Hayat yang
dikandung badan rela Ia lepas. Mempertaruhkannya demi sejarah masa depan yang
bakal dibaca dan diteladani bagi para pengikut yang bersetia pada kemanusiaan.
Mempersembahkan yang paling tertinggi -- berupa hayat -- demi spirit
pembebasan. Keterbebasan dari kertertindasan dalam multidimensi kehidupan
adalah asa bagi setiap insan. Yesus Kristuslah spirit itu terwujud dan
terwariskan pada sosok Imam Husein.
Yesus Kristus atau
Isa al-Masih adalah figur historis yang
telah mempersembahkan jalan hidupnya bagi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan.
Menurut Ziaul Haque, yang menulis buku Revelation and Revolution Islam (
Wahyu dan Revolusi, 2000), bahwa Yesus adalah: Pertama,
seorang nabi-revolusioner, seorang guru yang bertaqwa, seorang hamba kebenaran
yang memberontak terhadap korupsi dan eksploitasi yang dilakukan oleh kaum
penindas dan memimpin kaum lemah dan miskin melawan para penindas. Dia
memerintahkan kaumnya untuk mengikuti jalan ketakwaan dan kebenaran, jalan
lurus Allah, dan menjauhkan diri dari semua kejahatan dan kepalsuan.
Kedua,
Yesus memberontak terhadap sistem
sosial yang palsu dan cara hidup yang munafik, termasuk para pemuka agama yang
menggunakan agama sebagai topeng untuk kepentingan duniawi, mengorbankan
segalanya demi sebuah masyarakat baru yang adil berdasarkanpada kebenaran dan
kesetaraan.
Ketiga, Yesus menggerakkan dan
membangkitkan rakyatnya menentang para penindas tetapi dia tidak mau
mempersenjatai dirinya sendiri maupun
para pengikutnya. Perlawanan non-kekerasan yang dilakukannya mencerminkan sebagai pendakwah cinta kasih. Dia hidup sebagai
manusia biasa yang sederhana, jujur, dan rendah hati. Memikirkan orang lain,
hidup-menderita-mati untuk orang lain.
Pewaris Yesus
Lalu bagaimana
dengan nilai-nilai kemanusiaan yang diperjuangkan oleh Yesus di kemudian
hari? Setelah perjalanan panjang –
berabad-abad lamanya—ternyata situasi sosial itu hadir kembali, dan itu berarti
butuh figur historis lagi, agar panji-panji kemanusiaan bisa ditegakkan
kembali. Adakah pewaris Yesus ? Pada konteks inilah urgensi menghadirkan figur
historis lain semisal Imam Husein, yang telah menorehkan drama perjuangannya,
yang berpuncak pada syahidnya di Padang
Karbala.
Realitas historis yang dihadapi Imam Husein sehingga ia
bangkit untuk menentang penguasa pada saat itu, amat mirip yang dihadapi Yesus.
Seperti, terjadinya penyimpangan di bidang kekuasaan politik berupa rusaknya
lembaga kekhalifahan, penumpukan harta karena makin banyaknya rampasan perang
sebagai konsekuensi dari semakin luasnya kekuasaan Islam, diskriminasi dalam
masyarakat antara bangsa Arab-non Arab, korupsi yang merajalela dan masyarakat
tidak berdaya di hadapan penguasa, bid’ah berubah menjadi sunnah yang berarti
kemunduran akhlak yang luar biasa dan kembalinya pola-pola jahiliah.
Imam Husein yang melihat realitas seperti itu tidaklah
tinggal diam. Tapi apa dayanya? Ia nyaris
tidak punya apa-apa. Kakek (nabi Muhammad SAW) dan sahabat-sahabat
kakeknya sudah pada tiada, termasuk
ayahnya (Imam Ali) telah terbunuh, dan begitu juga saudaranya (Imam Hasan) sebagai
benteng terakhir telah ditaklukkan oleh Muawiyah. Apalagi tentara untuk
berperang, yang bisa angkat senjata tiada pula. Ia hanya punya pengikut, sahabat-sahabat
dan keluarga yang jumlahnya sekitar ratusan orang yang akan menghadapi ribuan
tentara profesional bersenjata lengkap di Padang Karbala. Apa yang terjadi?
Pembantaian kemanusiaan yang sangat dramatis dan memilukan sepanjang sejarah.
Menjadi menarik mengajukan pendapat salah seorang
Cendekiawan Kristen Arab Suriah, Antoine Bara,
yang menulis tentang Imam Husein dalam bukunya yang berjudul Husain
Fi Fikril Masahi (Pewaris Yesus-Husain Dalam Kristianitas, 2009) bahwa;
Pembantaian manusia mana pun dalam
sejarah, baik sejarah klasik maupun kontemporer, belum pernah mendapatkan
kekaguman, pelajaran, dan simpati seperti yang terjadi pada pembantaian di
Karbala. Pembantaian ini merupakan peristiwa yang paling menyentuh perasaan
umat Islam, dan sangat berpengaruh terhadap perjalanan akidah Islam. Sekiranya
hal itu tidak terjadi, niscaya Islam hanya berupa agama yang tampak lahiriahnya
saja tanpa akidah terpatri di dalam dada dan keimanan yang memenuhi emosi
setiap Muslim.
Apa dampak yang berupa ibrah, yang ditimbulkan oleh
revolusi yang dilakukan oleh Imam Husein? Lebih jauh Antoine Bara menulis, revolusi Husein bin Ali adalah yang pertama,
karena dalam bingkai keagamaannya, revolusi tersebut merupakan revolusi pertama
yang tercatat dalam sejarah Islam dan sejarah-sejarah agama samawi yang lainnya
pada tataran prinsip-prinsip dan nilai-nilai akidah.
Kedua, revolusi itu sebagai pelopor karena menjadi pembuka
semangat revolusi, dalam hal revolusi spiritual, yang terpatri di dalam dada
kaum Muslim. Revolusi itu mengingatkan mereka, ketika tidur atau duduk-duduk,
tentang makna kemuliaan dan tentang makna bahwa seorang mukmin merupakan gunung
yang kokoh di hadapan para penyebar fitnah yang mengatasnamakan agama dan para
pembuka jalan-jalan kemusyrikan serta kesia-siaan yang mengatasnamakan aqidah.
Revolusi itu merupakan ajakan lantang guna menghancurkan tonggak-tonggak
kesesatan, dan menghadapi tujuan korup orang-orang yang menyimpang dari jalan
syariat.
Ketiga, revolusi itu tiada tandingannnya,
dikarenakan revolusi itu menghujam ke dalam batin kaum Muslim, dengan
meninggalkan pengaruh-pengaruh ideologis yang sangat besar. Setiap aktivitas
orang-orang yang berpegang kepada ajaran Islam dan yang memutuskan perkara atas
nama Islam membutuhkan suatu terapi kejut, dalam bentuk suatu pengorbanan yang
heroik. Ketika itu, hal tersebut menghasilkan efek kejut yang membangkitkan dan mengalirkan cinta
dalam batin generasi-generasi berikutnya.
Keempat, revolusi itu abadi, sebab pada
awal dan akhirnya, revolusi tersebut bersifat manusiawai, keluar dari diri
manusia dan kembali lagi ke dalam diri manusia dengan dilumuri darah yang suci
dan disucikan melalui kesyahidan yang ideal. Dengan begitu, maka revolusi ini
bersifat moral, yang dengan moralitas kemanusiaan inilah yang akan mengabadikan
dan memandu setiap gerakan revolusioner pada sejarah yang akan tercipta di masa
depan.
Bagaimana dengan realitas kekinian kita saat ini? Dimana
korupsi menjadi gaya hidup, jarak sosial hidup kehidupan si kaya dan si miskin
semakin menganga, para pemimpin negeri yang masih sangat sibuk memperkaya diri,
keadilan masih merupakan angan-angan, kesejahteraan masih berupa janji-janji,
para pemimpin agama hanya sibuk berdakwah secara simbolik dan melupakan pesan-pesan
substansial agama. Adakah secercah harapan diantara kita untuk menjadi pewaris
Yesus, pewaris Husein?
0 komentar:
Posting Komentar