Merawat Kesukarelaan Membabar Welas Asih
Sulhan Yusuf
Pegiat Literasi
Jangan bicara perjuangan, manakala belum ada suka di
dalamnya. Usah bilang pengorbanan, jikalau tak tampak rela di atasnya. Sukarela
adalah galanya perjuangan dan pengorbanan. Semoga saja kesukarelaan tidaklah
mati di negeri ini, sebab itu sama artinya negeri sudah bubar.
Manakala kesukarelaan teraktuil, akan lahirlah kepedulian.
Dari kepedulian ini menumbuhkan rasa
welas asih. Sehingga, seorang sukarelawan pada dirinya mewujud kepedulian, dan
dari pedulinyalah welas kasih berkecambah, guna membantu orang lain. Menjadi
sukarelawan bermakna menabalkan diri menjadi manusia berguna, yang bermaksud
menghujamkan secercah rasa bahagia pada sesama.
Sesungguhnya kesukarelaan, kepedulian dan welas asih adalah
sesuatu yang built in dalam diri. Hasil-hasil riset menguatkan pandangan
itu. Stephen Post, lewat bukunya, Why Good Things Happen to Good People,
memaparkan bahwa riset terbaru di Princeton mulai menunjukkan, sebuah area
dalam otak yang disebut insula, yang terletak di dalam cerebral courtex,
diasosiasikan dengan empati dan welas asih. Hal ini menjadi topik yang hangat
dalam ilmu saraf saat ini karena di situlah tempat saraf-saraf cermin –
saraf-saraf yang “mencerminkan” pengalaman yang dihadapi orang lain, hampir
persis seolah kita sendiri yang mengalaminya pada waktu yang sama – sepertinya
berada.
Adalah Khalil A. Khavari, dalam bukunya The Art of
Happines, menuliskan bahwa di kebudayaan-kebudayaan tertentu, khususnya
pada zaman dahulu, saling membantu untuk belajar dan berbuat kebajikan di satu
sisi dan mencegah kejahatan di sisi lain merupakan tugas setiap orang. Andai
kala itu, Anda melihat seseorang berbuat amoral, tak etis, atau illegal, Anda
berkewajiban menegurnya dan menasihatinya untuk berlaku baik. Praktik ini
berhasil menyangga kebaikan selama berabad-abad, ketika umat manusia berada
pada tahap-tahap awal perkembangan spiritual mereka. Setiap orang menjadi
polisi bagi setiap orang lain adalah cara praktis untuk menjaga prilaku manusia.
Di masa silam, kala saya masih kanak-kanak di kampung
halaman, orang begitu mudah menemukan sukarelawan. Di sekolah dasar, tempatku
bersekolah, setidaknya ada dua orang guru sebagai sukarelawan. Mereka tidak
digaji, semata-mata pengabdian, hingga saatnya nanti diangkat menjadi guru
negeri. Di masyarakat pun begitu gampang seseorang menjadi sukarelawan. Saat
sebuah mesjid dekat rumahku mau dibangun, orang-orang mengangkut batu,
memindahkan pasir dan lainnya, secara sukarela. Walhasil mesjid itu berdiri
karena keswadayaan masyarakat. Saya amat takjub kalau mengenang masa-masa itu.
Di era kiwari ini, sulit sekali menemukan prilaku
individu-masyarakat yang demikian. Bahkan kalau ada sosok yang memilih menjadi
sukarelawan, terkadang dianggap sebagai suatu keanehan untuk tidak mengatakan
kegilaan. Banyak yang tidak percaya, ketika semisal John Wood memilih meninggalkan
pekerjaannya sebagai eksekutif Microsoft, yang wilayah kerjanya Asia-Pasifik,
berpusat di Beijing-Cina, dan juga Sophie, kekasih hatinya, lalu memilih
menjadi sukarelawan. Lewat organisasi nirlaba bentukannya, Room to Read, Ia
mendirikan ribuan perpustakaan di berbagai belahan bumi. Dan hasilnya, lebih
dari tujuh juta anak miskin, kini dapat merasakan manfaat buku dan pendidikan.
Yang risalah hayatnya bisa kita daras pada
buku Room to Read (2006) dan Creating Room to Read (2013)
Atau ketika segelintir orang menggabungkan diri dalam sebuah
program kerelawanan, Kelas Inspirasi
Sul-Sel. Yang bakal digelar bulan maret 2015, di beberapa kabupaten-kota.
Program ini mempersyaratkan seorang individu-profesional, yang ingin terlibat
harus taat pada 7 rukun: Sukarela, bebas kepentingan, siap bekerja, tanpa
biaya, turun tangan-ambil bagian, siap bersilaturrahmi dan tulus .Tujuannya menginspirasi
anak-anak sekolah dasar di berbagai pelosok yang terpinggirkan. Mereka menjadi
relawan sehari selaku panitia-pendamping, fotografer-videografer dan pengajar.
Demikian pula individu-individu yang merelakan dirinya
datang ke gedung komisi antirasuah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi
sukarelawan guna menyelamatkan KPK dari upaya kriminalisasi komisionernya dan
penghancuran institusinya. Akibatnya,
mereka pun dianggap sebagai rakyat yang tak jelas oleh seorang Menteri. Adakah
stigma yang lebih mengerikan, ketika seorang rakyat dianggap tidak jelas di
negerinya sendiri?
Bertolak dari narasi-narasi di atas, dapatlah ditandaskan,
bahwa pada dasarnya merawat kesukarelaan, secara sederhana ditemukan
bentuk-bentuknya saat ini. Pertama, kesukarelaan motifnya dilakukan atas inisiatif sendiri. Kedua,
suatu kesukarelaaan sebagai bagian dari pengorganisasian modern, menyiapkan
wadah bagi orang-orang yang ingin melibatkan diri dalam kesukarelaan. Ketiga,
kesukarelaan yang timbul sebagai reaksi atas suatu keadaan yang menyimpang di
masyarakat.
Agar negeri ini tidak bubar, kesukarelaanlah salah satu tali
pengikatnya, biar kepedulian tumbuh subur dan welas asih menbabarkan auranya.
Merawat kesukarelaan adalah harga yang harus ditawarkan. Perjuangan-pengorbanan
menjadi jalannya. Khavari menegaskan kembali, berkorban adalah menyumbangkan
sesuatu yang kita hargai demi sesuatu yang lebih kita hargai. Yang kemudian dipertajam oleh seorang filsuf Jerman, Arnold
Schopenhauer, yang dengan gamblang menyatakan, welas asih adalah dasar moralitas.
Atau simaklah sabda seorang penyair mistis, Maulana Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi-nya,
kita adalah lebah, dan tubuh kita sarang madu, kita membuat tubuh itu, jaringan
demi jaringan, seperti lilin lebah.
0 komentar:
Posting Komentar