Jumat, 11 Juli 2014

DAENG LITERE (2) : BANJIR DI LEMBANG-LEMBANG DAN RESPON IBU LIES


Seperti biasanya, kalau aku lagi mukim di Makassar, intensitasku berselancar di dunia maya cukup tinggi. Termasuk kali ini, lagi asyik fesbukan,tiba-tiba saja ada postingan foto beserta keterangannya dari karibku, Dion Syaef  Saen, seorang pegiat seni di Komplen dan juga selaku Kepala Suku di Komunitas Boetta Ilmoe Bantaeng. Dion memposting gambar banjir yang melanda rumahnya di kampung Lembang-Lembang,Kelurahan Pallantikang Kecamatan Bantaeng.

Aku sendiri begitu akrab dengan banjir. Tempat mukimku di Makassar sudahjadi langganan banjir. Tata kotalah yang menjadi biang masalahnya. Setiaporang, seenaknya membangun dan menimbun tempat resapan air, jadilahbagian-bagian tertentu dari Makassar tergenang. Saking akrabnya dengan banjir,aku pun mengakrabinya, seperti juga Dion mulai akrab dengannya. Hingga sekaliwaktu, saat banjir bertamu lagi ke mukimku, kutulislah bait-bait yang kuanggapsebagai puisi. Aku ingin Dion meresapi puisiku ini, seperti air yang meresapmemasuki rumahnya, juga rumah jiwanya.

BAH

akhirnya jeboljuga tanggulku
istanaku diurapi dengan basahnya
pertahanan terbaikku dilompatinya
sejumput harap berdamai dengannya

air bah sudah mengepung mukimku
tak ada kepanikan meruak
menata perabot perlahan
itu karena hanya punya seadanya

indah nian ibrah dari serangan bah ini
mengisyaratkan agar punya perabot
seperlu yang dibutuhkan
biar bah datang tetap bisa berdamai


Sebenarnya masalah banjir di Bantaeng sudah teratasi. Jika yang dimaksuddengan banjir adalah yang menenggelamkan seluruh kota Bantaeng. Setidaknya, duakali banjir besar di Bantaeng. Tahun 1973 dan tahun 2006. Banjir tahun 1973,aku tidak mengalaminya. Soalnya, waktu itu berkunjung ke kabupaten tetanggabersama bapakku, guna menghadiri hajatan keluarga, acara appasunna (khitanan)sepupuku dari garis bapak.

Peristiwa banjir tahun 1973 samar bagiku. Kucoba mencari-cari liputannya dimedia cetak, namun nihil infonya. Maklumlah, media-media kala itu belumlahsecanggih sekarang. Apalagi media sosial, belumlah ada. Bahkan selembar fotopun tak kujumpai. Satu-satunya yang mungkin kulakukan dengan cara yang mudahdan praktis untuk mendapatkan info ini, tertuju pada Daeng Litere. Asumsiku,Daeng Litere pasti punya ingatan akan kejadadian itu.

Dari catatan-catan Daeng Litere, meskipun ringkas, namun setidaknyamengobati rasa penasaranku dan menyibak samarku. Daeng Litere menulis: “ Waktuitu usiaku barulah 7 tahun, kelas 1 di SD No. 2 Lembang Cina Bantaeng. Sepekansebelum banjir, matahari tak pernah kelihatan, hujan deras tak berkesudahan.Guntur dan kilat sepertinya bertanding unjuk kekuatan. Kilatan cahaya dan suarabertalu-talu menakutkanku. Tanggal 7 Juli 1973, aku tetap pergi ke sekolah.Namun sesampai di sekolah, seluruh siswa disuruh pulang. Aku ingat betul,perjalanan pulang sekolah, aku masih bergembira bersama teman-temanku,main-main air sepuasnya di bawah guyuran hujan.”

“ Setelah tengah hari, air mulai menggenagi kolong rumah. Aku dan kakakkumasih bermain-main dengan air, menaiki peti yang terbuat dari seng aluminiumsebagai perahu. Hari itu, aku hanya berlima di rumah, tiga orang kakakku danseorang adikku. Ammakku belum pulang dari jualan di Pasar, Abbaku masih diEreng-Ereng mengurus kebun. Begitu air mulai beranjak naik, hampir menyentuhlantai papan rumah panggung kami, barulah kami tersadar akan bahaya banjir.Apatah lagi seorang tetangga datang memberi tahu akan bahaya itu. Bagiku, anakusia 7 tahun sepertiku masih susah memahami peristiwa itu. Sebab awalnya kamimasih menikmati main-main air, tiba-tiba ancaman marabahaya sudah di depanmata.”

Aku masih tekun meresapi catatan-catatan Daeng Litere. “ Jelang Magrib,barulah air mulai surut. Jalanan di depan rumah sudah bisa dilintasi, meskipunairnya masih setinggi perut orang dewasa. Saat itulah, Ammaku berusahadiseberangkan ke rumah. Dengan bantuan tetangga dan kakakku, Ammaku berhasildiseberangkan dengan tali. Kami sudah berkumpul di rumah. Lalu Ammaku berceritatentang tingginya air di pasar dan sepanjang jalan yang tidak mungkin ialewati, dan hanya berlindung di rumah seorang warga, sambil mengingat kami dirumah. Aku ingat betul kondisi Ammaku saat itu, yang berjuang untuk sampai kerumah, lagian Ammaku hamil, mengandungkan adikku yang lahir tahun itu juga.”

“ Keesokan harinya barulah benderang semuanya. Matahari mulai bersinarpertanda kehidupan mulai normal. Warga mulai membagi cerita masing-masing. Daricerita merekalah kuketahui bahwa seorang warga meninggal, namanya Beja dantelah dikubur jelang tengah setelah sebelumnya disemayamkan di atas kubur SyekhAbdul Gani, yang tak tersentuh oleh genangan banjir. Kondisi kuburan ituseperti biasa, tidak seperti kuburan-kuburan lain dalam kompleks pemakaman itu,semuanya tertimbun lumpur dan hanya nisannya saja yang kelihatan.”

Lalu bagaimana dengan nasib Abbanya Daeng Litere? Di catatan Daeng Literekubaca, “ esoknya, sehari setelah banjir barulah Abbaku tiba di rumah. RupanyaAbbaku punya firasat akan banjir itu, namun tak bisa tembus ke kota Bantaeng.Jarak dari kebun di Ereng-Ereng dengan kota kurang lebih 20 km. Transportbelumlah lancar, bahkan orang-orang tertentu menempuhnya dengan jalan kaki.Setiba di rumah, Abbaku langsung ikut berbagi cerita, dan juga cerita kami yangmencekam. Setelah berbagi cerita, Abbaku langsung mengambil kapur, lalu menulisdi papan dinding rumah, ‘ banjir besar Bantaeng, tanggal 7-7-73.”

Banjir tahun 2006, tepatnya tanggal 20 Juli meruapakan banjir besar keduadi Bantaeng. Tidak terlalu sulit mendapatkan info, berupa tulisan di mediacetak. Aku lalu menemukan tulisan yang diliput oleh kantor berita Antara.Dituliskannya, bahwa “sedikitnya 100 rumah penduduk di KelurahanMalilingi dan Pallantikang, Bantaeng, Sulawesi Selatan tergenang banjir sejakSenin malam dan dua orang dilaporkan tewas dalam musibah itu. Bupati Bantaeng,Azikin Solthan, saat dikonfirmasi di Makassar, Selasa, menyatakan, kedua korbantewas itu belum diketahui identitasnya, sedangkan warga yang rumahnya tergenanghingga 1,5 meter kini mengungsi ke Mesjid Agung Bantaeng. Letak wilaayahKecamatan Bantaeng yang berada di antara dua Daerah Aliran Sungai (DAS) yakniDAS Lembang China dan Tangatanga menyebabkan daerah ini memang rawan banjir.Azikin juga menyebutkan, ada tiga buah jembatan yang berada di jalan negaramenuju Kabupaten Bantaeng kini rusak berat yakni jembatan Lembang China,Tangnga-tangnga dan satu jembatan lagi yang berada di Kelurahan Lamalaka. Pemdasetempat, kata Azikin telah melakukan evaluasi banjir termasuk pihak PDAMKabupaten Bantaeng untuk mengantisipasi kekurangan air bersih berikut bahanpangan bagi pengungsi. Banjir ini diperkirakan juga telah merusak puluhanhektar sawah.”

Belajar dari dua kali banjirbesar tersebut, dan seringnya daerah tertentu di Bantaeng mengalami genangansaat hujan deras mengguyur, maka bupati terpilih, Nurdin Abdullah tahun 2008,di awal masa baktinya langsung merespon masalah banjir ini sebagai perioritas.Sebuah media online menulis: “Setelah diketahui alur anak sungai yang menjadibiang kebanjiran, Nurdin kemudian membangun Cekdam seluas 5 hektar di kelurahanBalang Sikuyu, Kecamatan Bantaeng. Dengan adanya Cekdam yang jaraknya sekitar 3kilometer di atas kota Bantaeng, Cekdam juga dimanfaatkan untuk air baku bagiPerusahaan Daerah Air Minum Bantaeng dan untuk irigasi teknis yang dimanfaatkanpetani Bantaeng. Selain itu, untuk menangani banjir, Nurdin kemudianmenginisiasi proyek penghijauan di empat kecamatan di daerah ketinggian, yakniKecamatan Eremerasa, Kecamatan Uluere, Kecamatan Bantaeng, dan Kecamatan Tompobulu.”

Di waktu kiwari ini, nampaknya Bantaeng sudah terentaskan dari masalahBanjir, namun mengapa masih saja ada pelosok kampung di pinggiran kota Bantaengmenjadi langganan banjir, semisal di Kampung Lembang-Lembang? Seperti yangdipostingkan oleh Dion?

Rupanya sejak sore hingga magrib tiba, hujan mengguyur deras menyiramBantaeng. Masalahnya  kemudian, sebabhanya kampung Lembang-Lembang ini yang kebanjiran. Bahkan setiap kali hujanyang cukup deras, pun segera kebanjiran di sana, meski rumah langganannyahanyalah rumahnya Dion. Ini berarti, banjirnya hanyalah bersifat lokal, lebihdisebabkan oleh kurang beresnya drainase. Sekadar diketahui, luapan air darisawah yang deras, drainase tidak cukup memadai tampungannya. Padahal air ituakan terbuang ke sungai.

Aku lalu teringat akan masa-masa kecilku, kala masih di SD bersama denganDaeng Litere. Kampung Lembang-Lembang masih sepi jumlah penduduknya. Seingatku,barulah kisaran lima kepala keluarga. Daeng Litere membantu mengingatkannama-nama mereka, “ Daeng Lahasan, Daeng Bahama, Daeng Nawiri dan dua kepalakeluarga lainnya tersamar” ucapnya.

Masa-masa itu, Lembang-Lembang tidak lebih dari sebuah kampung terpencilbagi kami. Soalnya, kampung itu hanyalah tempat mencari gandi-gandi dan boddong-boddongtarru, sebagai bahan peluru buat senjata mainan kami. Atau sesekali kamijadikan sebagai tempat mencari jangkrik, khususnya ladang yang dekat dengansungai.

Mengapa sampai sejauh itu tempat bermain kami? Bukankah aku dan DaengLitere bermukim di Kampung Tompong? Memang betul tempat lahir kami di Tompong,tetapi menjelang usia sekolah, Daeng Litere sudah pindah ke Kampung Bissampole,yang sebelah utaranya itulah Kampung Lembang-Lembang berada.

Walaupun Daeng Litere sudah bermukim di Bissampole, namun aku sering mainke tempatnya, atau sebaliknya Daeng Litere yang main ke tempatku di KampungTompong. Daeng Litere sulit terpisah dari keindahan pantai Tompong, yang setiaphari mengecup ombak laut Flores. Apatah lagi, rumah neneknya masih di Tompong,bersebelahan dengan rumahku.

Dari catatan-catatan Daeng Literelah aku punya banyak pengetahuan tentangKampung Lembang-Lembang. Sekitar tahun 2008, tepatnya saat Pilkada Bantaengberlangsung, aku menyempatkan diri bertandang ke Kampung Lembang-Lembang. DanDaeng Litere pun menjadi guideku menelusuri sudut-sudut kampung. Kutelusurikembali tempat-tempat bermainku dulu, namun tak kutemukan lagi. Semuanya telahberubah menjadi pemukiman yang padat penduduk.

Daeng Litere pun lalu bilang padaku; “ saat ini jumlah pendudukLembang-Lembang sudah mencapai 100 kepala keluarga, bahkan lebih.”  Dari mana saja asal muasal mereka? Apakahorang-orang Bissampole yang pindah ke Lembang-Lembang?

“ Asal-muasal mereka bermacam-macam, walau sebagian juga memang berasaldari Bissampole. Kampung Lembang-Lembang ini beragam karakter orangnya, mungkinkarena asal-muasal yang berbeda. Masyarakat Lembang-Lembang adalah masyarakatyang heterogen, dalam hal tertentu mereka sulit bersatu, konflik keluargamenjadi pemandangan yang lazim.” Tutur Daeng Litere.

Di tengah keasyikan berbincang dengan Daeng Litere, seorang lelaki paruhbaya mengajakku ke rumahnya. Rupanya beliau adalah sahabat akrab Daeng Litere. Diselasar rumahnyalah kami lanjutkan perbincangan. Kemudian lelaki paruh baya itumulai bercerita tentang hal-hal yang ia sering jumpai di kampungnya.

Bagi Daeng Litere, selaku pegiat literasi, segera saja mengeluarkan penadan buku catatannya, untuk memulai menuliskan ujar-ujar itu. Dari sekian banyakhalaman yang dituliskan Daeng Litere, ada kalimat-kalimat yang menyentakku,saat Daeng Litere dalam catatannya menulis, “ saat ini, bukan saja masalahkepadatan penduduk yang jadi soal di Lembang-Lembang. Lebih jauh dari itu, tatacara hidup bermasyarakat. Di kampung inilah segala jenis karakter manusia ada.Mulai dari yang beriman, maupun para pendosa. Masyarakat ini telah rusakjiwanya, moralitas terpuruk tak terkira. Mungkin inilah makna banjir yangsering bertandang ke kampung ini, biar kampung ini sering dicuci oleh alam.”

Tahun 2014, tepatnya menjelang perhelatan Pemilu Legislatif, aku kembalimenyambangi kampung Lembang-Lembang, tanpa sepengetahuan Daeng Litere. Akuingin menyelami sendiri dinamika masyarakat Lembang-Lembang. Dari dekatkusaksikan, bahkan mungkin tak berjarak lagi, aku sambangi beberapa orang yangkukenal, berbincang dengannya tentang pandangannya terhadap pileg kali ini.

Dari merekalah aku dapatkan informasi tangan pertama, antara mulut merekadengan telingaku, kuketahui siapa-siapa caleg yang “menyiram” masyarakat denganuang, atau pemberian lainnya. Seingatku, caleg yang datang dengan berbagaikepentingan, dan beragam cara membujuk masyarakat untuk memilihnya berjumlah diatas sepuluh orang, guna memperebutkan ratusan suara dari beberapa TPS yangtersedia. Demikian pula, para caleg yang sempat kutemui, dengan entengnya iaberkata: “ bagi masyarakat Lembang-Lembang, jumlah uanglah yang menentukanketerpilihan seseorang. Dan saya telah menyiapkan semuanya untuk keperluansuara itu.”

Pasca pemilu legislatif, barulah aku bersua dengan Daeng Litere. Di berandarumahnya, sambil menikmati kopi pahit tanpa gula, diiringi tembang-tembanglawas Koes Plus, aku mengkonfirmasi temuanku sebelum pesta demokrasi. Dengansantainya Daeng Litere, berucap lirih; “ apa yang kau saksikan sebelum pemilulegislatif, dengan realitas sekarang ini, hasilnya amat miris. Ada caleg yanguring-uringan mencari suaranya, namun masyarakat Lembang-Lembang tetap hidupdan berkehidupan seperti sediakala. Tak ada yang berubah. Mungkin ini hanyalahsalah satu potret berdemokrasi, dimana demokrasi lebih merupakan bencanaketimbang berkah dalam menata masyarakat.”

Aku lagi berniat mengontak Dion, tentang perkembangan banjir yangbertandang ke rumahnya. Dan sekaligus menanyakan padanya, masihkah ada mantancaleg yang datang menyerbu Lembang-Lembang ketika banjir, seperti sekarang ini?Ataukah apa langkah nyata dari pemerintah setempat untuk mengentaskanLembang-Lembang dari langganan banjir? Ataukah kita biarkan saja,Lembang-Lembang senantiasa dicuci, disucikan oleh banjir akibat para pendosanyayang tak kunjung pula diatasi?

Keesokan harinya, barulah niatku mengontak Dion terpenuhi. Berbicaralahprihal rutinitas luapan air yang senantiasa bertandang ke rumahnya manakalahujan deras. Dan juga hal lain, perihal kedatangan kawan-kawan backpakers KelasInspirasi yang diinapkan di Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan. Dan tentu jugacerita menarik dari mereka atas keramahan orang Bantaeng dan keindahan kotanya.

Sore harinya, tepat azan ashar mesjid dekat rumah memanggil, Dionmeng-SMS-ku, agar segera menelponnya. Maklum saja, pulsanya habis. Aku punmenelponnya. Rupanya ada perkembangan yang menarik. Gara-gara postingan fotoDion membuat seorang ibu Lies Fachruddin, isteri bupati Bantaeng, NurdinAbdullah tersentak. Masihkah ada banjir di Bantaeng? Maka ibu Lies punbertandang ke lokasi di Lembang-Lembang memantau langsung dan segera memberirespon. Respon yang sangat cepat. Kedatangan beliau, kisaran waktunya tidaklama setelah aku menelpon Dion.

Aku kemudian mengontak Daeng Litere, memberi tahu tentang kedatangan ibuLies di Lembang-Lembang. Daeng Litere kemudian bilang padaku bahwa ia sudahmencatatnya sebagai sebuah peristiwa penting. “ Peka amat seorang ibu Lies,melihat foto banjir di facebook langsung diresponnya. Kedatangannya diLembang-Lembang merupakan sejarah buat kampung itu. Kala kesusahan masyarakatmelanda, ibu Lies hadir sebagai pelipur lara. Menurutku, ini kedatangan yangtulus, mengobati luka-luka masyarakat yang tercabik oleh para caleg denganjanji-janji muluk dan tebaran uang yang tak seberapa pula.”

Jelang magrib, coba kuakhiri tulisan ini. Tiba-taba handponku bunyi, ada SMS yang masuk, ternyata dari Dion, yang mengabarkan, “kenapa sekarang dari selesaiki nelpon hujan deras sekali, dan masuk lagi di pemukiman Daeng...Allahu Akbar.” Lalu kubalas, “masuki lagi di rumah? “ Dion membalasnya, “ iye lebih besar lagi dari kemarin Daeng ...hehehehehehe..” Lalu kubalas lagi, “postingki gambarnya.” Dion pun membalasnya, “ hahahahah..adami Daeng, tapi bukan saya, Rudy Ramlan ...hahahaha..”

Sayangnya jaringan internet di mukimku kurang bagus sehingga belum bisa kulihat gambar itu. Dari jauh seolah-olah terdengar tutur Daeng Litere, “kunjungan tadi siang ibu Lies rupanya belum mampu redakan banjir. Dibutuhkan tindakan yang lebih nyata paska kunjungan itu. Moga yang bertanggungjawab secara tehnis di lapangan pandai-pandai membaca kunjungan ibu Lies itu, bahwa masalah banjir di Lembang-Lembang ini adalah masalah akut dan butuh solusi yang cepat.” Setidaknya, itulah rabaan pikiranku, tentang apa yang bakal ditulis Daeng Litere. 

0 komentar:

Posting Komentar