Selamat hari raya Imlek.
Kali ini, ucapan
selamatku kepada karib-karibku yang merayakan Imlek lebih khusyuk dan
mantap.Apa pasalnya? Paling tidak, pertama, saat ini iklim
sosial-budaya-politik sudah lebih ramah dalam mengapresiasi hal-hal yang
berkonotasi Tionghoa. Kedua,hingga saat ini, sependek pengetahuan saya
tidak ada fatwa kontroversial tentang pengharaman mengucapkan selamat hari raya Imlek, seperti ucapan selamat Natal.
Sebagai
warga bangsa yang lahir dan tumbuh berkembang di wilayah yang ada etnik
Tionghoa, Butta Toa-Bantaeng, tentulah mempunyai pengalaman tersendiri
dalam hidup bermasyarakat. Salah satu kabupaten di Sul-Sel yang punya
kawasan pecinan adalah Bantaeng. Meski pernah bupati Bantaeng, Nurdin
Abdullah mengusulkan kepada masyarakat Tionghoa Bantaeng, agar
menjadikan jalan Mangga-Manggis sebagai kawasan pecinan, namun oleh
mereka ditolak, sebab mereka menganggap sebagai kawasan eksklusif. Hal
tersebut saya ketahui, ketika sekali waktu bertandang ke Edy Tunggeleng,
seorang pemuka Tionghoa di Bantaeng.
Pada rangkaian
Imlekke-2566, tahun 2015 ini, saya sudah merancang agenda untuk
bersilaturahim ke seorang kawan, sekaligus teman sepermainan semasa
kecil, Daeng Litere. Pastilah ada yang menarik untuk dibincangkan
dengannya. Sebab Daeng Litere adalah seorang pegiat literasi, yang di
tangan kanannya pena begitu lugas menari di atas buku catatan yang
selalu dipegang oleh tangan kirinya. Agar lebih kondusif, dan sedikit
berbau kolusi, saya akan ajak makan di warungnya Baba Cangkeng, warung
Sederhana namanya terletak di jalan Manggis. Siapa tau dari acara
traktiran ini bisa memancing Daeng Litere untuk membuka
catatan-catatannya, mengingat Baba Cangkeng ini adalah seorang sesepuh
etnik Tionghoa di Bantaeng.
Sehari setelah Imlek,
warungnya Baba Cangkeng sudah buka. Di sudut depan warungnya masih ada
beberapa batang tebu berwarna kecoklatan, daunnya sudah mulai layu. Tebu
memang adalah penanda nyata dari setiap perayaan Imlek. Hanya inilah
seingatku yang tidak berubah dari dulu, semasa kanak-kanak hingga saat
ini. Saya masuk kewarung itu, dan amboi, Baba Cangkeng langsung
menyapaku dengan ramah. Ia masih mengenalku, sebab ia mengenal juga
keluargaku, apalagi kakak sulungku sangat akrab dengannya. Sebab kakakku
yang merantau ke Pomalaa, Sulawesi Tenggara, bertemu dengan salah
seorang anaknya yang juga merantau ke sana,sehingga mereka berdua pun
laiknya seperti saudara.
Sambil bersantap menu
sop, ayam goreng dan sate mulailah saya memancing Daeng Litere. Saya
yakin sekali, pastilah kali ini pancinganku berhasil, sebab di atas meja
tergeletak sebuah buku catatan, yang senantiasa menemaninya selaku
pendekar literasi. Memang demikianlah adanya, sebagai pendekar literasi,
ia memegangkuat mottonya: Pena di tangan kananku buku di tangan kiriku.
Ibarat seorang pendekar di medan perang yang selalu di tangan kanannya
adalah pedang,sementara di tangan kirinya adalah perisai.
Jelang
santap usai, Daeng Litere mulai menggodaku dengan sebuah ingatan.
“masihkah dikauingat sewaktu kita masih di Sekolah Dasar, tahun 70-an,
ketika kita sering jalan kaki ke pasar dan melewati warung ini?”
Tanyanya padaku. Saya pun menjawab, tentulah ingat sekali, sebab setiap
kami melewati teras warung ini,terasa ngiler sekali, di teras inilah
satennya dibakar, sehingga bau bumbu yang sedap menusuk hidung mencabik
perut yang segera terasa lapar. Tapi apa daya, tak punya doe
(uang). Masih sangat mahal unuk orang yang ekonominya sekelas kami waktu
itu. Bersantap di warungnya Baba Cangkeng adalah kemewahan, kebanggaan
tersendiri kala itu, sebab bisa meningkatkan status sosial sebagai orang
yang berada. Maka tidak jarang,banyak yang setelah makan tidak langsung
pulang, tapi berdiri di teras warung sambil memainkan tusuk gigi,
seolah menyatakan, lihatlah saya, baru saja bersantap di Baba Cangkeng.
Selanjutnya,
Daeng Litere mulai membuka catatannya. Ditunjukkannya padaku prihal
catatannya tentang warung ini, warung Sederhana milik Baba Cangkeng.
“Waktu tahun 1973,saat itu kami kelas 1 di SD No. 2 Lembang Cina
Bantaeng, beralamat di jalan Elang. Bersamaan pulalah di tahun ini
banjir besar melanda Bantaeng. Berarti,usia warung ini sudah lebih 40
tahun, sebab di tahun 2015 ini usia kami sudah48 tahun, dan Baba
Cangkeng sudah membuka warungnya jauh sebelum itu.” TulisDaeng Litere.
“
Hebatnya lagi,menunya tidak berubah, tersedia sop, ayam goreng kampung
yang usianya masih muda. Dan juga nasi campurnya, ditambah sate yang
kesemua dagingnya adalah daging lokal. Yang berubah adalah harganya, itu
so pasti lebih mahal saat ini. Dan, yang lebih dahsyat lagi,
karena pemasok ayamnya masih yang dulu, Daeng Sano’. Berarti Daeng Sano’
sendiri sudah jual ayam lebih dari 40 tahun,sebuah ketekunan akan
kesetiann pada profesi yang layak ditiru.” Demikian Daeng Litere
mencatat.
Dari dalam warung, saya memandang keluar, kulihat sosok yang sangat kukenal. Saya kobbi(colek)
Daeng Litere, sambil menunjuk ke orang itu. Lalu kutanyakan padanya,
apa yang teringat dengan sosok itu? Ternyata Daeng Litere punya catatan
tentangnya. “ Sosok itu adalah Ciang, salah seorang pemain Persatuan
Sepak Bola Bantaeng (PERSIBAN). Selain Ciang,ada nama-nama keturunan
Tionghoa yang pernah memperkuat Persiban di masa lalu Liong, Piping,
Kila dan Koang bahkan pernah dilatih oleh keturuanan Tionghoa, pak
Cang..”
Akhirnya, waktu sudah cukup memadai di
warung itu, lalu kami pamit pada Baba Cangkeng. Setelah itu, kami
bersantai menysuri kawasan pecinan, sambil melihat-lihat penanda-penanda
berupa bangunan yang ada, Rupanya belum banyak yang berubah, bahkan
beberapa papan nama toko masih mengginanakan papannya sewaktu saya dan
Daeng Litere berjalan di teras ruko-ruko itu. Saya lalu membatin,
pastilah Daeng Litere punya banyak catatan tentang etnik Tiongkoa di
bumi ButtaToa-Bantaeng ini. Masalahnya, sisa cari waktu dan momentum
untuk memancingnya. Mungkin waktu lain harus kembali bersantap di
warungnya Baba Cangkeng, warung Sederhana namanya, namun tidak sederhana
kenikmatan menunya. Maknyus!
Kamis, 19 Februari 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar