Jumat, 06 Februari 2015

Merawat Kesukarelaan Membabar Welas Asih



Merawat Kesukarelaan Membabar Welas Asih

Sulhan Yusuf
Pegiat Literasi

Jangan bicara perjuangan, manakala belum ada suka di dalamnya. Usah bilang pengorbanan, jikalau tak tampak rela di atasnya. Sukarela adalah galanya perjuangan dan pengorbanan. Semoga saja kesukarelaan tidaklah mati di negeri ini, sebab itu sama artinya negeri sudah bubar.

Manakala kesukarelaan teraktuil, akan lahirlah kepedulian. Dari kepedulian ini menumbuhkan  rasa welas asih. Sehingga, seorang sukarelawan pada dirinya mewujud kepedulian, dan dari pedulinyalah welas kasih berkecambah, guna membantu orang lain. Menjadi sukarelawan bermakna menabalkan diri menjadi manusia berguna, yang bermaksud menghujamkan secercah rasa bahagia pada sesama.

Sesungguhnya kesukarelaan, kepedulian dan welas asih adalah sesuatu yang built in dalam diri. Hasil-hasil riset menguatkan pandangan itu. Stephen Post, lewat bukunya, Why Good Things Happen to Good People, memaparkan bahwa riset terbaru di Princeton mulai menunjukkan, sebuah area dalam otak yang disebut insula, yang terletak di dalam cerebral courtex, diasosiasikan dengan empati dan welas asih. Hal ini menjadi topik yang hangat dalam ilmu saraf saat ini karena di situlah tempat saraf-saraf cermin – saraf-saraf yang “mencerminkan” pengalaman yang dihadapi orang lain, hampir persis seolah kita sendiri yang mengalaminya pada waktu yang sama – sepertinya berada.

Adalah Khalil A. Khavari, dalam bukunya The Art of Happines, menuliskan bahwa di kebudayaan-kebudayaan tertentu, khususnya pada zaman dahulu, saling membantu untuk belajar dan berbuat kebajikan di satu sisi dan mencegah kejahatan di sisi lain merupakan tugas setiap orang. Andai kala itu, Anda melihat seseorang berbuat amoral, tak etis, atau illegal, Anda berkewajiban menegurnya dan menasihatinya untuk berlaku baik. Praktik ini berhasil menyangga kebaikan selama berabad-abad, ketika umat manusia berada pada tahap-tahap awal perkembangan spiritual mereka. Setiap orang menjadi polisi bagi setiap orang lain adalah cara praktis untuk menjaga prilaku manusia.


Di masa silam, kala saya masih kanak-kanak di kampung halaman, orang begitu mudah menemukan sukarelawan. Di sekolah dasar, tempatku bersekolah, setidaknya ada dua orang guru sebagai sukarelawan. Mereka tidak digaji, semata-mata pengabdian, hingga saatnya nanti diangkat menjadi guru negeri. Di masyarakat pun begitu gampang seseorang menjadi sukarelawan. Saat sebuah mesjid dekat rumahku mau dibangun, orang-orang mengangkut batu, memindahkan pasir dan lainnya, secara sukarela. Walhasil mesjid itu berdiri karena keswadayaan masyarakat. Saya amat takjub kalau mengenang masa-masa itu.

Di era kiwari ini, sulit sekali menemukan prilaku individu-masyarakat yang demikian. Bahkan kalau ada sosok yang memilih menjadi sukarelawan, terkadang dianggap sebagai suatu keanehan untuk tidak mengatakan kegilaan. Banyak yang tidak percaya, ketika semisal John Wood memilih meninggalkan pekerjaannya sebagai eksekutif Microsoft, yang wilayah kerjanya Asia-Pasifik, berpusat di Beijing-Cina, dan juga Sophie, kekasih hatinya, lalu memilih menjadi sukarelawan. Lewat organisasi nirlaba bentukannya, Room to Read, Ia mendirikan ribuan perpustakaan di berbagai belahan bumi. Dan hasilnya, lebih dari tujuh juta anak miskin, kini dapat merasakan manfaat buku dan pendidikan. Yang risalah  hayatnya bisa kita daras pada buku Room to Read (2006) dan Creating Room to Read (2013)

Atau ketika segelintir orang menggabungkan diri dalam sebuah program kerelawanan,  Kelas Inspirasi Sul-Sel. Yang bakal digelar bulan maret 2015, di beberapa kabupaten-kota. Program ini mempersyaratkan seorang individu-profesional, yang ingin terlibat harus taat pada 7 rukun: Sukarela, bebas kepentingan, siap bekerja, tanpa biaya, turun tangan-ambil bagian, siap bersilaturrahmi dan tulus .Tujuannya menginspirasi anak-anak sekolah dasar di berbagai pelosok yang terpinggirkan. Mereka menjadi relawan sehari selaku panitia-pendamping, fotografer-videografer dan pengajar.

Demikian pula individu-individu yang merelakan dirinya datang ke gedung komisi antirasuah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi sukarelawan guna menyelamatkan KPK dari upaya kriminalisasi komisionernya dan penghancuran  institusinya. Akibatnya, mereka pun dianggap sebagai rakyat yang tak jelas oleh seorang Menteri. Adakah stigma yang lebih mengerikan, ketika seorang rakyat dianggap tidak jelas di negerinya sendiri?


Bertolak dari narasi-narasi di atas, dapatlah ditandaskan, bahwa pada dasarnya merawat kesukarelaan, secara sederhana ditemukan bentuk-bentuknya saat ini. Pertama, kesukarelaan  motifnya dilakukan atas inisiatif sendiri. Kedua, suatu kesukarelaaan sebagai bagian dari pengorganisasian modern, menyiapkan wadah bagi orang-orang yang ingin melibatkan diri dalam kesukarelaan. Ketiga, kesukarelaan yang timbul sebagai reaksi atas suatu keadaan yang menyimpang di masyarakat.


Agar negeri ini tidak bubar, kesukarelaanlah salah satu tali pengikatnya, biar kepedulian tumbuh subur dan welas asih menbabarkan auranya. Merawat kesukarelaan adalah harga yang harus ditawarkan. Perjuangan-pengorbanan menjadi jalannya. Khavari menegaskan kembali, berkorban adalah menyumbangkan sesuatu yang kita hargai demi sesuatu yang lebih kita hargai. Yang kemudian  dipertajam oleh seorang filsuf Jerman, Arnold Schopenhauer, yang dengan gamblang menyatakan, welas asih adalah dasar moralitas. Atau simaklah sabda seorang penyair mistis, Maulana Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi-nya, kita adalah lebah, dan tubuh kita sarang madu, kita membuat tubuh itu, jaringan demi jaringan, seperti lilin lebah.

0 komentar:

Posting Komentar