Jumat, 18 April 2014

DAENG LITERE (1) : PADA AWALNYA





Dia terlahir dengan nama Damai Tampan, kurang lebih 45 tahun yang lalu, di sebuah kampung pinggir laut, tepatnya di Tompong, Kelurahan Letta, Butta Toa -Bantaeng. Tompong sendiri merupakan daerah yang sudah cukup tua bagi peradaban Bantaeng. Di tempat inilah terdapat mesjid paling tua, Mesjid Towayya  yang dibangun pada tahun 1887 atas prakarsa Raja Bantaeng, Karaeng Panawang, di atas tanah wakab H. La Bandu, seorang pedagang sukses asal Wajo. Hingga generasi ketiga dari keluarga ini, tetap menjadi penanggungjawab. Saat ini, cucu pendiri mesjid ini, DR. Anis Anwar Makkatutu menjadi ketua yayasan.

Di kampung Tompong ini pula terdapat Balla Bassia, sebuah rumah peninggalan pendiri mesjid. Tidak jauh dari Masjid Toayya Tompong dan Balla Bassia, terdapat pula dua buah bangunan tua, Balla Lompoa di Lantebung sebagai rumah tinggal dan Balla Lompoa di Letta selaku Istana Raja Bantaeng.

Masa kecil Damai Tampan ditapaki di kampung ini. Suasana pantai yang indah, baik di pagi maupun sore menjadi pembentuk jiwanya. Jiwanya menjadi luas, seluas samudra. Bibir pantai kampung Tompong, senantiasa mengecup gelombang ombak dari laut Jawa. Ombak laut jawa akan segera teduh, damai tak beriak lagi setelah mendapat kecupan lembut dari bibir pantai Tompong. Sebuah penyatuan abadi, yang hingga kini berlangsung.

Meski pantai ini sudah tak berpasir lagi, sebab sudah dibangun tanggul penahan ombak. Sekali waktu, Damai Tampan berbisik padaku; “masihkah pantai ini layak disebut pantai ketika tak berpasir lagi? Pasir selaku bibir pantai, begitu lembut mengecup gejolak ombak, telah berubah menjadi tanggul yang keras kokoh. Mampukah tanggul itu mengecup, selembut pasir mengecup gelora ombak laut Jawa?”

Dari sekian banyak anak yang seusia dengan Damai Tampan, akulah yang paling dekat dengannya. Di samping kawan main, aku masih kerabatnya, sepupu duakali dari garis ibu. Bahkan saking dekatnya, aku pun sebenarnya saudara sesusuan dengan Damai Tampan. Pasalnya, ketika kami masih menyusu, ibunya pergi a’buritta (mengundang kerabat) karena tantenya akan kawin. Saat ditinggal itulah, Damai Tampan menangis ingin menete, maka ibuku pun menyusuinya, hingga jadilah kami saudara sesusuan. Cerita ini kuperoleh dari ibuku, saat usiaku menginjak belasan tahun.

Kala masih kanak-kanak, kami pun sering main ke sekitar Balla Lompoa. Banyak misteri yang belum kupahami hingga kini. Maklumlah, kami bukanlah keturunan keluarga Raja Bantaeng. Kami bukan bangsawan, hanyalah masyarakat biasa yang tak punya akses ke tempat tersebut. Kami hanya sering memandangi Balla Lompoa, atau sekadar lalu lalang di depannya.

Namun usiaku yang sudah kepala empat ini, disusul dengan perubahan-perubahan tata cara bermasyarakat memungkinkan misteri-misteri itu terkuak. Apatah lagi Damai Tampan, sangat mudah aksesnya saat ini untuk menguak kisah-kisah misteri Balla Lompoa. Dan Damai Tampan telah berjanji untuk itu, “ suatu waktu engkau akan baca tulisanku tentang Balla Lompoa dan segala misterinya. Demikian pula segala hal yang bisa kutuliskan tentang Butta Toa - Bantaeng”

Kini, Damai Tampan memang adalah seorang pegiat literasi, seorang aktifis yang mendedikasikan dirinya untuk mencerahkan masyarakat, lewat aktifitas peningkatan minat baca-tulis. Terlibat serius dalam gerakan literasi, nyaris hidupnya dihabiskan untuk gerakan literasi. Bahkan, aku dan kawan-kawanku menjulukinya Pendekar Literasi. Adapula kawan yang lebih dahsyat lagi menjulukinya sebagai Raja Literasi di Bantaeng. Apapun julukannya, sebagai Pendekar Literasi atau Raja Literasi, yang jelas istilah literasi begitu dekat dengan Damai Tampan.

Dari sinilah sesungguhnya, cerita Daeng Litere ini pun bermula. Damai Tampan berubah namanya menjadi Daeng Litere. Aku sendiri sebagai karib, dan juga kerabatnya akan banyak terlibat bersamanya. Senantiasa mendampinginya, mengiringi pengembaraannya selaku Pendekar Literasi.

Aku lupa kapan persis kejadiannya. Yang pasti, sekali waktu aku menemaninya bertandang ke sebuah kampung untuk meriset tentang budaya kampung itu. Ketemulah kami dengan tetua kampung itu. Aku sebagai guidenya, mengenalkan Damai Tampan pada tetua kampung. “Tabe Daeng, ini kawanku namanya Damai Tampan, dia seorang pegiat literasi”, kataku mengenalkan pada tetua kampung. Sebab tetua kampung ini sudah agak lanjut usia, perkataanku pun didengar secara samar. “ Ooo...I Litere “, ucap tetua kampung. Aku hendak menjelaskan lebih jauh kesalah dengaran itu, tapi kupendam saja. Toh, bukanlah yang penting saat itu.

Sepulang dari tandangan itu, saya berseloroh di atas motor, sambil bercanda pada Damai Tampan, “ I Litere ..., nama yang indah dan inspiratif ... he...he..he... daeng toa... daeng toa.”  Damai Tampan agak kesal menimpali, “memangnya saya ini liter, bentukku seperti liter?” Lalu kusambung, “sudahlah, malah menurutku ini nama yang tepat untukmu selaku Pendekar Literasi, apatah lagi sudah jadi Raja Literasi. Antara literasi dengan litere beda-beda tipislah. Dan bagiku julukanmu sebagai litere cukup tepat. Bukankah engkau memang cukup sering menimbang-nimbang segala persoalan, bahkan meliter-liter setiap pendapat yang ingin kau tuliskan, wahai Daeng Litere?

Sejak saat itulah aku selalu memanggil Damai Tampan sebagai Daeng Litere. Nama julukan ini lebih terasa lokal, setidaknya menyesuaikan dengan selera lokal dalam berbahasa, bahasa Makassar. Literasi sendiri akar katanya adalah literer, yang berarti berhubugan dengan tradisi tulis. “ Jika kata literer ini diadaptasi ke dalam istilah bahasa Makassar, jadilah ia litere, meski dengan pengertian yang berbeda.  Bisalah dicocok-cocokkan, semacam cocologi ( ilmu mencocok-cocokkan) he..he...” Candaku pada Damai Tampan, dan ia pun dengan hati yang berbunga-bunga menyukainya.

 Walhasil, julukan baru ini, Daeng Litere sebagai nama panggilan dari Damai Tampan, sangat populer dan merakyat. Kemanapun Damai Tampan merayap, orang-orang memanggilnya dengan Daeng Litere. Amat sangat populer panggilan ini di Butta Toa – Bantaeng. Sehingga, pernahlah terlontar dalam benakku, agar Daeng Litere mencalonkan diri sebagai Caleg DPRD. Dan dari rumor yang kudengar, amat banyak partai yang melamarnya. Namun Daeng Litere bertutur: “ Cukuplah bagiku untuk menjadi pegiat literasi saja, inilah caraku berkontribusi untuk tanah airku. Dan biarlah penaku yang bicara, menuliskan kata, sebagai senjata untuk menorehkan segala yang bisa kutulis, tentang tanah yang begitu kucintai ini.”

Memang, kecintaan Daeng Litere pada tanah kelahirannya, sungguh teramat dalam. Sekali waktu kutanyakan padanya, “ Daeng Litere, mengapa cintamu pada tanah Bantaeng ini begitu dalam? “

Ia pun bersabda bak seorang bijak bestari, “ tanah ini, Bantaeng wajib untuk kucintai. Laut, gunung, lembah, hamparan sawah, perkebunan semuanya ada. Semua jenis tanaman ada di sini. Banyak ragam jenis hasil laut mudah kutemui. Udara segar kuhirup dengan suntuk. Raga negeriku ini begitu molek untuk disetubuhi.”

“ Orang-orangnya begitu ramah, multi etnik. Sejarahnya sudah amat tua, masih lebih tua dari kota Makassar, maka julukan Butta Toa menjadi pantas untuknya. Bantaeng adalah sepetak surga di bagian selatan pulau Sulawesi. Bagiku, Butta Toa-Bantaeng adalah miniatur Nusantara, Indonesia. Bhineka Tunggal Ika telah tersemaikan di tanah ini. Dengan begitu, wajarlah manakala pelosok Nusantara yang lain bercermin ke Bantaeng.”

Sebegitu fanatikkah Daeng Litere pada tanah kelahirannya? Aku menohoknya agar jangan terlalu membanggakannya. Namun Daeng Litere malah makin bergairah meluapkan kecintaannya di hadapanku. Di raihnya handpone miliknya, lalu aku disuruh misscall. Aku pun melakukannya, lalu bunyilah handpone itu, memperdengarkan sebuah tembang lawas dari Koes Plus, Kolam Susu judulnya. Lalu Daeng Litere menatapku sambil berkata :“ Kolam Susu yang dimaksud dalam lagu itu adalah Bantaeng ini, tanah yang kita pijaki bersama.”

Tembang lawas Koes Plus ini kunikmati bersama Daeng Litere, sambil meresapi bait-baitnya.

Kolam Susu

Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
(Koes Plus)

Dari nada panggil handpone Daeng Litere, yang memperdengarkan lagunya Koes Plus, barulah kutahu pula, bahwa ia seorang penggemar Koes Plus. Sebuah kelompok band legendaris tanah air. Dalam banyak kesempatan kemudian, kebersamaanku selalu diiringi  dengan tembang-tembang lawas Koes Plus yang ratusan jumlahnya. Bagiku, sosok Daeng Litere lumayan komplit.  Simpulan sementaraku, “dia seorang pegiat literasi sekaligus fans Koes Plus. Dahsyat orangnya, aku mengaguminya” ucapku membatin.

0 komentar:

Posting Komentar