milik Kerajaan Inggris. Dari latar inilah, segenap keluarga kerajaan jatuh cinta.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Arsenal diartikan sebagai:  bangunan permanen tempat penyimpanan, pembuatan, dan perbaikan senjata, amunisi, dan alat-alat perang lainnya. Entah takdir apa yang membawa Arsene Wenger ke Arsenal, yang namanya identik. Bahkan, kalau saja sejarah Arsenal di-delate, bisa-bisa banyak yang mengira bahwa Arsenal dimiliki oleh Arsene, yah... Arsene Wenger. Saya sendiri, sejangkau ingatan saya, pernah berasumsi semisal itu. Maklum saja, saya mulai jatuh cinta pada Arsenal, bersamaan dengan hadirnya Arsene Wenger di Highbury, markas lama Arsenal.

Tiada sosok yang lebih menderita dari Arsene Wenger, terutama di waktu kiwari ini. Musim kompetisi 2016, yang sudah menuju senja, hampir berakhir, sekotah perburuan trofi sisa menyisakan harap pada Liga Primer Inggris. Piala Champhion sudah lepas, disingkirkan oleh Barcelona, yang menurut Arsene sendiri adalah sebuah klub dari planet lain. Sebelumnya, klub papan bawah, Watford mendepak Arsenal dari Piala FA.  Demikian pula, sejak awal musim terpental dari Piala Carling. Trofi Liga Primer makin sulit diangkat oleh para pemain, pelatih dan ofisial lalu dirayakan oleh sekaum fans, para gooners. Selisih poin yang cukup jauh dari pemuncak klasmen, Leciester City, nyaris memustahilkannya. Sebab, perburuan juara bukan ditentukan sendiri oleh Arsenal, melainkan sejauh mana klub-klub lain mengalahkan Leciester.

Suara-suara protes dari para fans Arsenal, para gooners, mulai terbelah. Tidak sedikit yang menginginkan pergantian pelatih-manejer. Mereka meinginginkan Arsene hengkang dari Emirates Stadium, markas baru Arsenal. Padahal, selama dilatih oleh Sang Professor, perolehan trofi sudah terkoleksi sebanyak  3 Liga Primer, 6 FA, dan 6 Community Shield. Namun, semuanya seolah tak berbekas. Banyak yang memperkirakan, nasib Arsene bakal menysul Mourinho di Chelsea, dan pelatih-pelatih lain yang dipecat di musim ini.

Tapi, ada hal yang menarik, salah seorang pemilik saham terbesar Arsenal, Stan Kroenke, yang mensabdakan: “ Saya tidak membeli Arsenal, untuk memenangi trofi.” Setidaknya, penabalan ini mengamankan Arsene dari sisi manajemen klub. Dan, ini pula yang membedakan dengan para gooners, mereka membeli tiket pertandingan, lalu menuntut trofi.

Kekalahan demi kekalahan, absennya dari perburuan trofi, bagi sebuah klub sepak bola, termasuk Arsenal, apatah lagi bagi pelatihnya, ibarat di depan matanya tersedia arsenik, racun. Bubuk racun mesiu sering dinamai arsenik, yang sesungguhnya merupakan unsur nonlogam dengan nomor atom 33, berlambang AS,dan bobot atom 74,9216. Arsenik ini cukup ampuh sebagai racun pembunuh seseorang, konon Munir, sang aktivis HAM, mati karena sejenis arsenik.

 Kini, pada setiap pertandingan sisa bagi Arsenal, sang Professor Arsene, di samping mencak-mencak , berteriak-teriak di pinggir lapangan, sesungguhnya, bersamaan dengan itu, berondongan arsenik dari para penonton senantiasa siap ditembakkan. Kali ini, benarlah apa yang pernah diucapkan oleh Yusuf Kalla, kala berkomentar tentang memimpin sebuah klub sepak bola, “ kalau kita kalah dalam pertandingan, maka semalam suntuk hingga pagi kita akan dicaci, sebaliknya kalau menang, maka kita akan berpesta sejak malam sampai pagi. Menang kalah sama saja, sama-sama capek.”

Meriam London -- julukan lain dari arsenal – dengan mesiu arseniknya, kali ini menohok langsung sang arsitek, Arsene. Arsenik itu bunyinya, “Arsene thanks for the memories but it’s time to say goodbye.” Atawa yang lebih menohok lagi, “Time for change, Arsenal FC not Arsene FC, #WngerOut.”  Kelihatannya kemenangan yang pernah dipersembahkan Arsene, tinggal menjadi kenangan. Memang prestasi begitu sulit diraih, tapi kekalahan amat mudah didapat. Waima begitu, masih ada juga fans yang membentangkan spanduk bertuliskan,” We Trust Arsene”, termasuk saya, yang mengaminkannya di depan kotak ajaib.

(Lembaran Kala, 27 Maret 2016)

Selasa, 22 Maret 2016

Guru Inspiratifku, Sepenggal Kenangan




Pagi barulah semenjana teriknya, mentari merangkak perlahan menebarkan senyum. Di hari kamis, 21 mei 2015, jam barulah menunjuk pada kisaran 7.15 wita, dari jendela facebook saya baca, pada dinding akun Andi Novrita Langgara tertulis apa yang dipikirkannya: "Innalillahi wainnailaihirojiun, selamat jalan guruku yang baik, Bapak H.M. Yusuf Hamjal, semoga engkau mendapat tempat yang terbaik di sisi-Nya, al-Fatihah."

Berita ini mengguncang jiwaku, soalnya guru yang dimaksud oleh adik kelas saya di SMA Negeri 1 Bantaeng itu, juga adalah guru saya. Bahkan, bagi saya bukan saja sebagai seorang guru, kadang jadi sahabat, sekaligus menjadi orang tua. Kalau boleh saya katakan, ia adalah seorang guru inspiratif, sesosok guru yang memberi begitu banyak inspirasi bagi segenap siswanya.

Sebenarnya, dua penggalan paragraf di atas adalah catatan saya yang terpendam di akun facebook. Sewaktu warta meninggalnya pak Yusuf Hamjal saya ketahui, saat itu juga saya berusaha menulis catatan. Tapi entah kenapa, barulah dua paragraf itu yang tertulis, tak sanggup rasanya saya menulis lagi. Campur aduk perasaan yang melintas di selasar jiwa saya. Sedih, haru, tangis, sekotahnya menggado-gado di saridiri saya.

Nantilah sepuluh bulan kemudian, pada 22 Maret 2016, barulah saya tergerak untuk melanjutkan catatan ini. Apa pasal yang melatarinya? Pangkalnya pun bertolak dari informasi di facebook, lewat akun Be Smart Coffee, yang akan menyelenggarakan acara nonton bareng, atas film yang berjudul, Freedom Writers, yang direncanakan pada 24 Maret 2016, pukul 19.30 bertempat di kafenya, dengan pembedah Bahrulamsal, sang pegiat literasi dari Paradigma Institute.

Saya yang hampir memastikan diri bakal alpa terhadap momen nonton dan bedah film itu, tentulah mengupayakan sendiri untuk menontonnya. Lalu, saya bukalah koleksi film saya, yang ternyata salah satu film yang belum saya tonton secara mendalam adalah film ini. Dan, benar saja adanya, film ini cukup banyak memberikan perspektif untuk ditilik lebih dalam. Bisa dibedah dengan latar kependidikan dan kepengajaran, tradisi literasi, rasisme dan dunia geng serta idealisme sebagai seorang anak, isteri.

Setelah mengkhusyukkan diri di kedalaman pesan film ini, khususnya yang berkaitan dengan dunia keguruan, saya lantas teringat dengan tulisan seorang scholar dan pembicara inspiratif, Rhenald Kasali , penulis buku Change dan Let’s Change, yang dalam salah satu artikelnya membagi dua jenis guru: guru kurikulum dan guru inspiratif. Menurutnya, guru kurikulum sejenis guru yang berkutat patuh pada petunjuk kurikulum semata, sedangkan guru inspiratif adalah guru yang tidak terikat dengan kekangan kurikulum, namun lebih kreatif dalam menunaikan tugas keguruannya.
 
Pada film ini, sang guru, Erin Gruwel, awalnya mencoba menghadapi siswanya, yang berlatar belakang beragamam ras, permasalahan yang meliliti mereka karena bentukan lingkungan, dengan berusaha menegakkan kurikulum yang ditetapkan oleh sekolah. Namun tak berdaya. Akhirnya, ia berusaha melakukan kreasi, keluar dari kungkungan kurikulum dan mencoba pendekatan baru. Ia berubah menjadi guru inspiratif. Dan, sudah pasti bisa ditebak, bermasalahlah ia dengan pihak sekolah.

Bagi Reynald Khazali, guru yang mengajar sekadar menjalankan tugas-tugas kurikulum, hanyalah akan melahirkan manusia yang berkapasitas manajer. Sementara guru yang mendidik dengan penuh inspirasi, bakal melahirkan pemimpin. Pada situasi bangsa yang terpuruk yang dibutuhkan adalah pemimpin. Sangat mendesak untuk guru lebih mendefinisikan dirinya sebagai guru inspiratif. Guru kurikulum hanyalah mengemban tugas kepengajaran, sementara guru inpiratif adalah menunaikan tugas kependidikan. Pengajaran sekadar memindahkan pengetahuan, pendidikan membentuk karakter.

Teringatlah saya kembali pada sepenggal kenangan, pada seorang guru saya semasa SMA, pak Yusuf Hamjal, yang telah berpulang pada keabadian sepuluh bulan lalu. Saya berani memastikan bahwa beliau adalah guru inspiratif bagi saya dan segenap anak didik yang pernah disentuhnya. Sejatinya beliau adalah guru ekonomi, tapi perhatiannya jauh lebih konsern pada pengembangan kreatifitas dan karakter siswanya. Bagi beliau, tidak ada anak yang nakal, karena semuanya dirangkul, diberinya sentuhan sepenuh jiwa. Saya mengimajinasikan bahwa guru Erin Gruwel setara dengan pak Yusuf Hamjal. Kalau boleh, saya jujur katakan, bahwa hingga detik ini, didikan karakter beliau masih memengaruhi jalan-jalan kehidupan yang saya pilih.
 
Dan, salah satu bukti nyata dari keterikatan inspiratif terhadap beliau adalah pada setiap angkatan saya di SMA menggelar perhelatan reuni angkatan 1985, pastilah beliau selalu hadir, bahkan kehadiran terakhir beliau sudah mulai kurang sehat, tapi selalu saja hadir. Pun bagi kami, rasanya reuni tidak sempurna kalau beliau alpa. Sayang seribu sayang, pada reuni akbar SMAN 1 Bantaeng, 1 September 2016, beliau tidak bisa datang, selamanya tidak mampu datang, karena beliau telah menunggu kami di alam berikutnya, alam keabadian. Memang benar, pak Yusuf Hamjal telah mengalmarhum, raganya sudah tiada, namun jiwanya masih hidup, mengaliri segenap saridiri anak didiknya, paling tidak pada saridiri saya.

Senin, 21 Maret 2016

Kala Unjuk Rasa



Semuanya bermula dari kesepakatan. Sepakat untuk menamakan media Kelas Literasi Paradigma Institute, yang bentuknya berupa lembaran, dengan nama Kala. Sejak kelas literasi ini dibuka untuk gelombang kedua, di pertemuan perdana pun sepakat untuk melahirkan media Kala ini. Banyak nama yang diusulkan, tetapi yang disepakati adalah Kala. Sepenggal kata yang diusulkan oleh Rahmat Zainal. Kala, bisa disinonimkan dengan waktu, masa, tempo, masa, zaman, dst. Yang pasti, dengan menabalkan media ini bernama Kala berarti, amat dekat dengan peristiwa. Setia pada peristiwa, kata Alain Badiou.

Hingga pekan ke-9 kelas literasi, Kala selalu hadir mengiringi. Tulisan yang dimuat pada lembaran ini, rata-rata tiga tulisan, yang kesemuanya hasil anggitan peserta kelas literasi. Ada esai, cerpen, opini dan puisi. Waima rutin terbit setiap pekan, seiring keberlangsungan kelas literasi, namun tampilannya masih sangat sederhana. Masih kalah jauh dari lembaran-lembaran Jumat yang sering dibagikan di beberapa mesjid oleh organisasi sosial keagamaan. Belum lagi pesebaran distribusinya, sangat terbatas, seruang buat para peserta saja. Jadi, lembaran Kala nyaris jatuh pada tagline, dari peserta, oleh peserta untuk peserta. Padahal, semboyannya lumayan menggigit: Ayo bangun budaya literasi yang berpihak, ayo didik masyarakat dengan aksara yang jujur.

Terbatasnya lingkup sebaran, penyebabnya sangat klasik, tiada biaya untuk menggandakannya. Seharusnya ini menjadi tantangan nyata, meski bukan tujuan utama dari media lembaran ini menyaingi lembaran-lembaran lain, yang lebih agresif dibagikan pada jamaah mesjid. Paling tidak, sasarannya adalah kaum muda mahasiswa, dengan maksud agar ada wacana alternatif, guna mendukung sepak terjang gerakan literasi yang paling mutakhir: membaca dan menulis karena kebutuhan jiwa, mengutuhkan eksistensi kemanusiaan.

Pada perkembangannya kemudian, pihak redaksi mulai membenahi konten lembaran Kala ini. Salah satunya adalah didapuknya saya selaku penulis tetap pada halaman akhir, tentu pendapukan ini tidak terlepas dari persepakatan. Oleh karena ini adalah kesepakatan bersama, walau awalnya atas permintaan ketua kelas literasi, Bahrul Amsal, saya pun meingiyakan saja. Dan, halaman akhir ini dinamai kolom Unjuk Rasa. Artinya, saya diminta menulis tentang berbagai ragam peristiwa, dituangkan dalam mozaik tulisan, dengan rasa yang subjektif, amat personal sifatnya, sebentuk unjuk rasa, unjuk kata-kata, yang didedahkan lewat tinta pena.Teringatlah saya akan ungkapan, kata adalah senjata.

Bagi saya ini sejenis tantangan. Pasalnya, saya diminta untuk berunjuk rasa, melakukan protes, berdemonstrasi di lembaran ini, dengan batasan tulisan maksimal 600 kata. Maka semuanya menjadi serba padat, mulai dari gagasan yang mondial, hingga penyajian ringan mengalir, karena berusaha memenuhi tuntutan rasa. Namanya juga unjuk rasa.

Akhirnya, saya harus menyadari sedini mungkin, bahwa mungkin saja saya tetap menulis secara konsisten setiap pekan, sepanjang lembaran Kala ini terbit, meski pembacanya hanyalah para peserta kelas literasi saja. Semua itu tak mengapa. Soalnya, saya pun menulis di lembaran ini, pada halaman akhir, dengan rubrik Unjuk Rasa, dimotivasi oleh semangat untuk mendefenisikan diri sebagai seorang pegiat literasi, yang tradisi literasinya paling mutakhir, membaca lalu menulis dengan sepenuh jiwa, demi memelihara kejernihan pikiran, membeningkan hati. Dan, yang tak kalah urgennya buat saya, lembaran ini bakal menjadi ajang untuk menabung tulisan.

( Lembaran Kala, 20 Maret 2016)

Jumat, 18 Maret 2016

ASING


Lama nian kawan sahaya ini mengasingkan diri dari kawan lainnya. Rupanya, pulang kampung, menginisiasi perubahan dengan berbekal pikiran-pikiran mondialnya. Namun, apa lacur, ia merasa asing, terasing dan malah diasingkan. Guru Han menyambut riang kehadiran sang kawan, lalu tutur pun disabdakan: " Memang sulitlah bicara perubahan, biar dengan pikiran mondial sekalipun, di hadapan orang-orang yang berfikir tentang apa yang bakal dimakan hari ini, dan juga sosok yang berpandangan, siapa yang mesti kita makan besok. Pikiran mondial, memang selalu mendahului zamannya. Tapi percayalah, pikiran itu akan didaras oleh generasi berikutnya. Bukankah yang kita eja sekarang ini, adalah buah pikir dari orang-orang berfikir terdahulu?"

Kamis, 17 Maret 2016

DEGIL


Jumat masih hangat, sehangat kopi yang tersaji. Sahabat sahaya terlibat dalam perdebatan sengit. Pasalnya, lawan bicaranya lebih banyak menyalahkan orang lain dan cenderung memutlakkan pendapatnya sendiri. Padahal, topik yang dibincangkan, yang mesti merujuk pada banyak sumber pengetahuan ia tidak lakukan. Bacaannya saja, belum sampai pada lima buah buku. Guru Han geleng-geleng kepala menyaksikan sang pengotot. Didedahkannya anjuran: “ Orang yang suka membenarkan diri sendiri, padahal bacaannya barulah dua tiga buku, perlu diterapi dengan cara membawanya ke perpustakaan. Dan, sampaikanlah padanya, bahwa buku yang baru ia baca, sesungguhnya hanyalah bagian kecil dari jumlah buku yang begitu banyak. Kalau saja masih ngotot, benar-benarlah ia menjadi sosok representatif kaum degil. Namanya, keras kepala, kepala batu.”

Rabu, 16 Maret 2016

Gerakan Literasi untuk Mahasiswa



Hujan tiba-tiba saja hadir mengguyur tempat semedi saya, Toko Buku Papirus. Meski sejak pagi, sang hujan sudah memberi isyarat, berupa mendung yang sesekali terik menampak. Kisaran pukul 02.00 siang, tumpahan butir-butir air benar-benar bertubi. Saya menduga, acara yang akan saya sambangi bakal bermasalah, batal karena hujan. Namun di luar sangkaan saya, seorang panitia datang menjemput, pakai motor lengkap jas hujannya. Diboncengnya saya menuju lokasi, pelataran Baruga Pettarani Unhas.

Sesampai di lokasi, hujan makin deras. Saya pun melepas jas hujan, bertemulah saya dengan Sandra Wali– yang pertama kali mengontak untuk mengisi acara -- lalu merapat ke kerumunan peserta yang telah menunggu. Mereka adalah sekumpulan mahasiswa yang tergabung dalam Lingkaran Mahasiswa Bidik Misi Unhas. Awalnya, jumlah mereka kisaran dua puluh orang, namun bertambah dua kali lipat setelah acara dimulai. Didapuknya saya selaku narasumber diskusi, yang bertema : Gerakan Literasi untuk Mahasiswa, per hari Rabu, 16 Maret 2016. Tidak ada acara seremonial, semisal sambutan, langsung saja, seorang mahasiswi bertindak selaku moderator, membacakan curiculum vitae dan mempersilakan saya untuk berbicara.

Sejak tiba di lokasi, hingga saya dipersilahkan bicara, ingatan saya melambung jauh ke masa silam, kira-kira lebih dari dua puluh tahun yang lalu, saat saya masih jadi aktivis gerakan mahasiswa. Pelataran-pelataran Unhas menjadi salah satu tempat yang sering saya tandangi untuk berdiskusi dengan kaum muda mahasiswa. Dan, ketika memulai pembicaraan, saya pun mengutarakannya kepada mereka akan hal yang saya rasakan saat ini: serasa kembali muda, seperti berpuluh tahun silam, kala aktif menggelandang dari pelataran ke pelataran kampus.

Sesarinya memang, ibarat pemain bola, saya sudah gantung sepatu. Sepuluh tahun terkahir ini, saya sudah menyatakan mundur dari arena gerakan mahasiswa, utamanya selaku narasumber diskusi. Berhubung karena makin banyak junior-junior saya yang lebih progresif pikiranya, amat lantip wawasan pengetahuannya. Saya lebih banyak menggawangi hal-hal kecil yang tumbuh di masyarakat, berupa komunitas-komunitas, khususnya komunitas literasi.

Saya lalu membayangkan diri sendiri, seperti para personil yang tersisa dari band legendaris, Koes Plus, diajak manggung lagi. Tentulah ada gelagat yang paling mungkin bisa muncul, keberjarakan yang lumayan panjang waktunya, selisih lebih dua puluh tahun. Apatah lagi, mereka ini, jikalau dipatronkan pada generation theory,maka mereka adalah generasi Y dan Z, yang tentu sangat jauh berbeda dengan yang sering saya hadapi dulu, yang selisih usianya nyaris sepadan dengan saya, karena sama-sama bergenerasi X. Tentulah saya harus mengadaptasi diri, agar bisa nyambung. Seperti persis dengan tembang-tembang lawas Koes Plus, yang diarasemen ulang, agar diterima oleh telinga generasi kini.

Mulailah saya mendedahkan wacana, tentang urgennya tradisi literasi di kalangan mahasiswa. Tahapan-tahapan kapasistas literasi pun saya ajukan pada mereka, untuk mengenali sejak dini bagi dirinya, sudah pada tahapan mana kapasistas literasinya. Tahapan pertama, suatu posisi yang sekadar mengentaskan diri dari buta huruf dan tuna tulis. Kedua, tahapan literasi seseorang yang berkaitan dengan kepentingan profesinya. Dan ketiga, tahapan paling mutakhir, ketika tradisi literasi seseorang muncul karena kebutuhan jiwa.

Hujan makin meranggas, dingin makin menusuk, tapi saya makin panas, bak kesebelasan Jerman yang seperti mesin diesel, makin lama makin panas. Saya pun makin menguasai panggung, makin komunikatif, leluasa melenggang kangkung, memukau mereka, suntuklah sejadinya, larut dalam berondongan kata-kata yang tertata, berkejaran dengan buncahan butiran hujan yang nirtata. Suara saya mengalahkan hujan, makin ganas pikiran saya, jaket pelindung dingin saya buka, seiring dengan makin terbukanya pikiran mereka. Paling tidak, seperti itu yang saya rabakan.

Penguasaan akan panggung pelataran makin saya jejali, dengan operan-operan gagasan yang pendek tapi menukik. Miriplah kesebelasan Arsenal yang menguasai 70 persen permainan atas lawannya. Saya babarkan di mana letak organ tubuh yang merupakan sentralnya aktivitas literasi seseorang: otak. Saya anjurkan pada mereka untuk meminta tolong pada paman goegle di dunia maya, agar diberi pengetahuan yang komprehensif tentang otak, sebab yang saya utarakan hanyalah sekilas doang. Sepenting yang berselaras saja dengan penjelasan diskusi ini.

Cara kerja otak saya paparkan, fungsi belahan kiri dan kanan. Dan, temuan mutakhir akan kemajemukan kecerdasan, multiple intelegence. Lalu, saya tegaskan pula, bagaimana aktivitas literasi memelihara dan memaksimalkan cara kerja otak, sekaligus menopang tumbuhnya berbagai kecerdasan yang dimiliki oleh seseorang. Saya tiba pada simpaian argumen, bahwa tradisi literasi akan sangat membantu seorang mahasiswa untuk mencapai puncak-puncak prestasi yang didambakan. Sebab, tradisi literasi telah berfungsi sebagai medium bagi seorang mahasiswa, untuk terhindar dari sekadar mengejar simbol-simbol ilmu, tetapi memburu substansi ilmu.

Akhirnya, hal yang paling tidak bisa saya tolak datang jua, waktu menjukkan pukul 17.30, panggung pelataran mulai mengajukan diri untuk berbenah. Sisa waktu yang hampir tiga puluh menit dipergunakan untuk sesi tanya jawab. Banyak pertanyaan yang mereka ajukan, semisal minimnya minat baca, apalagi menulis, sulitnya mencari wadah untuk menumbuhkan kapasitas literasi, dan, yang tak kalah menariknya, karena mereka meminta di lain waktu agar saya bersedia jumpa lagi.

Setiba di pucuk perhelatan, dua tiga orang awak media kampus, khususnya koran kampus Identitas, meminta wawancara khusus. Apa yang ditanyakan dan jawaban saya, sebaiknya kita tunggu saja ulasan di medianya, yang saya sendiri belum tahu persis kapan waktu pemuatanya. Dan, benar-benar di tubir persamuhan, para peserta menyemuti saya guna berfoto, bergantian, kadang berombongan dan ada pula minta foto berdua saja. Saya merasa seperti selebriti, seorang pemanggung, sepadan personil Koes Plus yang usai konser. Di sela-sela jepretan dan kilatan kamera gadget yang beragam, saya membatin, beginilah kira-kira potretnya, jikalau berada di kitaran generasi Y dan Z, segelombang generasi yang tumbuh bersama limpahan perangkat gadget, sebuah perangkap yang memanjakan.

Usai sesi foto-foto, hujan belum juga reda. Namun, tidaklah menyurutkan tekad untuk segera pulang ke tempat semedi. Jas hujan saya pakai lagi, dibonceng motor oleh yang menjemput tadi. Perjalanan pulang yang cukup singkat, durasi waktunya kisaran sepuluh menit, saya membayangkan rancangan gagasan yang bakal saya muntahkan pada mereka, bilamana permintaan sua menyata. Belum tuntas rancangan itu di pikiran, sudah tiba di depan tempat semedi saya, Toko Buku Papirus. Saya melepas jas hujan, mengiyakan pembonceng yang minta diri. Dan, saya pun kembali bersemedi, seiring rinai hujan yang menghempaskan diri, pada tanah yang setia memeluknya.

Senin, 14 Maret 2016

KUNCI


Berkendara motor, beriring-iring bersama beberapa kisanak. Menuju tempat wisata, guna memanjakan diri, melepas penat. Di perjalanan, bermasalahlah motor salah seorang kawan, ada mur yang lepas dari bautnya. Sang karib meminta kunci-kunci pada sahaya, nomor 13, tapi diberinya Kunci Inggris, supaya bisa digunakan lebih supel. Dalam jeda menunggu perbaikan motor, bicaralah Guru Han prihal kunci-kunci itu, tuturnya pun mendayu: " Begitu banyak orang di antara kita, ilmunya hanya sebatas memiliki sebatang atau dua batang kunci-kunci, entah itu nomornya, 12,13, atau 14. Tapi, dengan kengototan yang bebal, memaksakan kuncinya untuk memutar segala macam mur. Bagi orang yang ilmunya luas, ibarat dia hanya memegang satu kunci saja, Kunci Inggris, namun dengannya ia akan menyelesaikan segala persoalan mur dan baut. Lihatlah dulu besaran murnya, lalu setellah kuncimu. maka akan selalu pas untuk melonggarkan dan merapatkan mur."

Dari Pelataran ke Kafe



Sekali waktu, saya menghadiri sebuah persamuhan para mantan aktifis, kaum muda-mahasiswa tahun 90an, yang mengklaim diri sebagai generasi yang mewujudkan reformasi tahun 1998. Salah seorangnya angkat bicara, lalu menyatakan bahwa generasi 80an, atawa kaum muda-mahasiswa angkatan 80an adalah generasi yang tak bernama. Disimpulkannya, bahwa angkatan 90an yang mencetak perubahan. Sejumput kesimpulan yang membuat beberapa orang di persamuhan itu terhenyak, khususnya yang terkena sodokan tudingan.

Saya sendiri tidak mempersoalkan klaim seperti itu, walakin saya tergolong yang menempuh pendidikan tinggi, menjadi mahasiswa tahun 80an. Masalahnya kemudian, apakah kaum muda mahasiswa 80an itu adalah generasi yang tak punya geliat sama sekali? Terpaksalah saya membuka kembali lipatan-lipatan ingatan, untuk sekadar mengajukan beberapa rujukan, guna penunjukkan rekaman dinamika diskursus intelektual tahun 80an. Setidaknya, ada tiga buku yang saya sodorkan sebagai pijakannya. Kesaksian Kaum Muda, Menegakkan Demokrasi, dan Mencari Islam, yang kesemuanya terbit penghujung tahun 80an.

Rekaman dinamika pemikiran itu dimotori oleh menjamurnya kelompok-kelompok studi di kalangan kaum muda mahasiswa. Dan, pertumbuhan kelompok studi ini menjamur di seluruh kota-kota besar, yang punya kampus ternama. Tidak terkecuali kota Makassar dengan beberapa kampus. Sehingga, era 80an ini sering digelari sebagai era kelompok studi. Memang di masa ini, pamor organisasi ekstra maupun intra kampus lagi meredup.

Ketiga buku itu merekam aktifitas para aktivis kelompok studi di pulau Jawa. Memang amat disayangkan, karena hal yang sama tidak terjadi proses pendokumentasian gejolak pemikiran yang terjadi di luar Jawa, khususnya kota Makassar. Padahal, kelompok-kelompok studi yang bergerak di kota Makassar begitu menjamur jumlahnya. Saya sendiri mendirikan kelompok studi yang berbasis di IKIP Ujung Pandang, bernama al-Mudatsir. Yang aktivitasnya melakukan diskursus wacana pemikiran, baik yang dianggap tradisi kiri maupun yang bernuansa keislaman. Dan, sesekali mewakili kelompok studi ini untuk menghadiri diskusi dan demonstrasi, yang dimotori oleh kelompok-kelompok studi.

Tempat-tempat yang disasar sebagai arena perhelatan pemikiran, pada umumnya diadakan di pelataran-pelataran, koridor-koridor dan masjid kampus. Tema-tema pemikiran yang didiskusikan cukup beragam. Yang pasti, nama-nama pemikir yang cukup sering menghiasi diskusi, diantaranya: Karl Marx, Nietche, Jean Paul Sartre, Soren Kierkegaard, Martin Heideger, Jurgen Habermas, Albert Camus, Simone de Beauvoir, Hannah Arendt, Ali syariati, Muhammad Iqbal, Hasan Al-Banna, Abu A’la Maududi. Murtadha Mutahhari, Yusuf Qardhawi, Sayyid Qutb, dll.

Buah pemikiran dari beragam tema ini kemudian ikut mendorong lahirnya tren baru gerakan kaum muda mahasiswa. Mulailah bergeser dari wacana ke aksi. Jadi, pentolan-pentolan dari aktivis kelompok studi ini, mulai melakukan aksi-aksi menuntut perubahan, yang terkadang tema usungannya bernuansa lokal dan kasuistik. Tetapi, semua itu adalah ajang untuk mematangkan hasil diskusi. Singkatnya, aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan. terlebih dahulu diselesaikan dalam tataran wacana. Dan, muaranya adalah Reformasi 1998. Pada konteks inilah peran kelompok studi, menjadi signifikan kehadirannya.

Pascareformasi 1998, tepatnya lima tahun terakhir ini, kelihatannya gerakan kaum muda mahasiswa menuai kritikan. Organisasi kaum muda mahasiswa, baik yang ekstra maupun intra kampus, kelihatannya tidak begitu diminati oleh mahasiswa. Maka tren baru pun muncul, sebuah gerakan kaum muda yang berbasis pada komunitas-komunitas yang beraneka ragam corak pengorganisasiannya, begitupun juga tema gerakan yang diusung. Dan, yang tak kalah menariknya, sebab basis diskursus dan ancangan gerakannya lebih banyak dirumuskan di kafe. Tak dapat dipungkiri, saat ini, industri kafe cukup menjamur.

Terkhusus di kota Makassar, komunitas-komunitas kaum muda mahasiswa, yang membangun gerakannya berbasis kafe cukup eksis. Setidaknya, ada dua kafe yang cukup aktif menyelenggarakan even-even diskursus membangun wacana, menawarkan pemikiran-pemikiran alternatif untuk mensiasati kelesuan gerakan mahasiswa. Tersebutlah Kafe Dialektika di Tamalanrea dan Be Smart Coffee di Talasalapang, yang amat progressif memposting agenda-agenda kegiatannya di media sosial. Diskursus semisal mengkaji pemikiran Karl Marx, Martin Heideger, Nietche, Syariati adalah sebentuk upaya menggeliatkan minat intelektual.

Dijadikannya kafe sebagai basis membangun diskursus pemikiran, sesungguhnya bukanlah hal baru dalam dunia intelektual. Setidaknya di masa silam, tepatnya di kota Paris, seperti yang dituliskan oleh Andrew Hussey, dalam bukunya, Paris: The Secret History ( Paris Sejarah yang Tersembunyi), mencatat “... fokus dari aktivitas tidak lagi berada di Montparnasse, yang dikaitkan dengan melankolis dan bencana pra-perang, namun di terrasse-terrasse dari kafe-kafe ternama yang berada di sekitar persimpangan Saint-German-des-Pres, di mana Rue de Rennes bertemu dengan Boulevard Saint-German.”

Ditegaskan lagi oleh Hussey, “ kafe yang paling terkenal adalah Cafe de Flore, Cafe Deux Magots, dan Brasserie Lipp, yang dikenal sebagai tempat berkumpulnya tidak hanya Jean Paul Sartre, Simone de Beauvoir, dan Albert Camus, namun juga para editor berkuasa dan para penerbit dari jurnal Nouvelle Revue Francaise, rumah penerbit Gillmard... Kata baru yang sering diucapkan banyak orang adalah ‘eksistensialisme’... Kata ini menggambarkan jenis filsafat yang dikemukakan oleh Martin Heideger atau Martin Husserl.”

Jadi, ketika sekelompok kaum muda mahasiswa yang berkomunitas, dan berdiskusi di kafe, khususnya di kota Makassar dengan dua kafe ternama yang telah saya sebutkan, sesungguhnya telah mengulang sejarah untuk mendaur ulang semangat intelektualisme, yang nantinya bermuara pada hadirnya sebuah perubahan. Antara kafe di Paris pada tahun 40an dan kafe yang eksis sekarang ini, perbedaannya sedikit saja, kalau dulu, nama orang-orang itu yang langsung berdiskusi, kini nama orang-orang itu yang didiskusikan.

( Catatan: Tulisan ini dimuat di bulletin Kala, media Kelas Literasi Paradigma Institute, edisi Ahad, 13 Maret 2016)

Minggu, 13 Maret 2016

PETAI


Bersilaturrahim ke pelosok desa, menemui sanak amatlah membahagiakan. Usai silaturrahim, setumpuk hasil kebun disisipkan pada kendaraan tumpangan sahaya. Menjuntailah beberapa bilah petai. Sesampai di mukim, rianglah seisi rumah, soalnya mereka adalah pemakan suntuk petai. Lalu, teringatlah pada peristiwa sewaktu masih di sekolah dasar, tatkala seorang teman berulah, mengunyah petai, lalu menguap-uapkan pada ruang kelas. Bau dan hebohlah seisi kelas. Terkenang akan petai ini, Guru Han pun beribarat dalam tutur: " Bila petai itu semisal kebusukan, maka mengkonsumsinya bakal menebarkan bau busuk, baik lewat nafas mulut-hidung, kentut, berak dan kencing. Sama persis dengan seseorang yang suka mencerna berita bohong, hoaks, fitnah, kebencian, maka ketika membagikannya pun akan meneberkan kebusukan. Omongannya bertolak pada fitnah, hoaks dan kebencian. Dan, itu bakal mematikan jiwa."

Jumat, 11 Maret 2016

JABATAN


Pada awal pekan, hari Senin yang cerah, seorang kawan dilantik menjadi pejabat di lingkungan tempat kerjanya. Jabatan itu cukup banyak yang mengincarnya, namun jatuhnya ke kawan sahaya juga. Warta ini sampai juga di beranda pengetahuan Guru Han, maka pesan singkat pun dilayangkan: " Karena telah diberi jabatan, maka yang paling pertama seharusnya diingat adalah bakal kehilangan jabatan di lain waktu. Kalau bukan dikau yang meninggalkan jabatan itu, maka jabatan itu yang akan meninggalkanmu. Jadi, persiapkan saridirimu untuk merasakan hal yang sama ketika jabatan diperoleh dan saat kehilangan jabatan."

Kamis, 10 Maret 2016

Taju’, Buku dan Hadiah




Sehari setelah peristiwa Gerhana Matahari Total (GMT), 9 Maret 2016. Pagi bergegas menuju terik, saya disambangi oleh seorang karib, Tajuddin Noer, yang sering saya sapa bung Taju’, di Papirus Tokobuku Dan Komunitas, tempat rutin saya mengais nafkah. Kehadirannya penuh berkah, menunaikan janjinya menghadiahkan saya sebuah buku yang sudah lama saya nanti, Mazhab Ibnu Arabi. Sebuah buku yang ditulis oleh Sayyed Ahmad fazeli, diterjemahkan oleh seorang karib yang lain, Ust. Muhammad Nur Jabir.
Bahagia rasanya, bertubi keriangan menghidu diri.


Sedianya buku itu, mungkin saya sudah dapatkan di tepat pada hari Gerhana, tapi saya tidak buka toko pada hari itu. Pasalnya, bertepatan pula dengan hari raya Nyepi, yang merupakan hari istimewa, menyambut tahun baru Saka, bagi umat Hindu di Indonesia. Tindakan saya meliburkan diri, merupakan sebentuk penghargaan terhadap umat Hindu, yang memilih menyepi pada hari itu. Dan, ini terkait pula dengan kebijakan saya terhadap diri sendiri, untuk meliburkan diri, jeda mengais nafkah, bila bertepatan dengan libur nasional dan hari Ahad. Sejenis upaya memanjakan diri, di tengah sulitnya menyepi dalam keramaian.


Jujur saya tabalkan, hadiah buku dari Taju’ ini adalah pemberian yang sudah sekian kalinya. Ada kebiasaan barunya, khususnya buat saya, tatkala Taju’ membeli sebuah buku dan buku itu belum saya punya, maka biasanya beliau menawarkan pada saya atau saya minta jatah juga. Memang, saban waktu, salah satu tempat nongkrongnya adalah di Papirus Tokobuku Dan Komunitas, kala berada di Makassar. Saya menyebut tempat kerja ini, sebagai ruang semedi. Jadi, taklah perlu kaget, jikalau suatu saat, ada yang menanyakan di mana saya. lalu menyahut di tempat semedi, itu berarti lagi ngais nafkah.


Sependek ingatan saya, bila Taju’ bertandang ke tempat semedi saya, tiada lain perbincangan itu pada seputar buku-buku, lalu merembes pada karya-karya semisal, Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi, Sa’adi, Fakhruddin Attar, Muhammad Iqbal, Annemarie Schimmel, dll. Pokoknya, yang bertautan dengan tema spiritualitas, jalan-jalan keruhanian yang tertuang dalam karya sastra, khususnya puisi. Persamuhan kami yang demikian, bukan isapan jempol, sebab sejatinya memang, Taju’ adalah sesosok yang suka menuliskan buah akalnya lewat puisi-puisi pada akun facebook-nya.


Saking produktifnya menulis puisi di dunia maya, sehingga di bulan Desember pada pucuk tahun 2015, telah lahir anak ruhaninya, berupa satu buku puisi, yang berjudul Ziarah Cinta, terbitan Liblitera. Dan, melihat produktifitasnya dalam menulis, yang hingga kini masih berlangsung, bukan hal yang mustahil, tapi suatu keniscayaan, buku-buku yang sejenis bakal lahir lagi.


Ihwal terbitnya buku Ziarah Cinta ini, tak ada salahnya kalau saya cerita sedikit bocorannya. Setelah buku puisi saya, AirMataDarah, terbit pada bulan Februari 2015, saya lebih leluasa memprovokasi setiap orang, khususnya para karib saya, untuk mengikuti jejak yang saya telah lakukan. Dan, salah seorang karib yang termakan provokasi itu adalah Taju’. Saya ceritakan proses penerbitannya yang relatif mudah untuk dilakukan. Namun, dari sekian argumen yang saya ajukan, yang paling mungkin memengaruhinya adalah akan berlipat gandanya pahala yang bakal dituai. Meski saya tahu persis, Taju’ bukanlah tipologi insan yang suka berburu pahala.


Saya amat percaya bahwa Taju’ adalah seorang yang suka menggunakan akalnya. Dan, saya sangat terlatih menghadapi orang yang punya banyak akal itu dengan akal-akalan. Maksudnya, mencari argumen penjelas agar seolah-olah akal menerimanya. Saya lalu jelaskan, coba hitung, berapa jumlah uang infak yang sering disedekahkan selama setahun. taksiran saya pada Taju’, paling sedikit sepuluh juta rupiah, bahkan bisa lebih untuk orang yang seperti beliau. Lalu saya tohokkan lagi argumen, bagaimana kalau uang yang sebesar itu, dipakai untuk menerbitkan buku, yang merupakan kumpulan puisi yang bertebaran begitu banyak di akun facebooknya.


Lalu, dengan sedikit mimik meyakinkan, saya desakkan pendapat, bahwa kalau uang infak itu hanya bermanfaat secara konvensional, disedekahkan begitu saja, dan tidak ada jejak peradabannya, tak mengabadi untuk kemanusiaan. Tapi, kalau dipakai untuk menerbitkan, lalu buku itu dibaca oleh begitu banyak orang, apatah lagi kalau disedekahkan pula, amboi, betapa dahsyatnya efek yang bakal ditimbulkan. Buku itu bisa mencerahkan orang yang membacanya, dan lebih dari itu, akan mengabadikan pengarangnya. Dan, saya kira, lewat buku Taju’, keduanya akan menyata; mencerahkan dan mengabadi.


Jadi, tidaklah perlu heran sejadi-jadinya, manakala suatu waktu nanti, ada orang yang diberi hadiah buku karanganya Taju’, semua itu tiada lain sebagai wujud dari misi three in one: pahala sedekah, pencerahan dan keabadian. Dari pengakuan Taju’, akan efek yang ditimbulkan oleh buku karangannya, begitu banyak yang tak terduga. Letupan-letupan kebahagian tiada henti bertamu padanya. Mulai dari orang yang heran akan kemampuannya dalam menulis, makin banyaknya perkawanan yang meluberi akunnya, dan tentu saja beberapa inbox yang meminta untuk diziarahi dengan cinta.


Taju’ dan buku, sepanjang perkariban saya dengannya, sepengetahuan saya, bukanlah hal yang baru. Sejak saya masih aktif di dunia gerakan mahasiswa, Taju’ sudah tergolong mahasiswa yang punya tradisi literasi yang memadai. Saya teringat tahun 90-an, waktu saya mulai membuka usaha Toko Buku Paradigma Ilmu, salah seorang konsumer yang telaten beli buku adalah Taju’. Saya belum memeriksa koleksi bukunya saat ini, tetapi perkiraan saya, pastilah sudah ribuan jumlahnya. Apatah lagi, hingga kini masih aktif menambah koleksinya, ditambah lagi dengan pasangannya, Rasmiati Yasin, juga maniak buku. Jadilah keluarga ini sebagai keluarga yang telah mencetak sepetak surga di rumahnya.


Sembari menanti terbitnya buku berikut dari Taju’, saya amat yakin bahwa Taju’ takkan bosan untuk selalu menengok saya di tempat semedi, sebuah ruang mengais nafkah dan sebagai tempat singgahnya pula para karib yang lain, kala ingin jeda dari rutinitas. Tiada hari yang lebih indah, bilamana ditandangi oleh begitu banyak karib di tempat semedi. Bagi kebanyakan pejalan di jalan-jalan keruhanian, tempat semedi adalah sesuatu yang sunyi, senyap dan sepi. Walakin, bagi saya, makin ramai makin elok, sebab dari sinilah saya menyicil kebahagiaan. Paling tidak, wujud kebahagiaan itu sudah menyata, ketika Taju’ dengan segala kerelaan hatinya, mendapukku hadiah, berupa sebuah buku.

Sabtu, 05 Maret 2016

PERSAINGAN


Di pucuk pekan, nampaklah seorang kisanak, mendekat ke beranda semedi sahaya. Berceritalah tentang bisnisnya yang lagi sempoyongan menghadapi persaingan. Kemudian, datang pula kawan lain, tema curhatnya sama, tentang ganasnya persaingan di dunia kerja. Bertanyalah mereka, kira-kira pekerjaan apa yang mungkin terbebas dari ketatnya persaingan. Oleh Guru Han, disambarnya tanya itu dengan tangkas, sependek tutur menohok: " Pilihlah pekerjaan yang tidak mampu dikerjakan oleh orang lain, di situ hanya ada pemain tunggal. Dirimu sendiri. Atau setidaknya, carilah lahan kerja yang tak begitu diminati orang lain. Pun, bikinlah yang sulit ditiru oleh selain dirimu."

Jumat, 04 Maret 2016

Gerakan Literasi dan Politik



“Di hadapan penguasa, jangan dengar apa yang dikatakannya, tapi dengarlah apa yang tidak dikatakannya.” (Kahlil Gibran)

Sabda Kahlil Gibran, seorang penyair terdepan dari Lebanon, yang saya kutip di atas, bagi saya adalah sejenis password untuk berhadapan dengan para politisi yang ingin meraih kekuasaan. Jujur, saya pertama kali jatuh pikir pada penabalan Gibran itu, tatkala membaca buku, Menegakkan Demokrasi, tahun 1989, ketika masih menjadi aktivis mahasiswa. Dan, dari sepenggal babar buah akal ini pula, saya kemudian makin menyelami syair-syairnya, menyerap pandangan-pandangannya.


Tahun 2016-2017, adalah tahun-tahun politik di kampung halaman saya, Bantaeng. Pilkada akan berlangsung 2017 nanti. Perseteruan para calon bupati bakal seru, soalnya, bupati yang sekarang, Nurdin Abdullah, tidak maju lagi, sebab sudah menjabat dua periode. Sehingga, persilatan politik guna meraih kekuasaan, menjadi orang nomor satu di Bantaeng, dipastikan sangat dinamis, baik secara positif maupun negatif. Saling jegal di antara mereka sangat mungkin, bahkan tidak sedikit kampanye negatif akan muncul. Dan, di atas semua itu, yang tak kalah dahsyattnya, saling klaim pada apa yang mungkin telah dilakukan.
Adalah Gola Gong dalam bukunya, Gempa lietrasi, kurang lebih mengatakan, bahwa gerakan literasi yang paling mutakhir, tatkala gerakan ini ditumpangkan dengan berbagai macam ikon budaya pop. Saya sering mengistlahkannya dengan mem-flashdisk-kan gerakan literasi. Maksudnya, gerakan literasi bisa dicolokkan ke mana saja, asalkan bisa satu frekuensi dalam bergerak. Ibaratnya, apakah medium lain, semisal komputer, laptop, dan gadget lainnya, bisa membaca flashdisk itu.

Selaku pegiat literasi, di masa kiwari ini, saya menyokong kondisi gerakan paling mutakhir. Siapa saja yang berminat untuk terlibat dalam percepatan gerakan ini, bakal bersinggungan, saling bahu membahu. Yang terpenting bagi saya, apakah orang lain pun menganggap gerakan literasi ini penting untuk diusung secara bersama-sama. Sikap ini saya beberkan sebagai upaya klarifikasi awal dan secara terbuka, agar setiap dari diri kita terhindar dari saling klaim atas seringnya muncul asumsi, tunggang menunggangi gerakan literasi.

Khusus di Bantaeng, pusat gerakan literasi yang berbasis komunitas, sering dialamatkan kepada Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan. Hal ini bukanlah suatu yang berlebihan, mengingat sejak dini di awal pendiriannya, enam tahun yang lalu, tepatnya 1 Maret 2010, telah mendeklarasikan diri sebagai komunitas gerakan literasi, yang mengimajinasikan bakal terwujudnya masyarakat literasi Bantaeng. Dan, saya sebagai CEO-nya, hingga detik ini, masih setia dengan cita awal itu. Jadi, manakala besok lusa terjadi, khususnya di tahun-tahun politik ini, ada persinggungan dengan para aktor politik, baik yang mengimpikan kursi nomor satu, maupun yang sementara duduk di deretan kursi legislatif, atawa para partisan politik, semuanya itu, tiada lain karena persinggungan gerakan literasi paling mutakhir.

Tulisan ini secara gamblang saya dinikan di kekinian, bukan tanpa latar belakang. Sejak lama, jauh sebelum Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan hadir, saya sudah bergiat secara personal untuk menggawangi gerakan literasi. Pilihan ini aktivitas ini, adalah buah dari sebuah pohon janji untuk kembali ke habitat semula, selaku pegiat sosial. Pasalnya, sebelum Reformasi 1998, sesarinya saya adalah pegiat sosial, ikut merapatkan diri bersama barisan aktivis yang mendorong terjadinya reformasi.

Pascareformasi, saya agak melenceng dari pegiat sosial, karena menceburkan diri ikut mengurus partai politik, menjadi partisan politik, bergabung di Partai Umat Islam (PUI). Oleh pendirinya, Deliar Noer, saya didapuk lewat secarik kertas mandat untuk membentuk kepengurusan partai, wilayah Sulawesi Selatan. Amanah itu saya tunaikan, lalu terpilihlah Syahruddin Parakkasi sebagai Ketua Umum DPW PUI Sul-Sel. Akan tetapi, beliau seorang PNS, maka tampuk pimpinan selaku pelaksana harian kepengurusan, dipundakkan ke saya.

Walhasil, setelah pemilu 1999, Partai Umat Islam tidak memenuhi persentase electoral treshold, hanya meraih 0,25% suara, maka diharuskan membubarkan diri atau melebur dengan partai lain. Deliar Noer memilih membubarkan partai. Dan, saya sendiri ikut dengan sikap Deliar, tidak bergabung ke partai manapun, meski tidak sedikit ajakan dari kawan-kawan politisi dilayangkan ke saya. Sejak saat itu, janji saya dedahkan untuk kembali ke pangkuan habitat awal, pegiat sosial. Mencoba tetap bergiat, lewat perjuangan kultural, yang kemudian saya tetap meyakininya, akan berpengaruh pada dimensi struktural.

Perjuangan struktural, bagi saya masih sangat penting. Sepanjang sang pejuang punya kapasitas dan integritas untuk mewujudkannya. Meraih kekuasaan teramat strategis untuk melakukan perubahan, khususnya mewujudkan masyarakat literasi. Bukankah domain kekuasaan, pemerintah berkewajiban menyiapkan fasilitas, untuk menyangga kebutuhan akan langgengnya tradisi literasi? Membangun dan merawat perpustakaan di seantero negeri adalah domain kekuasaan, tepatnya pemerintah. Mengeluarkan Perda Literasi misalnya, pun amat penting untuk menyokong gerakan literasi.

Singkatnya, ada sebongkah tanya, yang pantas saya ajukan. Adakah para calon bupati yang akan memasuki arena persilatan politik, untuk menjadi bupati Bantaeng, punya sense yang memadai untuk berkoneksi dengan gerakan literasi yang paling mutakhir? Tidak perlu ada jawaban verbal di sini, apatah lagi sekadar onggokan kata-kata, terucap dalam gumpalan janji. Sebab, manakala menjawab, takutnya password saya, yang saya dapatkan dari Kahlil Gibran, tiba-tiba aktif, dan saya tak kuat mengendalikannya.

Kamis, 03 Maret 2016

Semua Berhak yang Terbaik


 
Dua misscall dan satu SMS nongol di telepon genggam saya. Kedua orang yang memanggil itu adalah karib dekat saya, Daeng Zaenuddin Kabai dan bung Dion Syaif Saen. Pesan pendek dari Dion, bertuliskan, “saya ada di rumahnya pak Zaenuddin”. Saya tidak sempat memerhatikan panggilan dan pesan itu, pasalnya, saya ke mesjid dekat rumah, Mesjid Ruhul Amin Tumbelgani Bantaeng, untuk menuntaskan shalat Isya berjamaah. Sepulang dari mesjid, saya langsung baring-baring, selanjutnya terlelap.
 
Kisaran pukul 20.000, saya terjaga, tatkala dibangunkan oleh saudara saya, karena seseorang ingin bertemu. Ternyata, orang itu tiada lain adalah Dion. Maksud kedatangannya, menjemput saya untuk bertandang ke rumahnya Daeng Seni, panggilan akrab saya pada pak Zaenuddin Kabai. Sebelum berangkat, saya gapai HP yang tercharge aktif, dan alamak, betapa lalainya saya terhadap panggilan dan pesan pendek itu. Berboncenganlah saya dengan Dion menuju rumah Daeng Seni, di Bissampole Bantaeng, yang jaraknya hanya seratusan meter.
 
Rupanya Daeng telah menanti saya, di lantai dua rumahnya yang sementara dibangun. Saya menaiki tangga melingkar seperti tikungan yang agak tajam. Setiba di ruangan yang seluas kurang lebih 3x3 meter, saya langsung menyalami tiga orang yang sementara duduk menunggu. Ada Daeng, Afdhan (putra tertua Daeng) dan Yunus Onto. Jadi, berlimalah kami di ruangan itu. Saya langsung bergairah, sebab di depan saya berjejer beberapa gelas kopi, sepiring jagung goreng dan semangkok je’ne uring (sejenis bubur peganan yang terbuat dari jagung muda, dimasak campur gula merah).
 
Bersua dengan Daeng Seni, selalu menggairahkan. Sebab, dialah salah seorang mitra diskusi yang cukup liar dalam berpikir, sejak menjadi mentor saya di kampus IKIP Ujung Pandang dulu. Maklum, beliau adalah senior saya di tiga institusi, persisnya di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Himpunan Pelajar Mahasiswa Bantaeng (HPMB) dan Organisasi Intra Kampus (Himpunan Mahasiswa Jurusan. Senat Mahasiswa dan Badan Perwakilan Mahasiswa). Beliau angkatan 1982, sementara saya angkatan 1985.
 
Salah satu pengalaman menarik bersama Daeng, ketika sama-sama mengurus HPMB. Beliau adalah ketua umumnya dan saya selaku sekretaris umum. Namun, usia kepengurusan kami hanya berumur 40 hari. Oleh sebab ada dinamika yang kurang sehat, protes yang terus menerus dialamatkan kepada keterpilihan kami, maka langkah yang kami tempuh adalah meletakkan dan memberikan jabatan kepada yang protes. Sehingga, jabatan itu diserahkan kepada pesaingnya Daeng sewaktu Mubes HPMB, pak Amir Alkaf.
 
Perbincangan malam itu yang cukup menajam, ketika Afdhan bertanya, atas rasa penasarannya selama ini terhadap saya, yang lebih memilih berkiprah di kampung halaman, Bantaeng, tinimbang di Jakarta atau di Makassar. Khususnya pada bidang politik. Sebab menurutnya, saya punya kapasitas untuk itu, berdasar pada pahamannya terhadap sepak terjang yang selama ini saya lakukan. Saya duga, tanda tanya Afdhan tidak berdiri sendiri, mungkin saja sang Ayah, Daeng Seni, sering memberi penguatan atas keingintahuannya, dengan bercerita tentang aktivitas selama bersama di Makassar.
 
Pertanyaan semisal Afdhan ini, paling sulit saya jawab. Mengapa memilih aktifitas di sebuah kota kecil, Bantaeng, bukannya di pusat-pusat kekuasaan. Herannya lagi, mengapa pula aktifitas tidak di jalur politik, semisal mencoba ikut pemilihan anggota legislatif, DPRD, atau sekalian mencalonkan diri menjadi Bupati atau Wakil Bupati, yang saat ini sudah memasuki tahun politik untuk Bantaeng, mengingat Pilkada berlangsung 2017 nanti.
 
Memang harus saya akui, enam tahun belakangan ini, waktu saya lebih banyak tercurahkan di Bantaeng. Dan, aktifitas saya, bagi banyak orang, kurang populer, memilih menjadi pegiat literasi. Hanya sekadar memprovokasi berbagai elemen masyarakat untuk meningkatkan minat membaca dan menulisnya. Bergiat memberikan pelatihan literasi, mencari dan mengembangkan kemampuan menulis, hingga menerbitkannya. Bagi orang ramai, pilihan aktifitas ini adalah tidak menguntungkan secara material. Bahkan, toko buku yang pernah saya dirikan di tahun 2010, kini sudah tutup, sisa komunitasnya yang aktif, Komunitas Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan.
 
Teringatlah saya, akan guru ideologis saya, pak Ishak Ngeljaratan, yang sekali waktu, berbincang lewat telepon, dan menabalkan saya sebagai orang “gila”. Bagi pak Ishak, adalah sebuah kegilaan yang dilakonkan seseorang, manakala memilih jalan hidup yang tak lazim, ikut mengurus orang lain, di tengah perlombaan hasrat menimbun materi, buat diri sendiri, yang tak kunjung puas. Dan, saya salah seorang yang “gila” itu. tandas pak Ishak.
 
Jadi, bung Afdhan, laku-laku yang saya lakonkan, yang membuat bung penasaran adalah sebentuk kegilaan saja. Walau saya harus terangkan kegilaan ini, bahwa pandangan dunia yang saya peluk, yakni setiap orang berhak mendapatkan yang terbaik. Bagi saya, setiap orang atawa masyarakat kita, tidak boleh diabaikan hak-hak dasarnya untuk mendapatkan kulitas hidup, yang bakal mengantarkan dirinya untuk meraih sosok-sosok yang memiliki kualitas sumberdaya manusiawi. Siapapun dia, kita wajib menunjukkan jalan terang untuk meraih ketercerahan hidup, sebagai pilar utama untuk mendapatkan kualitas sumberdaya manusia, yang ciamik.
 
Saya memilih peran sebagai pegiat literasi, sebab saya yakin seyakin-yakinnya, bahwa jalan paling terang itu adalah dengan memberikan pencerahan pada masyarakat. Dan, pintu terdepannya tatkala tradisi literasi masyarakat kita kuat, guna melahirkan budaya literasi. Masyarakat yang punya tradisi literasi kuat, akan menjadi masyarakat mandiri. Dalam pandangan demokrasi substantif, disebut sebagai wujud one man one vote. Masyarakat mandiri dicirikan dengan kemerdekaan atas pilihan beserta resiko atas pilihan itu, siap diterima secara simultan. Dan, tentu saja, mereka akan bertanggungjawab atas pilihan-pilihannya.
 
Lalu apa lagi? Saya merasa memiliki kapasitas yang mumpuni dalam bidang gerakan literasi, dan masyarakat mesti didorong untuk memilki tradisi literasi, maka saya pun menceburkan diri ke dalamnya. Tradisi literasi bagi masyarakat adalah wujud terbaik yang dirindukan, dan masyarakat berhak mendapatkannya, tidak untuk segelintir orang yang menikmatinya. Bila segelintir orang saja yang memilikinya, bisa saja disalahgunakan. Bukannya mengantarkan masyarakat itu untuk lebih baik keadaannya, melainkan menjerumuskan ke jurang kebodohan.
 
Di tengah perbincangan yang sudah mendekati pukul 22.00, Yunus undur diri, pamit pulang ke rumahnya di Onto, berjarak sekitar 10 km dari tempat kami menggelar persamuhan. Diskusi lanjut terus, beragam tema kami dedahkan, hingga jelang pukul 12.00, Dion dapat SMS agar segera balik ke mukimnya. Soalnya, adik perempuannya mau melahirkan. Dan, benar saja adanya, sekitar sejam kemudian, Dion mengirim SMS ke Afdhan, ponakannya telah lahir. Rasa bahagia menghidu kami, manusia baru hadir lagi, yang mungkin nasibnya lebih baik dari kami, apatah lagi, jikalau tradisi litersi di ruang hidupnya telah menyata.
 
Saya, Afdhan dan Daeng masih bersilat pikiran. Dalam persilatan pikiran ini, tidak jelas mana ayah mana anak, keduanya bisa saling interupsi. Saya menikmati suasana kebatinan Afdhan yang tidak kikuk bertempur gagasan di depan sang Ayah. Saya pun membayangkan suasana rumah di Makassar, yang terkadang berdiskusi secara bebas dengan anak-anak, khususnya yang sudah remaja dan beranjak dewasa. Dan, tepat pukul setengah dua malam, saya pamit pulang.
 
Afdhan berinisiatif mengantar saya pulang, namun saya cegah. Toh, jaraknya cuma seratusan meter. Lagi pula, Bissampole ini juga kampung saya, tidak ada keraguan akan gangguan keamanan, meski kampung saya ini terkenal rawan bagi masyarakat Bantaeng. Pada perjalanan pulang, setiap langkah kaki nyaris saya hitung, sembari membatinkan rencana, bahwa tempat persamuhan tadi bakal menjadi ajang persinggahan saya setiap kali balik ke Bantaeng. Apatah lagi, seperti penuturan Daeng pada saya, bahwa lantai dua yang sementara direnovasi itu, sejatinya diperuntukkan untuk arena pertukaran gagasan. Dan, makin elok ruang itu, manakala diselimuti oleh rak-rak buku. Saya kira Daeng dan Afdhan, pasti setuju akan bayangan pikiran saya ini. Iya bukan?

Rabu, 02 Maret 2016

BODOH


Setelah jeda hampir empat puluh hari, seorang karib sahaya datang bertandang di selasar pengetahuan. Persilatan pikiran mesti dibuka lagi. Dan, betul saja, sang karib langsung tancap omong, perlunya memperbanyak koleksi buku, juga pentingnya menggapai sebanyak mungkin ilmu, agar kita tidak dibodohi orang lain. Guru Han terkekeh sejenak, lalu mengudar ungkapan: " Kalau sekadar punya ilmu agar tidak dibodohi, itu biasa saja. Yang luar biasa, jikalau ilmu begitu banyak, namun mencegah kita untuk membodohi orang lain. Dibodohi lebih rendah makamnya, tinimbang membodohi, dalam keburukan."

Selasa, 01 Maret 2016

Kopi, Literasi dan Labbo


Sepenggal janji saya telah tunaikan, mentandangi lagi Desa Labbo, setelah sebelumnya kembali menjamahnya beberapa waktu lalu. Cobalah ingat catatan saya yang bertajuk: Kembali ke Labbo, pada tulisan itu saya menabalkan janji untuk mewujudkan program, yang dirancang oleh Perpustakaan Fajar Desa Labbo, salah satunya adalah pelatihan literasi.

Perpustakaan Desa dan Karang Taruna Desa Labbo, berkolaborasi mewujudkan program pelatihan literasi ini, atas desakan saya, karena aji mumpung. Pasalnya, di hari yang sama, Senin 29 Februari 2016, saya akan menghadiri acara khitanan anak seorang karib, Sahar Addin, yang lokasi rumahnya cukup dekat dengan kantor desa. Maka, saya berinisiatif, jauh hari sebelumnya, mengontak bung Sirajuddin Siraj, sang kepala desa untuk bernegosiasi, guna mewujudkan janji saya.

Hasilnya, terwujudlah kesepakatan untuk melaksanakan pelatihan literasi, yang durasi waktunya, mulai pukul 09.00 hingga 12.00 siang. Bertempat di aula kantor desa, yang kami format seperti suasana kafe. Inti dari pelatihan ini, membangkitkan minat membaca dan menulis, sebagai upaya untuk mencicil hadirnya tradisi literasi, dengan harapan kelak lahir budaya literasi.

Suasana pelatihan begitu santai. Saya pun bercuap-cuap tanpa beban. Soalnya, para peserta yang ikut rata-rata sudah saya kenal, apatah lagi di antara mereka sudah pasti saling kenal. Ada hal yang selalu menjadi penyemangat, tatkala saya berada di arena pelatihan ini, ketika kopi khas desa Labbo disajikan. Begitu salah seorang menyajikan di atas meja, saya langsung menyambarnya. Ibarat elang yang tak bisa menahan laparnya, saat melihat seekor anak ayam yang masih mengekor pada induknya.

Saya menuangkan kopi panas di piring alas gelas. Saya tiup-tiup perlahan, asapnya mengepul, meliuk, menari di selasar depan lubang hidung saya. Amboi, sedapnya. Maknyus kata slogan sebuah iklan kuliner di televisi. Sayangnya, kopi ini dicampur gula, padahal selera saya tanpa gula. Sebenarnya, panitia berniat mengganti jatah saya, meracik khusus kopi tanpa gula, tapi saya mencegahnya, bisa merepotkan jadinya. Namun, ke depannya saya tak bakal mentoleransi lagi, sudah harus tanpa gula.

Prihal minum kopi tanpa gula ini, saya sering dicecar tanya. Apa alasan serius di balik kopi nirmanis ini? Sesarinya, tidak ada alasan yang serius amat, cuma sering saya ungkapkan, bahwa saya ini, sudah terlalu manis untuk digulai. Pun juga saya acapkali menabalkan prinsip, jangan memperalat kopi untuk minum gula. Bukankah, cukup banyak di antara kita, keinginan latennya adalah rasa manis, namun berlindung di balik rasa pahit? Ah.... ini terlalu metafor, mungkin demikian adanya.

Sembari bercuap-cuap, berujung dan berpangkal, sesekali saya seruput kopi tubruk Labbo. Kalimat-kalimat saya bertabrakan dengan hawa dingin yang mulai merasuk. Kabut sesekali melintas di pandangan. Rintik hujan ikut bergegas. Walau begitu, badan saya tetap hangat, sehangat kopi yang sudah mulai menyentuh pantat gelas. Di pucuk waktu yang berbatas janji, jelang pukul 12.00, sebelum pelatihan diusaikan, saya mengusulkan kepada para peserta, pegiat di Karang Taruna dan pengurus Perpustakaan Desa, agar membuat group di facebook untuk menjadi ladang praktek menulis. Dan, dari group ini, saya akan memantau, sekaligus mengedukasi para anggota yang mengirim tulisan. Lalu lahirlah group Literasi Desa Labbo.

Pascapelatihan, saya pamit, ingin bergeser ke acara yang lain, tepatnya menghadiri undangan karib yang khitanan itu. Setiba di rumah hajatan, sambutan lagu-lagu qasidah, dari sebuah group electone, mendayu-dayu, ikut mengiringi langkah-langkah saya menaiki rumah panggung. Disapanya saya dengan ramah oleh tuan rumah, disilakan untuk mencicipi sajian makan siang yang berbahan daging kuda. Wow...ini sebentuk makanan langka bagi saya. Rasa lapar yang mendesak, tak perlu basa-basi, saya ceburkan diri dalam kelezatan santap siang. Sebelum beranjak dari acara khitanan karib ini, tak lupa saya menunaikan kebiasaan saya, memberikan kado, berupa buku, yang berjudul, Mencetak Anak Genius. Bagi saya, tindakan ini, masih merupakan wujud dari penggalan gerakan literasi.

Sehari setelah pelatihan literasi ini digelar, setiba di mukim, Kota Makassar, saya berselancar di dunia maya, menyelam masuk ke akun facebook saya, rupanya, gagasan akan group itu sudah diwujudkan. Kelihatannya dibuat oleh pegiat Karang Taruna, yang digawangi bung Chiwank To Barakka. Meski anggotanya belum banyak, namun postingan tulisan sudah mulai nampak. Puisi, berita, cerita singkat, ucapan terimakasih telah menghiasi beranda group ini. Saya lalu membatin, bila saja group ini dinamis dalam postingan-postingannya, tidak menutup kemungkinan, tulisan-tulisan yang berserak ini bakal bersatu dalam satu buku. Pikiran saya mekar, hati pun berbunga-bunga membayangkannya.