Bolamataku makin menua, hingga mudahnya mengenali perbedaan padimuda dan rumputhijau, menjadi samar. Bahkan, bijimataku sendiri makin sulit kuraba, sisa liukan tariannya yang liar.
Diri bersyukur, sebab padimuda melambaikan anggukannya pada hatiku. Rumputhijau menggelengkan pucuknya pada batinku. Dan, bijimataku masih memeluk kelopaknya.
Diri hanya perlu bersaat dalam diam, biarkan alam sekitar yang menunjukkan jatidirinya. Itu akan lebih selaras dengan kehendak semesta.
Jangan paksakan diri agar diterima alam sekitar, sebab akan mengusik harmoni buana. Semesta akan geger, menghamburkan puing-puing kekacauan hidup.
Keelokan hidup akan datang menyapa, jika berpasrah menjadi alas berjalan, kalau berikhlas mendiami asas bertindak.
Di dalam kediaman berpasrah dan berikhlas, akan berlaku alas dan asas tingkahlaku akhlaki, sebagai keutamaan hidup.
Minggu, 10 Maret 2013
BUKU
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
20.54
Daku menemukanmu lewat kalimat-kalimat di lembaran buku
Mengenalimu, lalu mencintaimu karena buku
Maka kunyatakan rasa cinta ini dengan buku
Saat engkau berani hadir di atas bumi juga disertai buku
Waktu kelahiranmu, namamu kunamai dari sederet buku
Ketika rambutmu digunting, dirimu disangga buku
Sebagai penanda keabsahan namamu, pun tak lupa kudupai dengan buku
Siang malam tidurmu, kuletakkan kepalamu di bantal buku
Menjelang lelapmu, kudongengkan berwarna cerita bijak dari berbagai buku
Pada setiap hari jadimu diperingati, selalu kubuatkan buku
Pesta pernikahanmu, kuhadir bersama buku
Putra-putrimu lahir, tak lupa kuingatkan padamu akan pentingnya buku
Perjalanan hidupmu, selalu kuharap engkau mencatatnya dalam buku
Dan, ketika keabadianmu tiba, aku menuliskanmu pada sebuah buku.
Sabtu, 09 Maret 2013
HARAPAN
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
17.30
Angin meminta awan untuk menggeser duduknya, biar sang surya tetap menghangatkan persada. Namun awan lebih memilih menurunkan titik airnya, hingga hujan pun merintik. Awan menangis.
Angin mendesak awan agar meraib dari cakrawala, biar langit biru melapang. Namun awan menunjukkan gesekan percik apinya, maka kilat pun menyambar. Awan membakar.
Angin memohon pada awan, kalaulah bisa mengatur bongkahan dirinya. Hingga lebih nampak seperti barisan sisik ikan di batas pandang kaki langit. Tapi awan justeru berteriak, mengeluarkan gelegar aumannya, guntur pun bertalu-talu. Awan menggertak.
Sesungguhnya awan hanya berharap pada angin, agar diberi waktu sejenak untuk bertengger di cakrawala, guna menghias langit biru. Agar para penyair bergegas menulis bait, para penembang menoreh lirik, tentang harmoni kehidupan.
Langganan:
Postingan (Atom)