Di pucuk nirmalanya bulan Ramadhan, pada pekan terakhir, bertanyalah seorang cilik pada bapaknya, tentang apa yang dibikin, sewaktu umur masih kanak-kanak, sepadan dengan usia sekolah dasar, tatkala bulan suci tiba? Sang bapak yang usia sekolah dasarnya, beredar antara tahun 70an dan 80an pun berusaha mengingat apa yang tersisa, sebagai serpihan kenangan indah, keceriaan yang tiada tanding. Masa termanis dalam hidup.
Berceritalah sang bapak, bahwa ketika kanak-kanak, bila Ramadhan hadir, liburlah sekolah sebulan penuh. Jadi, setiap anak punya waktu yang suntuk untuk menikmati gemerlapnya bulan kudus. Main petasan oke, tapi suaranya tidak keras amat. Ada kembang api, yang sebatas dipegang beberapa detik, lalu mati. Tak ketinggalan, meletuskan meriam bambu, membunyikan letusan-letusan yang terbuat dari busi motor, teralis becak dan sepeda atau motor, yang mesiunya dari korek api. Semua mainan dibuat sendiri. Ngaji di mesjid sambil mendengar kisah-kisah para nabi dan orang terdahulu.
Si cilik menyimak, rupanya mulai membandingkan dengan dirinya, yang di masa kiwari ini, lebih banyak bermain dengan mainan yang dibeli. Mulai dari petasan yang nyaris menyamai suara guntur, kembang api yang berusaha menyamai kerlap-kerlip bintang. Waima ada perbedaan dalam hal mainan, namun hakekatnya sama; bermain. Dunia cilik, memanglah dunia bermain. Segalanya dipandang sebagai mainan belaka. Tafsir seriusnya, dunia ini tempat bermain. Jagat hanyalah mainan belaka.
Lalu apa yang mesti dimaknai lebih khusyuk dari dunia kanak-kanak, sehingga ia memandang buana ini sebagai mainan belaka? Saya pun memahaminya dengan mengemukakan asumsi, karena terkait langsung dengan jiwa sang anak. Seorang anak yang belum akil baligh, niscayalah khalis jiwanya, mukhlis ruhaninya. Jiwa yang kudus, pastilah memandang jagat ini sebagai tempat bercanda, sarana bermain, sehingga segalanya menjadi bagian dari candaan dan mainan belaka. Makanya, karena jiwanya masih bersih, tidaklah berlaku hukum-hukum ilahi padanya. Sebab sang anak adalah manusia citra ilahi. Inilah sari diri, sosok yang azali bin purba dalam kehambaan.
Akan halnya ketika mulai memasuki masa akil baligh, dunia anak pun ditinggalkan. Mengadalah dunia remaja. Kesucian jiwa pun mulai buram. Yang benderang adalah gejolak meninggalkan dunia dalam -- kekudusan ruhani yang mikrokosmik-- bertualang memenuhi hasrat-hasrat dunia luar -- memoles kekotoran jasmani yang makrokosmik-- yang berwujud pada persaingan dalam segala bidang kehidupan. Pengejaran segala yang berbau duniawi menjadi tak terhindarkan. Dunia tidak lagi sebagai arena permainan, melainkan main-main dengan dunia. Karena main-main dengan dunia, maka dunia pun mempermainkannya. Menawannya, hingga terterungku begitu rupa dan sulit sekali membebaskan diri dari ikatan duniawi.
Terkisahlah seorang kerabat yang menghadiahi saudaranya yang lebih tua, kala usia sang kakak telah menghabiskan jatah melatanya 40 tahun, dengan sebuah cendramata yang bertuliskan: Life is Begin at Fourty , hidup dimulai pada usia empat puluh. Saya yang menyaksikan peristiwa itu, membatinkan kira-kira yang dimaksudkan dengan slogan kehidupan itu. Ronanya, itu adalah sejenis ajakan untuk menempuh jalan balik, setelah menghabiskan masa bertualang meninggalkan diri -- dunia dalam yang mikrokosmik -- jiwa yang kudus. Singkatnya, serupa ajakan untuk menjadi kanak-kanak lagi, mengarungi jiwa yang kudus, meski dengan balutan jasmani yang tidak cilik lagi. Kembali ke sari diri.
Bulan Ramadhan yang tinggal ratusan menit durasinya, mendorong si cilik agar sang bapak ikut lagi bermain di pucuk waktu yang tersisa. Suatu ajakan untuk menjadi kanak-kanak lagi. Sang bapak pun mengiyakan. Lalu terjadilah kolaborasi yang apik, antara si cilik dan sang bapak dalam mengkuduskan Ramadhan, sekaligus menyilakan pergi dan berharap setahun kemudian datang lagi. Mainan pun dibikin sedemikian rupa, guna mewujudkan permainan semangat kekanakan, yang menganggap semua yang di luar diri hanyalah mainan belaka.
Pada usia sang bapak yang sudah lebih empat puluh, menjadi kanak-kanak dalam pengertian yang lebih spiritual bukanlah perkara yang sulit. Sebab, memang sudah waktunya untuk merintis jalan pulang, setelah mengembara ke berbagai belahan jagat, mencari bekal kehidupan, agar tetap eksis melata di atasnya. Bila perjalanan meninggalkan sari dari porosnya dari kanak menuju akil baligh, maka jalan pulang, kembali ke sari diri, prosesnya dari akil baligh kembali ke kanak. Jadi, pada sari dirilah bertemu kualitas insan kamil -- antara si cilik dan sang bapak dalam kekanakan -- yang memandang jagat sebagai arena permainan atawa dunia sebagai mainan belaka. Raib dan adanya segala yang duniawi, hanyalah pergiliran semata.
Saatnyalah mengedepankan anjuran Muhammad Iqbal, seorang penyair - filosof anak benua India-Pakistan, pada kitab utamanya, Javid Namah, yang memandang dunia tidak lebih dari kedai, sejenis tempat singgah sejenak rehat. Atau mencerap kembali penggalan syair Maulana Rumi, sesosok sufi yang amat tersohor bagi para spiritualis, dalam karyanya, Mastnawi, yang mengandaikan suara merdu nan melengking seruling bambu yang menjerit, menyayat jiwa, karena rindu akan rumpunnya. Sebatang seruling yang ingin ke kembali ke jati dirinya, serumpun bambu.
Sudah waktunya, bekal hidup yang begitu banyak, sebagai hasil capaian prestasi dari akibat meninggalkan sari diri, semisal; gundukan harta, limpahan jabatan, diperas menjadi intisari hidup berupa amal. Mengkualitaskan yang kuantitas, menjiwakan yang ragawi, meruhanikan yang jasmani. Kembali ke diri yang azali, menyongsong perjanjian primordial dengan Ilahi, agar diperkenankan kembali menjadi makhluk ilahiat. Dan, Ramadhan yang tuntas ditunaikan, hanyalah sebentuk interupsi tahunan, yang bergulir untuk mengingatkan, agar tidak lupa pada diri terdalam, yang hakiki dalam kekanakan, sari diri.
[ Edunews, 03 Juli 2016]
0 komentar:
Posting Komentar