Kamis, 19 Februari 2015

DAENG LITERE: GONG XI FAT CHAI

Selamat hari raya Imlek.

Kali ini, ucapan selamatku kepada karib-karibku yang merayakan Imlek lebih khusyuk dan mantap.Apa pasalnya? Paling tidak, pertama, saat ini iklim sosial-budaya-politik sudah lebih ramah dalam mengapresiasi hal-hal yang berkonotasi Tionghoa. Kedua,hingga saat ini, sependek pengetahuan saya tidak ada fatwa kontroversial tentang pengharaman mengucapkan selamat hari raya Imlek, seperti ucapan selamat Natal.

Sebagai warga bangsa yang lahir dan tumbuh berkembang di wilayah yang ada etnik Tionghoa, Butta Toa-Bantaeng, tentulah mempunyai pengalaman tersendiri dalam hidup bermasyarakat. Salah satu kabupaten di Sul-Sel yang punya kawasan pecinan adalah Bantaeng. Meski pernah bupati Bantaeng, Nurdin Abdullah mengusulkan kepada masyarakat Tionghoa Bantaeng, agar menjadikan jalan Mangga-Manggis sebagai kawasan pecinan, namun oleh mereka ditolak, sebab mereka menganggap sebagai kawasan eksklusif. Hal tersebut saya ketahui, ketika sekali waktu bertandang ke Edy Tunggeleng, seorang pemuka Tionghoa di Bantaeng.

Pada rangkaian Imlekke-2566, tahun  2015 ini, saya sudah merancang agenda untuk bersilaturahim ke seorang kawan, sekaligus teman sepermainan semasa kecil, Daeng Litere. Pastilah ada yang menarik untuk dibincangkan dengannya. Sebab Daeng Litere adalah seorang pegiat literasi, yang di tangan kanannya pena begitu lugas menari di atas buku catatan yang selalu dipegang oleh tangan kirinya. Agar lebih kondusif, dan sedikit berbau kolusi, saya akan ajak makan di warungnya Baba Cangkeng, warung Sederhana namanya terletak di jalan Manggis. Siapa tau dari acara traktiran ini bisa memancing Daeng Litere untuk membuka catatan-catatannya, mengingat Baba Cangkeng ini adalah seorang sesepuh etnik Tionghoa di Bantaeng.

Sehari setelah Imlek, warungnya Baba Cangkeng sudah buka. Di sudut depan warungnya masih ada beberapa batang tebu berwarna kecoklatan, daunnya sudah mulai layu. Tebu memang adalah penanda nyata dari setiap perayaan Imlek. Hanya inilah seingatku yang tidak berubah dari dulu, semasa kanak-kanak hingga saat ini. Saya masuk kewarung itu, dan amboi, Baba Cangkeng langsung menyapaku dengan ramah. Ia masih mengenalku, sebab ia mengenal juga keluargaku, apalagi kakak sulungku sangat akrab dengannya. Sebab kakakku yang merantau ke Pomalaa, Sulawesi Tenggara, bertemu dengan salah seorang anaknya yang juga merantau ke sana,sehingga mereka berdua pun laiknya seperti saudara.

Sambil bersantap menu sop, ayam goreng dan sate mulailah saya memancing Daeng Litere. Saya yakin sekali, pastilah kali ini pancinganku berhasil, sebab di atas meja tergeletak sebuah buku catatan, yang senantiasa menemaninya selaku pendekar literasi. Memang demikianlah adanya, sebagai pendekar literasi, ia memegangkuat mottonya: Pena di tangan kananku buku di tangan kiriku. Ibarat seorang pendekar di medan perang yang selalu di tangan kanannya adalah pedang,sementara di tangan kirinya adalah perisai.

Jelang santap usai, Daeng Litere mulai menggodaku dengan sebuah ingatan. “masihkah dikauingat sewaktu kita masih di Sekolah Dasar, tahun 70-an, ketika kita sering jalan kaki ke pasar dan melewati warung ini?” Tanyanya padaku. Saya pun menjawab, tentulah ingat sekali, sebab setiap kami melewati teras warung ini,terasa ngiler sekali, di teras inilah satennya dibakar, sehingga bau bumbu yang sedap menusuk hidung mencabik perut yang segera terasa lapar. Tapi apa daya, tak punya doe (uang). Masih sangat mahal unuk orang yang ekonominya sekelas kami waktu itu. Bersantap di warungnya Baba Cangkeng adalah kemewahan, kebanggaan tersendiri kala itu, sebab bisa meningkatkan status sosial sebagai orang yang berada. Maka tidak jarang,banyak yang setelah makan tidak langsung pulang, tapi berdiri di teras warung sambil memainkan tusuk gigi, seolah menyatakan, lihatlah saya, baru saja bersantap di Baba Cangkeng.

Selanjutnya, Daeng Litere mulai membuka catatannya. Ditunjukkannya padaku prihal catatannya tentang warung ini, warung Sederhana milik Baba Cangkeng. “Waktu tahun 1973,saat itu kami kelas 1 di SD No. 2 Lembang Cina Bantaeng, beralamat di jalan Elang. Bersamaan pulalah di tahun ini banjir besar melanda Bantaeng. Berarti,usia warung ini sudah lebih 40 tahun, sebab di tahun 2015 ini usia kami sudah48 tahun, dan Baba Cangkeng sudah membuka warungnya jauh sebelum itu.” TulisDaeng Litere.

“ Hebatnya lagi,menunya tidak berubah, tersedia sop, ayam goreng kampung yang usianya masih muda. Dan juga nasi campurnya, ditambah sate yang kesemua dagingnya adalah daging lokal. Yang berubah adalah harganya, itu so pasti lebih mahal saat ini. Dan, yang lebih dahsyat lagi, karena pemasok ayamnya masih yang dulu, Daeng Sano’. Berarti Daeng Sano’ sendiri sudah jual ayam lebih dari 40 tahun,sebuah ketekunan akan kesetiann pada profesi yang layak ditiru.” Demikian Daeng Litere mencatat.

Dari dalam warung, saya memandang keluar, kulihat sosok yang sangat kukenal. Saya kobbi(colek) Daeng Litere, sambil menunjuk ke orang itu. Lalu kutanyakan padanya, apa yang teringat dengan sosok itu? Ternyata Daeng Litere punya catatan tentangnya. “ Sosok itu adalah Ciang, salah seorang pemain Persatuan Sepak Bola Bantaeng (PERSIBAN). Selain Ciang,ada nama-nama keturunan Tionghoa yang pernah memperkuat Persiban di masa lalu Liong, Piping, Kila dan Koang bahkan pernah dilatih oleh keturuanan Tionghoa, pak Cang..”

Akhirnya, waktu sudah cukup memadai di warung itu, lalu kami pamit pada Baba Cangkeng. Setelah itu, kami bersantai menysuri kawasan pecinan, sambil melihat-lihat penanda-penanda berupa bangunan yang ada, Rupanya belum banyak yang berubah, bahkan beberapa papan nama toko masih mengginanakan papannya sewaktu saya dan Daeng Litere berjalan di teras ruko-ruko itu. Saya lalu membatin, pastilah Daeng Litere punya banyak catatan tentang etnik Tiongkoa di bumi ButtaToa-Bantaeng ini. Masalahnya, sisa cari waktu dan momentum untuk memancingnya. Mungkin waktu lain harus kembali bersantap di warungnya Baba Cangkeng, warung Sederhana namanya, namun tidak sederhana kenikmatan menunya. Maknyus!

0 komentar:

Posting Komentar