Dua misscall dan satu SMS nongol di telepon genggam saya. Kedua orang yang memanggil itu adalah karib dekat saya, Daeng Zaenuddin Kabai dan bung Dion Syaif Saen. Pesan pendek dari Dion, bertuliskan, “saya ada di rumahnya pak Zaenuddin”. Saya tidak sempat memerhatikan panggilan dan pesan itu, pasalnya, saya ke mesjid dekat rumah, Mesjid Ruhul Amin Tumbelgani Bantaeng, untuk menuntaskan shalat Isya berjamaah. Sepulang dari mesjid, saya langsung baring-baring, selanjutnya terlelap.
Kisaran pukul 20.000, saya terjaga, tatkala dibangunkan oleh saudara saya, karena seseorang ingin bertemu. Ternyata, orang itu tiada lain adalah Dion. Maksud kedatangannya, menjemput saya untuk bertandang ke rumahnya Daeng Seni, panggilan akrab saya pada pak Zaenuddin Kabai. Sebelum berangkat, saya gapai HP yang tercharge aktif, dan alamak, betapa lalainya saya terhadap panggilan dan pesan pendek itu. Berboncenganlah saya dengan Dion menuju rumah Daeng Seni, di Bissampole Bantaeng, yang jaraknya hanya seratusan meter.
Rupanya Daeng telah menanti saya, di lantai dua rumahnya yang sementara dibangun. Saya menaiki tangga melingkar seperti tikungan yang agak tajam. Setiba di ruangan yang seluas kurang lebih 3x3 meter, saya langsung menyalami tiga orang yang sementara duduk menunggu. Ada Daeng, Afdhan (putra tertua Daeng) dan Yunus Onto. Jadi, berlimalah kami di ruangan itu. Saya langsung bergairah, sebab di depan saya berjejer beberapa gelas kopi, sepiring jagung goreng dan semangkok je’ne uring (sejenis bubur peganan yang terbuat dari jagung muda, dimasak campur gula merah).
Bersua dengan Daeng Seni, selalu menggairahkan. Sebab, dialah salah seorang mitra diskusi yang cukup liar dalam berpikir, sejak menjadi mentor saya di kampus IKIP Ujung Pandang dulu. Maklum, beliau adalah senior saya di tiga institusi, persisnya di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Himpunan Pelajar Mahasiswa Bantaeng (HPMB) dan Organisasi Intra Kampus (Himpunan Mahasiswa Jurusan. Senat Mahasiswa dan Badan Perwakilan Mahasiswa). Beliau angkatan 1982, sementara saya angkatan 1985.
Salah satu pengalaman menarik bersama Daeng, ketika sama-sama mengurus HPMB. Beliau adalah ketua umumnya dan saya selaku sekretaris umum. Namun, usia kepengurusan kami hanya berumur 40 hari. Oleh sebab ada dinamika yang kurang sehat, protes yang terus menerus dialamatkan kepada keterpilihan kami, maka langkah yang kami tempuh adalah meletakkan dan memberikan jabatan kepada yang protes. Sehingga, jabatan itu diserahkan kepada pesaingnya Daeng sewaktu Mubes HPMB, pak Amir Alkaf.
Perbincangan malam itu yang cukup menajam, ketika Afdhan bertanya, atas rasa penasarannya selama ini terhadap saya, yang lebih memilih berkiprah di kampung halaman, Bantaeng, tinimbang di Jakarta atau di Makassar. Khususnya pada bidang politik. Sebab menurutnya, saya punya kapasitas untuk itu, berdasar pada pahamannya terhadap sepak terjang yang selama ini saya lakukan. Saya duga, tanda tanya Afdhan tidak berdiri sendiri, mungkin saja sang Ayah, Daeng Seni, sering memberi penguatan atas keingintahuannya, dengan bercerita tentang aktivitas selama bersama di Makassar.
Pertanyaan semisal Afdhan ini, paling sulit saya jawab. Mengapa memilih aktifitas di sebuah kota kecil, Bantaeng, bukannya di pusat-pusat kekuasaan. Herannya lagi, mengapa pula aktifitas tidak di jalur politik, semisal mencoba ikut pemilihan anggota legislatif, DPRD, atau sekalian mencalonkan diri menjadi Bupati atau Wakil Bupati, yang saat ini sudah memasuki tahun politik untuk Bantaeng, mengingat Pilkada berlangsung 2017 nanti.
Memang harus saya akui, enam tahun belakangan ini, waktu saya lebih banyak tercurahkan di Bantaeng. Dan, aktifitas saya, bagi banyak orang, kurang populer, memilih menjadi pegiat literasi. Hanya sekadar memprovokasi berbagai elemen masyarakat untuk meningkatkan minat membaca dan menulisnya. Bergiat memberikan pelatihan literasi, mencari dan mengembangkan kemampuan menulis, hingga menerbitkannya. Bagi orang ramai, pilihan aktifitas ini adalah tidak menguntungkan secara material. Bahkan, toko buku yang pernah saya dirikan di tahun 2010, kini sudah tutup, sisa komunitasnya yang aktif, Komunitas Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan.
Teringatlah saya, akan guru ideologis saya, pak Ishak Ngeljaratan, yang sekali waktu, berbincang lewat telepon, dan menabalkan saya sebagai orang “gila”. Bagi pak Ishak, adalah sebuah kegilaan yang dilakonkan seseorang, manakala memilih jalan hidup yang tak lazim, ikut mengurus orang lain, di tengah perlombaan hasrat menimbun materi, buat diri sendiri, yang tak kunjung puas. Dan, saya salah seorang yang “gila” itu. tandas pak Ishak.
Jadi, bung Afdhan, laku-laku yang saya lakonkan, yang membuat bung penasaran adalah sebentuk kegilaan saja. Walau saya harus terangkan kegilaan ini, bahwa pandangan dunia yang saya peluk, yakni setiap orang berhak mendapatkan yang terbaik. Bagi saya, setiap orang atawa masyarakat kita, tidak boleh diabaikan hak-hak dasarnya untuk mendapatkan kulitas hidup, yang bakal mengantarkan dirinya untuk meraih sosok-sosok yang memiliki kualitas sumberdaya manusiawi. Siapapun dia, kita wajib menunjukkan jalan terang untuk meraih ketercerahan hidup, sebagai pilar utama untuk mendapatkan kualitas sumberdaya manusia, yang ciamik.
Saya memilih peran sebagai pegiat literasi, sebab saya yakin seyakin-yakinnya, bahwa jalan paling terang itu adalah dengan memberikan pencerahan pada masyarakat. Dan, pintu terdepannya tatkala tradisi literasi masyarakat kita kuat, guna melahirkan budaya literasi. Masyarakat yang punya tradisi literasi kuat, akan menjadi masyarakat mandiri. Dalam pandangan demokrasi substantif, disebut sebagai wujud one man one vote. Masyarakat mandiri dicirikan dengan kemerdekaan atas pilihan beserta resiko atas pilihan itu, siap diterima secara simultan. Dan, tentu saja, mereka akan bertanggungjawab atas pilihan-pilihannya.
Lalu apa lagi? Saya merasa memiliki kapasitas yang mumpuni dalam bidang gerakan literasi, dan masyarakat mesti didorong untuk memilki tradisi literasi, maka saya pun menceburkan diri ke dalamnya. Tradisi literasi bagi masyarakat adalah wujud terbaik yang dirindukan, dan masyarakat berhak mendapatkannya, tidak untuk segelintir orang yang menikmatinya. Bila segelintir orang saja yang memilikinya, bisa saja disalahgunakan. Bukannya mengantarkan masyarakat itu untuk lebih baik keadaannya, melainkan menjerumuskan ke jurang kebodohan.
Di tengah perbincangan yang sudah mendekati pukul 22.00, Yunus undur diri, pamit pulang ke rumahnya di Onto, berjarak sekitar 10 km dari tempat kami menggelar persamuhan. Diskusi lanjut terus, beragam tema kami dedahkan, hingga jelang pukul 12.00, Dion dapat SMS agar segera balik ke mukimnya. Soalnya, adik perempuannya mau melahirkan. Dan, benar saja adanya, sekitar sejam kemudian, Dion mengirim SMS ke Afdhan, ponakannya telah lahir. Rasa bahagia menghidu kami, manusia baru hadir lagi, yang mungkin nasibnya lebih baik dari kami, apatah lagi, jikalau tradisi litersi di ruang hidupnya telah menyata.
Saya, Afdhan dan Daeng masih bersilat pikiran. Dalam persilatan pikiran ini, tidak jelas mana ayah mana anak, keduanya bisa saling interupsi. Saya menikmati suasana kebatinan Afdhan yang tidak kikuk bertempur gagasan di depan sang Ayah. Saya pun membayangkan suasana rumah di Makassar, yang terkadang berdiskusi secara bebas dengan anak-anak, khususnya yang sudah remaja dan beranjak dewasa. Dan, tepat pukul setengah dua malam, saya pamit pulang.
Afdhan berinisiatif mengantar saya pulang, namun saya cegah. Toh, jaraknya cuma seratusan meter. Lagi pula, Bissampole ini juga kampung saya, tidak ada keraguan akan gangguan keamanan, meski kampung saya ini terkenal rawan bagi masyarakat Bantaeng. Pada perjalanan pulang, setiap langkah kaki nyaris saya hitung, sembari membatinkan rencana, bahwa tempat persamuhan tadi bakal menjadi ajang persinggahan saya setiap kali balik ke Bantaeng. Apatah lagi, seperti penuturan Daeng pada saya, bahwa lantai dua yang sementara direnovasi itu, sejatinya diperuntukkan untuk arena pertukaran gagasan. Dan, makin elok ruang itu, manakala diselimuti oleh rak-rak buku. Saya kira Daeng dan Afdhan, pasti setuju akan bayangan pikiran saya ini. Iya bukan?
0 komentar:
Posting Komentar