Sabtu, 28 Februari 2015

Khomeini, Revolusi dan Cinta

Khomeini, Revolusi dan Cinta
( Koran Tempo Makassar, Senin 23 Februari 2015)

Sulhan Yusuf
Pegiat Literasi

Ada persamaan antara revolusi dan cinta.  Keduanya kadang datang secara tiba-tiba, namun  bisa diprediksi, karena keduanya tidak punya teori yang final tentangnya. Dan suatu revolusi, selalu melahirkan anak kandung revolusi, yakni manusia luar biasa, para pahlawan. Pada sosok pahlawanlah menubuh keluarbiasaan sebagai manusia, namun lebih luar biasa lagi, manakala jalan akhir darinya memilih menjadi manusia biasa, sosok bijak bestari, yang membabar kebajikan berselimutkan cinta. Puncak kepahlawanan seseorang, ketika ia mewujud menjadi manusia bijak.


Saya amat suntuk mendaras sebuah buku yang berlatar biografi seorang tokoh. Di jedanya bacaan, kumenatap sebuah potret di dinding ruang bacaku. Lalu kumenerawang, mengingat kembali, sejak kapan wajah itu pertama kali kulihat? Tertanbatlah kenanganku pada masa di sekolah menengah pertama, tepatnya di bulan februari 1979. Lewat sebuah pesawat televisi, yang masih hitam putih di rumah tetangga, saya menonton acara berita TVRI. Saya menyaksikan seorang kakek, bersorban hitam, bermata tajam, cerah raut mukanya, janggutnya putih, berjubah hitam. Langkahnya ringkih, disegani lawan, namun dicintai oleh pengikutnya. Berpuluh tahun kemudian, saat saya menduduki bangku perkuliahan, barulah saya tahu persis bahwa sosok itu adalah Imam Khomeini, tokoh sentral Revolusi Islam Iran dan sekaligus pemimpin spiritual Republik Islam Iran.

Di bulan februari 2015 ini, saya kembali pirsa televisi. Tentulah suasananya sudah berbeda. Mulai dari pesawat televisinya yang sudah berwarna-warni, chanel siaran pun makin banyak. Dan, wajah sang kakek pun masih ditayangkan  di berbagai stasiun televisi, sebagai rangkaian memperingati Revolusi Islam Iran, yang puncaknya terjadi pada tanggal 12 februari 1979. Berarti, 36 tahun sudah Revolusi Islam Iran. Dari titik inilah, menarik untuk mendedahkan tabir tokoh sentral ini, baik sebagai penggerak revolusi maupun selaku pemimpin spiritual.

Saya ingin mengadaptasi ulasan pena dari Alwi Rachman, ketika menulis di media ini, berjudul Manusia: Pantomim tanpa Misteri dan Idola, kala memaparkan pendakuan Joseph Campbell, seorang scholar mitologi, tentang makna mitos, fabel dan legenda bagi manusia dan kemanusiaannya. Yang saya boleh sarikan dalam simpulan perjalanan dari menjadi hero (pahlawan) berakhir pada wise (bijak) sebagai simpainya.

Menurut Alwi, mitos adalah soal makna. Fabel dan legenda adalah soal kebajikan. Makna dan kebajikan dialirkan dan mengalir melalui kelompok dan kumpulan individu. Kadang-kadang, makna dan kebajikan dihadirkan melalui tokoh atau tokoh simbolik. Sering kali sang tokoh hadir secara anonim. Tapi justeru status anominitas sang tokoh yang menjadi pagar bagi setiap individu untuk tidak leluasa mengekspresikan dirinya sendiri, apalagi untuk bebas mengalahkan dan meniadakan individu lain dalam kelompok. Sensasi misteri sang tokoh lalu menjadi pengikat psyche kelompok. Melalui mitos, individu dalam kelompok lalu terikat dan bergerak secara bersama. Psyche individu terpelihara dan terhubung dengan psyche individu lain. Lalu jadilah psyche kelompok. Psyche kelompok menjelma sebagai arena kehidupan bersama.

Dari simpai adaptasi di atas, saya akan membiraikan sosok Imam Khomeini. Peristiwa Revolusi Islam Iran, Khomeinilah menjadi pusarannya. Ia tampil sebagai tokoh yang memerankan penggerak revolusi, menjelma menjadi pahlawan yang menumbangkan sebuah rezim despotik Syah Reza Pahlevi, yang didukung oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Anak kandung Revolusi Islam Iran salah seorangnya adalah Imam Khomeini, sosok pahlawan layak ditabalkan padanya. Dan itu bermakna, alam mitos bersiap menyelimutinya.

Setelah revolusi usai, berdirilah sebuah negara dengan tatanan baru, Republik Islam Iran. Laiknya sebuah revolusi yang sukses, lazim terjadi bahwa sang pahlawanlah yang menjadi presiden. Namun tidak galib di Iran, sebab Imam Khomeini lebih memilih menjadi pemimpin spiritual Iran. Menolak masuk istana, lebih memilih tinggal di rumahnya yang sederhana. Penobatannya selaku pemimpin spiritual, mengalamatkan pada diri Khomeini sosok yang memerankan sebagai seorang bijak bestari, penuh cinta kasih. Tentang saling kait antara cinta dan kebajikan, seorang filosof muslim dari Isfahan yang hidup pada zaman keemasan Islam, Ibnu Miskawaih dalam Tahdzib Al- Akhlaq seolah  bertutur bahwa kebijakan dan kebajikan seseorang bertaut langsung dengan cinta kasih yang dimilikinya, dari cinta yang amat manusiawi menuju cinta yang sangat ilahiah. Maka nyatalah penegasan dari Joseph Campbell, dari hero menjadi wise, dari sosok pahlawan menuju pribadi bijak.

Bila risalah hidup Imam Khomeini didaras dengan cermat, memang sudah menunjukkan bakatnya untuk menjadi pahlawan. Perjalanan hidupnya dipersembahkan untuk  pembebasan negerinya dari kesewenangan penguasa yang menindas  rakyat. Begitupun bakatnya sebagai seorang pesuluk di jalan ruhani, sangat menentukan pilihannya untuk menjadi pemimpin spiritual. Semua itu bisa kita lacak dalam tebaran berbagai karya intelektual dan spiritualnya, diantaranya; Kasyf Al-Asrar, Hukumat-i Islami, Misbah Al-Hidayah, Jihad-i Akbar ya Mubaraza ba Nafs, Sirr as-Shalah: Mi’raj as-Salikin wa Shalah al-Arifin dan al-Adab al-Ma’nawiyah li ash-Shalah.

Imam Khomeini telah menghidu Iran dengan setumpuk warisan intelektual dan spiritual, serta sejarah perjuangan sebagai seorang pahlawan dan pemimpin spiritual. Wajarlah kemudian jikalau saya nyatakan bahwa mitos, makna dan kebajikan telah menubuh pada Imam Khomeini. Dan, realitas pun masih menunjukkan pada kita, betapa Iran di masa kiwari ini masih menjadi bangsa yang utuh, penuh martabat berhadapan dengan para bangsa, negara yang ingin merompak di atas bumi, dan kawasan Timur Tengah pada khususnya. Seorang Khomeini adalah persona revolusioner yang heroik, sekaligus sebagai pesuluk yang penuh cinta di kehayatan planet ini.

0 komentar:

Posting Komentar