Putih Abu-Abu demikian judul buku
ini kami dedahkan. Mengapa? Paling tidak ada lima yang mendasarinya. Pertama,
para penulisnya adalah anak-anak sekolahan -- Sekolah Menengah Atas (SMA) yang
konotasi seragamnya putih abu-abu -- tepatnya siswa-siswi SMAN 1 Bantaeng, saat
narasi puitis ini mereka buat.
Kedua, isi dari puisi-puisi
tersebut memang menggambarkan alam pikiran anak sekolahan di kisaran tentang
sekolahnya, rumahnya dan lingkungannya. Ketiga, asal muasal tulisan ini
berawal dari tugas menulis puisi dari guru bahasa Indonesia, yang “mengganjar”
mereka, sebab mereka melanggar aturan, agar menulis puisi.
Keempat, dunia mereka memang
rada putih, namun kadang abu-abu. Sesekali mereka mencerminkan “wajah putih”
peradaban, tapi kali lain menjadi “abu-abu”, karena lingkungan membuatnya demikian.
Kelima, mereka adalah anak sekolahan yang menjadikan Boetta Ilmoe-Rumah
Pengetahuan sebagai rumah singgahnya. Di Boetta Ilmoe mereka diberi ruang
alternatif untuk mengembangkan warna “abu-abunya”. Sebab di sekolah mereka
lebih diarahkan agar selalu menjadi “putih”.
Siswa-siswi yang menulis di buku ini adalah juga anak-anak di Komunitas
Boetta Ilmoe. Kehidupan sekolah yang begitu rigid, disiasati oleh kehidupan Boetta
Ilmoe-Rumah Pengetahuan yang lebih lentur-santai. Maka bait-bait naratif
berikut ini menjadi sejenis “lahan pertikaian”, antara Sekolah dan Boetta
Ilmoe. Kami ajak untuk menyimaknya.
RAGAM
Duhai anak-anak negeri yang berseragam
putih abu-abu, mengapa masih saja enggan meminum anggur kehidupan yang
kutawarkan, walau hanya secawan. Ataukah madu pencerahan, walau hanya
sesendok. Begitupun juga api kreatifitas, walau hanya sebagai pemantik.
Memang amat susah bagimu memilih, padahal ada
sekian banyak pilihan. Engkau lebih suka pada yang serba seragam, seperti
seragam yang engkau kenakan, putih abu-abu.
Padahal seragammu kini, hanyalah akumulasi dari
seragam-seragam sebelumnya. Ketika engkau di Sekolah Dasar, engkau diseragamkan
dengan putih merah. Ketika engkau di Sekolah Menengah, pun masih diseragamkan
dengan putih biru.
Makanan, minuman dan tempat tujuanmu pun sudah
seragam. Makanan pavoritmu, pizza. Minuman kesukaanmu, coca cola. Tempat
pelesiranmu, mall.
Wajarlah kalau pikiranmu pun serba seragam. Engkau
amat sulit menerima yang beragam. Kuingatkan kembali, bahwa hidup ini
pijakannya adalah beragam dalam keragaman. Yang demikian itu adalah takdir
kehidupan. Bukankah kita ditakdirkan untuk beragam, dan itu firman Yang Maha
Penakdir.
Terakhir, masih saja ingin kutawarkan padamu, dan
kunyatakan padamu, bahwa pelangi masih lebih indah dari warna seragammu. Meski
engkau tumpuk mulai dari Sekolah Dasar, Menengah hingga Atas. Sebab, hanya
selalu dua warna yang mengiringi pertumbuhanmu.
Orang-orang besar jiwanya, para utusan yang suci,
aktor-aktor perubahan, tidak tumbuh dalam didikan dua warna, tetapi dalam
banyak warna. Karena dengan mengenal banyak warna, mereka bisa membaca
sekaligus menaklukkan warna-warni kehidupan. Dan yang lebih penting untuk engkau
ketahui, mereka tidak pernah memakai seragam, apalagi berseragam dalam pikiran
dan tindakan.
Terakhir, tak elok rasanya jikalau kami tidak menghaturkan ucapan
terimakasih yang amat dalam pada: Abdul Wahid (guru bahasa Indonesia) di SMAN 1
Bantaeng) atas “ganjaran” pada anak-anak, yang kemudia telah berbuah pada karya
literasi, Kamaruddin (guru Pendidikan Agama Islam di SMAN 1 Bantaeng) yang
setia mengawal anak-anak Komunitas Boetta Ilmoe hingga masa akhir
persekolahannya, Saenal Asri dan Hijrah (uminya Chaca) yang menjadi orang tua
mereka di Boetta Ilmoe, Bunda Srie dan Bu Atte serta Yudhi Asman yang senantiasa menjadi inspirator, motivator
sekaligus mentor mereka.
Last but no least di tangan Badrul Sultan yang merampungkan naskah, Ince
A.Banthayank atas kontribusi desain sampulnya, Alam Yin yang tetap bersedia
melayout buku ini dan Dion Anak-Zaman dan Muhary Wahyu Nurba yang memberikan
endorsmennya serta seluruh pihak yang telah berkontribusi atas hadirnya buku
ini.
0 komentar:
Posting Komentar