Minggu, 20 September 2015

AirMataDarah

AirMataDarah

OLEH: M. Rajab

JELANG akhir pekan, saya janjian ketemu dengan seorang sahabat lama. Sebab, kesibukan masing-masing lama nian tidak berjumpa. Akhirnya disepakati untuk ketemu di kantor saya di sela-sela waktu dalam menjalankan rutinitas. Seperti biasanya, kopi dan sesekali kepulan asap rokok menyertai perjumpaan itu. Sahabat ini dalam kesehariannya senantiasa bergelut dengan buku-buku, baik sebagai penulis, pembaca, maupun sebagai penerbit. Sehingga, sebelumnya, saya sudah pesan untuk membawakan buku yang seyogyanya saya harus baca.
Sesaat sebelum jumatan kami bertemu. Dia menyedorkan buku kumpulan puisi: Air Mata Darah. Ditulis oleh seorang yang banyak kami jadikan sebagai referensi dalam pandangan dan pendapat. Buku yang berisi sehimpunan puisi yang ditulis oleh beliau rentang waktu tiga tahunan. Saya membolak balik bukunya, dan langsung membaca dan menghayati puisi: air mata darah. Sebagaimana judul buku itu.
Fikiran saya menangkap kata kunci dalam puisi ini: air mata, padang, pedang dan darah. Kata-kata ini mengarahkan kita pada perang-pedang di sebuah padang. Saking tragisnya peristiwa ini, sehingga digambarkan air matanya adalah air mata darah. Kesedihannya, adalah kesedihan yang paling dalam. Mungkin pada peristiwa itu, terjadi penganiayaan, terjadi pembunuhan yang tidak manusiawi, terjadi pembantaian, kebenaran dimatikan, sehingga Sang Penyair merasakan duka nestapa yang begitu dalam.
Seperti lazimnya, air mata identik dengan kesedihan, duka, nestapa, terharu atau juga terkadang kebahagiaan yang bisa mengalirkan air mata. Keadaan itu, menjadi efek dari suasana kebatinan seseorang. Kalau dirunut pada bait syair ini, menjelaskan bahwa air mata dalam puisi ini lebih karena kesedihan. Sebagaimana pada puisi berikut ini :
Airmataku airmatamu airmatakita
Dan darah mereka
Tertampung di danau kesedihan
Taklah pernah cukup
Membasahi padang itu
Walakin sang padang
Dengan lakon kibasan pedang
Akan bersaksi kelak
Airmata dari berbagai penjuru
Taklah lelah mengalir
Mencari darah selaku kembarannya
Padang tangisan airmata
Pedang cucuran darah
Airmatadarah
(sulhan yusuf)
Air mata itu adalah ekspresi kesedihan. Pada kehidupan kita, ketika kehilangan sesuatu yang kita cintai, atau kehilangan sesuatu yang begitu bermakna, maka manusiawi jika perasaan sedih itu muncul. Sebagaimana ketika ditinggal pergi orang tua, saudara, anak, sahabat atau tokoh yang diidolakan. Karena kecintaan kita, maka kehilangan mereka adalah kesedihan bagi kita.
Padang yang menjadi tempat peristiwa ini, kelak di kemudian hari akan menjadi saksi di hadapanNya. Semuanya terekam dengan jelas tanpa cacat, akan perlakuan, kekejaman dan penganiayaan yang dialaminya. Padang itu begitu sangat luas, sehingga darah mereka yang mengalir, darah korban pembela kebenaran, tak akan sanggup membasahi padang itu.
Peristiwa itu mengundang rasa simpati dan empati dari banyak pembela kebenaran, sehingga ketika peristiwanya dibacakan atau bahkan diperingati, air mata akan mengalir karenanya. Banyak manusia dari berbagai penjuru dan belahan bumi, merasakan duka dan sedih. Bahkan, diantara mereka ada yang bersedia menjadi pembela untuk mengorban jiwa dan raganya demi untuk membela pejuang kebenaran.
Padang ini adalah padang kedukaan, padang ini adalah padang bencana. Duka dan bencana terjadi tepat di atasnya yang kemudian hari padang ini akan menjadi saksi dengan peristiwa ini.
Pedang telah mengalirkan darah suci. Pedang telah merenggut nyawa pembawa kebenaran, airmata darah adalah kesedihan yang paling dalam.
Tiba-tiba dari balik jendela ruangan, terdengar suara azan jumatan memanggil. Saya dan kawan segera beranjak dari duduk lalu menunaikan kewajiban pada Dia Yang Maha Suci.
Makassar, 15 Maret 2015

0 komentar:

Posting Komentar