Sari Diri Sulhan Yusuf
Oleh Idham Halik*)
Menjelang Hari Idul Fitri kemarin, Saya bertemu Sulhan Yusuf, dan membeli bukunya yang berjudul Pesona Sari Diri. Sempat bincang-bincang sebentar. “Dam, kalau bisa kamu mencari kira-kira apa pola atau gaya dari buku saya ini?” Katanya.
Saya pun membaca dan memulai dari bagian ke-4 buku itu, yaitu tentang profil tokoh-tokoh. Lalu, melompat-lompat di bagian pertama Sari Diri, hingga bagian kedua dan ketiga tentang relegiusitas dan beranda publik. Apa yang saya temukan? Tak lain adalah seorang Sulhan Yusuf.
Sulhan pada dasarnya sudah menulis dari lama, dan sudah mencatat apa yang kira-kira akan ditulisnya sejak kecil di kampungnya, sebuah desa di Bantaeng, dengan mendengar dan melakoni budaya peradaban masyarakat pedesaan, yang sudah tersentuh nilai-nilai Islam yang bernuansa kota, kosmopolitan.
Apa yang tercoret dalam kumpulan tulisan Pesona Sari Diri, adalah cerminan dari pikiran dan aksi moral Sulhan Yusuf selama ia hidup. Tulisan-tulisan ini ibarat refleksi dari apa yang sebenarnya, dan seperti apa Sulhan Yusuf memandang hidup.
Dan, apa yang sebenarnya ini, kira-kira kita dapat mengambil ilustrasi Gua Plato. Pemikir Yunani itu mencatat celotehan dari gurunya tentang kisah manusia-manusia dalam gua. Menurut Sokrates, banyak orang yang membayangkan bahwa bayang-bayang di dinding gua, yang berasal dari cahaya api di luar gua adalah realitas, karena saking terbiasanya. Padahal, jika orang-orang itu, punya keinginan kuat untuk memanjat keluar dan mencari sumber cahaya, dia akan melihat realitas yang sebenarnya.
Sulhan, dalam esai-esainya, mencoba memanjat realitas, melihat peristiwa sehari-hari mengandung hikmah dan pesan-pesan moral. Ia tak mau terbawa arus peristiwa, tanpa memegang kompas moral. Dari mana kompas moral ini? Dapatkah kita katakan dari lubuk hati dan pikiran yang jernih? Dengan mendengar hal yang paling inti dari manusia, yaitu suara hati.
Suara hati, yang menurut Immanual Kant bersifat universal, dimiliki oleh semua orang, tak mengenal suku dan agama. Dari suara hati inilah lahir prinsip etika deontis, yang mengharuskan manusia untuk patuh pada perintah moral. Suara hati yang kemudian dieksternalisasi ke dalam peraturan, menjadi kewajiban atau obligasi.
Dari esai-esai Sulhan sendiri, percikan suara hati ini, yang dapat datang tiba-tiba, dari prilaku orang-orang sekitar, seperti prilaku pembeli buku di kios bukunya, atau melihat anak-anak ataupun orang gila. Namun, hikmah ini tak akan muncul jika tak diiringi aktivitas berfikir yang terarah, atau membuka diri terhadap realitas/fenomena. Seperti kata Husserl, pengetahuan akan terbuka, jika kita terarah pada realitas dan dilakoni secara terus menerus, Intensitas.
Meski begitu, esai-esai ini lahir dari sosok Sulhan yang hidup dan tenggelam dalam semangat aktivisme tahun 1980-1990-an, tentu sangat mewarnai pesan-pesan yang ditulisnya, selain itu, kultur dan ideologi keberislaman kadang-kadang terbersit.
Anak-anak muda, yang hidup dengan kultur kota, dengan gaya hidup serba cair, praktis, pragmatis, empiris, dan tentu menghormati nuansa dan kreativitas berfikir, mesti bersabar membaca esai-esai ini. Apa sebab? Pertama, tulisan berbasis peristiwa, makna peristiwa dan apa yang seharusnya. Dengan begitu, masing-masing orang punya pengalaman yang berbeda. Alangkah baiknya jika pengalaman-pengalaman anak muda dapat bersinergi dengan pengalaman Sulhan Yusuf. Kedua, Sulhan memaparkan peristiwa dengan maknanya secara terang benderang. Ibarat sinar matahari, sinar Sulhan adalah sinar siang hari. Terlalu terik bagi anak muda yang mungkin hanya menginginkan sinar pagi atau cahaya senja.
Tapi, bagi yang mengenal Sulhan Yusuf, buku ini sangat cocok. Sebab, dapat dijadikan kitab untuk membaca pikiran dan prinsip moral yang melandasi semangat altruisme Sulhan.
Ke depan, Saya berharap Kak Sulhan dapat melangkah lebih jauh lagi untuk menjelaskan secara rinci dan strategis problem-problem utama dalam kehidupan masyarakat. Jawaban-jawaban lebih dari spontanitas, tapi lebih bersifat pemikiran yang rigid dan membongkar akar persoalan. Serta memandu kita untuk bersama-sama memecahkan persoalan tersebut. Seperti persoalan pengangguran, kriminalitas di desa, marginalisasi kaum minoritas, ataupun sebab musabab kemunduran pemikiran Islam, strategi membangun gerakan literasi, atau persoalan kemiskinan struktural yang masih menjangkiti negeri ini.
**
Menjadi pertanyaan, apa dasar begitu produktifnya Sulhan dalam menulis? Dalam rentang waktu penulisan esai yaitu 2015-2018, yang berarti kumpulan tulisan selama 3 tahun. Ada 120 esai dalam buku ini, dengan ketebalan 530 halaman.
Saya berfikir, ini tidak mungkin dilakukan oleh orang yang dalam kadar biasa-biasa saja, tapi merupakan tindakan seorang manusia yang memiliki mental, stamina, dan strategi pergerakan yang prima. Kita beruntung masih dapat bertemu dan berkenalan dengan orang-orang khusus seperti ini. Yang memiliki kualitas pendeta, biksu, atau orang-orang suci di tengah-tengah kegersangan dan semangat pemuasan nafsu diri dan segala jenis kepalusan masyarakat kita.
Seperti orang-orang besar lainnya, dalam sejarah, yang juga termuat dalam esai Sulhan, ambillah contoh Ali Syariati, Khomeini, Tjokroaminoto, Ishak Ngeljaratan. Tokoh-tokoh ini mengambil jalan-jalan sunyi untuk menggerakkan masyarakat dan melakukan perubahan sosial dan politik. Sulhan mengambil jalan literasi untuk membangun masyarakat. Pukulannya strategis, dengan literasi, warga belajar kritis, belajar berfikir analitis, dan tentu bermuara pada pengorganisasian diri untuk mendorong perbaikan sistem internal.
Sulhan Yusuf secara tak sengaja atau mungkin sudah dirancangnya untuk menggerakkan masyarakatnya, berangkat dari kampungnya sendiri, Butto Toa, Bantaeng. Ia seperti Gandhi ataupun Martin Luther King dalam kadar tertentu saya pikir. Cara-cara yang digunakan pun mirip dengan strategi tamsil hindu Gandhi, yaitu Ahimsa, melawan dengan tanpa kekerasan. Tujuannya adalah menggugah, menginspirasi, berada di pucuk paling depan dalam menjalankan prinsip-prinsip moral masyarakatnya.
Sebagai salah seorang kawan mudanya, saya sangat berharap Sulhan tetap konsisten menjalankan takdirnya ini. Agar kami tidak kekurangan pegangan untuk belajar hidup sederhana, secukupnya, menjadi diri sendiri dan senantiasa mendengar suara hati.
Tetap semangat Bung Sulhan.
*) Penggiat literasi perikanan Sulsel
0 komentar:
Posting Komentar