Hasrat untuk berkuasa yang ada pada diri, sesungguhnya amat purba keberadaannya dalam setiap jiwa. Kuasa berbiak, mengikuti jalan-jalan naluri yang tersaji.
Sedianya kuasa, ibarat air mensucikan daki pada tubuh, itu jika kuasa diberi jalan kelapangan dada di kedalaman ruhani.
Meraih hasrat berkuasa, memperolehnya banyak corak tempuhannya. Ada yang menggapainya lewat lambang-lambang pengetahuan, pun ada pula melalui kepimilikan harta, menumpuk kekayaan. Jalur lainnya, bisa dengan simbol-simbol keimanan, sikap religius. Dan, boleh pula dengan titian latar keturunan, trah kebangsawanan.
Lambang-lambang pengetahuan, kebertumpukan harta, simbol-simbol religiositas, dan trah kebangsawanan, kesemuanya merupakan jalan-jalan menuju pada kuasa, kekuasaan dalam genggaman.
Dari genggaman kekuasaanlah lahir kewenangan. Setiap diri berlomba untuk berkuasa, sebab padanya ada kewenangan. Dengan memiliki kewenangan maka menjadilah diri berwenang. Berwenang berarti jari telunjuk amat sangat menentukan nasib yang ditunjuk.
Saat lewenangan yang ada pada diri tak terbatas, wujud kehidupan hanya dinasibkan oleh liukan telunjuk, dan disahkan oleh goyangan lidah, lewat mantra-mantra kedigdayaan. Maka keberadaan berikutnya hanyalah kesewenangan.
Ketika kesewenangan ada pada diri, berarti hasrat kuasa dan kekuasaan tak lagi berbatas. Maka keinginanpun melampaui kebutuhan. Lalu kesewenangan merajalela; membakar, membunuh, menelan, melumat, membasmi dan membongkar, merampok, merompak, mengkorup apa saja yang tampak, bila tak sejurus dengan selera.
Rumitlah tata kehidupan di jagat, jikalau mengolahnya berdasar keinginan yang tak terbatas. Selayaknya, bertumpulah pada kebutuhan, sebab ia akan membatasi yang tak terbatas.
Kewenangan laiknya berbatas, dan memang harus terbatas serta dibatasi, agar tidak mewujud menjadi kesewenangan. Kewenangan lebih dekat pada pemenuhan kebutuhan, sedangkan keinginan bila ambisius, akan menyaru pada kesewenangan.
Selasa, 02 April 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar