Khomeini,
Revolusi dan Cinta
( Koran Tempo Makassar, Senin 23 Februari 2015)
Sulhan Yusuf
Pegiat Literasi
Ada persamaan
antara revolusi dan cinta. Keduanya
kadang datang secara tiba-tiba, namun
bisa diprediksi, karena keduanya tidak punya teori yang final
tentangnya. Dan suatu revolusi, selalu melahirkan anak kandung revolusi, yakni
manusia luar biasa, para pahlawan. Pada sosok pahlawanlah menubuh keluarbiasaan
sebagai manusia, namun lebih luar biasa lagi, manakala jalan akhir darinya
memilih menjadi manusia biasa, sosok bijak bestari, yang membabar kebajikan
berselimutkan cinta. Puncak kepahlawanan seseorang, ketika ia mewujud menjadi
manusia bijak.
Saya amat suntuk
mendaras sebuah buku yang berlatar biografi seorang tokoh. Di jedanya bacaan,
kumenatap sebuah potret di dinding ruang bacaku. Lalu kumenerawang, mengingat
kembali, sejak kapan wajah itu pertama kali kulihat? Tertanbatlah kenanganku
pada masa di sekolah menengah pertama, tepatnya di bulan februari 1979. Lewat
sebuah pesawat televisi, yang masih hitam putih di rumah tetangga, saya menonton
acara berita TVRI. Saya menyaksikan seorang kakek, bersorban hitam, bermata
tajam, cerah raut mukanya, janggutnya putih, berjubah hitam. Langkahnya
ringkih, disegani lawan, namun dicintai oleh pengikutnya. Berpuluh tahun
kemudian, saat saya menduduki bangku perkuliahan, barulah saya tahu persis bahwa
sosok itu adalah Imam Khomeini, tokoh sentral Revolusi Islam Iran dan sekaligus
pemimpin spiritual Republik Islam Iran.
Di bulan februari
2015 ini, saya kembali pirsa televisi. Tentulah suasananya sudah berbeda. Mulai
dari pesawat televisinya yang sudah berwarna-warni, chanel siaran pun
makin banyak. Dan, wajah sang kakek pun masih ditayangkan di berbagai stasiun televisi, sebagai
rangkaian memperingati Revolusi Islam Iran, yang puncaknya terjadi pada tanggal
12 februari 1979. Berarti, 36 tahun sudah Revolusi Islam Iran. Dari titik
inilah, menarik untuk mendedahkan tabir tokoh sentral ini, baik sebagai
penggerak revolusi maupun selaku pemimpin spiritual.
Saya ingin
mengadaptasi ulasan pena dari Alwi Rachman, ketika menulis di media ini, berjudul
Manusia: Pantomim tanpa Misteri dan Idola, kala memaparkan pendakuan Joseph Campbell,
seorang scholar mitologi, tentang makna mitos, fabel dan legenda bagi
manusia dan kemanusiaannya. Yang saya boleh sarikan dalam simpulan perjalanan
dari menjadi hero (pahlawan) berakhir pada wise (bijak) sebagai
simpainya.
Menurut Alwi,
mitos adalah soal makna. Fabel dan legenda adalah soal kebajikan. Makna dan
kebajikan dialirkan dan mengalir melalui kelompok dan kumpulan individu.
Kadang-kadang, makna dan kebajikan dihadirkan melalui tokoh atau tokoh
simbolik. Sering kali sang tokoh hadir secara anonim. Tapi justeru status
anominitas sang tokoh yang menjadi pagar bagi setiap individu untuk tidak
leluasa mengekspresikan dirinya sendiri, apalagi untuk bebas mengalahkan dan
meniadakan individu lain dalam kelompok. Sensasi misteri sang tokoh lalu
menjadi pengikat psyche kelompok. Melalui mitos, individu dalam kelompok
lalu terikat dan bergerak secara bersama. Psyche individu terpelihara
dan terhubung dengan psyche individu lain. Lalu jadilah psyche kelompok.
Psyche kelompok menjelma sebagai arena kehidupan bersama.
Dari simpai
adaptasi di atas, saya akan membiraikan sosok Imam Khomeini. Peristiwa Revolusi
Islam Iran, Khomeinilah menjadi pusarannya. Ia tampil sebagai tokoh yang
memerankan penggerak revolusi, menjelma menjadi pahlawan yang menumbangkan
sebuah rezim despotik Syah Reza Pahlevi, yang didukung oleh Amerika Serikat dan
sekutunya. Anak kandung Revolusi Islam Iran salah seorangnya adalah Imam Khomeini,
sosok pahlawan layak ditabalkan padanya. Dan itu bermakna, alam mitos bersiap
menyelimutinya.
Setelah revolusi
usai, berdirilah sebuah negara dengan tatanan baru, Republik Islam Iran.
Laiknya sebuah revolusi yang sukses, lazim terjadi bahwa sang pahlawanlah yang
menjadi presiden. Namun tidak galib di Iran, sebab Imam Khomeini lebih memilih
menjadi pemimpin spiritual Iran. Menolak masuk istana, lebih memilih tinggal di
rumahnya yang sederhana. Penobatannya selaku pemimpin spiritual, mengalamatkan
pada diri Khomeini sosok yang memerankan sebagai seorang bijak bestari, penuh
cinta kasih. Tentang saling kait antara cinta dan kebajikan, seorang filosof
muslim dari Isfahan yang hidup pada zaman keemasan Islam, Ibnu Miskawaih dalam Tahdzib
Al- Akhlaq seolah bertutur bahwa
kebijakan dan kebajikan seseorang bertaut langsung dengan cinta kasih yang
dimilikinya, dari cinta yang amat manusiawi menuju cinta yang sangat ilahiah.
Maka nyatalah penegasan dari Joseph Campbell, dari hero menjadi wise,
dari sosok pahlawan menuju pribadi bijak.
Bila risalah
hidup Imam Khomeini didaras dengan cermat, memang sudah menunjukkan bakatnya
untuk menjadi pahlawan. Perjalanan hidupnya dipersembahkan untuk pembebasan negerinya dari kesewenangan
penguasa yang menindas rakyat. Begitupun
bakatnya sebagai seorang pesuluk di jalan ruhani, sangat menentukan pilihannya
untuk menjadi pemimpin spiritual. Semua itu bisa kita lacak dalam tebaran
berbagai karya intelektual dan spiritualnya, diantaranya; Kasyf Al-Asrar,
Hukumat-i Islami, Misbah Al-Hidayah, Jihad-i Akbar ya Mubaraza ba Nafs, Sirr
as-Shalah: Mi’raj as-Salikin wa Shalah al-Arifin dan al-Adab
al-Ma’nawiyah li ash-Shalah.
Imam Khomeini
telah menghidu Iran dengan setumpuk warisan intelektual dan spiritual, serta
sejarah perjuangan sebagai seorang pahlawan dan pemimpin spiritual. Wajarlah
kemudian jikalau saya nyatakan bahwa mitos, makna dan kebajikan telah menubuh
pada Imam Khomeini. Dan, realitas pun masih menunjukkan pada kita, betapa Iran
di masa kiwari ini masih menjadi bangsa yang utuh, penuh martabat berhadapan
dengan para bangsa, negara yang ingin merompak di atas bumi, dan kawasan Timur
Tengah pada khususnya. Seorang Khomeini adalah persona revolusioner yang
heroik, sekaligus sebagai pesuluk yang penuh cinta di kehayatan planet ini.