Selasa, 22 April 2014
KERSEN
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
02.00
kutanam pohon kersen di belakang rumah
kuambil bibitnya dari selokan depan rumah
tumbuh liar di sela-sela bata selokan
dua tahun sudah tumbuh
rimbun daunnya menyegarkan udara
buahnya melimpah ruah
burung pipit dan jalak berpesta
anak-anak tetangga ikut beria
sesekali aku ikut manjat
kuingin kala berpulang kelak
kumau tidur abadi di rindangnya
biar akar-akarnya menggerayangiku
kuminta padamu
jadikanlah pohon kersen ini sebagai nisanku
pahatlah namaku di batangnya
kalau terwujud pintaku
berati telah kutanam nisanku sendiri
nisan hidup buat kehidupan
Minggu, 20 April 2014
CINTA
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
06.09
Seorang kawanku lagi rusuh hatinya. Bertikai dengan pasangannya. Pasalnya ia jatuh cintai pada wanita lain, cemburulah sang pasangan, mengira cinta bakal terbagi. Kisruh ini sampai di pendengaran Sang Guru, ia pun nimbrung dikebancuhan pertikaian: " Han..., sampaikan pada pasangan kawanmu itu, bahwa cinta bukanlah sesuatu yang terbagi secara kuantitatif, karena memang cinta adalah sesuatu yang bersifat kualitatif. Cinta sama dengan ilmu yang kita miliki, ia tidak hilang atau berkurang ketika diberikan kepada orang lain. Atau seperti matahari yang bersinar, menyinari seluruh semesta tanpa ia sendiri kehilangan panasnya."
TRANSMASA
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
04.58
Kegembiraan hidup dalam kehidupan memang sangatlah
mahal. Bermilyar uang yang harus dibelanjakan hanya untuk semalam, di
pergantian setiap tahun.
Mampukah diri tidak terjebak dalam larutan gembira, di
lautan biaya yang tak terkendali?
Kegembiraan yang diperoleh berkat sentuhan luar
diri, adalah sejenis kegembiraan yang dipantik. Manakala pemantiknya raib, maka
tiada pula kegembiraan menyapa.
Mulailah mencicil jalan kegembiraan lewat jalan
lain, sebuah jalan dalam diri yang asali, karunia primordial dari Ilahi.
Butuh memang kecakapan, ketekunan, ketulus-ikhlasan
untuk meraihnya. Berat karena pikiran harus berdarah, hati bercucuran keringat.
Kegembiraan asali, dari dalam diri, tidaklah butuh
biaya bermilyar. Cukup berdiam diri dan tersenyum memandangi orang-orang yang
mencari kegembiraan di luar diri, di malam pergantian tahun, yang pada masa
berikutnya masih datang menyua.
TOMAT
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
03.47
Tomat busuk itu telah dicampakkan oleh penjual sayur. Sebab tidak laku terjual di pasar. Tomat busuk itu telah dibuang oleh ibu muda paruh baya. Karena, terlalu matang lalu membusuk dan tak layak jadi makanan.
Tanah gembur nan subur menerima dengan tulus, ikhlas apa adanya, dan memberi ruang bagi tomat busuk untuk menentukan nasibnya.
Berkah tanah, tomat busukk itu pun berubah. Tumbuh menjadi tanaman, lalu menghasilkan buah tomat. Yang kemudian dibutuhkan oleh penjual sayur untuk mendapatkan reskinya.
Ibu muda paru baya pun membutuhkan buah tomat itu, untuk memperenak masakannya, sebagai campuran sambel dan sayur.
Duhai engkau yang gundah gulana, jangan berkecil hati, hanya karena lingkungan sekitar menganggapmu sebagai "tomat busuk" yang harus dicampakkan karena tak laku dijual dan dibuang karena engkau terlalu matang.
Masih ada tanah bertuah yang akan membaktikan diri, sekaligus membuktikan bahwa engkau layak mempersembahkan buah hayat untuk kehidupan yang layak.
Jumat, 18 April 2014
DAENG LITERE (1) : PADA AWALNYA
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
01.20
Dia terlahir dengan nama Damai Tampan, kurang lebih 45 tahun yang lalu, di
sebuah kampung pinggir laut, tepatnya di Tompong, Kelurahan Letta, Butta Toa -Bantaeng.
Tompong sendiri merupakan daerah yang sudah cukup tua bagi peradaban Bantaeng.
Di tempat inilah terdapat mesjid paling tua, Mesjid Towayya yang dibangun pada tahun 1887 atas prakarsa
Raja Bantaeng, Karaeng Panawang, di atas tanah wakab H. La Bandu, seorang
pedagang sukses asal Wajo. Hingga generasi ketiga dari keluarga ini, tetap
menjadi penanggungjawab. Saat ini, cucu pendiri mesjid ini, DR. Anis Anwar Makkatutu
menjadi ketua yayasan.
Di kampung Tompong ini pula terdapat Balla Bassia, sebuah rumah peninggalan
pendiri mesjid. Tidak jauh dari Masjid Toayya Tompong dan Balla Bassia,
terdapat pula dua buah bangunan tua, Balla Lompoa di Lantebung sebagai rumah
tinggal dan Balla Lompoa di Letta selaku Istana Raja Bantaeng.
Masa kecil Damai Tampan ditapaki di kampung ini. Suasana pantai yang indah,
baik di pagi maupun sore menjadi pembentuk jiwanya. Jiwanya menjadi luas,
seluas samudra. Bibir pantai kampung Tompong, senantiasa mengecup gelombang
ombak dari laut Jawa. Ombak laut jawa akan segera teduh, damai tak beriak lagi
setelah mendapat kecupan lembut dari bibir pantai Tompong. Sebuah penyatuan
abadi, yang hingga kini berlangsung.
Meski pantai ini sudah tak berpasir lagi, sebab sudah dibangun tanggul
penahan ombak. Sekali waktu, Damai Tampan berbisik padaku; “masihkah pantai ini
layak disebut pantai ketika tak berpasir lagi? Pasir selaku bibir pantai,
begitu lembut mengecup gejolak ombak, telah berubah menjadi tanggul yang keras
kokoh. Mampukah tanggul itu mengecup, selembut pasir mengecup gelora ombak laut
Jawa?”
Dari sekian banyak anak yang seusia dengan Damai Tampan, akulah yang paling
dekat dengannya. Di samping kawan main, aku masih kerabatnya, sepupu duakali
dari garis ibu. Bahkan saking dekatnya, aku pun sebenarnya saudara sesusuan
dengan Damai Tampan. Pasalnya, ketika kami masih menyusu, ibunya pergi a’buritta
(mengundang kerabat) karena tantenya akan kawin. Saat ditinggal itulah, Damai Tampan
menangis ingin menete, maka ibuku pun menyusuinya, hingga jadilah kami saudara
sesusuan. Cerita ini kuperoleh dari ibuku, saat usiaku menginjak belasan tahun.
Kala masih kanak-kanak, kami pun sering main ke sekitar Balla Lompoa.
Banyak misteri yang belum kupahami hingga kini. Maklumlah, kami bukanlah
keturunan keluarga Raja Bantaeng. Kami bukan bangsawan, hanyalah masyarakat
biasa yang tak punya akses ke tempat tersebut. Kami hanya sering memandangi
Balla Lompoa, atau sekadar lalu lalang di depannya.
Namun usiaku yang sudah kepala empat ini, disusul dengan
perubahan-perubahan tata cara bermasyarakat memungkinkan misteri-misteri itu
terkuak. Apatah lagi Damai Tampan, sangat mudah aksesnya saat ini untuk menguak
kisah-kisah misteri Balla Lompoa. Dan Damai Tampan telah berjanji untuk itu, “
suatu waktu engkau akan baca tulisanku tentang Balla Lompoa dan segala
misterinya. Demikian pula segala hal yang bisa kutuliskan tentang Butta Toa -
Bantaeng”
Kini, Damai Tampan memang adalah seorang pegiat literasi, seorang aktifis
yang mendedikasikan dirinya untuk mencerahkan masyarakat, lewat aktifitas
peningkatan minat baca-tulis. Terlibat serius dalam gerakan literasi, nyaris
hidupnya dihabiskan untuk gerakan literasi. Bahkan, aku dan kawan-kawanku
menjulukinya Pendekar Literasi. Adapula kawan yang lebih dahsyat lagi
menjulukinya sebagai Raja Literasi di Bantaeng. Apapun julukannya, sebagai
Pendekar Literasi atau Raja Literasi, yang jelas istilah literasi begitu dekat
dengan Damai Tampan.
Dari sinilah sesungguhnya, cerita Daeng Litere ini pun bermula. Damai
Tampan berubah namanya menjadi Daeng Litere. Aku sendiri sebagai karib, dan
juga kerabatnya akan banyak terlibat bersamanya. Senantiasa mendampinginya,
mengiringi pengembaraannya selaku Pendekar Literasi.
Aku lupa kapan persis kejadiannya. Yang pasti, sekali waktu aku menemaninya
bertandang ke sebuah kampung untuk meriset tentang budaya kampung itu.
Ketemulah kami dengan tetua kampung itu. Aku sebagai guidenya, mengenalkan
Damai Tampan pada tetua kampung. “Tabe Daeng, ini kawanku namanya Damai Tampan,
dia seorang pegiat literasi”, kataku mengenalkan pada tetua kampung. Sebab
tetua kampung ini sudah agak lanjut usia, perkataanku pun didengar secara
samar. “ Ooo...I Litere “, ucap tetua kampung. Aku hendak menjelaskan lebih
jauh kesalah dengaran itu, tapi kupendam saja. Toh, bukanlah yang penting saat
itu.
Sepulang dari tandangan itu, saya berseloroh di atas motor, sambil bercanda
pada Damai Tampan, “ I Litere ..., nama yang indah dan inspiratif ...
he...he..he... daeng toa... daeng toa.”
Damai Tampan agak kesal menimpali, “memangnya saya ini liter, bentukku
seperti liter?” Lalu kusambung, “sudahlah, malah menurutku ini nama yang tepat
untukmu selaku Pendekar Literasi, apatah lagi sudah jadi Raja Literasi. Antara
literasi dengan litere beda-beda tipislah. Dan bagiku julukanmu sebagai litere
cukup tepat. Bukankah engkau memang cukup sering menimbang-nimbang segala
persoalan, bahkan meliter-liter setiap pendapat yang ingin kau tuliskan, wahai
Daeng Litere?
Sejak saat itulah aku selalu memanggil Damai Tampan sebagai Daeng Litere.
Nama julukan ini lebih terasa lokal, setidaknya menyesuaikan dengan selera
lokal dalam berbahasa, bahasa Makassar. Literasi sendiri akar katanya adalah
literer, yang berarti berhubugan dengan tradisi tulis. “ Jika kata literer ini
diadaptasi ke dalam istilah bahasa Makassar, jadilah ia litere, meski dengan
pengertian yang berbeda. Bisalah
dicocok-cocokkan, semacam cocologi ( ilmu mencocok-cocokkan) he..he...”
Candaku pada Damai Tampan, dan ia pun dengan hati yang berbunga-bunga menyukainya.
Walhasil, julukan baru ini, Daeng Litere
sebagai nama panggilan dari Damai Tampan, sangat populer dan merakyat.
Kemanapun Damai Tampan merayap, orang-orang memanggilnya dengan Daeng Litere.
Amat sangat populer panggilan ini di Butta Toa – Bantaeng. Sehingga, pernahlah
terlontar dalam benakku, agar Daeng Litere mencalonkan diri sebagai Caleg DPRD.
Dan dari rumor yang kudengar, amat banyak partai yang melamarnya. Namun Daeng
Litere bertutur: “ Cukuplah bagiku untuk menjadi pegiat literasi saja, inilah
caraku berkontribusi untuk tanah airku. Dan biarlah penaku yang bicara,
menuliskan kata, sebagai senjata untuk menorehkan segala yang bisa kutulis,
tentang tanah yang begitu kucintai ini.”
Memang, kecintaan Daeng Litere pada tanah kelahirannya, sungguh teramat
dalam. Sekali waktu kutanyakan padanya, “ Daeng Litere, mengapa cintamu pada
tanah Bantaeng ini begitu dalam? “
Ia pun bersabda bak seorang bijak bestari, “ tanah ini, Bantaeng wajib
untuk kucintai. Laut, gunung, lembah, hamparan sawah, perkebunan semuanya ada.
Semua jenis tanaman ada di sini. Banyak ragam jenis hasil laut mudah kutemui.
Udara segar kuhirup dengan suntuk. Raga negeriku ini begitu molek untuk
disetubuhi.”
“ Orang-orangnya begitu ramah, multi etnik. Sejarahnya sudah amat tua,
masih lebih tua dari kota Makassar, maka julukan Butta Toa menjadi pantas
untuknya. Bantaeng adalah sepetak surga di bagian selatan pulau Sulawesi.
Bagiku, Butta Toa-Bantaeng adalah miniatur Nusantara, Indonesia. Bhineka
Tunggal Ika telah tersemaikan di tanah ini. Dengan begitu, wajarlah manakala
pelosok Nusantara yang lain bercermin ke Bantaeng.”
Sebegitu fanatikkah Daeng Litere pada tanah kelahirannya? Aku menohoknya
agar jangan terlalu membanggakannya. Namun Daeng Litere malah makin bergairah
meluapkan kecintaannya di hadapanku. Di raihnya handpone miliknya, lalu aku
disuruh misscall. Aku pun melakukannya, lalu bunyilah handpone itu, memperdengarkan
sebuah tembang lawas dari Koes Plus, Kolam Susu judulnya. Lalu Daeng Litere
menatapku sambil berkata :“ Kolam Susu yang dimaksud dalam lagu itu adalah
Bantaeng ini, tanah yang kita pijaki bersama.”
Tembang lawas Koes Plus ini kunikmati bersama Daeng
Litere, sambil meresapi bait-baitnya.
Kolam Susu
Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
(Koes Plus)
Dari nada panggil handpone Daeng Litere, yang
memperdengarkan lagunya Koes Plus, barulah kutahu pula, bahwa ia seorang
penggemar Koes Plus. Sebuah kelompok band legendaris tanah air. Dalam banyak
kesempatan kemudian, kebersamaanku selalu diiringi dengan tembang-tembang lawas Koes Plus yang
ratusan jumlahnya. Bagiku, sosok Daeng Litere lumayan komplit. Simpulan sementaraku, “dia seorang pegiat
literasi sekaligus fans Koes Plus. Dahsyat orangnya, aku mengaguminya” ucapku
membatin.
Rabu, 16 April 2014
DEMOKRASI
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
03.17
Rasa-rasanya aku mau menimbang ulang demokrasi sebagai tatanan hidup bermasyarakat. Pasalnya, soal orang seorang saja susah diselesaikannya. Banyak rumahtangga yang nyaris bubar, sanak keluarga bertikai, hidup berdampingan makin rusuh, akibat pesta demokrasi. Sang Guru lalu bergurau: " Han..., demokrasi memang hanya cocok bagi masyarakat yang mandiri, merdeka dalam pilihan, one man one vote. Realitas masyarakatmu masih terlampau jauh tertinggal. Dan hebatnya lagi para elitnya membajak demokrasi untuk membungkam mereka dengan kuasa dinasti, uang dan agama."
Senin, 14 April 2014
POLUSI
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
04.07
Jujur aku nyatakan, bahwa pekan-pekan terakhir ini, jagat bumi Nusantara tercemar oleh polusi cacimaki, tipudaya, keculasan atau yang serumpun dengan itu, sebagai akibat dari sebuah pesta untuk mencari solusi bagi negeri yang terpuruk ini. Di tengah kesumpekan jiwa, rasanya ingin menjadi polisi dari polusi jiwa itu, namun Sang Guru keburu menggurui: " Han..., seperti halnya polusi yang sering terjadi pada raga bumi ini, solusinya dibutuhkan paru-paru bumi, berupa lebatan hutan agar udara segar mengembang menyehatkan penghuninya. Maka di pelataran jiwa pun dibutuhkan perbuatan-perbuatan yang dapat menyegarkan perhelatan jiwa. Berbuat baiklah tiada henti, bahagiakan sesamamu, bikinlah oase-oase kerelawanan, itulah jalan-jalan utama keluar dari polusi jiwa."
Minggu, 06 April 2014
BIJAK
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
03.06
Akhir-akhir ini, begitu banyak ambisi yang dimuntahkan oleh orang-orang yang ingin menjadi luar biasa, ingin menjadi pahlawan bagi negeri yang mabuk masalah ini. Dalam keperihatinan, daku membatinkan prilaku ini, maka Sang Guru pun bertutur: " Han..., menjadi manusia luar biasa, semisal pahlawan itu mudah. Namun menjadi manusia biasa, seperti para bijak bestari itulah yang lebih sulit. Sebab, puncak kepahlawanan seseorang ketika ia mewujud menjadi sosok bijak bestari."
Langganan:
Postingan (Atom)