Memberilah
dengan Sari Diri
Sulhan Yusuf
Pegiat Literasi
Berikanlah yang
terbaik dari milikmu, seolah yang akan menerimanya adalah dirimu sendiri.
Pemberian mesti dimaksudkan sebagai titik temu antara kemampuan menyatakan
kesanggupan dan keterbebasan beban bagi yang menerimanya. Dengan begitu,
pemberian barulah maksimal manfaatnya bagi si penerima, sehingga si penerima
tidak perlu lagi berfikir berkali-kali akan kegunaan suatu pemberian.
Sekali waktu,
saya berada di sebuah toko buku. Sambil memerhatikan buku-buku yang akan saya
beli, juga menguping perbincangan transaksional dari dua orang konsumen yang
mencari buku untuk keperluan yang berbeda, namun dalam satu tujuan, ingin
disumbangkan, sebagai bentuk pemberian untuk menyatakan kepentingannya.
Konsumen pertama,
mencari buku yang sesuai dengan jurusannya. Tidaklah perlu tebal, harganya
semurah mungkin. Sebab, maksud pembeliannya dalam rangka mendapatkan kartu
bebas pustaka, sebagai prasyarat menjadi sarjana di kampusnya. Oleh penjaga
toko buku, dipenuhinya kebutuhan sang konsumen, dan transaksi pun berlangsung.
Sembari tersenyum simpul, si konsumen meninggalkan toko buku dengan perasaan
lega. Apa yang dicarinya telah terpenuhi. Saya pun hanya memicingkan mata,
membatinkan lebih jauh tingkahnya.
Di sudut lain, konsumen
kedua terlibat percakapan serius dengan penjaga toko buku. Didedahkannya maksud
membeli buku untuk sebuah keperluan, sebagai kado untuk kerabatnya yang akan
menikah. Dimintanya penjaga toko buku untuk mencarikan buku yang terbaik bagi
calon pengantin, yang sebentar lagi akan membangun rumah tangganya.
Oleh si penjaga,
ditawarkannya sebuah buku yang cukup tebal, harga agak mahal. Namun si konsumen
langsung saja mengiyakan. Transaksi pun terjadi, dan tak lupa ia meminta untuk
dibungkuskan pakai kertas kado. Mata saya agak melebar, menyaksikan peristiwa
itu.
Dua peristiwa
tersebut, sama dalam tindakan. Ingin memberikan sesuatu kepada orang lain.
Meski dengan motif dan tujuan yang berbeda. Intinya adalah pemberian. Pada
konteks inilah menarik untuk diajukan penuturan Marcel Mauss, yang dipertegas
oleh Parsudi Suparlan saat menerjemahkan dan menuliskan pengantarnya untuk buku
yang berjudul Pemberian, yang judul aslinya bertitel The Gift, form
and functions of exchange in archic
societies.
Bagi Marcel Mauss,
pada dasarnya tidak ada pemberian yang cuma-cuma. Segala bentuk pemberian
selalu dibarengi dengan sesuatu pemberian kembali atau imbalan. Dengan demikian
maka yang terjadi bukan hanya pemberian seseorang kepada orang lain, melainkan
tukar-menukar, saling memberi dan mengimbangi. Artinya, pemberian itu
sesungguhnya adalah transaksi antara si pemberi dan si penerima.
Lebih jauh Marcel
menandaskan bahwa suatu pemberian hadiah adalah sama dengan suatu pemberian mana
atau sari kehidupan dari si pemberi kepada si penerima. Dengan diterimanya
suatu benda yang diberikan maka diartikan bahwa si penerima pemberian tersebut
telah menerima sari kehidupan si pemberi atau sama dengan diri si pemberi itu
sendiri.
Marcel makin
menukik dalam penjelasannya, ada juga pemberian yang tidak menuntut
diberikannya imbalan atau pengembalian oleh si penerima, semisal sedekah.
Jikalau diperhatikan lebih lanjut, akan tampak bahwa sedekah adalah sebuah
unsur dari sistem yang lebih luas, memperlihatkan adanya hubungan di antara si
pemberi dengan unsur ketiga, yaitu Tuhan, yang kedudukannya lebih tinggi
daripada si pemberi maupun si penerima, yang akan memberikan pahala kepada si
pemberi.
Bertolak dari
uraian Marcel, saya ingin membingkai dua kejadian di toko buku tersebut. Tindakan
konsumen pertama dan kedua, sama-sama dimotivasi untuk suatu tindakan memberi
pada orang lain. Konsumen pertama, menyumbangkan buku demi mendapatkan imbalan,
selembar kertas bebas pustaka. Sebentuk transaksi yang amat “telanjang” dimensi
kepentingan materialnya. Si pemberi melakukan tindakannya, sebab adanya tekanan
eksternal di luar dirinya. Situasi eksternallah yang memaksanya untuk memberi.
Adapun konsumen
kedua, memenuhi tindakannya, disebabkan oleh inginnya memberi sari dirinya
kepada kerabatnya. Tentulah dengan harapan agar kerabatnya itu menerima dirinya
sebagai bagian dari sari kehidupan. Karena si pemberi memberikan buku yang
terbaik buat kerabatnya, seolah ia merepresentasikan dirinya dalam sebuah cita
ideal. Dalam konteks ini, si pemberi tidaklah menuntut imbalan berupa benda,
melainkan cukup dengan memenuhi harapan cita ideal representasi dirinya pada
buku tersebut. Dan, manakala si penerima mewujudkan cita ideal itu, maka Tuhan
pun akan mengganjar si pemberi dengan pahala. Tindakan memberi dengan sadar –
sari diri – muasalnya dari ruang internal diri, yang melampau batas-batas
material. Nuansanya amat spiritual.
Lalu, adakah
dampak yang serius dari sebuah tindakan memberi atau pemberian yang sifatnya
transaksinal semata sebab tekanan eksternal dan pemberian bertolak pada motif
sari diri karena dorongan internal sadar diri?
Ini sejenis
rabaan saja. Tindakan memberi buku sebagai sumbangan buat perpustakaan, yang
sekadar memenuhi kewajiban menyebabkan pemberian itu hambar. Dapat dibayangkan
kualitas buku yang seadanya bercokol di perpustakaan kampus.
Akan halnya buku
yang diberikan pada kerabat, dengan harapan adanya cita ideal sebuah bangunan
rumah tangga yang bakal dijalani, pastilah berujung pada dampak yang jauh ke
masa depan. Tidak saja bagi pasangan baru itu, tetapi setiap persona yang
tumbuh dalam rumah itu, sebab buku itu bakal mempesona penghuninya.
Jadi, mengapa
masih saja memberi dengan terpaksa, jikalau dampaknya sia-sia belaka? Meski
pemberian disebabkan oleh tekanan eksternal, sebagai pemenuhan akan kewajiban,
tetapi dalam menunaikannya sama seperti memberi karena dorongan internal, wujud
dari sari diri maka hasilnya pasti akan sama. Berikanlah yang terbaik, seolah
yang bakal menerima pemberian itu adalah dirimu sendiri. Sari dirimu mewujud
pada diri lain.
0 komentar:
Posting Komentar