Rabu, 13 Juli 2016

Rayakanlah, Maafkanlah dan Bahagialah

Hari-hari usai puasa Ramadhan, beridul fitri pun menjadi puncak kemenangan bagi yang mencapainya. Menjadi juara karena telah berhasil menaklukkan diri sendiri. Bukankah, sari pati puasa adalah berlaga untuk mewujudkan sari diri? Seluruh perangkat pertempuran diarahkan pada diri, demi peringkat yang dijanjikan; taqwa. Tiada yang bisa membantah diktum suci dari Ilahi, bahwa orang yang beriman dan terpanggil menunaikan puasa, hasilnya adalah sosok taqwa. Hanya yang beriman nan bertaqwa, yang layak mengagungkan kejayaan diri. Ibarat pertandingan sepak bola, semisal Piala Eropa yang segera berakhir, cuma kesebelasan yang ikut bertanding, dan memenangkan babak demi babak yang bakal juara.
 
Menarik mengemukakan petuah Imam Ali bin Abi Thalib, tatkala ditanya oleh para sahabatnya, ketika pada hari raya, memakai pakaian dan makanan yang sederhana. Kala itu, sahabat-sahabatnya melihat keadaan beliau, mereka bersedih dan berkata; “Wahai Amirul Mukminin bukankah hari ini hari raya? Dan, Imam Ali bin Abi Thalib menjawab; “Ya benar, sekarang adalah hari raya dan setiap hari dimana ketaatanku bertambah, bagiku merupakan hari raya.”
 
Seraya mengucapkan lagi; “Hari raya bukanlah bagi orang yang memakai pakain baru, tetapi hari raya bagi yang bertambah ketaatannya. Hari raya bukanlah bagi orang yang memperindah dirinya dengan pakain dan kendaraan, melainkan orang yang dosa-dosanya mendapatkan ampunan. Bukanlah hari raya bagi orang menyantap makanan yang lezat, dan bersenang-senang dengan syahwat. Justeru, makna hari raya yang sebenarnya adalah bagi orang yang diterima taubatnya dan kejelekannya diganti dengan kebaikan.” Sayangnya, perayaan yang banyak dilakukan lebih banyak berorientasi pada luar diri, bersilaturrahim dan halal bilhalal.
 
Secara kultural, masyarakat kita cenderung mematenkannya dalam bentuk tradisi yang beragam adanya. Dan, yang nampak sekali, semisal pemenuhan hasrat konsumsi yang cenderung berlebihan, baik sandang maupun pangan. Seolah hari lebaran adalah ajang balas dendam dari kungkungan bulan Ramadhan. Bersilaturrahim ke seantero jagat, namun sekaligus menjadi ajang fashion, mempertontonkan kendaraan dan gawai terbaru. Jabat tangan dan ucapan selamat hari raya dan maaf, sebatas basa-basi pergaulan.
 
Padahal, dalam Qur’an suci, pada surah Ali Imran (3) ayat 134, telah mengidentifikasi tanda-tanda orang beriman, serupa sosok yang menemukan sari dirinya, yaitu orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.
 
Berinfak dan menahan amarah, telah mewujud di bulan suci. Tidak sedikit model berbagi dinyatakan, baik dalam bentuknya, berupa zakat, sedekah dan lainnya. Begitu juga dengan menahan amarah, berhasil ditaklukkan sesuntuk-suntuknya, sehingga puasa tidak lagi sekadar menahan haus dan lapar. Namun, yang tersisa adalah memaafkan. Adakah kesudian yang menyembul untuk memaafkan sesama, sebagai buah langka, yang bisa ditebarkan bibit-bibit kepengasihan dan kepenyayangan?
 
Firman suci membimbing seseorang untuk memaafkan, agar sari diri selaku sosok beriman menguar. Pada surah At-Taghabun (64) ayat 14 –meski ayat ini ditujukan untuk keluarga (isteri dan anak)– di sebutkan : …dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dalam ayat ini, ada tiga kata yang menarik dicermati, tatkala pembuktian keimanan itu dikedepankan, yakni ; memaafkan, tidak marah dan mengampuni.
 
Setidaknya, menurut Jalaluddin Rakhmat, dalam bukunya yang berjudul Jalan Rahmat, ketika mengomentari ayat tersebut –yang ketiga kata itu berkonotasi memaafkan– maka sikap yang akan dilahirkan oleh seorang insan, pertama, kita hapuskan dari hati kita segala luka, kepedihan, dan sakit hati yang diakibatkan oleh perbuatan orang lain pada kita. Kedua, memaafkan berarti melepaskan hukuman dari orang yang seharusnya menerima hukuman itu, meski kita punya kuasa untuk membalasnya. Ketiga, memaafkan berarti menutup aib, kesalahan, atau dosa orang yang kita maafkan. 
 
Memaafkan, forgiving merupakan tangga menuju kebahagiaan.Maksudnya, jika ingin berbahagia, maka salah pintunya adalah memaafkan. Meski tidak sedikit yang beranggapan bahwa memaafkan itu berarti kekalahan, bahkan menunjukkan kelemahan. Paling tidak, ada juga yang berpendapat bahwa rasa ingin membalas dendam, atau tidak ingin memaafkan sejenis karakter naluriah, yang melekat pada manusia selaku makhluk yang punya sifat pendendam. Yang pasti, tindakan memaafkan serupa pekerjaan yang amat berat untuk dilakukan, karena merupakan perwujudan tindakan keimanan.Jadi, memaafkan sangat dekat dengan keimanan. 
 
Arvan Pradiansyah menyebut tindakan memaafkan ini sebagai salah satu dari tujuh rahasia hidup yang bahagia. Sebagaimana pembabarannya dalam buku yang ditulisnya, dengan judul The 7 Laws of Happiness, mendapukkan forgiving sebagai law yang keenam. Menurutnya, begitu banyak mitos-mitos yang menghalangi untuk memaafkan. Namun, suatu tindakan memberi maaf bermakna melepaskan masa lalu, berusaha memahami orang lain, fokus pada kebaikan orang lain, menjadikan orang lain sebagai guru sejati dan memaafkan bukan berarti melupakan. Bila kelima makna tindakan memaafkan itu direalisir, maka kebahagiaan pun bakal menghidu diri.
 
Merayakan kemenangan dengan beridul fitri, sama pula dengan berlebaran, yang bermaksud meluaskan diri dari kesempitan pikiran dan kesumpekan hati. Pikiran yang sempit dan hati yang sumpek, penanda nyata ketidakbahagiaan. Memaafkan, memberi maaf pada orang lain, yang bertujuan memelihara diri, sesungguhnya merupakan tindakan menghadirkan sari diri. Sedangkan sari diri bagi seseorang, adalah wujud keimanan yang bermuara pada kebahagiaan. Maka, setiap orang patutlah merayakan kemenangannya, karena menaklukkan dirinya sendiri, lalu memaafkan orang lain, dan pastilah kebahagiaan menanti di gerbang kehidupan.
 
[ Edunews, 10 Juli 2016 ]

0 komentar:

Posting Komentar